Kamis, 25 Maret 2021

Nude 24

 

revoL tnaegaP .42

 

 "Halo, Aa? Di mana?”

“Masih di jalan, Mah. Lagi OTW.”

“Kenapa malam-malam teuing? Ngapain aja kamu téh?”

“Ngerjain tugas, Mah. Ada tugas kelompok.”

“Ya sok atuh cepetan pulang. Ustaz Ohim mau dipijat vitalitas. Si Bapak pengin kamu bantuin lagi kayak kemarin. Istilahnya mah, nemenin gitu, lah.”

Tommy tahu siapa itu Ustaz Ohim. Dia ustaz yang sering menjadi khatib salat Jumat di masjid dekat rumahnya. Orangnya sudah sangat tua, jalannya agak bungkuk. Setiap hari mengenakan sorban dan kemeja putih. Badannya juga kurus dibaluti kulit-kulit gelap yang kendor. Tommy bergidik membayangkan Ustaz Ohim—apalagi sampai harus memijat pantatnya.

Tommy sedang tidak mau mengaburkan rekaman dalam kepalanya tentang pantat Jerome yang indah bagaikan surga. Pantat sempurna yang mulus itu, bergetar seperti jelly saat tangan Tommy memijat pinggirannya, dan rambut-rambut halus yang tumbuh menyusuri belahan pantat Jerome ... sungguh-sungguh pemandangan duniawi yang paling menakjubkan.

Saat memijat pantat Jerome tadi, hidung Tommy terasa ngilu, seolah-olah akan mimisan. Untung Tommy tidak mengucurkan darah dari hidungnya. Untung pula Jerome mendadak mengusirnya. Karena kalau sampai tubuh Jerome berbalik terlentang, Tommy bisa orgasme.

Jadi, karena Tommy tak mau pemandangan indah itu tergantikan oleh tubuh tua telanjang Ustaz Ohim yang kalau khutbah sering menjelek-jelekkan LGBT, Tommy harus mencari cara agak tak segera pulang.

Enggak bisa, Mah. Aa masih ada satu tugas kelompok lagi,” bual Tommy.

“Tugas kelompok naon deui? sergah Teh Yanti kesal. “Ustaz Ohim udah mau datang sebentar lagi. Istilahnya mah, lima menit lagi, lah.”

“Tugas Aa banyak pisan, Mah. Aa harus pulang malam. Maaf gitu ke si Bapak, Aa enggak bisa bantuin.”

“Eeeh ari kamu! Terus siapa atuh yang bantuin? Masa Mamah yang bantuin?” Teh Yanti berdecak. “Kalau Mamah yang bantuin, entar Ustaz Ohim keenakan. Buru pulang!”

“Ya tapi Aa mau ngerjain tugas dulu!”

Tommy sih sudah mantap tak ingin pulang ke rumah dalam waktu-waktu dekat. Aku mohon ya Tuhan, jangan hilangkan memori indah melihat pantat Kak Jerome tadi, doa Tommy dalam hati. Tommy bahkan menyetop Pajero Sport itu di sekitaran jalan Wastukencana.

“Pak Yanto, kiri!” sahut Tommy seperti di angkot. “Eh, maksudnya, setop!”

“Setop di mana?”

“Ngng ... itu di masjid aja, Pak. Aku mau salat dulu, Pak.”

“Mau saya tungguin?”

Enggak usah, Pak. Aku pulang sendiri aja. Pak Yanto boleh pulang lagi ke Buah Batu. Makasih ya Pak udah nganterin.”

Gapapa enggak diantar sampai rumah?”

Gapapa, Pak. Aku memang mau ngerjain tugas sama temen yang rumahnya di sekitaran sini,” bual Tommy lagi.

Pajero Sport itu pun berhenti di depan sebuah masjid besar yang berada di depan balaikota. Tommy langsung mengambil air wudu dan melaksanakan salat Maghrib dan Isya digabung, meski Tommy tak begitu yakin apakah dia hanya punya hadas kecil atau besar. Sepanjang memijat Jerome tadi, kelaminnya ereksi terus-terusan sampai ngilu. Sudah pasti cairan precum-nya keluar tanpa dikontrol. Tommy tak begitu paham secara syariat agama, apakah kalau keluar precum dari penis berarti dia harus melakukan mandi wajib atau tidak.

Tommy tak peduli. Dia tetap melaksanakan salat dan berdoa dengan sangat khusyuk pada sujud terakhirnya. “Ya Allah, tolong jangan hilangkan memori indah bersama Jerome itu ya Allah.”

Sehabis melaksanakan wirid, ada beberapa pesan Whatsapp masuk. Ada dari Keysha yang menanyakan PR matematika, ada dari Karyo, bahkan ada dari Arthur. Tentu saja pesan dari Arthur yang pertama kali Tommy buka.

Are you available to go out tonight?

Dengan gembira Tommy membalas pesan itu segera.

Yes I available.

Ah, thanks!

I’ve just finished a gathering with a local swimming club

Around Graha Manggala Siliwangi I guess

And I want to walk around Bandung for a bit

I mean ... I’m new, here

Sure of course

Kamu dmn?

Jalan Aceh

I think I’m standing near that road

Oh iya, tp aku di ujungnya

Dkat balaikotanya

Share your location then

I’ll pick you up

Tommy sampai melompat-lompat senang di dalam masjid karena punya kegiatan untuk menghindari pulang ke rumah. Baginya, doa pada sujud terakhir tadi diwujudkan Tuhan dengan cara lain. Menemani Arthur jalan-jalan tentu saja jauuuhhh ... lebih baik dibandingkan harus memijat selangkangannya Ustaz Ohim.

Tommy memakai lagi sepatunya lalu berjalan ke sebuah jalan kecil di belakang masjid. Dia mencari warung untuk membeli minuman, karena kerongkongannya sangat haus. Mungkin aku menunggu di sini saja, pikirnya. Ada sebuah gedung yang gelap, dengan bangku-bangku kosong berjejer di halaman depannya. Di depan gedung itu ada plang besar bertuliskan, “Ayam Jago Spa: Sentuhan-Sentuhan Surga. Tempat ini sudah tutup. Entah sejak kapan. Gedungnya dibiarkan terbengkalai dengan grafitti preman menghiasi dinding dan pintunya.

Sambil menyesap air mineral yang baru saja dibelinya, Tommy menerima panggilan telepon Whatsapp dari Karyo.

“Tommy, kamu sudah pulang?” sapanya, terdengar agak excited.

“Belum, aku masih di luar.”

“Maksudnya, kamu udah beres di Kak Jerome?”

“Udah.”

Karyo terdengar memekik gembira di ujung telepon. “How?”

Tommy mengerutkan alis. “How apanya?”

“How is feeling messaging Kak Jerome?”

Tommy mencoba menerjemahkan pertanyaan itu sebisanya. “Maksud kamu, gimana rasanya mijitin Kak Jerome?”

“Yes, yes, yes!”

Perlukah Tommy mengatakan yang sebenarnya? Tommy rasa tak perlu. Jadi dengan agak malas Tommy menjawab, “Yah, gitu-gitu aja sih mijat mah.”

“Tapi kamu megang badannya Kak Jerome, kan?”

Tommy menyipitkan mata dengan bingung. Gimana caranya memijat seseorang tanpa menyentuh badan orang tersebut? pikir Tommy. “I ... iya?”

“Aaahhh!” Karyo benar-benar terdengar gembira.

“Kenapa kamu seneng banget, Karyo?”

“Gapapa!”

“Gapapa?”

“Iya, ih. Gapapa. Jangan kepo, deh. Hihihi!”

Jujur saja Tommy tidak tertarik untuk kepo. Hanya saja sikap Karyo ini benar-benar mencurigakan.

“Kamu bisa ngajarin aku pijat enggak?” tanya Karyo kemudian.

“Untuk apa kamu belajar mijat?”

“Ya gapapa. Kamu kepo, deh.” Kemudian Karyo cekikikan lagi.

“Kamu suka sama Kak Jerome, ya?” todong Tommy tanpa pikir panjang.

“Haaa!” Karyo terkesiap. “Kamu tahu dari mana?!”

Astaga, yang benar saja, batin Tommy. Bagaimana orang enggak akan tahu kalau sikapnya mencurigakan seperti itu. Bahkan sejak Jerome menghampiri Tommy di sekolah tadi.

“Jangan bilang siapa-siapa, ya please. Termasuk Udin. Jangan sampai dia tahu aku naksir sama Kak Jerome!” Karyo terdengar memohon-mohon. “Aku pengin belajar mijat, siapa tahu suatu hari aku bisa mijat Kak Jerome!”

Tommy merasa tidak terima. “Aku belajar pijat sejak umur enam tahun. Enggak instan, Yo.”

“Ya ajarin aku yang gampang-gampang, kek. Pijat perut misalnya.”

“Kak Jerome enggak pernah aku pijat perutnya.”

“Ya apa, kek. Kaki misalnya?”

“Udah ah, aku lagi sibuk nih, Yo. Lagi mau janjian sama orang. Nanti aku hubungi lagi, ya. Bye.”

Kok aku enggak suka ya Karyo naksir sama Jerome, pikir Tommy dalam hati. Ada perasaan kesal menyelubungi hati Tommy saat mendengar Karyo menyukai Jerome. Padahal seharusnya tak apa-apa kalau Karyo mau naksir Jerome. Toh memang Jerome ganteng, pujaan banyak orang. Namun, perasaan enggak enak itu tetap saja muncul membuat Tommy merasa sebal.

Tommy pada akhirnya melupakan soal Karyo saat lima belas menit kemudian Arthur muncul di depan masjid, turun dari sebuah motor ojek online. Arthur tampak segar, mungkin karena baru selesai mandi. Rambutnya juga masih agak basah. Di bahu kanan Arthur, tersampir tas olahraga besar berwarna biru. Arthur mengenakan kaus dan celana pendek sporty, dipadu sepatu lari yang tampak nyaman. Penampilannya yang kasual dan fit sedikit banyak membuat Tommy minder.

Maksudnya, Tommy masih mengenakan seragam SMA, dibalut sweter belel yang sudah dipakai jutaan kali. Ransel sekolahnya masih tergendong rapi, sementara sepatunya ya sepatu sekolah yang mengerikan itu.

“Hm ... bau apa ini? Kayak bau serai,” sapa Arthur ketika menghampiri Tommy.

Nah, bahkan aroma Tommy pun masih aroma essential oil lemongrass.

“Aduh, maaf. Tadi aku diminta pijat Kak Jerome lagi. Ini bau minyak yang dipakai buat pijat tadi.”

“That’s alright!” sahut Arthur sambil tergelak manis dan menepuk bahu Tommy. “I do like lemongrass. Its soothing smell usually calms me down.

Tidak semua bahasa Inggris sudah Tommy kuasai. Sehingga dia hanya mengangguk-angguk saja meski tak mengerti apa yang Arthur bicarakan.

So, I want to have a dinner! Kamu sudah makan?”

“Belum.”

Great! Makan ke mana kita?”

“Aku enggak tahu. Kamu mau makan apa?”

I don’t limit my options, so ....” Arthur mengangkat bahu. “Atau kita jalan kaki aja ke sembarang arah, lalu pas nemu warung yang oke kita berhenti di sana?”

Idea good!” kata Tommy mengacungkan jempol.

“Lapar banget enggak kamu?” tanya Arthur sambil mulai menjejeri Tommy berjalan ke satu arah.

Enggak juga, sih. Nyantai aja aku mah.”

We can take our time, then.

Secara harfiah, keduanya berjalan ke sembarang arah. Ada banyak sekali topik yang dibahas selama perjalanan, dimulai dari tugas antropologi, bersambung ke pelajaran bahasa Jerman hari ini, kenangan di salah satu pos di outbond kemarin, hingga curhatan Arthur di klub renang barunya di Bandung. Ada banyak topik lain terselip di antara topik-topik besar itu. Tommy tidak menyadari bahwa obrolannya bersama Arthur benar-benar nyambung.

Bahkan, pada satu titik, mereka berdua membahas pageant.

I don’t think you should be ashamed of yourself for having an interest in beauty pageant,” kata Arthur, mendadak membahas topik tersebut gara-gara barusan ada poster Zozibini Tunzi, Miss Universe 2019 yang menjadi bintang iklan YouC1000 tertempel di salah satu lemari pendingin sebuah warung.

Tommy memelotot kaget karena topik itu bisa muncul di antara dirinya dan Arthur.

C’mon. Aku tahu kamu suka kontes kecantikan,” sikut Arthur dengan akrab.

“I-iya,” jawab Tommy malu. Dia menelan ludah dan berharap topik ini bisa segera berganti.

I saw you scrolling through pageant’s stuff for several times, now. Apalagi kalau kamu buka Instagram, biasanya yang pertama muncul ya ratu kecantikan.”

“A-aku suka karena mereka cantik. Seksi. Bohay,” balas Tommy salah tingkah. Hingga hari ini Tommy tak pernah mengaku bahwa dia suka pageant karena ingin menjadi Miss Universe.

Yeah, you kinda said that a thousand times, now,” kata Arthur sambil tergelak kecil. “I also adore beauty. Menurutku, enggak usah malu untuk mengatakan bahwa seseorang itu cantik atau ganteng. Wait, ke mana kita?” Kata-kata Arthur terpotong karena mereka sekarang sudah berada di perempatan Dago, di bawah Jembatan Cikapayang.

Tommy memimpin perjalanan itu dengan menyeberang ke arah Dipati Ukur. Tommy terkejut karena mereka sudah berjalan sejauh ini. “Kita ke sini aja. By the way, dulu di sini biasanya ada termometer raksasa, lho!” Tommy mencoba mengalihkan topik karena tak mau terus-menerus salah tingkah saat membahas pageant.

Tommy ingin sekali membahas pageant. Namun dia paham betul, bukan bersama Arthurlah dia harus membahas pageant. Memangnya Arthur bakal paham semua istilah pageant yang hanya para pageant lovers tahu? Misalnya, el tocuyo, IMG era, beauty with a purpose, Nawat, binibining, Gendhis Fernandita ... Tommy yakin Arthur tak akan paham. Jadi, daripada Tommy kelepasan menyebutkan istilah canggih yang hanya para PL ketahui, Tommy harus menghindari topik tersebut.

Perjalanan mereka tiba di sebuah warung nasi goreng yang enak di mana kita bisa memilih sendiri jumlah nasi yang diambil, pun topping yang digunakan. Setelah makan nasi goreng, mereka berjalan kaki lagi ke arah Monumen Perjuangan Rakyat untuk minum susu murni dan mencamil sepotong roti bakar di salah satu warung tenda yang ada di sana. Obrolan soal pageant sudah lama berakhir sejak mereka menyeberangi perempatan Dago. Namun ketika Tommy dan Arthur duduk di depan roti bakar berselai stroberi itu, topik mengerikan lain muncul dalam obrolan.

So, siapa yang kamu suka di sekolah?” tanya Arthur dengan senyum jail.

Wajah Tommy rasanya memerah seperti kepiting rebus. “Eng-enggak ada, kok.”

Really?” Arthur menyipitkan mata tak percaya.

“Iya, enggak ada.” Tommy menelan ludah.

You seem like you’re hiding something. Tell me more! C’mon.” Arthur bahkan mengangkat kedua alisnya dengan menggoda.

Enggak ada, ih,” balas Tommy bersikukuh, tapi tak berani menatap mata Arthur. “Kamu sendiri emang ada orang yang ditaksir di sekolah?”

“Ada,” jawab Arthur mantap. “But it doesn’t mean I will tell you who. Tapi ada.”

Tommy menarik napas dan sedang mempertimbangkan untuk mengatakannya atau tidak. Sejauh ini Arthur sudah sangat baik dan pengertian sebagai seorang teman. Tommy malah menganggap Arthur ini sahabat, tanpa peduli apakah Arthur merasakan perasaan yang sama atau tidak. Namun menceritakan perasaan Tommy akan seseorang rasanya seperti menelanjangi diri sendiri hingga tak berdaya. Apalagi dari empat orang di sekolah yang Tommy sukai, salah satunya ya Arthur.

Okay, kalau gitu aku aja yang mulai,” kata Arthur tiba-tiba, terlalu lama menunggu respons Tommy. “Aku lagi punya perasaan berbeda sama satu orang. Orang itu enggak tahu aku mikirin dia setiap hari, dan aku juga enggak ngungkapin perasaanku atau apa, jadinya dia enggak tahu. Which is fine. Tapi dari semua orang baru yang kutemui di sekolah itu, ini orang lebih sering kupikirkan dibandingkan semua orang yang lain. Mungkin suatu hari aku bakal ngungkapin perasaanku ... or maybe not. It depends on the situation, I guess.”

Tommy tak bisa memungkiri bahwa dia merasa sedikit cemburu pada siapa pun itu yang disukai Arthur. Namun Tommy tahu diri, bahwa bukan haknya untuk merasa tak suka pada orang tersebut. Tommy bukan siapa-siapanya Arthur. Hanya teman sebangku saja di sekolah.

Why?” tanya Tommy akhirnya, setelah berhasil menguasai diri.

I don’t know. Maybe because this is still an early stage. Aku juga belum begitu yakin aku suka sama dia atau enggak. Tapi sosok dia ada dalam kepalaku lumayan sering.”

“Bilang aja atuh. Pasti dia mau,” usul Tommy.

Enggak sesimpel itu, Tom.”

“Orangnya ada di kelas kita?” desak Tommy, tiba-tiba merasa harus kepo tentang cewek paling beruntung sedunia ini.

Arthur menghela napas, menimang-nimang apakah perlu menjawab pertanyaan itu atau tidak. Dengan yakin, dan sambil menatap mata Tommy serius, “Yes,” jawab Arthur mantap.

“Sama,” kata Tommy tiba-tiba, mungkin adrenalinnya terpacu akan rasa cemburu.

Arthur mengerutkan alis. “Sama dalam artian ... kamu naksir seseorang di kelas kita?”

Oh, shit, batin Tommy. Apa yang harus kulakukan?

Tommy mengatakan sama hanya gara-gara kesal karena orangnya ternyata ada di kelas IBB. Dari yang kemungkinan awal adalah ratusan orang di SMA 44, sekarang menjadi hanya 24 saja anak perempuan di kelas IBB. Yang berarti Arthur bertemu dengan cewek itu setiap hari. Mungkin sebenarnya mereka saling memberi kode di dalam kelas. Kode intim, di mana hanya mereka yang tahu. Atau mungkin setiap malam mereka chatting-an sebelum tidur. Atau video call. Jenis-jenis video call yang diakhiri dengan, “See you tomorrow at class, Dear.” Dan entah mengapa Tommy sebal membayangkannya.

Tommy cemburu. Tommy mengakui itu kepada dirinya sendiri.

“Y-ya!” jawab Tommy atas pertanyaan Arthur tadi. Dan dengan bodohnya—mungkin karena tidak mau kalah—Tommy menambahkan, “Aku naksir empat orang di sekolah.”

Arthur membelalak. “Wow. That’s cool!” Arthur sampai bertepuk tangan. “Semuanya ada di kelas kita?”

“Ada dua yang di kelas kita,” jawab Tommy. “Eh, satu aja yang pasti di kelas kita. Satu lagi sering masuk kelas kita.”

Arthur tampak tak paham.

Empat orang yang ditaksir Tommy tentu saja Arthur, Jerome, Miza, dan Pak Anto. Jerome dan Miza tidak berada di kelas IBB setiap hari. Arthur ada di kelas IBB setiap hari. Sementara Pak Anto, hanya beberapa kali seminggu ada di kelas IBB. Namun seharusnya Tommy tak mengatakan soal itu, karena justru jadi mencurigakan.

“Kamu mau poligami?” tanya Arthur sambil terkekeh.

Enggak, lah.” Tommy mengangkat dagunya. “Aku cuma ... yah, terbuka sama pilihan.”

Gotta be honest, that’s bold, Dude!” Arthur tersenyum lebar, menatap Tommy dengan sangat serius, kemudian mulai mencondongkan tubuhnya, “So tell me more about these lucky people!

Tommy menelan ludah. Dia ingin sekali bercerita, tapi bagaimana bercerita tanpa Arthur tahu dirinya masuk salah satunya, atau ternyata keempat-empatnya laki-laki? “A-apa yang mau k-kamu tahu?”

Arthur mengangkat bahu. “Apa pun yang kamu mau cerita. Misalnya, are they good looking?

“I-iyalah!” sahut Tommy percaya diri. “Mereka semua ... ngng ... cantik-cantik! Seperti bidadari.”

Harusnya aku enggak nambahin kata bidadari, batin Tommy. Harusnya aku juga enggak bilang cantik. Toh pertanyaan Arthur kan ‘good looking’. Harusnya jawab semuanya good looking. Dasar bodoh kamu Tommy!

Nice start!” balas Arthur. “Lanjut!”

Dan kebodohan-kebodohan Tommy pun terus bermunculan. Tommy mulai bercerita setengah jujur setengah bullshit sepanjang malam itu. “Yang satu orangnya dewasa. Aku suka dia karena sering pinjamin baju?”

“Baju?”

“M-maksud aku buku!” sergah Tommy buru-buru. “Yah, buku! Buku untuk belajar! Haha.”

Obrolan itu benar-benar canggung bagi Tommy. Dia telanjur mengatakan satu gebetannya anak OSIS, dan satu gebetannya senang traveling. Tommy tak tahu bagaimana menghentikan dirinya sendiri. Arthur tampaknya sudah bisa melihat gambaran besar semua orang yang Tommy sukai.

“Dan yang satu ... dia orangnya baik,” kata Tommy, tak berani menatap mata Arthur karena mata itulah yang Tommy maksud. “Orangnya senang membantu dan menolong. Aku lihat dia orangnya tulus, kalau bantu orang enggak pilih-pilih. Senyumnya selalu lebar dan manis. Senyum itu juga sering dia bagikan kepada orang-orang tanpa kecuali.”

Wow, I like this girl,” kata Arthur. “Apa cewek yang terakhir ini yang ada di kelas kita?”

Tommy menatap Arthur sejenak, mengamati wajah malaikat itu, kemudian memutuskan untuk menggelengkan kepala. “Bukan.”

Seorang transpuan pengamen pinggir jalan muncul untuk bernyanyi di dalam warung tenda. Suaranya enggak bagus-bagus amat, apalagi instrumen musiknya hanya kecrekan yang tidak punya harmoni. Namun Arthur tetap tersenyum lebar sambil menikmati penampilan transpuan itu, tampak terhibur. Sementara Tommy, yang punya agenda untuk tidak membeberkan bahwa dia gay, mencoba untuk jijik melihatnya.

“Ih, bencong!” bisik Tommy sambil mendelik. Dia mempelajari ini dari semua cowok yang selalu merundungnya pada masa lalu. Tommy beranggapan, beginilah seharusnya seorang cowok bereaksi atas kemunculan transpuan di ruangan.

Namun Arthur malah mengerutkan alisnya bingung. “Lalu?”

Sekarang Tommy bingung karena Arthur tampaknya tidak sefrekuensi dengan dirinya. Namun Tommy masih berkeyakinan bahwa menunjukkan rasa jijik kepada banci adalah penting untuk identitas diri sebagai laki-laki.

“Dia kan laki-laki. Pake baju perempuan,” bisik Tommy lagi.

Arthur masih tampak bingung. “Of course. That’s they way she entertains people. What’s the matter with that?

“Laki-laki kan nggak boleh pake baju perempuan, Thur. Haram.”

Arthur tampak tersinggung. Jadi kini, Tommy yang kebingungan karena Arthur tampak tidak sependapat dengan dirinya.

Agar tidak terjadi salah paham, Tommy mencoba menambahkan, “Dia kan bisa aja pake baju cowok. Ngapain harus pake baju cewek buat nyanyi doang? Enggak ada kaitannya.”

“Dia bisa jadi sedang menghidupi seorang anak di rumahnya. Atau seorang teman. Dan yang dibutuhkan olehnya hanya berkreasi dalam ekspresi yang dia inginkan,” balas Arthur tanpa bahasa Inggris sama sekali. Dan ini jarang terjadi.

“Ya berarti dia LGBT,” balas Tommy, tetap bersikukuh mendegradasi komunitasnya sendiri.

Okay, by the way, ini udah jam sepuluh malam. We better get going,” kata Arthur terdengar agak defensif sambil berdiri dan mengeluarkan uang. Arthur merasa tak nyaman dengan topik yang sedang berlangsung. “This one is on me.” Dia membayar roti bakar mereka, bahkan menyelipkan uang lima puluh ribu untuk banci yang mengamen itu.

Yaolo Aa ganteeeng ...! Nuhun pisan! Mugi-mugi dilancarkeun rejekina nya, A!” balas si banci sambil mencoba mengirimkan kiss bye ke arah Arthur.

Tommy kaget melihat Arthur bisa tersinggung seperti. Salahku di mana? batin Tommy. Karena sekarang suasana menjadi sangat-sangat canggung.

Tommy dan Arthur berjalan kaki menyusuri Jalan Dipati Ukur, berbelok ke sebuah jalan perumahan yang sepi dengan banyak pepohonan di pinggir jalan. Jalan ini menembus langsung ke Jalan Dago, di sana keduanya bisa menaiki angkot atau memesan ojek online dengan lebih mudah. Tak ada obrolan akrab seperti yang terjadi berjam-jam sebelumnya. Tommy dan Arthur berjalan berdampingan dalam diam. Dalam nuansa yang tidak nyaman.

Keduanya tenggelam dalam pikiran masing-masing, melamun mengamati jalan yang sepi dan gelap, dilalui oleh satu atau dua sepeda motor saja setiap lima menit. Lampu-lampu teras menyala, tetapi lampu kamar setiap rumah sebagian besar sudah padam. Nyaris tidak ada aktivitas signifikan terjadi di jalan ini.

Setelah melewati sebuah pohon besar dan lampu jalanan yang pijarnya padam, seekor anjing menggonggong dari balik pagar sebuah rumah.

“GUK! GUK! GUK!” Suaranya keras sekali, seolah-olah ingin menerkam pencuri.

Tommy berhenti berjalan. Lututnya gemetar.

“Kenapa?” tanya Arthur ikut berhenti.

“Aku ....” Tommy menelan ludah. “Aku ... takut anjing.”

Arthur menatap ke arah rumah di mana anjing itu aktif menggonggong. “Don’t be silly. Anjing itu ada di dalam rumah. It’s okay.”

Namun Tommy menggeleng. Benar-benar ketakutan.

Tiba-tiba, Arthur mengulurkan tangannya ke arah Tommy. “Hold my hand.

“Apa?”

“Pegang tanganku. Kita lewatin rumah itu bareng-bareng. It’s gonna be alright.” Senyum itu akhirnya terukir lagi di wajah Arthur setelah beberapa menit penuh bisu. Bahkan dalam remang-remang malam, senyum itu tetap terasa hangat.

Dengan jantung berdebar, Tommy meraih uluran tangan itu. Alasan pertama tentu saja karena dia ketakutan. Namun setelah telapak tangannya menyentuh tangan atlet berprestasi itu, Tommy merasakan kehangatan yang sama seperti saat dipeluk Arthur di dalam tenda.

Don’t worry. It’s okay,” bisik Arthur.

Arthur menarik Tommy dengan hati-hati melewati rumah yang berisik itu. Genggaman tangannya kokoh dan kuat. Tiba-tiba saja Tommy merasa terlindungi, padahal Arthur hanya menggenggam tangannya. Keduanya melewati rumah itu dengan aman. Beberapa rumah dari rumah anjing tersebut, suara gonggongan itu hilang.

See? It’s fine,” kata Arthur mengusap kepala Tommy dengan satu tangannya yang lain.

Karena ... genggaman tangan itu tak pernah Arthur lepaskan hingga mereka tiba di Jalan Dago. Keduanya berjalan berdampingan, tangan saling menggenggam, lengan saling bergesekan. Semakin dekat dengan Jalan Dago, Tommy dapat merasakan Arthur semakin mengeratkan genggaman tangan itu. Jempol Arthur mengusap-usap punggung tangan Tommy.

Seolah-olah ingin mengatakan, “Don’t worry. I’m here.


To be continued ....


<<< Part 23  |  Nude  |  Part 25 >>>

2 komentar:

  1. Awalnya gw gak terlalu suka sosok Tomy sampai pada akhirnya .. Tomy adalah gambaran diri gw sendiri.. berfikir Tomy egois bla bla bla.. dan perlahan mengagumi sosok Karyo yg sabar dan pengertian... sampe di titik ini gw baru sadar Tomy adalah gambaran para gay milenial yg sedang mencari jati diri dan melindungi dirisendiri dari cemoohan lingkungan... terimakasih bang Mario ceritanya sungguh membuka wawasan .. bukan hanya bagus tapi penuh pembelajaran dan juga arti... gw selalu kagum sama karya bang mario.. ini bukan pujian tercetus begitu saja yaa.. tapi beneran kagumm .

    BalasHapus
  2. emang bener ini ceritanya relatif banget, simple Dan berkesan, Aku suka setiap scene Dari cerita ini, makasih kak

    BalasHapus

Nude 33

  ssendrawkwA emitefiL .33     Pada suatu pagi lima tahun lalu, Miza bangun lebih pagi dari biasanya meski semalaman tak bisa tidur. D...