revoL tnaegaP .42
“Masih di jalan, Mah. Lagi OTW.”
“Kenapa
malam-malam
teuing? Ngapain aja kamu téh?”
“Ngerjain tugas, Mah. Ada tugas
kelompok.”
“Ya sok atuh cepetan pulang. Ustaz Ohim mau dipijat vitalitas. Si Bapak pengin kamu
bantuin lagi kayak kemarin. Istilahnya mah, nemenin gitu, lah.”
Tommy tahu siapa itu Ustaz Ohim.
Dia ustaz yang sering menjadi khatib salat Jumat di masjid dekat rumahnya.
Orangnya sudah sangat tua, jalannya agak bungkuk. Setiap hari mengenakan sorban
dan kemeja putih. Badannya juga kurus dibaluti kulit-kulit gelap yang kendor.
Tommy bergidik membayangkan Ustaz Ohim—apalagi sampai harus memijat pantatnya.
Tommy sedang tidak mau mengaburkan
rekaman dalam kepalanya tentang
pantat Jerome yang indah bagaikan surga. Pantat sempurna yang mulus itu,
bergetar seperti jelly saat tangan
Tommy memijat pinggirannya, dan rambut-rambut halus yang tumbuh menyusuri
belahan pantat Jerome ... sungguh-sungguh pemandangan duniawi yang paling
menakjubkan.
Saat memijat pantat Jerome tadi,
hidung Tommy terasa ngilu, seolah-olah akan mimisan. Untung Tommy tidak
mengucurkan darah dari hidungnya. Untung pula Jerome mendadak mengusirnya.
Karena kalau sampai tubuh Jerome berbalik terlentang, Tommy bisa orgasme.
Jadi, karena Tommy tak mau
pemandangan indah itu tergantikan oleh tubuh tua telanjang Ustaz Ohim yang kalau khutbah sering
menjelek-jelekkan LGBT, Tommy harus mencari cara agak tak segera pulang.
“Enggak bisa, Mah. Aa masih ada satu
tugas kelompok lagi,” bual Tommy.
“Tugas
kelompok naon
deui?” sergah Teh Yanti kesal. “Ustaz Ohim udah mau datang sebentar lagi.
Istilahnya mah, lima menit lagi,
lah.”
“Tugas Aa banyak pisan, Mah. Aa
harus pulang malam. Maaf gitu ke si Bapak, Aa enggak bisa bantuin.”
“Eeeh ari kamu! Terus siapa atuh yang
bantuin? Masa Mamah yang bantuin?” Teh Yanti berdecak. “Kalau Mamah yang bantuin, entar Ustaz Ohim keenakan. Buru pulang!”
“Ya tapi Aa mau ngerjain tugas
dulu!”
Tommy sih sudah mantap tak ingin
pulang ke rumah dalam waktu-waktu dekat. Aku
mohon ya Tuhan, jangan hilangkan memori indah melihat pantat Kak Jerome tadi,
doa Tommy dalam hati. Tommy bahkan menyetop Pajero Sport itu di sekitaran jalan
Wastukencana.
“Pak Yanto, kiri!” sahut Tommy
seperti di angkot. “Eh, maksudnya, setop!”
“Setop di mana?”
“Ngng ... itu di masjid aja, Pak.
Aku mau salat dulu, Pak.”
“Mau saya tungguin?”
“Enggak usah, Pak. Aku pulang sendiri
aja. Pak Yanto boleh pulang lagi ke Buah Batu. Makasih ya Pak udah nganterin.”
“Gapapa enggak
diantar sampai rumah?”
“Gapapa, Pak. Aku memang mau ngerjain tugas sama temen yang rumahnya
di sekitaran sini,” bual Tommy lagi.
Pajero Sport itu pun berhenti di
depan sebuah masjid besar yang berada di depan balaikota. Tommy langsung
mengambil air wudu dan melaksanakan salat Maghrib dan Isya digabung, meski
Tommy tak begitu yakin apakah dia hanya punya hadas kecil atau besar. Sepanjang
memijat Jerome tadi, kelaminnya ereksi terus-terusan sampai ngilu. Sudah pasti
cairan precum-nya keluar tanpa
dikontrol. Tommy tak begitu paham secara syariat agama, apakah kalau keluar precum dari penis berarti dia harus
melakukan mandi wajib atau tidak.
Tommy tak peduli. Dia tetap
melaksanakan salat dan berdoa dengan sangat khusyuk pada sujud terakhirnya. “Ya
Allah, tolong jangan hilangkan memori indah bersama Jerome itu ya Allah.”
Sehabis melaksanakan wirid, ada
beberapa pesan Whatsapp masuk. Ada dari Keysha yang menanyakan PR matematika,
ada dari Karyo, bahkan ada dari Arthur. Tentu saja pesan dari Arthur yang
pertama kali Tommy buka.
Are you available to go out tonight?
Dengan gembira Tommy membalas
pesan itu segera.
Yes I available.
Ah, thanks!
I’ve just finished a gathering with a local swimming club
Around Graha Manggala Siliwangi I
guess
And I want to walk around Bandung for
a bit
I mean ... I’m new, here
Sure of course
Kamu dmn?
Jalan Aceh
I think I’m standing near that road
Oh iya, tp aku di ujungnya
Dkat balaikotanya
Share your location then
I’ll pick you up
Tommy sampai melompat-lompat
senang di dalam masjid karena punya kegiatan untuk menghindari pulang ke rumah.
Baginya, doa pada sujud terakhir tadi diwujudkan Tuhan dengan cara lain.
Menemani Arthur jalan-jalan tentu saja jauuuhhh ... lebih baik dibandingkan
harus memijat selangkangannya
Ustaz Ohim.
Tommy memakai lagi sepatunya lalu
berjalan ke sebuah jalan kecil di belakang masjid. Dia mencari warung untuk
membeli minuman, karena kerongkongannya sangat haus. Mungkin aku menunggu di sini saja, pikirnya. Ada sebuah gedung yang
gelap, dengan bangku-bangku kosong berjejer di halaman depannya. Di depan
gedung itu ada plang besar bertuliskan, “Ayam
Jago Spa: Sentuhan-Sentuhan Surga.” Tempat ini sudah tutup. Entah sejak
kapan. Gedungnya dibiarkan terbengkalai dengan grafitti preman menghiasi
dinding dan pintunya.
Sambil menyesap air mineral yang
baru saja dibelinya, Tommy menerima panggilan telepon Whatsapp dari Karyo.
“Tommy,
kamu sudah pulang?”
sapanya, terdengar agak excited.
“Belum, aku masih di luar.”
“Maksudnya,
kamu udah beres di Kak Jerome?”
“Udah.”
Karyo terdengar memekik gembira di
ujung telepon. “How?”
Tommy mengerutkan alis. “How apanya?”
“How is feeling messaging Kak
Jerome?”
Tommy mencoba menerjemahkan
pertanyaan itu sebisanya. “Maksud kamu, gimana rasanya mijitin Kak Jerome?”
“Yes, yes, yes!”
Perlukah Tommy mengatakan yang
sebenarnya? Tommy rasa tak perlu. Jadi dengan agak malas Tommy menjawab, “Yah,
gitu-gitu aja sih mijat mah.”
“Tapi
kamu megang badannya Kak Jerome, kan?”
Tommy menyipitkan mata dengan
bingung. Gimana caranya memijat seseorang
tanpa menyentuh badan orang tersebut? pikir Tommy. “I ... iya?”
“Aaahhh!”
Karyo benar-benar
terdengar gembira.
“Kenapa kamu seneng banget,
Karyo?”
“Gapapa!”
“Gapapa?”
“Iya,
ih. Gapapa. Jangan kepo, deh. Hihihi!”
Jujur saja Tommy tidak tertarik
untuk kepo. Hanya saja sikap Karyo
ini benar-benar mencurigakan.
“Kamu
bisa ngajarin aku pijat enggak?” tanya Karyo kemudian.
“Untuk apa kamu belajar mijat?”
“Ya gapapa. Kamu kepo, deh.” Kemudian
Karyo cekikikan lagi.
“Kamu suka sama Kak Jerome, ya?”
todong Tommy tanpa pikir panjang.
“Haaa!” Karyo terkesiap. “Kamu tahu dari mana?!”
Astaga,
yang benar saja,
batin Tommy. Bagaimana orang enggak
akan tahu kalau sikapnya mencurigakan seperti itu. Bahkan sejak Jerome
menghampiri Tommy di sekolah tadi.
“Jangan
bilang siapa-siapa, ya
please. Termasuk Udin. Jangan sampai dia
tahu aku naksir sama Kak Jerome!” Karyo terdengar memohon-mohon. “Aku pengin belajar mijat, siapa tahu suatu
hari aku bisa mijat Kak Jerome!”
Tommy merasa tidak terima. “Aku
belajar pijat sejak umur enam tahun. Enggak instan, Yo.”
“Ya
ajarin aku yang gampang-gampang, kek. Pijat perut misalnya.”
“Kak Jerome enggak pernah aku pijat perutnya.”
“Ya
apa, kek. Kaki misalnya?”
“Udah ah, aku lagi sibuk nih, Yo.
Lagi mau janjian sama orang. Nanti aku hubungi lagi, ya. Bye.”
Kok
aku enggak
suka ya Karyo naksir sama Jerome, pikir Tommy dalam hati. Ada perasaan kesal menyelubungi
hati Tommy saat mendengar Karyo menyukai Jerome. Padahal seharusnya tak apa-apa
kalau Karyo mau naksir Jerome. Toh memang Jerome ganteng, pujaan banyak orang. Namun, perasaan enggak enak itu tetap saja muncul
membuat Tommy merasa sebal.
Tommy pada akhirnya melupakan soal
Karyo saat lima belas menit kemudian Arthur muncul di depan masjid, turun dari
sebuah motor ojek online. Arthur
tampak segar, mungkin karena baru selesai mandi. Rambutnya juga masih agak
basah. Di bahu kanan Arthur, tersampir tas olahraga besar berwarna biru. Arthur
mengenakan kaus dan celana pendek sporty,
dipadu sepatu lari yang tampak nyaman. Penampilannya yang kasual dan fit
sedikit banyak membuat Tommy minder.
Maksudnya, Tommy masih mengenakan
seragam SMA, dibalut sweter belel yang sudah dipakai jutaan kali. Ransel
sekolahnya masih tergendong rapi, sementara sepatunya ya sepatu sekolah yang
mengerikan itu.
“Hm ... bau apa ini? Kayak bau serai,” sapa Arthur ketika menghampiri
Tommy.
Nah, bahkan aroma Tommy pun masih
aroma essential oil lemongrass.
“Aduh, maaf. Tadi aku diminta
pijat Kak Jerome lagi. Ini bau minyak yang dipakai buat pijat tadi.”
“That’s
alright!” sahut
Arthur sambil tergelak manis dan menepuk bahu Tommy. “I do like lemongrass. Its soothing smell usually calms me down.”
Tidak semua bahasa Inggris sudah
Tommy kuasai. Sehingga dia hanya mengangguk-angguk saja meski tak mengerti apa
yang Arthur bicarakan.
“So, I want to have a dinner! Kamu sudah makan?”
“Belum.”
“Great! Makan ke mana kita?”
“Aku enggak tahu. Kamu mau makan apa?”
“I don’t limit my options, so ....” Arthur mengangkat bahu. “Atau
kita jalan kaki aja ke sembarang arah, lalu pas nemu warung yang oke kita
berhenti di sana?”
“Idea good!” kata Tommy mengacungkan jempol.
“Lapar banget enggak kamu?” tanya Arthur sambil
mulai menjejeri Tommy berjalan ke satu arah.
“Enggak juga, sih. Nyantai aja aku mah.”
“We can take our time, then.”
Secara harfiah, keduanya berjalan
ke sembarang arah. Ada banyak sekali topik yang dibahas selama perjalanan,
dimulai dari tugas antropologi, bersambung ke pelajaran bahasa Jerman hari ini,
kenangan di salah satu pos di outbond
kemarin, hingga curhatan Arthur di klub renang barunya di Bandung. Ada banyak
topik lain terselip di antara topik-topik besar itu. Tommy tidak menyadari
bahwa obrolannya bersama Arthur benar-benar nyambung.
Bahkan, pada satu titik, mereka
berdua membahas pageant.
“I don’t think you should be ashamed of yourself for having an interest
in beauty pageant,” kata Arthur, mendadak membahas topik tersebut gara-gara
barusan ada poster Zozibini Tunzi, Miss Universe 2019 yang menjadi bintang
iklan YouC1000 tertempel di salah satu lemari pendingin sebuah warung.
Tommy memelotot kaget karena topik
itu bisa muncul di antara dirinya dan Arthur.
“C’mon. Aku tahu kamu suka kontes kecantikan,” sikut Arthur dengan
akrab.
“I-iya,” jawab Tommy malu. Dia
menelan ludah dan berharap topik ini bisa segera berganti.
“I saw you scrolling through pageant’s stuff for several times, now.
Apalagi kalau kamu buka Instagram, biasanya yang pertama muncul ya ratu
kecantikan.”
“A-aku suka karena mereka cantik.
Seksi. Bohay,” balas Tommy salah
tingkah. Hingga hari ini Tommy tak pernah mengaku bahwa dia suka pageant karena ingin menjadi Miss
Universe.
“Yeah, you kinda said that a thousand times, now,” kata Arthur
sambil tergelak kecil. “I also adore beauty.
Menurutku, enggak
usah malu untuk mengatakan bahwa seseorang itu cantik atau ganteng. Wait, ke mana kita?” Kata-kata Arthur
terpotong karena mereka sekarang sudah berada di perempatan Dago, di bawah
Jembatan Cikapayang.
Tommy memimpin perjalanan itu
dengan menyeberang ke arah Dipati Ukur. Tommy terkejut karena mereka sudah
berjalan sejauh ini. “Kita ke sini aja. By
the way, dulu di sini biasanya ada termometer raksasa, lho!” Tommy mencoba
mengalihkan topik karena tak mau terus-menerus salah tingkah saat membahas pageant.
Tommy ingin sekali membahas pageant. Namun dia paham betul, bukan
bersama Arthurlah dia harus membahas pageant.
Memangnya Arthur bakal paham semua istilah pageant
yang hanya para pageant lovers tahu?
Misalnya, el tocuyo, IMG era, beauty with
a purpose, Nawat, binibining,
Gendhis Fernandita ... Tommy yakin Arthur tak akan paham. Jadi, daripada Tommy
kelepasan menyebutkan istilah canggih yang hanya para PL ketahui, Tommy harus
menghindari topik tersebut.
Perjalanan mereka tiba di sebuah
warung nasi goreng yang enak di mana kita bisa memilih sendiri jumlah nasi yang
diambil, pun topping yang digunakan.
Setelah makan nasi goreng, mereka berjalan kaki lagi ke arah Monumen Perjuangan
Rakyat untuk minum susu murni dan mencamil sepotong roti bakar di salah satu
warung tenda yang ada di sana. Obrolan soal pageant
sudah lama berakhir sejak mereka menyeberangi perempatan Dago. Namun ketika
Tommy dan Arthur duduk di depan roti bakar berselai stroberi itu, topik
mengerikan lain muncul dalam obrolan.
“So, siapa yang kamu suka di sekolah?” tanya Arthur dengan senyum
jail.
Wajah Tommy rasanya memerah
seperti kepiting rebus. “Eng-enggak ada, kok.”
“Really?” Arthur menyipitkan mata tak percaya.
“Iya, enggak ada.” Tommy menelan ludah.
“You seem like you’re hiding something. Tell me more! C’mon.” Arthur
bahkan mengangkat kedua alisnya dengan menggoda.
“Enggak ada, ih,” balas Tommy
bersikukuh, tapi tak berani menatap mata Arthur. “Kamu sendiri emang ada orang
yang ditaksir di
sekolah?”
“Ada,” jawab Arthur mantap. “But it doesn’t mean I will tell you who.
Tapi ada.”
Tommy menarik napas dan sedang
mempertimbangkan untuk mengatakannya atau tidak. Sejauh ini Arthur sudah sangat
baik dan pengertian sebagai seorang teman. Tommy malah menganggap Arthur ini
sahabat, tanpa peduli apakah Arthur merasakan perasaan yang sama atau tidak.
Namun menceritakan perasaan Tommy akan seseorang rasanya seperti menelanjangi
diri sendiri hingga tak berdaya. Apalagi dari empat orang di sekolah yang Tommy
sukai, salah satunya ya Arthur.
“Okay, kalau gitu aku aja yang mulai,” kata Arthur tiba-tiba,
terlalu lama menunggu respons Tommy. “Aku lagi punya perasaan berbeda sama satu
orang. Orang itu enggak
tahu aku mikirin dia setiap hari, dan aku juga enggak ngungkapin perasaanku atau
apa, jadinya dia enggak
tahu. Which is fine. Tapi dari semua
orang baru yang kutemui di sekolah itu, ini orang lebih sering kupikirkan
dibandingkan semua orang yang lain. Mungkin suatu hari aku bakal ngungkapin
perasaanku ... or maybe not. It depends
on the situation, I guess.”
Tommy tak bisa memungkiri bahwa
dia merasa sedikit cemburu pada siapa pun itu yang disukai Arthur. Namun Tommy
tahu diri, bahwa bukan haknya untuk merasa tak suka pada orang tersebut. Tommy
bukan siapa-siapanya Arthur. Hanya teman sebangku saja di sekolah.
“Why?” tanya Tommy akhirnya, setelah berhasil menguasai diri.
“I don’t know. Maybe because this is still an early stage. Aku juga
belum begitu yakin aku suka sama dia atau enggak. Tapi sosok dia ada dalam
kepalaku lumayan sering.”
“Bilang aja atuh. Pasti dia mau,” usul Tommy.
“Enggak sesimpel itu, Tom.”
“Orangnya ada di kelas kita?”
desak Tommy, tiba-tiba merasa harus kepo
tentang cewek paling beruntung sedunia ini.
Arthur menghela napas,
menimang-nimang apakah perlu menjawab pertanyaan itu atau tidak. Dengan yakin,
dan sambil menatap mata Tommy serius, “Yes,”
jawab Arthur mantap.
“Sama,” kata Tommy tiba-tiba,
mungkin adrenalinnya terpacu akan rasa cemburu.
Arthur mengerutkan alis. “Sama
dalam artian ... kamu naksir seseorang di kelas kita?”
Oh, shit, batin Tommy. Apa yang harus kulakukan?
Tommy mengatakan sama hanya
gara-gara kesal karena orangnya ternyata ada di kelas IBB. Dari yang
kemungkinan awal adalah ratusan orang di SMA 44, sekarang menjadi hanya 24 saja
anak perempuan di kelas IBB. Yang berarti Arthur bertemu dengan cewek itu
setiap hari. Mungkin sebenarnya mereka saling memberi kode di dalam kelas. Kode
intim, di mana hanya mereka yang tahu. Atau mungkin setiap malam mereka chatting-an sebelum tidur. Atau video call. Jenis-jenis video call yang diakhiri dengan, “See you tomorrow at class, Dear.” Dan
entah mengapa Tommy sebal membayangkannya.
Tommy cemburu. Tommy mengakui itu
kepada dirinya sendiri.
“Y-ya!” jawab Tommy atas
pertanyaan Arthur tadi. Dan dengan bodohnya—mungkin karena tidak mau
kalah—Tommy menambahkan, “Aku naksir empat orang di sekolah.”
Arthur membelalak. “Wow. That’s cool!” Arthur sampai
bertepuk tangan. “Semuanya ada di kelas kita?”
“Ada dua yang di kelas kita,”
jawab Tommy. “Eh, satu aja yang pasti di kelas kita. Satu lagi sering masuk
kelas kita.”
Arthur tampak tak paham.
Empat orang yang ditaksir Tommy
tentu saja Arthur, Jerome, Miza, dan Pak Anto. Jerome dan Miza tidak berada di
kelas IBB setiap hari. Arthur ada di kelas IBB setiap hari. Sementara Pak Anto,
hanya beberapa kali seminggu ada di kelas IBB. Namun seharusnya Tommy tak
mengatakan soal itu, karena justru jadi mencurigakan.
“Kamu mau poligami?” tanya Arthur
sambil terkekeh.
“Enggak, lah.” Tommy mengangkat
dagunya. “Aku cuma ... yah, terbuka sama pilihan.”
“Gotta be honest, that’s bold, Dude!” Arthur tersenyum lebar,
menatap Tommy dengan sangat serius, kemudian mulai mencondongkan tubuhnya, “So tell me more about these lucky people!”
Tommy menelan ludah. Dia ingin
sekali bercerita, tapi bagaimana bercerita tanpa Arthur tahu dirinya masuk
salah satunya, atau ternyata keempat-empatnya laki-laki? “A-apa yang mau k-kamu
tahu?”
Arthur mengangkat bahu. “Apa pun
yang kamu mau cerita. Misalnya, are they
good looking?”
“I-iyalah!” sahut Tommy percaya
diri. “Mereka semua ... ngng ... cantik-cantik! Seperti bidadari.”
Harusnya
aku enggak
nambahin kata bidadari,
batin Tommy. Harusnya aku juga enggak bilang cantik. Toh
pertanyaan Arthur kan ‘good looking’. Harusnya jawab semuanya good looking.
Dasar bodoh kamu Tommy!
“Nice start!” balas Arthur. “Lanjut!”
Dan kebodohan-kebodohan Tommy pun
terus bermunculan. Tommy mulai bercerita setengah jujur setengah bullshit sepanjang malam itu. “Yang satu
orangnya dewasa. Aku suka dia karena sering pinjamin baju?”
“Baju?”
“M-maksud aku buku!” sergah Tommy
buru-buru. “Yah, buku! Buku untuk belajar! Haha.”
Obrolan itu benar-benar canggung
bagi Tommy. Dia telanjur mengatakan satu gebetannya anak OSIS, dan satu
gebetannya senang traveling. Tommy
tak tahu bagaimana menghentikan dirinya sendiri. Arthur tampaknya sudah bisa
melihat gambaran besar semua orang yang Tommy sukai.
“Dan yang satu ... dia orangnya
baik,” kata Tommy, tak berani menatap mata Arthur karena mata itulah yang Tommy
maksud. “Orangnya senang membantu dan menolong. Aku lihat dia orangnya tulus,
kalau bantu orang enggak
pilih-pilih. Senyumnya selalu lebar dan manis. Senyum itu juga sering dia
bagikan kepada orang-orang tanpa kecuali.”
“Wow, I like this girl,” kata Arthur. “Apa cewek yang terakhir ini
yang ada di kelas kita?”
Tommy menatap Arthur sejenak,
mengamati wajah malaikat itu, kemudian memutuskan untuk menggelengkan kepala.
“Bukan.”
Seorang transpuan pengamen pinggir
jalan muncul untuk bernyanyi di dalam warung tenda. Suaranya enggak bagus-bagus amat, apalagi instrumen
musiknya hanya kecrekan yang tidak punya harmoni. Namun Arthur tetap tersenyum
lebar sambil menikmati penampilan transpuan itu, tampak terhibur. Sementara
Tommy, yang punya agenda untuk tidak membeberkan bahwa dia gay, mencoba untuk jijik melihatnya.
“Ih, bencong!” bisik Tommy sambil
mendelik. Dia mempelajari ini dari semua cowok yang selalu merundungnya pada
masa lalu. Tommy beranggapan, beginilah seharusnya seorang cowok bereaksi atas
kemunculan transpuan di ruangan.
Namun Arthur malah mengerutkan
alisnya bingung. “Lalu?”
Sekarang Tommy bingung karena
Arthur tampaknya tidak sefrekuensi dengan dirinya. Namun Tommy masih
berkeyakinan bahwa menunjukkan rasa jijik kepada banci adalah penting untuk
identitas diri sebagai laki-laki.
“Dia kan laki-laki. Pake baju
perempuan,” bisik Tommy lagi.
Arthur masih tampak bingung. “Of course. That’s they way she entertains
people. What’s the matter with that?”
“Laki-laki kan nggak boleh pake
baju perempuan, Thur. Haram.”
Arthur tampak tersinggung. Jadi
kini, Tommy yang kebingungan karena Arthur tampak tidak sependapat dengan
dirinya.
Agar tidak terjadi salah paham,
Tommy mencoba menambahkan, “Dia kan bisa aja pake baju cowok. Ngapain harus
pake baju cewek buat nyanyi doang? Enggak ada kaitannya.”
“Dia bisa jadi sedang menghidupi
seorang anak di rumahnya. Atau seorang teman. Dan yang dibutuhkan olehnya hanya
berkreasi dalam ekspresi yang dia inginkan,” balas Arthur tanpa bahasa Inggris
sama sekali. Dan ini jarang terjadi.
“Ya berarti dia LGBT,” balas
Tommy, tetap bersikukuh mendegradasi komunitasnya sendiri.
“Okay, by the way, ini udah jam sepuluh malam. We better get going,” kata Arthur terdengar agak defensif sambil
berdiri dan mengeluarkan uang. Arthur merasa tak nyaman dengan topik yang
sedang berlangsung. “This one is on me.”
Dia membayar roti bakar mereka, bahkan menyelipkan uang lima puluh ribu untuk
banci yang mengamen itu.
“Yaolo Aa ganteeeng ...! Nuhun
pisan! Mugi-mugi dilancarkeun rejekina nya, A!” balas si banci sambil
mencoba mengirimkan kiss bye ke arah
Arthur.
Tommy kaget melihat Arthur bisa
tersinggung seperti. Salahku di mana?
batin Tommy. Karena sekarang suasana menjadi sangat-sangat canggung.
Tommy dan Arthur berjalan kaki
menyusuri Jalan Dipati Ukur, berbelok ke sebuah jalan perumahan yang sepi
dengan banyak pepohonan di pinggir jalan. Jalan ini menembus langsung ke Jalan
Dago, di sana keduanya bisa menaiki angkot atau memesan ojek online dengan lebih mudah. Tak ada
obrolan akrab seperti yang terjadi berjam-jam sebelumnya. Tommy dan Arthur
berjalan berdampingan dalam diam. Dalam nuansa yang tidak nyaman.
Keduanya tenggelam dalam pikiran
masing-masing, melamun mengamati jalan yang sepi dan gelap, dilalui oleh satu
atau dua sepeda motor saja setiap lima menit. Lampu-lampu teras menyala, tetapi
lampu kamar setiap rumah sebagian besar sudah padam. Nyaris tidak ada aktivitas
signifikan terjadi di jalan ini.
Setelah melewati sebuah pohon
besar dan lampu jalanan yang pijarnya padam, seekor anjing menggonggong dari
balik pagar sebuah rumah.
“GUK!
GUK! GUK!”
Suaranya keras sekali, seolah-olah ingin menerkam pencuri.
Tommy berhenti berjalan. Lututnya
gemetar.
“Kenapa?” tanya Arthur ikut
berhenti.
“Aku ....” Tommy menelan ludah.
“Aku ... takut anjing.”
Arthur menatap ke arah rumah di
mana anjing itu aktif menggonggong. “Don’t
be silly. Anjing itu ada di dalam rumah. It’s okay.”
Namun Tommy menggeleng.
Benar-benar ketakutan.
Tiba-tiba, Arthur mengulurkan
tangannya ke arah Tommy. “Hold my hand.”
“Apa?”
“Pegang tanganku. Kita lewatin
rumah itu bareng-bareng. It’s gonna be
alright.” Senyum itu akhirnya terukir lagi di wajah Arthur setelah beberapa
menit penuh bisu. Bahkan dalam remang-remang malam, senyum itu tetap terasa
hangat.
Dengan jantung berdebar, Tommy
meraih uluran tangan itu. Alasan pertama tentu saja karena dia ketakutan. Namun
setelah telapak tangannya menyentuh tangan atlet berprestasi itu, Tommy
merasakan kehangatan yang sama seperti saat dipeluk Arthur di dalam tenda.
“Don’t worry. It’s okay,” bisik Arthur.
Arthur menarik Tommy dengan
hati-hati melewati rumah yang berisik itu. Genggaman tangannya kokoh dan kuat.
Tiba-tiba saja Tommy merasa terlindungi, padahal Arthur hanya menggenggam
tangannya. Keduanya melewati rumah itu dengan aman. Beberapa rumah dari rumah
anjing tersebut, suara gonggongan itu hilang.
“See? It’s fine,” kata Arthur mengusap kepala Tommy dengan satu
tangannya yang lain.
Karena ... genggaman tangan itu
tak pernah Arthur lepaskan hingga mereka tiba di Jalan Dago. Keduanya berjalan
berdampingan, tangan saling menggenggam, lengan saling bergesekan. Semakin
dekat dengan Jalan Dago, Tommy dapat merasakan Arthur semakin mengeratkan
genggaman tangan itu. Jempol Arthur mengusap-usap punggung tangan Tommy.
Seolah-olah ingin mengatakan, “Don’t worry. I’m here.”
To be continued ....
Awalnya gw gak terlalu suka sosok Tomy sampai pada akhirnya .. Tomy adalah gambaran diri gw sendiri.. berfikir Tomy egois bla bla bla.. dan perlahan mengagumi sosok Karyo yg sabar dan pengertian... sampe di titik ini gw baru sadar Tomy adalah gambaran para gay milenial yg sedang mencari jati diri dan melindungi dirisendiri dari cemoohan lingkungan... terimakasih bang Mario ceritanya sungguh membuka wawasan .. bukan hanya bagus tapi penuh pembelajaran dan juga arti... gw selalu kagum sama karya bang mario.. ini bukan pujian tercetus begitu saja yaa.. tapi beneran kagumm .
BalasHapusemang bener ini ceritanya relatif banget, simple Dan berkesan, Aku suka setiap scene Dari cerita ini, makasih kak
BalasHapus