evoL dnilB .22
Kalau bisa, Tommy tak ingin satu
kelompok bersama Karyo maupun Baharudin dalam tugas antropologi terbaru. Pak
Anto meminta setiap murid di kelas IBB untuk membentuk satu grup yang terdiri
dari empat orang. Boleh campur cowok-cewek, boleh homogen.
“Justru Bapak mau lihat, bagaimana
konsep sosialis yang tercipta di kelas ini melalui siapa yang kalian pilih
sebagai anggota kelompok,” kata Pak Anto. Apakah seseorang cenderung mencari
kelompok dengan sesama jenis, atau lawan jenis, atau penuh tantangan, atau populer,
atau tidak populer, atau sahabatnya sendiri, atau teman sebangkunya sendiri,
atau mantan musuhnya saat outbond
kemarin, dan lain sebagainya.
Marsella, Nikita, dan Olivia
langsung berdiri dan menghampiri meja Tommy bahkan sebelum Pak Anto selesai bicara.
Tentu saja bukan Tommy yang mereka tuju.
“Arthur, kamu sekelompok sama
kita-kita, ya!” tegas Marsella. Tidak terdengar seperti pertanyaan.
Arthur mengangkat kedua alisnya,
menoleh ke arah Tommy sejenak, lalu karena anaknya baik hati, Arthur menjawab,
“Oke.”
“You’re
welcome!” kata
Marsella dan dayang-dayangnya seraya kembali ke tempat duduk.
Pak Anto terkekeh dari mejanya.
“Kayaknya riset Bapak sudah bisa dimulai dari fenomena barusan.”
Siska dan Lusi lagi-lagi menggaet
Keysha dan Evelyn. Selain karena mereka sudah cukup dekat sejak outbond lalu, Siska dan Lusi juga
percaya satu-satunya cara meraih hati Arthur adalah dengan mendekati Keysha dan
Evelyn. Karena pada seminggu pertama mereka sekolah setelah dilangsungkannya
MOS, Tommy, Arthur, Keysha, dan Evelyn nyaris pergi barengan ke mana-mana di
sekolah.
Tersisa Tommy, tentu saja.
Kebingungan mau memilih siapa. Dia menoleh ke belakang berharap menemukan anak
perempuan yang belum punya kelompok, tetapi tampaknya mereka semua langsung
membentuk barisan begitu Marsella berhasil mendapatkan Arthur. Para cowok pun
sudah saling memberi kode untuk sekelompok, tanpa satu pun memberikan kode
kepada Tommy.
Ketika Tommy menoleh ke bagian
lain kelas, oh shit, batinnya. Tinggal tersisa Karyo dan Baharudin. Duo banci
itu juga sedang celingukan mencari teman kelompok di kelas, di mana tampaknya
tak ada satu pun yang mau sekelompok dengan mereka. Karyo mendapati Tommy juga
sendirian, sehingga Karyo melambaikan tangannya ke arah Tommy.
“Tom! Kamu udah punya teman
sekelompok?” sapanya.
Tommy tidak menjawab sapaan itu.
Tommy malah bergumam kecil, “Duh, aku malas.”
Yang rupanya didengar oleh Arthur.
“Malas kenapa?”
Tommy menoleh sambil mengangkat
bahu. “Karena mereka, kan you know ...
ngondek.”
Arthur mengerutkan alisnya
bingung. “Apa yang salah dengan ngondek?”
“Yaaa ... karena yang ngondek pasti ... LGBT.” Kata-kata Tommy
terputus karena Karyo sudah tiba di meja mereka.
“Eh, Tom, kamu udah punya
kelompok?”
Tommy meringis lebar. “Hehe ...
belum,” jawabnya jujur.
“Mau gabung sama kita? Aku baru
sama Udin doang, nih.”
Tommy mengedarkan pandangan untuk
terakhir kali ke seluruh penjuru kelas, mencari setidaknya tiga orang yang juga
sedang mengedarkan pandangan mencari teman kelompok. Namun semua orang
tampaknya sudah mengobrol dengan kelompok masing-masing. Arthur bahkan
meninggalkan kursinya untuk menghampiri Marsella dkk.
Dengan terpaksa, Tommy menjawab,
“Ya udah.”
“Yaaay!” Karyo bertepuk tangan
gembira. Baharudin yang melihat bahwa Karyo berhasil menggaet Tommy, langsung
berjalan menghampiri mereka.
“Tapi kita baru bertiga. Siapa
emangnya yang belum kebagian kelompok?” tanya Tommy.
“Cokro,” jawab Baharudin. “Dia
hari ini kan nggak masuk buat rontgen
kakinya yang keseleo kemarin. Otomatis dia sekelompok sama kita.”
“Oke, tampaknya kalian sudah dapat
kelompok masing-masing, betul?” Pak Anto menyela di depan kelas, memerintahkan
setiap murid berkumpul sesuai kelompoknya masing-masing. “Sekarang kita akan
bagi tugas untuk masing-masing kelompok. Setiap kelompok harus presentasi
sesuai dengan apa yang kalian ketahui tentang topik-topik berikut ini.”
Kelompok Tommy kebagian mencari
tentang organisasi sosial, salah satu dari tujuh unsur kebudayaan yang
dikemukakan oleh Koentjaraningrat. Karyo mengajak kelompoknya berdiskusi sore
itu juga agar proses pembuatan tugas seminggu ke depan bisa lebih mudah.
Rencananya kelompok Tommy akan pergi ke perpustakaan sepulang sekolah.
Kebetulan, baik Tommy, Karyo,
maupun Baharudin, tidak ada yang punya kegiatan sepulang sekolah. Mereka bertiga
menghabiskan waktu di perpustakan mencari literatur kebudayaan tentang
organisasi sosial. Karyo begitu berdedikasi dalam kerja kelompok ini. Baharudin
juga kooperatif. Sehingga Tommy merasa tak enak untuk terus-menerus tenggelam
dalam rasa benci terhadap kedua teman sekelasnya ini.
Tentu saja apa yang Tommy katakan
soal Karyo dan Baharudin tak sepenuhnya benar. Tommy merendahkan mereka untuk
melindungi diri sendiri. Tommy tak ingin Arthur berpikiran bahwa Tommy sama
seperti Karyo dan Baharudin: ngondek,
bencong, dan LGBT. Tommy punya teori, misal Arthur ternyata gay—karena di outbond kemarin memeluk Tommy sampai dua malam, pasti Arthur
tipe-tipe yang suka cowok manly.
Tommy membayangkan Arthur adalah gay
sempurna yang maskulin, yang tak mungkin disentuh oleh gay ngondek. Dalam hidup Arthur, pasti dia dikelilingi sosok-sosok
tegas nan maskulin, yang kalau Arthur harus bawa cowok ke rumah, cowok itu enggak boleh kayak
perempuan.
Namun Tommy juga enggak bisa menyimpulkan 100%
Arthur seorang gay. Yang cowok itu
lakukan di outbond adalah membantu
Tommy melewati malam yang dingin melalui pelukan. Bukan naksir atau horny sampai-sampai memeluk Tommy.
Buktinya kemaluan Arthur tidak keras sekali pun saat memeluk Tommy dari
belakang.
Itulah yang menjadi alasan mengapa
Tommy masih menunjukkan antipati pada LGBT di depan Arthur. Tommy masih harus
meraba-raba, di manakah posisi Arthur terhadap isu LGBT?
Snap!
Karyo menjentikkan jarinya di
depan wajah Tommy. “Sist, why you daydreamed?”
Tommy buru-buru menggelengkan
kepalanya dan kembali ke buku yang sedang terbuka di hadapannya. Perpustakaan
terlihat semakin sepi. Tadi rasanya masih ada beberapa kelompok murid sedang
berdiskusi di meja sebelah. “Ke mana orang-orang?”
“Udah pada pulang, Shay,” sahut
Baharudin sambil membalik satu halaman. “Jengong
ngelamun deh makanya. Capcus kita
selesaiin bahan-bahan yang mau dicari.”
“Ember,” balas Karyo. “Barusan I call phone
Cokro. Dia gapapa gabung sama
kelompok kita. Tugas dia entar bikin conclusion-nya setelah kita susun urutan matery-nya.”
“Endolita, em. Ada yang enggak sekong
di kelompok kita,” kata Baharudin menyela.
“Hus!” Karyo mengibaskan tangan di
depan Baharudin. “Jengong gitu ah,
yey. Tommy juga bukan sekong.”
“Alemooong,” sahut Baharudin sambil tertawa. “Sembuh, em? Ember.”
Karyo mendorong bahu Baharudin,
tetap tak setuju untuk menuduh Tommy bagian dari komunitas mereka, meski Tommy
menunjukkan segala gejalanya. Tommy melihat dua usaha itu, yang setelah
dipikir-pikir, bukanlah sikap yang salah juga. Tommy memahami mengapa Baharudin
tetap menyindir Tommy soal jati diri sebenarnya, karena mungkin Baharudin hanya
ingin berteman dengan real person.
Dan Tommy juga berterima kasih kepada Karyo yang menghormati keputusan Tommy
untuk tampil sebagai apa yang Tommy inginkan.
Tommy akui, rasanya sulit
menjalani minggu pertama SMA menjadi orang lain—secara spesifik, menjadi cowok manly yang anti LGBT. Perubahan paling
besar yang harus dihadapinya adalah berkurangnya sesi obrolan pageant bersama seseorang yang mungkin
juga menyukai kontes kecantikan. Waktu SMP, Tommy punya beberapa teman banci
yang juga penggemar pageant. Setiap
hari mereka akan membahas pageant
bersama, menggulir semua akun portal pageant
di sosial media, menyerang penggemar pageant
dari Filipina, memberikan voting
sebanyak-banyaknya untuk perwakilan Indonesia di ajang kontes kecantikan
internasional, menjelek-jelekkan Miss Grand International, bahkan mengumpulkan
uang dan kabur bareng ke Jakarta untuk ikutan seminar bersama Natalie Glebova
beberapa bulan yang lalu.
Hal itu tak bisa Tommy lakukan di
sini. Mungkin belum. Namun jika Tommy bersikukuh pada sikapnya yang sok-sok
macho seperti ini, kemungkinan besar selama tiga tahun ke depan dia tak akan
membahas pageant dengan siapa pun.
Tommy tidak tahu apakah Karyo atau Baharudin menyukai pageant atau tidak. Namun biasanya, gay mana pun, enggak
masalah untuk diajak ngobrol pageant
seminim apa pun pengetahuan mereka soal industri ini.
Jadi sore itu, minggu kedua
semester baru di SMA, Tommy mengalah pada diri sendiri. Setidaknya di depan
Karyo dan Baharudin, dia bisa jujur menjadi dirinya sendiri.
Setelah memastikan perpustakaan
ini lebih sepi dibandingkan satu jam yang lalu (tampaknya sih iya karena mereka
bertiga satu-satunya yang masih duduk di meja baca), Tommy pun berkata, “Aku
seperti yang kalian kira, kok.”
“... waktu akikah julid-julid manjha,
bareng—HAH?!” Baharudin yang sedang berbicara bersama Karyo soal aktivitas
mereka minggu kemarin, langsung menyetop obrolannya. Baharudin dan Karyo
langsung menoleh ke arah Tommy yang duduk di seberang meja.
Tommy menelan ludah. “Aku seperti
yang kalian kira.”
“Soal kamu denial?” tanya Baharudin.
“Enak aja! Soal aku gay,” balas Tommy sambil mengerutkan
alis. Kemudian, wajahnya melunak. “Yah, soal denial juga, sih. Tapi aku rasa kalian tahu alasanku apa melakukan
itu.”
“Yes, we are know,” kata Karyo, sambil memegang tangan Tommy. “We are understand your alibi.”
“Terus kenapose kamu nggak mawar
dideketin ama kita-kita?” desak Baharudin.
Tommy menghela napas. “Karena aku
takut orang-orang tahu. Aku pilih SMA ini jauh dari zonasiku, lho asal kalian
tahu. Istilahnya mah ....” Kemudian
Tommy serasa mendengar ibunya sendiri berbicara, jadi dia segera meralatnya.
“Intinya, sih ... aku pengin mulai hidupku fresh
di sini. Aku udah capek dikatain bencong mulu dari kecil. Aku pengin
orang-orang nganggap aku macho, atau normal, atau ... yah, kalian juga paham,
lah.”
Tommy rasanya ingin menangis.
“But it’s means, you are not honesty to yourself,” kata Karyo, mulai
menggenggam tangan Tommy penuh simpati. “You
are must to be honesty in yourself. You’re worthed. You are cannot to be lie to
people about your truth color—“
“Yey bisa bahasa Indonesia aja, nggak?” kata Baharudin sambil
menyikut Karyo. “Roaming aku nih sama
bahasa Inggris aksen kamu itu.”
“Ck!” Karyo berdecak sambil
memutar bola mata.
“Aku boleh request nggak? Tolong jangan bilang-bilang soal ini ke siapa pun. Hanya kalian yang tahu,” pinta
Tommy sungguh-sungguh.
Karyo dan Baharudin berpandangan.
“I am understand your meaning. Aku
bisa jaga rahasia kamu, kok,” kata Karyo.
“Terus, aku harus gimandose? Pereus-pereus aku enggak
tau?” tanya Baharudin.
Tommy mengangguk. “Please ....”
Obrolan itu mendadak disela orang.
Di antara semua orang yang Tommy inginkan ada di sana, malah orang ini yang
muncul di antara rak-rak buku perpustakaan.
“Anjing, homo kabeh!” Itu Revan. Tampak sedang mengumpulkan beberapa buku dalam
pelukannya, berhenti di ujung lorong dekat meja Tommy, lalu menatap tiga banci
itu sambil bergidik ngeri. “Saruana
gening!”
“Revan, kamu enggak boleh bully Tommy,” kata Karyo membela. “Itu berdosa
banget.”
“Siapa kamu, hah?!” bentak Revan
sambil menunjuk Tommy, Karyo, dan Baharudin satu per satu. “Najis semua kalian
ini. Najis mugoladoh! Tambah si Yana. Mana si Yana?!”
“K-kelas IIS,” balas Baharudin
terbata-bata.
“Berarti di sekolah ada empat bencong
laknat pembawa azab. Kamu téh gabung
sama mereka?!” Revan menunjuk Tommy.
Tommy, yang merasa sangat
ketakutan, mencoba menggelengkan kepala. “Ng-nggak!”
“Alah, tadi gé aing ngedengerin, kamu téh
HOMO!” sentak Revan sambil tertawa jijik. “Anjing, bangsat kabeh!”
“Ssst! Jangan berisik, please!” sahut seseorang di meja jaga
perpustakan di depan. “Ini perpus, ya. Bukan pasar.”
Revan bergegas pergi sambil
bergidik lagi, menatap Tommy dan yang lainnya seperti sedang menatap kotoran
manusia di pinggir jalan. “Hiiihhh ... Bu! Ini ada LGBT ngumpul di
perpustakaan, Bu! Nularin virus Corona!”
Begitu Revan pergi ke luar
perpustakaan membawa buku-buku pinjamannya, ketiga gay murid baru itu mendesah lega. Baharudin yang tampak paling
lega. Embusan napasnya paling besar.
Karyo menyikutnya dan mengusap
bahu Baharudin. “Udah, gapapa,” bisik
Karyo.
“Tapi aku ... perasaanku ....”
“Ssst! Udah, ah!” Karyo bahkan
mencubit bibir Baharudin sampai berhenti bicara.
“Kenapa?” tanya Tommy, yang juga
sama-sama merasa lega. Diejek seperti barusan sudah sering dia alami saat SD
dan SMP dulu. Mengalaminya lagi di SMA seperti membuka luka lama. Apalagi Revan
melakukannya dengan sungguh-sungguh, seolah-olah Tommy ini kotoran hidup yang enggak seharusnya berada di sana.
Dulu sih Tommy hanya dibuat malu sebagai anak cowok feminin. Namun Revan
tampaknya naik level satu tingkat lebih tinggi.
Yang jadi pembeda adalah Tommy tak
mengalaminya sendirian. Beban berat dan tekanan itu bisa dia bagi bersama Karyo
dan Baharudin yang juga ada di sana ketika Revan merundungnya. Satu-satunya hal
yang Tommy pelajari secara signifikan adalah Baharudin betulan tak bisa
berkutik di depan Revan. Padahal Tommy kira Baharudin yang paling vokal
menyuarakan pendapatnya. Seolah-olah, di antara mereka bertiga (atau berempat
bersama Yana dari kelas IIS), Baharudinlah yang paling gagah berani melawan
ketidakadilan.
“Gapapa. Kayaknya kita going
home aja, yuk?” tawar Karyo. “Toh, kita udah punya cukup banyak materinya
di sini.”
Tommy tak membenci ide itu. “Oke.”
“Tapi gimandose kalau Revan masih di luar?” ujar Baharudin cemas. Dia
tampak benar-benar ketakutan.
Tommy jadi tertarik bertanya, “Apa
kamu pernah punya pengalaman nggak enak sama Revan waktu kalian SMP?”
“Everybody is have not good experience with Revan when Junior High
School,” kata Karyo.
“Aku enggak mau bahas itu!” ujar
Baharudin sambil menutup telinganya. Tommy menyimpulkan pengalaman Baharudin
bersama Revan benar-benar buruk.
“Ya udah, kita tunggu setengah
jam, baru kita pulang,” usul Tommy menegaskan.
Setengah jam menunggu, akhirnya
ketiga cowok itu keluar dari perpustakaan. Sekolah sudah sangat-sangat sepi.
Penunggu perpustakaan pun mulai ngomel-ngomel karena mereka enggak pulang-pulang. Ketiganya
memutuskan berjalan kaki ke jalan raya untuk menemani Tommy menaiki angkot.
Karyo dan Baharudin biasanya menggunakan ojek online.
Namun baru setengah perjalanan
menuju jalan raya, tepat di depan selokan di mana Tommy pernah terjerembap,
Revan menghadang mereka. “Sambutlah! Bencong-bencong Bandung Selatan, pembawa
azab gempa-gempa Indonesia!” Revan hanya sendirian. Dia tidak terlihat membawa
buku-buku yang tadi dipinjamnya. Revan berjalan sambil memasukkan tangan ke
dalam saku celana, tampak intimidatif dan berkuasa. Tak ada pasukan, tak ada
bala bantuan. Dia muncul sendirian, tetapi siap menghabisi Tommy, Karyo, dan
Baharudin hingga mampus.
Tommy dan teman kelompoknya
berhenti berjalan. Mereka menelan ludah. Mereka bisa saja berbalik arah dan
mengambil jalan terjauh menuju jalan raya. Namun mereka yakin, pada akhirnya,
Revan bakal mengejar juga, kok.
“Kalian téh bisa lenyap aja enggak, sih?! Mampus, kek?” tanya Revan
dengan bengis. Rahang Revan mengeras, tampak sangat benci dengan tiga orang di
depannya.
“Salah kita apa sih sama kamu,
Van?” tanya Tommy memberanikan diri, meskipun dia takut bukan main. Karyo, di
sebelah Tommy, menyikut dan berdesis, “Sssh. Jangan dilawan.”
“Salah manéh
nya jadi bencong,
lah!” balas Revan. Cowok bertubuh besar dan berwajah garang itu menendang
kerikil-kerikil kecil yang berada di tepi jalan. Tendangan kerikilnya mengenai
tubuh Tommy, Karyo, dan Baharudin. Ketiga anggota kelompok antropologi itu
langsung memalingkan muka dan mengangkat tangan untuk berlindung.
“Awww!” jerit Tommy, terdengar
sangat feminin karena situasinya sedang panik.
Revan tiba-tiba berjalan mengambil
sebongkah batu besar yang berada di dekat sebuah pohon palem. Dia
mengacungkannya tinggi-tinggi seolah-olah siap menghantamkan batu itu ke
mereka.
“Masuk!” titahnya, menunjuk
selokan di sebelah mereka. Selokan itu berisi penuh oleh air yang kotor
berwarna hitam legam.
“Tapi—“
“Masuk anjing!” Revan mengacungkan
lebih tinggi batunya ke arah Tommy yang mencoba melawan. Membuat Tommy semakin
menutup wajahnya dengan kedua tangan karena ketakutan.
Tommy melihat Baharudin segera
masuk ke dalam selokan sambil menutup mata dan menangis. Karyo mengikuti dari
belakang. “Kalian ngapain?” bisik Tommy.
Baik Karyo maupun Baharudin tidak
menjawab. Bahu Baharudin berguncang karena dia sedang menangis, tetapi wajahnya
tertutup oleh kedua tangannya. Karyo hanya bisa menunduk ketakutan sambil
membiarkan tubuhnya kotor oleh air comberan hitam itu. Setengah tubuh Karyo dan
Baharudin tenggelam di dalam selokan.
“Masuk!” sentak Revan. Batu itu
sudah berada sangat tinggi di atas kepala Tommy. “Atau kepala manéh aing
hancurkeun sampe rata!”
Karena Tommy punya pengalaman
masuk comberan yang sama, dia pun dengan berat hati masuk ke dalamnya. Tommy
benar-benar membenci Revan. Dia tidak memahami apa salahnya sampai-sampai
pantas mendapatkan perlakuan seperti ini. Sedikit banyak Tommy rindu bully-an masa SMP, karena paling parah
hanya ditertawakan sambil diejek saja, tidak sampai diancam pakai batu seperti
ini.
Setelah Tommy menenggelamkan
setengah tubuhnya ke dalam selokan, Revan membanting batu itu masuk ke comberan
hingga air berbau busuk itu terciprat ke wajah dan seragam Tommy, Karyo, maupun
Baharudin. Kemudian, Revan tertawa sambil meninggalkan ketiganya. “HAHAHA!
Emang lebih pantas kalian di comberan! BUSUK KALIAN SEMUA!”
Lalu Revan pun berlalu sambil
mengacungkan jari tengah ke arah ketiganya, juga terbahak-bahak puas. Tidak ada
satu orang pun yang sedang lewat di sekitar mereka yang bisa membantu
ketiganya. Jadi setelah Revan agak jauh, menghilang di jalan raya, Tommy naik ke
permukaan lalu membantu Karyo dan Baharudin naik.
“Ayo, ikut aku!”
“Ke mana?” isak Baharudin dalam
tangisan yang pilu. “Aku mau mati aja.”
“Ikut aku. Aku tahu tempat buat
kita mandi dan pinjam baju.”
Sepuluh menit kemudian, ketiganya
sudah berada di sebuah gang sempit, di ujung sebuah lorong, di depan beberapa
rumah kontrakan mungil yang berhimpitan. Tommy mengetuk pintu dengan tegas,
“Assalamu ‘alaikum, Pak Anto!” Yang punya rumah membuka pintu dan terkejut
melihat tiga murid kelas X IBB-nya tampak sangat kotor dan baru oleh air
comberan.
“Astagfirullah ... kenapa kalian?”
Tommy baru saja akan membuka mulut
dan melaporkan bahwa Revan membuat mereka masuk ke dalam comberan, tetapi Karyo
tiba-tiba memotong dan membual, “Kami bertiga lagi bercanda, terus masuk deh
Pak ke selokan. Hehehe.”
“Kok bisa?”
“Sebenernya—“ kata Tommy, tetapi
lagi-lagi dipotong oleh Karyo.
“Ya gitu Pak, dorong-dorongan gitu
sambil bercanda, eh kami semua masuk, deh,” ungkap Karyo berdusta.
Pak Anto menggelengkan kepala. “Ya
udah, buka sepatu kalian di sana, Bapak ambilkan handuk dan kalian mandi, ya!
Nanti Bapak pinjamkan baju-baju Bapak untuk kalian pulang. Kebetulan laundry Bapak udah nyampe.”
Sekitar pukul lima sore, Tommy,
Karyo, dan Baharudin sudah selesai mandi dan mengenakan kaus Pak Anto yang
paling oke menurut mereka masing-masing. Pak Anto keluar untuk membelikan
makanan sebagai camilan. Ketiga murid baru itu duduk menunggu di ruang tamu
sambil mengeringkan rambut yang basah.
“Kenapa kamu nggak jujur sama Pak
Anto?” desak Tommy heran.
“Gapapa,” jawab Karyo, tak berani melihat mata Tommy.
“Apa yang kamu sembunyikan?”
“Enggak ada.”
“Kalian takut Pak Anto menghukum
Revan, lalu Revan tahu kalian mengadu ke Pak Anto, gitu?”
Karyo menyipitkan mata untuk
mempertimbangkan pertanyaan Tommy. “Yah, mungkin begitu.”
Jelas
bukan itu, batin
Tommy. Ada hal lain yang mereka takutkan.
Baharudin tiba-tiba menyikut Karyo
di tengah pembicaraan. Cowok itu sudah selesai menangis pilu. Sepanjang mandi
pun masih menangis, belum lagi sepanjang perjalanan menuju rumah Pak Anto, di
mana semua warga bisa melihat tiga anak SMA berbau busuk comberan dengan salah
satu di antaranya tersedu-sedu. Karyo mengerutkan alisnya, “Kamu yakin?”
bisiknya.
Baharudin mengangguk.
“Oke.” Karyo menarik napas.
“Sebenarnya ... Udin suka sama Revan.”
Bagaikan petir menggelegar pada
sore hari, Tommy membelalak selama beberapa detik dan terpana mendengar
pernyataan itu. “Revan yang barusan? Yang bully
kalian barusan?!”
Karyo mengangguk. “Revan cinta
pertamanya Udin sejak SMP. Sampai hari ini Udin masih suka sama Revan. Makanya
kalau Revan muncul, Udin enggak
pernah bisa berkutik. Kami mau minta maaf,” ujar Karyo tulus. “Kamu jadi
terbawa-bawa di-bully sama Revan.”
“Tapi dia yang nge-bully kamu! Yang bikin kita semua hidup
dalam teror?!” pekik Tommy tak percaya. “Apa yang kamu lihat dari tukang bully macam begitu?!”
“Cinta enggak perlu melihat,” jawab Baharudin lemah. “Cinta hanya perlu merasakan.”
Karyo memegang pundak Tommy. “Sekali lagi kami minta maaf karena kamu terbawa-bawa bully-annya Revan. Waktu SMP, Udin pernah cium Revan pas kami lagi camping. Revan marah dan sejak saat itu nge-bully kami. Jadi ... maaf, ya.”
To be continued ....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar