Kamis, 25 Maret 2021

Nude 22


evoL dnilB .22

 

Kalau bisa, Tommy tak ingin satu kelompok bersama Karyo maupun Baharudin dalam tugas antropologi terbaru. Pak Anto meminta setiap murid di kelas IBB untuk membentuk satu grup yang terdiri dari empat orang. Boleh campur cowok-cewek, boleh homogen.

“Justru Bapak mau lihat, bagaimana konsep sosialis yang tercipta di kelas ini melalui siapa yang kalian pilih sebagai anggota kelompok,” kata Pak Anto. Apakah seseorang cenderung mencari kelompok dengan sesama jenis, atau lawan jenis, atau penuh tantangan, atau populer, atau tidak populer, atau sahabatnya sendiri, atau teman sebangkunya sendiri, atau mantan musuhnya saat outbond kemarin, dan lain sebagainya.

Marsella, Nikita, dan Olivia langsung berdiri dan menghampiri meja Tommy bahkan sebelum Pak Anto selesai bicara. Tentu saja bukan Tommy yang mereka tuju.

“Arthur, kamu sekelompok sama kita-kita, ya!” tegas Marsella. Tidak terdengar seperti pertanyaan.

Arthur mengangkat kedua alisnya, menoleh ke arah Tommy sejenak, lalu karena anaknya baik hati, Arthur menjawab, “Oke.”

“You’re welcome!” kata Marsella dan dayang-dayangnya seraya kembali ke tempat duduk.

Pak Anto terkekeh dari mejanya. “Kayaknya riset Bapak sudah bisa dimulai dari fenomena barusan.”

Siska dan Lusi lagi-lagi menggaet Keysha dan Evelyn. Selain karena mereka sudah cukup dekat sejak outbond lalu, Siska dan Lusi juga percaya satu-satunya cara meraih hati Arthur adalah dengan mendekati Keysha dan Evelyn. Karena pada seminggu pertama mereka sekolah setelah dilangsungkannya MOS, Tommy, Arthur, Keysha, dan Evelyn nyaris pergi barengan ke mana-mana di sekolah.

Tersisa Tommy, tentu saja. Kebingungan mau memilih siapa. Dia menoleh ke belakang berharap menemukan anak perempuan yang belum punya kelompok, tetapi tampaknya mereka semua langsung membentuk barisan begitu Marsella berhasil mendapatkan Arthur. Para cowok pun sudah saling memberi kode untuk sekelompok, tanpa satu pun memberikan kode kepada Tommy.

Ketika Tommy menoleh ke bagian lain kelas, oh shit, batinnya. Tinggal tersisa Karyo dan Baharudin. Duo banci itu juga sedang celingukan mencari teman kelompok di kelas, di mana tampaknya tak ada satu pun yang mau sekelompok dengan mereka. Karyo mendapati Tommy juga sendirian, sehingga Karyo melambaikan tangannya ke arah Tommy.

“Tom! Kamu udah punya teman sekelompok?” sapanya.

Tommy tidak menjawab sapaan itu. Tommy malah bergumam kecil, “Duh, aku malas.”

Yang rupanya didengar oleh Arthur. “Malas kenapa?”

Tommy menoleh sambil mengangkat bahu. “Karena mereka, kan you know ... ngondek.”

Arthur mengerutkan alisnya bingung. “Apa yang salah dengan ngondek?”

“Yaaa ... karena yang ngondek pasti ... LGBT.” Kata-kata Tommy terputus karena Karyo sudah tiba di meja mereka.

“Eh, Tom, kamu udah punya kelompok?”

Tommy meringis lebar. “Hehe ... belum,” jawabnya jujur.

“Mau gabung sama kita? Aku baru sama Udin doang, nih.”

Tommy mengedarkan pandangan untuk terakhir kali ke seluruh penjuru kelas, mencari setidaknya tiga orang yang juga sedang mengedarkan pandangan mencari teman kelompok. Namun semua orang tampaknya sudah mengobrol dengan kelompok masing-masing. Arthur bahkan meninggalkan kursinya untuk menghampiri Marsella dkk.

Dengan terpaksa, Tommy menjawab, “Ya udah.”

“Yaaay!” Karyo bertepuk tangan gembira. Baharudin yang melihat bahwa Karyo berhasil menggaet Tommy, langsung berjalan menghampiri mereka.

“Tapi kita baru bertiga. Siapa emangnya yang belum kebagian kelompok?” tanya Tommy.

“Cokro,” jawab Baharudin. “Dia hari ini kan nggak masuk buat rontgen kakinya yang keseleo kemarin. Otomatis dia sekelompok sama kita.”

“Oke, tampaknya kalian sudah dapat kelompok masing-masing, betul?” Pak Anto menyela di depan kelas, memerintahkan setiap murid berkumpul sesuai kelompoknya masing-masing. “Sekarang kita akan bagi tugas untuk masing-masing kelompok. Setiap kelompok harus presentasi sesuai dengan apa yang kalian ketahui tentang topik-topik berikut ini.”

Kelompok Tommy kebagian mencari tentang organisasi sosial, salah satu dari tujuh unsur kebudayaan yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat. Karyo mengajak kelompoknya berdiskusi sore itu juga agar proses pembuatan tugas seminggu ke depan bisa lebih mudah. Rencananya kelompok Tommy akan pergi ke perpustakaan sepulang sekolah.

Kebetulan, baik Tommy, Karyo, maupun Baharudin, tidak ada yang punya kegiatan sepulang sekolah. Mereka bertiga menghabiskan waktu di perpustakan mencari literatur kebudayaan tentang organisasi sosial. Karyo begitu berdedikasi dalam kerja kelompok ini. Baharudin juga kooperatif. Sehingga Tommy merasa tak enak untuk terus-menerus tenggelam dalam rasa benci terhadap kedua teman sekelasnya ini.

Tentu saja apa yang Tommy katakan soal Karyo dan Baharudin tak sepenuhnya benar. Tommy merendahkan mereka untuk melindungi diri sendiri. Tommy tak ingin Arthur berpikiran bahwa Tommy sama seperti Karyo dan Baharudin: ngondek, bencong, dan LGBT. Tommy punya teori, misal Arthur ternyata gay—karena di outbond kemarin memeluk Tommy sampai dua malam, pasti Arthur tipe-tipe yang suka cowok manly. Tommy membayangkan Arthur adalah gay sempurna yang maskulin, yang tak mungkin disentuh oleh gay ngondek. Dalam hidup Arthur, pasti dia dikelilingi sosok-sosok tegas nan maskulin, yang kalau Arthur harus bawa cowok ke rumah, cowok itu enggak boleh kayak perempuan.

Namun Tommy juga enggak bisa menyimpulkan 100% Arthur seorang gay. Yang cowok itu lakukan di outbond adalah membantu Tommy melewati malam yang dingin melalui pelukan. Bukan naksir atau horny sampai-sampai memeluk Tommy. Buktinya kemaluan Arthur tidak keras sekali pun saat memeluk Tommy dari belakang.

Itulah yang menjadi alasan mengapa Tommy masih menunjukkan antipati pada LGBT di depan Arthur. Tommy masih harus meraba-raba, di manakah posisi Arthur terhadap isu LGBT?

Snap!

Karyo menjentikkan jarinya di depan wajah Tommy. “Sist, why you daydreamed?

Tommy buru-buru menggelengkan kepalanya dan kembali ke buku yang sedang terbuka di hadapannya. Perpustakaan terlihat semakin sepi. Tadi rasanya masih ada beberapa kelompok murid sedang berdiskusi di meja sebelah. “Ke mana orang-orang?”

“Udah pada pulang, Shay,” sahut Baharudin sambil membalik satu halaman. “Jengong ngelamun deh makanya. Capcus kita selesaiin bahan-bahan yang mau dicari.”

Ember,” balas Karyo. “Barusan I call phone Cokro. Dia gapapa gabung sama kelompok kita. Tugas dia entar bikin conclusion-nya setelah kita susun urutan matery-nya.”

Endolita, em. Ada yang enggak sekong di kelompok kita,” kata Baharudin menyela.

“Hus!” Karyo mengibaskan tangan di depan Baharudin. “Jengong gitu ah, yey. Tommy juga bukan sekong.”

Alemooong,” sahut Baharudin sambil tertawa. “Sembuh, em? Ember.

Karyo mendorong bahu Baharudin, tetap tak setuju untuk menuduh Tommy bagian dari komunitas mereka, meski Tommy menunjukkan segala gejalanya. Tommy melihat dua usaha itu, yang setelah dipikir-pikir, bukanlah sikap yang salah juga. Tommy memahami mengapa Baharudin tetap menyindir Tommy soal jati diri sebenarnya, karena mungkin Baharudin hanya ingin berteman dengan real person. Dan Tommy juga berterima kasih kepada Karyo yang menghormati keputusan Tommy untuk tampil sebagai apa yang Tommy inginkan.

Tommy akui, rasanya sulit menjalani minggu pertama SMA menjadi orang lain—secara spesifik, menjadi cowok manly yang anti LGBT. Perubahan paling besar yang harus dihadapinya adalah berkurangnya sesi obrolan pageant bersama seseorang yang mungkin juga menyukai kontes kecantikan. Waktu SMP, Tommy punya beberapa teman banci yang juga penggemar pageant. Setiap hari mereka akan membahas pageant bersama, menggulir semua akun portal pageant di sosial media, menyerang penggemar pageant dari Filipina, memberikan voting sebanyak-banyaknya untuk perwakilan Indonesia di ajang kontes kecantikan internasional, menjelek-jelekkan Miss Grand International, bahkan mengumpulkan uang dan kabur bareng ke Jakarta untuk ikutan seminar bersama Natalie Glebova beberapa bulan yang lalu.

Hal itu tak bisa Tommy lakukan di sini. Mungkin belum. Namun jika Tommy bersikukuh pada sikapnya yang sok-sok macho seperti ini, kemungkinan besar selama tiga tahun ke depan dia tak akan membahas pageant dengan siapa pun. Tommy tidak tahu apakah Karyo atau Baharudin menyukai pageant atau tidak. Namun biasanya, gay mana pun, enggak masalah untuk diajak ngobrol pageant seminim apa pun pengetahuan mereka soal industri ini.

Jadi sore itu, minggu kedua semester baru di SMA, Tommy mengalah pada diri sendiri. Setidaknya di depan Karyo dan Baharudin, dia bisa jujur menjadi dirinya sendiri.

Setelah memastikan perpustakaan ini lebih sepi dibandingkan satu jam yang lalu (tampaknya sih iya karena mereka bertiga satu-satunya yang masih duduk di meja baca), Tommy pun berkata, “Aku seperti yang kalian kira, kok.”

“... waktu akikah julid-julid manjha, bareng—HAH?!” Baharudin yang sedang berbicara bersama Karyo soal aktivitas mereka minggu kemarin, langsung menyetop obrolannya. Baharudin dan Karyo langsung menoleh ke arah Tommy yang duduk di seberang meja.

Tommy menelan ludah. “Aku seperti yang kalian kira.”

“Soal kamu denial?” tanya Baharudin.

“Enak aja! Soal aku gay,” balas Tommy sambil mengerutkan alis. Kemudian, wajahnya melunak. “Yah, soal denial juga, sih. Tapi aku rasa kalian tahu alasanku apa melakukan itu.”

Yes, we are know,” kata Karyo, sambil memegang tangan Tommy. “We are understand your alibi.

“Terus kenapose kamu nggak mawar dideketin ama kita-kita?” desak Baharudin.

Tommy menghela napas. “Karena aku takut orang-orang tahu. Aku pilih SMA ini jauh dari zonasiku, lho asal kalian tahu. Istilahnya mah ....” Kemudian Tommy serasa mendengar ibunya sendiri berbicara, jadi dia segera meralatnya. “Intinya, sih ... aku pengin mulai hidupku fresh di sini. Aku udah capek dikatain bencong mulu dari kecil. Aku pengin orang-orang nganggap aku macho, atau normal, atau ... yah, kalian juga paham, lah.”

Tommy rasanya ingin menangis.

But it’s means, you are not honesty to yourself,” kata Karyo, mulai menggenggam tangan Tommy penuh simpati. “You are must to be honesty in yourself. You’re worthed. You are cannot to be lie to people about your truth color—

Yey bisa bahasa Indonesia aja, nggak?” kata Baharudin sambil menyikut Karyo. “Roaming aku nih sama bahasa Inggris aksen kamu itu.”

“Ck!” Karyo berdecak sambil memutar bola mata.

“Aku boleh request nggak? Tolong jangan bilang-bilang soal ini ke siapa pun. Hanya kalian yang tahu,” pinta Tommy sungguh-sungguh.

Karyo dan Baharudin berpandangan. “I am understand your meaning. Aku bisa jaga rahasia kamu, kok,” kata Karyo.

“Terus, aku harus gimandose? Pereus-pereus aku enggak tau?” tanya Baharudin.

Tommy mengangguk. “Please ....”

Obrolan itu mendadak disela orang. Di antara semua orang yang Tommy inginkan ada di sana, malah orang ini yang muncul di antara rak-rak buku perpustakaan.

“Anjing, homo kabeh!” Itu Revan. Tampak sedang mengumpulkan beberapa buku dalam pelukannya, berhenti di ujung lorong dekat meja Tommy, lalu menatap tiga banci itu sambil bergidik ngeri. “Saruana gening!”

“Revan, kamu enggak boleh bully Tommy,” kata Karyo membela. “Itu berdosa banget.”

“Siapa kamu, hah?!” bentak Revan sambil menunjuk Tommy, Karyo, dan Baharudin satu per satu. “Najis semua kalian ini. Najis mugoladoh! Tambah si Yana. Mana si Yana?!”

“K-kelas IIS,” balas Baharudin terbata-bata.

“Berarti di sekolah ada empat bencong laknat pembawa azab. Kamu téh gabung sama mereka?!” Revan menunjuk Tommy.

Tommy, yang merasa sangat ketakutan, mencoba menggelengkan kepala. “Ng-nggak!”

“Alah, tadi gé aing ngedengerin, kamu téh HOMO!” sentak Revan sambil tertawa jijik. “Anjing, bangsat kabeh!”

“Ssst! Jangan berisik, please!” sahut seseorang di meja jaga perpustakan di depan. “Ini perpus, ya. Bukan pasar.”

Revan bergegas pergi sambil bergidik lagi, menatap Tommy dan yang lainnya seperti sedang menatap kotoran manusia di pinggir jalan. “Hiiihhh ... Bu! Ini ada LGBT ngumpul di perpustakaan, Bu! Nularin virus Corona!”

Begitu Revan pergi ke luar perpustakaan membawa buku-buku pinjamannya, ketiga gay murid baru itu mendesah lega. Baharudin yang tampak paling lega. Embusan napasnya paling besar.

Karyo menyikutnya dan mengusap bahu Baharudin. “Udah, gapapa,” bisik Karyo.

“Tapi aku ... perasaanku ....”

“Ssst! Udah, ah!” Karyo bahkan mencubit bibir Baharudin sampai berhenti bicara.

“Kenapa?” tanya Tommy, yang juga sama-sama merasa lega. Diejek seperti barusan sudah sering dia alami saat SD dan SMP dulu. Mengalaminya lagi di SMA seperti membuka luka lama. Apalagi Revan melakukannya dengan sungguh-sungguh, seolah-olah Tommy ini kotoran hidup yang enggak seharusnya berada di sana. Dulu sih Tommy hanya dibuat malu sebagai anak cowok feminin. Namun Revan tampaknya naik level satu tingkat lebih tinggi.

Yang jadi pembeda adalah Tommy tak mengalaminya sendirian. Beban berat dan tekanan itu bisa dia bagi bersama Karyo dan Baharudin yang juga ada di sana ketika Revan merundungnya. Satu-satunya hal yang Tommy pelajari secara signifikan adalah Baharudin betulan tak bisa berkutik di depan Revan. Padahal Tommy kira Baharudin yang paling vokal menyuarakan pendapatnya. Seolah-olah, di antara mereka bertiga (atau berempat bersama Yana dari kelas IIS), Baharudinlah yang paling gagah berani melawan ketidakadilan.

Gapapa. Kayaknya kita going home aja, yuk?” tawar Karyo. “Toh, kita udah punya cukup banyak materinya di sini.”

Tommy tak membenci ide itu. “Oke.”

“Tapi gimandose kalau Revan masih di luar?” ujar Baharudin cemas. Dia tampak benar-benar ketakutan.

Tommy jadi tertarik bertanya, “Apa kamu pernah punya pengalaman nggak enak sama Revan waktu kalian SMP?”

Everybody is have not good experience with Revan when Junior High School,” kata Karyo.

“Aku enggak mau bahas itu!” ujar Baharudin sambil menutup telinganya. Tommy menyimpulkan pengalaman Baharudin bersama Revan benar-benar buruk.

“Ya udah, kita tunggu setengah jam, baru kita pulang,” usul Tommy menegaskan.

Setengah jam menunggu, akhirnya ketiga cowok itu keluar dari perpustakaan. Sekolah sudah sangat-sangat sepi. Penunggu perpustakaan pun mulai ngomel-ngomel karena mereka enggak pulang-pulang. Ketiganya memutuskan berjalan kaki ke jalan raya untuk menemani Tommy menaiki angkot. Karyo dan Baharudin biasanya menggunakan ojek online.

Namun baru setengah perjalanan menuju jalan raya, tepat di depan selokan di mana Tommy pernah terjerembap, Revan menghadang mereka. “Sambutlah! Bencong-bencong Bandung Selatan, pembawa azab gempa-gempa Indonesia!” Revan hanya sendirian. Dia tidak terlihat membawa buku-buku yang tadi dipinjamnya. Revan berjalan sambil memasukkan tangan ke dalam saku celana, tampak intimidatif dan berkuasa. Tak ada pasukan, tak ada bala bantuan. Dia muncul sendirian, tetapi siap menghabisi Tommy, Karyo, dan Baharudin hingga mampus.

Tommy dan teman kelompoknya berhenti berjalan. Mereka menelan ludah. Mereka bisa saja berbalik arah dan mengambil jalan terjauh menuju jalan raya. Namun mereka yakin, pada akhirnya, Revan bakal mengejar juga, kok.

“Kalian téh bisa lenyap aja enggak, sih?! Mampus, kek?” tanya Revan dengan bengis. Rahang Revan mengeras, tampak sangat benci dengan tiga orang di depannya.

“Salah kita apa sih sama kamu, Van?” tanya Tommy memberanikan diri, meskipun dia takut bukan main. Karyo, di sebelah Tommy, menyikut dan berdesis, “Sssh. Jangan dilawan.”

“Salah manéh nya jadi bencong, lah!” balas Revan. Cowok bertubuh besar dan berwajah garang itu menendang kerikil-kerikil kecil yang berada di tepi jalan. Tendangan kerikilnya mengenai tubuh Tommy, Karyo, dan Baharudin. Ketiga anggota kelompok antropologi itu langsung memalingkan muka dan mengangkat tangan untuk berlindung.

“Awww!” jerit Tommy, terdengar sangat feminin karena situasinya sedang panik.

Revan tiba-tiba berjalan mengambil sebongkah batu besar yang berada di dekat sebuah pohon palem. Dia mengacungkannya tinggi-tinggi seolah-olah siap menghantamkan batu itu ke mereka.

“Masuk!” titahnya, menunjuk selokan di sebelah mereka. Selokan itu berisi penuh oleh air yang kotor berwarna hitam legam.

“Tapi—“

“Masuk anjing!” Revan mengacungkan lebih tinggi batunya ke arah Tommy yang mencoba melawan. Membuat Tommy semakin menutup wajahnya dengan kedua tangan karena ketakutan.

Tommy melihat Baharudin segera masuk ke dalam selokan sambil menutup mata dan menangis. Karyo mengikuti dari belakang. “Kalian ngapain?” bisik Tommy.

Baik Karyo maupun Baharudin tidak menjawab. Bahu Baharudin berguncang karena dia sedang menangis, tetapi wajahnya tertutup oleh kedua tangannya. Karyo hanya bisa menunduk ketakutan sambil membiarkan tubuhnya kotor oleh air comberan hitam itu. Setengah tubuh Karyo dan Baharudin tenggelam di dalam selokan.

“Masuk!” sentak Revan. Batu itu sudah berada sangat tinggi di atas kepala Tommy. “Atau kepala manéh aing hancurkeun sampe rata!”

Karena Tommy punya pengalaman masuk comberan yang sama, dia pun dengan berat hati masuk ke dalamnya. Tommy benar-benar membenci Revan. Dia tidak memahami apa salahnya sampai-sampai pantas mendapatkan perlakuan seperti ini. Sedikit banyak Tommy rindu bully-an masa SMP, karena paling parah hanya ditertawakan sambil diejek saja, tidak sampai diancam pakai batu seperti ini.

Setelah Tommy menenggelamkan setengah tubuhnya ke dalam selokan, Revan membanting batu itu masuk ke comberan hingga air berbau busuk itu terciprat ke wajah dan seragam Tommy, Karyo, maupun Baharudin. Kemudian, Revan tertawa sambil meninggalkan ketiganya. “HAHAHA! Emang lebih pantas kalian di comberan! BUSUK KALIAN SEMUA!”

Lalu Revan pun berlalu sambil mengacungkan jari tengah ke arah ketiganya, juga terbahak-bahak puas. Tidak ada satu orang pun yang sedang lewat di sekitar mereka yang bisa membantu ketiganya. Jadi setelah Revan agak jauh, menghilang di jalan raya, Tommy naik ke permukaan lalu membantu Karyo dan Baharudin naik.

“Ayo, ikut aku!”

“Ke mana?” isak Baharudin dalam tangisan yang pilu. “Aku mau mati aja.”

“Ikut aku. Aku tahu tempat buat kita mandi dan pinjam baju.”

Sepuluh menit kemudian, ketiganya sudah berada di sebuah gang sempit, di ujung sebuah lorong, di depan beberapa rumah kontrakan mungil yang berhimpitan. Tommy mengetuk pintu dengan tegas, “Assalamu ‘alaikum, Pak Anto!” Yang punya rumah membuka pintu dan terkejut melihat tiga murid kelas X IBB-nya tampak sangat kotor dan baru oleh air comberan.

“Astagfirullah ... kenapa kalian?”

Tommy baru saja akan membuka mulut dan melaporkan bahwa Revan membuat mereka masuk ke dalam comberan, tetapi Karyo tiba-tiba memotong dan membual, “Kami bertiga lagi bercanda, terus masuk deh Pak ke selokan. Hehehe.”

“Kok bisa?”

“Sebenernya—“ kata Tommy, tetapi lagi-lagi dipotong oleh Karyo.

“Ya gitu Pak, dorong-dorongan gitu sambil bercanda, eh kami semua masuk, deh,” ungkap Karyo berdusta.

Pak Anto menggelengkan kepala. “Ya udah, buka sepatu kalian di sana, Bapak ambilkan handuk dan kalian mandi, ya! Nanti Bapak pinjamkan baju-baju Bapak untuk kalian pulang. Kebetulan laundry Bapak udah nyampe.”

Sekitar pukul lima sore, Tommy, Karyo, dan Baharudin sudah selesai mandi dan mengenakan kaus Pak Anto yang paling oke menurut mereka masing-masing. Pak Anto keluar untuk membelikan makanan sebagai camilan. Ketiga murid baru itu duduk menunggu di ruang tamu sambil mengeringkan rambut yang basah.

“Kenapa kamu nggak jujur sama Pak Anto?” desak Tommy heran.

Gapapa,” jawab Karyo, tak berani melihat mata Tommy.

“Apa yang kamu sembunyikan?”

Enggak ada.”

“Kalian takut Pak Anto menghukum Revan, lalu Revan tahu kalian mengadu ke Pak Anto, gitu?”

Karyo menyipitkan mata untuk mempertimbangkan pertanyaan Tommy. “Yah, mungkin begitu.”

Jelas bukan itu, batin Tommy. Ada hal lain yang mereka takutkan.

Baharudin tiba-tiba menyikut Karyo di tengah pembicaraan. Cowok itu sudah selesai menangis pilu. Sepanjang mandi pun masih menangis, belum lagi sepanjang perjalanan menuju rumah Pak Anto, di mana semua warga bisa melihat tiga anak SMA berbau busuk comberan dengan salah satu di antaranya tersedu-sedu. Karyo mengerutkan alisnya, “Kamu yakin?” bisiknya.

Baharudin mengangguk.

“Oke.” Karyo menarik napas. “Sebenarnya ... Udin suka sama Revan.”

Bagaikan petir menggelegar pada sore hari, Tommy membelalak selama beberapa detik dan terpana mendengar pernyataan itu. “Revan yang barusan? Yang bully kalian barusan?!”

Karyo mengangguk. “Revan cinta pertamanya Udin sejak SMP. Sampai hari ini Udin masih suka sama Revan. Makanya kalau Revan muncul, Udin enggak pernah bisa berkutik. Kami mau minta maaf,” ujar Karyo tulus. “Kamu jadi terbawa-bawa di-bully sama Revan.”

“Tapi dia yang nge-bully kamu! Yang bikin kita semua hidup dalam teror?!” pekik Tommy tak percaya. “Apa yang kamu lihat dari tukang bully macam begitu?!”

“Cinta enggak perlu melihat,” jawab Baharudin lemah. “Cinta hanya perlu merasakan.”

Karyo memegang pundak Tommy. “Sekali lagi kami minta maaf karena kamu terbawa-bawa bully-annya Revan. Waktu SMP, Udin pernah cium Revan pas kami lagi camping. Revan marah dan sejak saat itu nge-bully kami. Jadi ... maaf, ya.”


To be continued ....


<<< Part 21  |  Nude  |  Part 23  >>>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Nude 33

  ssendrawkwA emitefiL .33     Pada suatu pagi lima tahun lalu, Miza bangun lebih pagi dari biasanya meski semalaman tak bisa tidur. D...