yparehT lausneS .12
Di antara segala jenis pijatan yang diajarkan Kang Asep, teknik pijat kejantanan baru diajarkan kepada Tommy belakangan. Kang Asep menunggu anaknya cukup umur terlebih dahulu agar dapat memahami mengapa jenis pijat ini juga penting. Selain karena pijat ini menuntut privasi tinggi, juga berkaitan dengan alat kelamin. Nyaris semua pasien tidak bersedia kelaminnya ditunjukkan kepada anak kecil. Sehingga Kang Asep pun tak pernah membawa Tommy pada setiap pijat kejantanannya bertahun-tahun terakhir.
Kini, Tommy sudah masuk SMA. Bagi
Kang Asep, umur Tommy sudah cukup untuk mengetahui pijat kejantanan. Beberapa
waktu lalu pada masa peralihan dari SMP ke SMA, Tommy dipanggil ke ruang TV
untuk ditanya baik-baik oleh ayah dan ibunya.
“Kan Aa téh udah gede, nya.
Istilahnya mah, udah bisa bertanggung
jawab sama diri sendiri. Udah dewasa,” mulai sang ibu, Teh Yanti. Sehari-hari,
Teh Yanti berprofesi sebagai pedagang nasi uduk. “Jadi istilahnya mah, Aa téh udah harus paham kebutuhan orang dewasa.”
“Enya, A,” kata Kang Asep menambahkan. “Udah begér begini mah udah kudu belajar hal-hal dewasa. Siga Mamah jeung Bapak.”
“Aa téh udah buluan, belum?” tanya Teh Yanti.
Tommy merasa jijik ditanya seperti
itu. “Apa sih Mamah dan Bapak téh?!”
“Eeehhh ... seriusan ieu mah,” kata Kang Asep. “Aa harus
jawab, udah buluan belum itunya?”
Tentu saja Tommy sudah memiliki
rambut-rambut pubis di sekitar kemaluannya. Sudah cukup banyak, malah. Pertama kali tumbuh saat umurnya
masih tiga belas tahun. Pada masturbasi pertamanya, rambut publis itu sudah tumbuh
lebat seperti kumis. Namun tidak berarti Tommy harus menjawab pertanyaan itu,
kan?
“Kayaknya mah udah sih, Pak,” ujar Teh Yanti sambil menoleh ke arah suaminya.
“Istilahnya mah, lanjut aja wé. Buluan atau enggak buluan, suatu hari si Aa kan
kudu tahu juga.”
“Enya, Mah.
Satuju,” balas Kang Asep. Dia menarik
napas panjang lalu mulai mengumumkan, “Mulai sekarang, Aa harus ikut Bapak
pijat kejantanan, yah.”
Tommy meringis ngeri. “Iyuh!” ringisnya. “Enggak mau!”
Bayangan awal Tommy, pijat
kejantanan adalah pijat untuk menjadikan seseorang jantan. Dalam artian, Tommy
yang ngondek harus dibuat manly. Karena ejekan bencong itu selalu
melekat dalam kepalanya, kata-kata kejantanan menjadi kata-kata sakral bagi
Tommy. Belum apa-apa Tommy sudah merasa gagal mempelajari pijat “kejantanan”,
karena Tommy tidak merasa jantan.
Namun setelah beberapa kali Kang
Asep membawa Tommy pada sesi pijat kejantanannya, Tommy baru paham bahwa
maksudnya adalah seksualitas. Tommy belum paham mengapa pijat itu harus
dilakukan, tetapi dia paham betul pijatnya fokus ke arah kemaluan
laki-laki—jadi sedikit banyak Tommy tertarik mempelajari.
Sayangnya, yang jadi tamu Kang
Asep kakek-kakek semua. Paling muda adalah bapak-bapak PNS dengan perut gendut
sebesar bantal dan kumis hitam legam nyaris menutupi bibir atasnya. Tidak ada
anak muda yang menjadi pasien pijat kejantanan Kang Asep, karena secara teknis
anak muda mana yang sudah punya masalah dengan “kejantanan”? Pijat ini memang
dipraktikkan bagi laki-laki yang memiliki masalah seksual gara-gara umur yang
sudah tua. Performa loyo, lah. Kemaluan enggak bisa ereksi, lah. Ejakulasi
dini, lah.
Tommy juga menyayangkan dirinya
tak memijat langsung kemaluan laki-laki dewasa itu. Selama liburan menyambut
MOS di SMA baru, mungkin ada sekitar enam tamu Kang Asep yang dilayani pijat
kejantanan di mana Tommy hadir untuk belajar. Tak satu pun dari enam tamu itu
menunjukkan kelaminnya. Mereka mengenakan celana dalam sepanjang sesi pijat,
dan Kang Asep tak sekali pun menyentuh kelamin itu. (Maka dari itu kemaluan
Cokro adalah kelamin pertama yang Tommy lihat secara langsung.)
Lama-lama, Tommy tak tertarik lagi
belajar pijat kejantanan. Apalagi ternyata teknik itu malah fokus di beberapa
titik di bagian kaki, juga usapan-usapan khusus sekitaran selangkangan. Tidak
ada yang namanya memijat batang ‘kejantanan’, seperti namanya.
Tiga hari setelah kejadian di
rumah Jerome, Kang Asep dan Teh Yanti tampaknya berencana mengajarkan Tommy
teknik lain dalam pijat kejantanan. Jujur saja Tommy malas mengikutinya. Pertama,
dia sedang enggak
mau melihat tubuh kakek-kakek telanjang. Kedua, dia sedang kasmaran kepada
Jerome—Tommy yakin visual kakek-kakek telanjang akan merusak segala jenis
visual tubuh telanjang Jerome.
Selama tiga hari terakhir Tommy
masturbasi tiga kali sehari, sambil mengulang-ulang video seks Jerome dan
Sheena. Kemaluan Jerome yang gemuk itu membuat Tommy gemas dan ingin
merawatnya. Dia sudah berfantasi dalam berbagai skenario tentang memelihara kelamin
Jerome. Menamaninya Jerome Junior, mengusapnya setiap pagi sambil memberi
kecupan, mengulumnya setiap Jerome membutuhkan, Jerome dilarang memegang
kemaluannya saat pipis harus Tommy yang pegang, merapikan rambut kemaluan itu
ke barbeshop, melumurinya dengan madu
agar Tommy bisa mengulumnya dengan nikmat, memilikinya seperti memiliki seekor
kucing, dan jutaan fantasi lain yang nyaris saja Tommy catat lalu jadikan
novel. Semua fantasi itu benar-benar halu, tetapi fantasi itulah yang selama
tiga hari terakhir membuatnya seperti di awang-awang, seolah-olah Tommy nge-fly gara-gara narkoba.
Kontol
Jerome memang bikin candu,
batin Tommy. Andai saja Tommy bisa mengubah diri menjadi Sheena sehingga Tommy
bisa menikmati kemaluan Jerome itu. Tommy sih bersedia bercinta dalam posisi
apa pun, meski Tommy punya zero
experience soal seks dan enggak
begitu paham mengapa ada posisi yang menurut Sheena maupun Jerome enggak enak.
Jadi, saat pulang sekolah Jumat
sore itu, Tommy sudah membayangkan akan memainkan lagi kelaminnya sambil
menonton video seks Jerome. Dalam perjalanan menaiki angkot, Tommy duduk paling
pojok, berangan-angan menatap ke luar jendela, lalu membuat skenario mengajak
kemaluan Jerome jalan-jalan ke pantai. Semua fantasi itu begitu indah sampai
akhirnya Teh Yanti menyapanya di rumah, “Sore ini jangan ke mana-mana, yah.
Temenin si Bapak ada yang mau pijat kejantanan.”
Mendengar kata “pijat kejantanan”
kepala Tommy langsung diisi visual kakek-kakek telanjang bercelana dalam, di
mana kulit kendornya sedang diminyaki oleh Kang Asep.
“Iyuuuh!” sahut Tommy jijik. Respons itu benar-benar spontan,
membuat ibunya keheranan.
“Kunaon ari kamu?”
“Aa enggak mau ikut, ah!”
“Eh, jangan gitu, atuh. Bantuin si Bapak. Istilahnya mah, sekalian belajar soal mijit kamu téh.”
Selalu
begitu aja alasannya,
batin Tommy. “Aa mau ngerjain PR.”
“Sebentar aja,” desak ibunya. “Cenah mau diajarin teknik baru. Untuk
meningkatkan vitalitas.”
“PR-ku bahasa Jerman, Mamah. Susah
pisan. Harus dikerjain malam ini. Enggak mau, ah!”
“Apan besok Sabtu, emangnya mau dikumpulin besok?” balas ibunya
lagi. “Kamu téh tahu enggak, membantah orangtua téh bisa bikin kamu masuk neraka?
Istilahnya mah, durhaka itu téh. Di Quran juga ada, berkata ‘ah’ ke
orangtua téh sama aja durhaka. Ada di
surat Al Isra ayat 23. Kemarin Uztad Yayan ngasih tahu di pengajian. Kamu
barusan udah berapa kali bilang ‘ah’. Nanti kamu durhaka sama Mamah.”
“Ck!” Tommy berdecak malas. Dia
akhirnya mempertimbangkan apakah perlu ikut ayahnya pijat kejantanan lagi, atau
mendingan tiduran di kamarnya sambil membayangkan kemaluan Jerome. Tiba-tiba,
Tommy teringat bahwa Pak Anto pernah ke sini untuk pijat. Terakhir kali Tommy
kabur dari ajakan memijat, malah Pak Anto yang datang dan Tommy kehilangan
kesempatan menatap tubuh telanjang Pak Anto.
Mungkin sebaiknya Tommy tidak
mengabaikan kesempatan ini lagi. Belum tentu Pak Anto yang datang, karena guru
antropologinya itu tidak tampak butuh “pijat kejantanan”. Namun daripada kena
karma, Tommy pun bilang, “Ya udah deh, entar Aa ikut. Jam berapa?”
“Alhamdulillah,” kata Teh Yanti
sambil mengusap kepala Tommy, “nanti ba’da Isya, yah. Istilahnya mah, salat Isya dulu biar tenang. Kamu
juga ikut salat ke masjid sama Bapak, yah. Pulangnya bantu pijitin.”
Tommy hanya punya beberapa jam
untuk indehoyan bersama fantasinya
sendiri. Jadi sebelum sesi pijat itu benar-benar berlangsung, Tommy sudah dua
kali orgasme sambil menghidu celana dalam Jerome untuk kesekian kali. Kang Asep
mengetuk pintu kamar Tommy sekitar pukul delapan, membangunkan Tommy yang
tertidur karena lelah masturbasi. Tommy beringsut turun dan mengenakan kaus
ganti yang tak masalah jika dikotori minyak.
Ketika Tommy keluar kamar, yang
menjadi pasien ayahnya bukanlah Pak Anto. Setidaknya bukan kakek-kakek juga.
Tommy tidak mengenal sosok itu, tetapi dari tebakannya mungkin berumur 45
tahunan, lagi-lagi dengan perut buncit, dan beberapa bagian kulit sudah
mengendor. Mukanya juga enggak
ganteng, persis kuli pinggir jalan. Kalau Tommy masih kecil, sosok bapak-bapak
seperti ini pasti diembat juga, karena segala jenis pria dewasa akan membuat
Tommy kecil horny. Namun pada usia
remaja semacam sekarang, Tommy benar-benar pemilih. Apalagi dia sudah melihat
Pak Anto, Arthur, Cokro, maupun Jerome, rasa-rasanya kalau enggak semenarik mereka, Tommy sudah
nggak bisa terangsang lagi.
Bapak itu bernama Bambang,
pekerjaannya sopir bus Damri. Kang Asep bilang, Pak Bambang sudah kesulitan
ereksi sama istrinya sendiri, jadi mau pijat vitalitas. Pak Bambang yakin dia
mulai impoten, meskipun Kang Asep bilang, “Insha Allah belum, Pak. Kita coba,
ya.” Pak Bambang pun memberikan konsen untuk Tommy ikut belajar memijat
vitalitas
Pak Bambang mengenakan celana
dalam hijau belel yang sudah bolong di bagian bawahnya. Mereknya entah apa.
Sejak Tommy mencuri celana dalam Armani milik Jerome yang dimuncrati sperma
itu, Tommy mulai aware sama celana
dalam. Baginya, merek celana dalam menentukan status seseorang. Misalnya saja
celana dalam Pak Anto, orangnya hidup pas-pasan, maka celana dalam pun mereknya
pas-pasan.
Pak Bambang berbaring telungkup di
atas kasur palembang di ruang tengah. Bagian selangkangannya ditutup oleh
sarung. Kang Asep mulai memijat dari kaki, seperti biasa. Dan Tommy pun diberi
tahu titik-titik mana yang pembuluh darahnya menyambung langsung dengan vitalitas
dan kejantanan. Tommy bahkan langsung praktik, sehingga Pak Bambang merasa
sangat keenakan saat kedua kakinya langsung dipijat oleh dua pasang tangan.
Pijatan itu menjalar naik ke
betis, lalu ke paha. Tommy mengikuti dengan saksama ajaran ayahnya, meski
sesekali pikirannya melayang ke mana-mana. Teknik pijatan ini sudah dipelajari
sebelumnya, Tommy tak tahu apa yang membuatnya berbeda. Bahkan ketika Kang Asep
mulai memijat bagian punggung bawah, membalurnya dengan minyak, meratakannya
dengan mengusap ke seluruh permukaan, lalu perlahan-lahan mencubit kulit di
berbagai titik, Tommy merasa pernah mendapatkan pelajaran ini sebelumnya.
Pijatan itu mulai berbeda ketika
tiba-tiba sang ayah menurunkan sarung dan celana dalam Pak Bambang. Terpaparlah pantat Pak Bambang
yang tidak menggembung. Guratan-guratan selulit juga tampak menghiasi bagian
bawahnya. Belum area menghitam yang menyebar di bagian bawah pantat seperti
bekas terbakar api.
Tommy membelalak. Antara jijik,
maupun gembira. Ini pantat orang dewasa! Enggak ganteng, sih, tapi ini pantat
orang dewasa. Paling mendebarkan adalah ketika Kang Asep mulai memijat pantat
itu mengikuti beberapa pola. Tommy juga diminta melakukan hal yang sama dan
rasanya ... aneh.
Mungkin ada sedikit debar
menyenangkan, tetapi tetap saja terasa aneh. Apalagi ketika Kang Asep
mengajarkan untuk memijat bagian antara buah zakar dan lubang pantat
menggunakan jempol. Ada satu teknik pijatan khusus tekanan naik turun di bawah
selangkangan itu, yang diikuti dengan menggeser jempol ke arah lubang pantat, lanjut terus hingga ke titik teratas
belahan pantat. Teknik itu dilakukan berulang-ulang dan membuat Pak Bambang
menggelinjang keenakan.
Tommy merasa janggal harus
melakukan itu semua, tetapi dia tetap mempelajarinya. Ini kali pertama Tommy
menyentuh lubang pantat orang dewasa. Dan ternyata, menarik juga. Mungkin
karena Pak Bambang sedang telungkup dan wajahnya tak kelihatan, makanya Tommy
merasa oke-oke saja. Lama kelamaan, Tommy malah menikmati memijat bagian pantat
tersebut.
Ketika Kang Asep merasa pijatan
area pantat cukup, dia menepuk Pak Bambang agar berbalik terlentang. Tommy
terkejut saat melihat kelamin Pak Bambang sudah mengacung keras ke udara.
Kelamin itu mencoba melesak keluar dari celana dalam hijau yang belel. Tampak mungil
dan kurus, berdiri di antara jembut lebat nan keriting. Kang Asep membuka
celana dalam sehingga kelamin itu terekspos di depan mata Tommy.
Tommy membelalak lagi. Wow. Ini kontol ketiga yang kulihat dalam
seminggu terakhir, batin Tommy. Ternyata setiap orang bentuknya
berbeda-beda. Selama ini Tommy melihat kemaluan laki-laki dari film porno saja.
Itu pun film porno luar. Yang rata-rata kelaminnya sama semua.
“Tuh, Pak. Insha Allah bisa, Pak,”
kata Kang Asep sambil menunjuk kelamin Pak Bambang yang ereksi.
Pak Bambang melihat sejenak ke
arah kelaminnya, lalu terkekeh. “Enya,
Pak. Ternyata yang barusan téh enak pisan.”
“Insha Allah, Pak. Semuanya bisa
diusahakan atas izin Allah,” kata Kang Asep, mulai memijat perut bawah.
Tommy hanya mengikuti ayahnya
lagi, mengusap dengan pola khusus di titik-titik tertentu. Lama kelamaan,
ayahnya mulai mengusap dan memijat di selangkangan Pak Bambang. Tepatnya di
pangkal kemaluan, ke bawah buah zakar, dan di antara lipatan paha. Kelamin itu
terus mengacung ke udara. Tommy mengamatinya dengan saksama, dan kelamin itu
berkedut-kedut minta diservis. Semakin Kang Asep dan Tommy mengusap daerah
sekitaran pangkal, tampak semakin keras lah kemaluan mungil Pak Bambang itu.
“Aaahhh ....” Pak Bambang mulai
keenakan. Tommy melihat kaki Pak Bambang naik turun dan berputar-putar, seperti
menahan sesuatu. Pahanya pun menegang, membuat lututnya bergerak naik maupun
terkulai ke atas kasur berkali-kali. Desahan Pak Bambang sudah mulai keras.
“Aaahhh ...!” Mungkin sudah kedengaran oleh Teh Yanti di dalam kamar.
“Badé
dikaluarkeun,
Pak?” tanya Kang Asep, bertanya apakah Pak Bambang ingin dibuat orgasme?
Pak Bambang mengangguk di tengah
gelinjangnya. “Enya, sok! Aaahhh
...!”
Kang Asep pun mengangguk.
“Nah, coba Aa pijat yang ini,”
bisik Kang Asep.
Telunjuk ayah Tommy itu menyentuh
puting susu Pak Bambang. Tommy mengikutinya dengan canggung. Sang ayah mengajarkan
Tommy memilin-milin puting Pak Bambang dengan telunjuk dan jempolnya. Tubuh Pak
Bambang mulai berguncang keenakan. Apalagi ketika Kang Asep mulai melumasi
tangannya dengan minyak, dan menggenggam kelamin Pak Bambang ...
... meremasnya ....
... menggerakkan tangannya yang licin naik turun
....
Tak lama kemudian, sperma itu pun
menyembur dari kelamin Pak Bambang. Melompat cukup jauh hingga mengenai tangan
Tommy yang sedang memilin puting susu. Tommy sampai memelotot melihat praktik
yang dilakukan ayahnya.
“Boleh, ya?” bisik Tommy.
Kang Asep terkekeh. “Boleh atuh, A. Yang penting kamu dapat izin
dulu. Karena inilah yang namanya pijat vitalitas. Kamu harus tahu.”
Tommy masih terpana selama
beberapa menit kemudian. Bahkan saat ayahnya meminta Tommy mengelap ceceran air
mani yang keluar, termasuk menghanduki bagian-bagian tubuh Pak Bambang yang
licin karena minyak. Praktik yang dilakukannya tak pernah dibayangkan Tommy
sebelumnya.
Pak Bambang memang tak begitu menarik secara fisik. Namun Tommy tak bisa memungkiri, malam itu kelaminnya ereksi gara-gara melihat Pak Bambang.
To be continued ....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar