hcuoT ylnevaeH .32
Sudah beberapa hari sejak kakinya
sembuh dan bisa digerakkan secara normal. Jerome sudah aktif lagi di OSIS untuk
persiapan pemilihan Ketua OSIS baru dari angkatan XI termasuk penerimaan
anggota OSIS baru dari kelas X. Lututnya juga sudah bisa digunakan untuk
menopang tubuhnya, sehingga kemarin sore Jerome berhasil menggenjot kekasihnya
Sheena di kamarnya tanpa masalah apa pun.
Sudah beberapa hari pula Jerome
tak bertemu Tommy di kediamannya. Sedikit banyak, dia kehilangan satu sosok
dari sekolahnya yang siap mendengarkan keluh kesahnya yang manja, seraya
kakinya dibuat nyaman oleh pijatan-pijatan. Jerome menyukai bocah itu. Dalam
artian, bocah itu hanya menurut saja apa pun yang diperintahkan Jerome, tanpa
protes sekali pun, tanpa mengeluh sedikit pun. Jerome maki-maki atau banting
bantal di kamar pun, Tommy sudah seperti pembantunya yang lain di rumah. Poin
plusnya, Tommy adalah satu-satunya manusia di sekolahnya di mana Jerome dapat
menjadi diri sendiri.
Rabu sore itu Jerome mengikuti
latihan basket bersama ekskulnya. Ada pertandingan lokal dengan SMA negeri di
Jalan Rajamantri Kulon dan seperti biasa Jerome terpilih menjadi anggota inti.
Sebenarnya, Jerome enggak
berbakat-bakat amat bermain basket. Namun sang pelatih tahu, kehadiran Jerome
menarik minat banyak anak perempuan. Kalau penonton ceweknya banyak, memberikan
semangat bagi anggota basket yang lain. Jadi seringkali Jerome diikutsertakan
demi pendukung meriah dan suntikan semangat, meskipun dari sepuluh kali
percobaan three points shot, Jerome
gagal melakukan sepuluh-sepuluhnya.
Begitu latihan selesai, Jerome
merasa tubuhnya pegal-pegal. Ternyata keseleonya belum sembuh-sembuh amat,
sehingga Jerome agak berhati-hati saat berlari. Karena terlalu berhati-hati,
energi yang keluar lebih banyak dari seharusnya. Alhasil Jerome capek bukan
main. Dia berencana molor hingga pagi begitu sampai di rumah nanti. Namun saat
Jerome selesai mandi dan berjalan menyusuri koridor sambil mengirim pesan
Whatsapp ke Pak Yanto untuk menjemput, dia melihat Tommy baru saja keluar dari
perpustakaan bersama tiga orang teman sekelasnya.
“Jadi aku cuma ngerangkum aja yang
udah kalian kumpulin?”
“Kita tadi juga udah ngerangkum
poin-poinnya, kok. Kayaknya enggak
akan susah buat kamu.”
“Iya, Cok. Organisasi sosial dalam
kebudayaan kayaknya sama dengan sistem pemerintahan lokal,” ujar Tommy ke
teman-temannya.
Jerome punya ide. Mungkin sebelum
tidur, dia bisa dipijat dulu sampai keenakan, sehingga tidurnya lebih plong.
Karena Jerome tahu Tommy diajari ayahnya segala jenis pijat, berarti bisa dong
bocah itu memijat punggung dan kepala juga supaya lebih enakan?
Dengan langkah pasti, Jerome
melompat menghampiri empat murid baru dari kelas IBB itu. “Heeey ... kalian
belum pulang?” sapanya sangat ramah dan menyenangkan.
“Eh, Kak Jerome! Yes, we are not coming home yet,” balas
bocah yang mendadak wajahnya berbinar riang seperti sedang melihat malaikat.
Jerome tak paham mengapa bocah itu bertingkah seperti itu. Atau mengapa dia
harus menggunakan bahasa Inggris. “We are
studying group the anthropology, Kak Jerome.”
“Oh, okay. Masih ada orang di perpus?” Jerome mengedikkan kepala ke
ruangan penuh buku di belakang mereka.
“No, we are last-last people,” jawab bocah itu lagi.
“Keren! Rajin banget kalian
belajar sampe sore.” Jerome mengacungkan jempol dengan senyum lebar nan manis.
Jenis-jenis senyum menggemaskan yang bikin meleleh. “By the way, Tommy ada acara sore ini?”
Tommy membelalak terkejut. “Aku?”
Dia melihat dulu ke arah teman-temannya sebelum menjawab, “Enggak ada kayaknya, Kak. Barusan
udah beres sih nyari materi tugasnya.”
“Wah, kebetulan!” Jerome memegang
bahu Tommy. “Bisa ikut ke rumah saya lagi, enggak? Biasa, lah .... massage.”
Tommy mempertimbangkan sejenak
kemudian mengangguk mantap. “Oke, Kak. Boleh.”
Sore itu, Tommy juga berada dalam
Pajero Sport menuju kediaman Jerome di Buah Batu. Tommy tidak langsung memijat
Jerome di dalam mobil. Bahkan, Tommy diabaikan oleh Jerome yang malah asyik
memainkan ponsel sepanjang perjalanan. Beberapa kali Jerome mengeluh kecapean gara-gara
banyak rapat OSIS ditambah latihan basket barusan.
Sehingga Tommy menanyakan, “Kakak
mau pijat full body?”
“Iyalah,” jawab Jerome ketus di
dalam mobil. “Udah jangan ganggu gue. Gue lagi balesin komen di Instagram.”
Sesampainya di kamar, Jerome langsung
pergi ke kamar mandi dan buang air kecil. Ketika dia menghambur masuk ke
ruangannya, bocah itu sudah otomatis menyalakan diffuser Young Living dengan wangi lemongrass yang menenangkan. Beberapa mangkuk berisi minyak yang
sudah ditetesi essential oil ditata
rapi di meja dekat tempat tidur. Sebuah kain panjang yang biasanya disediakan
Nyonya Yulia setiap Jerome akan dipijat, juga sudah dihamparkan di atas tempat
tidur, memanjang dari kepala hingga ke kaki ranjang. Dua lipat handuk sudah
tersedia di bagian lain tempat tidur.
Jerome tersenyum sebelah. Dia
merasa punya terapis pijat pribadi. Mungkin inilah yang Jerome suka. Tommy tak
banyak bicara. Segala keperluannya untuk pijat disiapkan dengan inisiatif dan
mandiri.
Tommy sedang membasahi handuk
dengan air hangat di dalam kamar mandi ketika Jerome melepaskan kaus dan
celananya. “Pake apa nih gue?” tanya Jerome dari luar.
“Senyamannya
Kakak aja,” balas
Tommy.
Karena Jerome pikir pijat full body berarti seluruh bagian tubuh
akan dipijat, Jerome menelanjangi dirinya hingga bulat. Dengan santai Jerome
melompat ke atas tempat tidur, telungkup sambil memainkan ponsel. Pantatnya
yang menggembung teracung ke mana-mana.
Tommy masuk perlahan-lahan ke dalam kamar,
agak kaget melihat Jerome telanjang bulat. Jerome menoleh dan keheranan.
“Kenapa lo?”
Tommy menggeleng. “Enggak apa-apa, Kak,” balasnya,
sambil menunduk tak berani melihat Jerome.
“Elo risih gue bugil?”
Tommy menggeleng lagi.
“Ya udah nyantai aja! Sama-sama
cowok ini.” Jerome berdecak heran.
Jerome kembali ke ponselnya. Dia
merasakan pantatnya tiba-tiba ditutupi oleh sebuah kain tipis yang juga
disediakan ibunya sejak awal Tommy datang untuk memijat. Kaki Jerome mulai
terasa nyaman oleh handuk hangat yang ditekan Tommy dengan lembut. Jerome sampai mendesah, “Aaahhh ...,” karena
perlakuan itu benar-benar profesional.
Jerome menyukai sesi massage. Setiap liburan ke pantai atau
ke tempat-tempat tropis yang panas, keluarganya selalu memesankan paket spa
seharian untuk merilekskan tubuh. Seringnya di pinggir pantai. Di sebuah vila
mahal, dengan pemandangan tebing-tebing curam pinggir samudra, dan lautan luas
berwarna biru. Pohon-pohon kelapa menari-nari selama sesi pemijatan.
Debur-debur ombak menjadi suara latar sesi terapi yang menenangkan.
Apa yang dilakukan Tommy persis
seperti apa yang dilakukan semua terapis profesional yang pernah menangani
Jerome. Menghamparkan kain, menutup pantat dengan kain (biasanya Jerome masih
mengenakan celana dalam karena yang memijatnya perempuan), menekan-nekan dengan
handuk hangat, hingga memulai dari bagian kaki terlebih dahulu. Massage full body adalah salah satu
paket yang sering diambil Jerome sekeluarga, perawatan dari ujung kaki hingga
ujung kepala. Ketika naik tangga tadi, Jerome sudah mewanti-wanti Tommy,
“Semua, ya. Dari atas sampe bawah dipijat. Elo harus bikin seluruh badan gue
rileks!” Tommy hanya mengangguk sambil menunduk.
Melepas celana dalam dan
bertelanjang bulat adalah salah satu usahanya mewujudkan massage full body. Biasanya, para terapis memijat hingga ke daerah dekat pantat. Dan
minyaknya itu sering mengotori celana dalam Jerome. Maka dari itu, kalau malam
ini dilepas semua, tidak akan ada minyak yang tumpah ke celana dalamnya.
Apalagi Tommy sudah dengan inisiatif menghamparkan kain pelapis di atas tempat
tidur. Sekalian saja seluruh badan diminyaki, betul?
Tommy menghabiskan waktu cukup
banyak di bagian kaki, memijat beberapa titik berulang-ulang. Entah mengapa,
Jerome merasa nyaman dengan pijatan itu. Tidak terlalu keras, tidak terlalu
lembut. Tiba-tiba saja Jerome merasa rileks, padahal sesi pijat baru dimulai
sekitar dua puluh menit.
Naik ke betis, Jerome mulai merasa
sangat nyaman di atas tempat tidur. Jari-jemari Tommy seolah-olah tahu di
bagian mana Jerome merasa pegal dan lelah gara-gara latihan basket tadi. Usapan
tangan itu bergerak naik turun dengan minyak yang menghangatkan kulit. Apalagi
Tommy tahu persis soal keseleo yang dialami Jerome, sehingga khusus pada kaki
bekas keseleo, ada tekanan khusus yang pas sesuai dengan yang Jerome inginkan.
Jerome semakin menyukai bocah ini.
Mungkin Jerome akan mempertimbangkan mengangkatnya menjadi asisten pijat
pribadi, lalu membayarnya dengan harga pantas. Kapan hari Jerome bertanya
kepada Pak Yanto, sopirnya tentang di mana rumah Tommy. Katanya rumahnya jauh
ke utara Kota Bandung, mobil pun tidak dapat mencapai depan rumahnya karena
harus masuk gang kecil. Jerome simpulkan Tommy orang miskin. Mungkin tawaran
memijatnya secara berkala bisa menarik bagi Tommy.
Sekitar dua puluh menit bermain
dengan betis, Tommy pindah ke paha. Jerome masih ingin Tommy menekan-nekan
betisnya, sebenarnya, tetapi permainannya di paha pun tak kalah mantap. Jerome
tak malu lagi untuk mengekspresikan rasa enaknya atas pijatan Tommy. “Anjing,
enak!” desahnya sambil menghirup napas dalam, lalu mengembuskannya saat usapan
dari Tommy mengenai titik yang dituju.
Jerome lupa bahwa dia sedang sibuk
menggulir Instagram. Jerome kini meletakkan ponselnya di samping, memeluk
bantalnya sendiri, lalu menikmati pijatan itu. Aroma essential oil malah makin membuatnya ingin terlelap sambil memeluk
seseorang.
Masuk satu jam pertama, Tommy
pindah dari paha Jerome ke bagian punggung. Ini bagian yang terbaik dari sesi
pijat tersebut. Mungkin Jerome agak-agak masuk angin, karena semua titik-titik
pegal bisa disentuh oleh Tommy dan dilancarkan dengan mudah. Tak pernah Jerome
merasakan pijatan senyaman ini. Usapan tangan dari bawah punggung hingga ke
atas bahu sesekali membuat tubuhnya menggelinjang keenakan.
Tommy menghabiskan sekitar tiga
puluh menit di punggung Jerome, dan itu pun Jerome masih belum puas. Namun Jerome
menyerahkan sesi pijatan sepenuhnya kepada Tommy yang kini mulai memijat lengan
dan tangan Jerome. Sesekali Tommy bolak-balik kamar mandi untuk membasahi
handuk dengan air hangat. Dan setiap Tommy membalut permukaan kulit Jerome
dengan handuk hangat itu, sensasi nyaman langsung menyebar hingga ke perutnya.
Tommy tidak banyak bicara selama
memijat. Itu poin plus bagi Jerome, karena Jerome benci terapis yang terlalu
banyak bertanya.
Kini, sebagian besar bagian tubuh
Jerome sudah dipijat dengan nyaman, khususnya dari bagian belakang. Kaki,
betis, paha, punggung, lengan, dan kedua tangannya. Jerome menunggu kapan Tommy
akan memintanya untuk membalikkan badan. Namun saat Tommy kembali dari kamar
mandi membawa sehelai handuk hangat, bocah itu menyingkirkan kain yang tadi
menutupi pantat Jerome. Tiba-tiba handuk itu ditebarkan di atas permukaan
pantatnya, memberikan sensasi hangat yang menenangkan. Essential oil yang sama
juga ditumpahkan di atasnya, kemudian Jerome merasakan tangan-tangan Tommy
mengusap dan menekan pantat Jerome dengan gerakan memutar.
Jerome membelalak mendapati
pantatnya diperlakukan seperti itu. Bukan Jerome marah, melainkan pijatan itu
...
... terasa enak.
Jerome sudah membuka mulut untuk
bertanya, “Elo
ngapain?” tetapi dia mengatupkan lagi bibirnya. Tak pernah ada terapis yang
melakukan hal tersebut kepada Jerome.
Rupanya Tommy mulai memijat
lipatan paha Jerome dengan tekanan yang pas. Jemari itu menyusuri bagian-bagian
yang sensitif di bawah pantat, membuat Jerome merasa geli, tetapi gelinya
geli-geli nikmat. Jerome sampai memelotot karena tak percaya ada bagian
tubuhnya yang terasa begitu enak disentuh dan itu bukan di penisnya. Jerome
membiarkan Tommy memijat lembut garisan pantatnya, jempolnya menyentuh lubang
duburnya, dan itu pun terasa mendebarkan bagi Jerome.
Rasanya ... sungguh enak.
Geli-geli, tetapi nikmat.
Seolah-olah Jerome sedang berhubungan seks.
Apalagi ketika jempol Tommy
menyusuri belahan pantat itu ke bawah, menggelitik lagi lubang pantatnya,
bergerak memutar di lipatan paha, kemudian telunjuknya menyentuh lembut
permukaan kulit buah zakar Jerome. Ini
keterlaluan, batin Jerome. Sekarang
gue horny! Anjing!
Jerome menyadari kelaminnya sudah
mengeras di bawah sana. Masih tertindih oleh perutnya dan Tommy mungkin tak melihatnya.
Namun Jerome merasa malu. Jadi dengan panik, meski Jerome sedang menikmati
pijatan di wilayah itu, dia berkata, “Elo boleh pulang. Sana!”
“Apa?” Tommy kebingungan. Bocah
itu merasa dia belum menyelesaikan pekerjaannya.
“Pulang! Udah sore, nih. Elo emang enggak dicariin bokap nyokap lo?”
“Ta-tapi aku belum beresin—“
“Tinggalin aja! Sana pulang. Hus, hus!”
Dengan bingung, Tommy pun pergi meninggalkan semua setting-an bekas pijat. Jerome dapat mendengar Pajero Sport-nya meninggalkan rumah. Jerome pun mendesah lega dan memutuskan untuk berbalik terlentang. Napasnya memburu, seraya dirinya melihat kelamin yang mengacung itu. “Anjing, kok gue bisa ngaceng, ya?! Sialan tuh bocah!”
To be continued ....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar