Kamis, 25 Maret 2021

Nude 21

 

yparehT lausneS .12

 

Di antara segala jenis pijatan yang diajarkan Kang Asep, teknik pijat kejantanan baru diajarkan kepada Tommy belakangan. Kang Asep menunggu anaknya cukup umur terlebih dahulu agar dapat memahami mengapa jenis pijat ini juga penting. Selain karena pijat ini menuntut privasi tinggi, juga berkaitan dengan alat kelamin. Nyaris semua pasien tidak bersedia kelaminnya ditunjukkan kepada anak kecil. Sehingga Kang Asep pun tak pernah membawa Tommy pada setiap pijat kejantanannya bertahun-tahun terakhir.

Kini, Tommy sudah masuk SMA. Bagi Kang Asep, umur Tommy sudah cukup untuk mengetahui pijat kejantanan. Beberapa waktu lalu pada masa peralihan dari SMP ke SMA, Tommy dipanggil ke ruang TV untuk ditanya baik-baik oleh ayah dan ibunya.

“Kan Aa téh udah gede, nya. Istilahnya mah, udah bisa bertanggung jawab sama diri sendiri. Udah dewasa,” mulai sang ibu, Teh Yanti. Sehari-hari, Teh Yanti berprofesi sebagai pedagang nasi uduk. “Jadi istilahnya mah, Aa téh udah harus paham kebutuhan orang dewasa.”

Enya, A,” kata Kang Asep menambahkan. “Udah begér begini mah udah kudu belajar hal-hal dewasa. Siga Mamah jeung Bapak.”

“Aa téh udah buluan, belum?” tanya Teh Yanti.

Tommy merasa jijik ditanya seperti itu. “Apa sih Mamah dan Bapak téh?!”

“Eeehhh ... seriusan ieu mah,” kata Kang Asep. “Aa harus jawab, udah buluan belum itunya?”

Tentu saja Tommy sudah memiliki rambut-rambut pubis di sekitar kemaluannya. Sudah cukup banyak, malah. Pertama kali tumbuh saat umurnya masih tiga belas tahun. Pada masturbasi pertamanya, rambut publis itu sudah tumbuh lebat seperti kumis. Namun tidak berarti Tommy harus menjawab pertanyaan itu, kan?

“Kayaknya mah udah sih, Pak,” ujar Teh Yanti sambil menoleh ke arah suaminya. “Istilahnya mah, lanjut aja . Buluan atau enggak buluan, suatu hari si Aa kan kudu tahu juga.”

Enya, Mah. Satuju,” balas Kang Asep. Dia menarik napas panjang lalu mulai mengumumkan, “Mulai sekarang, Aa harus ikut Bapak pijat kejantanan, yah.”

Tommy meringis ngeri. “Iyuh!” ringisnya. “Enggak mau!”

Bayangan awal Tommy, pijat kejantanan adalah pijat untuk menjadikan seseorang jantan. Dalam artian, Tommy yang ngondek harus dibuat manly. Karena ejekan bencong itu selalu melekat dalam kepalanya, kata-kata kejantanan menjadi kata-kata sakral bagi Tommy. Belum apa-apa Tommy sudah merasa gagal mempelajari pijat “kejantanan”, karena Tommy tidak merasa jantan.

Namun setelah beberapa kali Kang Asep membawa Tommy pada sesi pijat kejantanannya, Tommy baru paham bahwa maksudnya adalah seksualitas. Tommy belum paham mengapa pijat itu harus dilakukan, tetapi dia paham betul pijatnya fokus ke arah kemaluan laki-laki—jadi sedikit banyak Tommy tertarik mempelajari.

Sayangnya, yang jadi tamu Kang Asep kakek-kakek semua. Paling muda adalah bapak-bapak PNS dengan perut gendut sebesar bantal dan kumis hitam legam nyaris menutupi bibir atasnya. Tidak ada anak muda yang menjadi pasien pijat kejantanan Kang Asep, karena secara teknis anak muda mana yang sudah punya masalah dengan “kejantanan”? Pijat ini memang dipraktikkan bagi laki-laki yang memiliki masalah seksual gara-gara umur yang sudah tua. Performa loyo, lah. Kemaluan enggak bisa ereksi, lah. Ejakulasi dini, lah.

Tommy juga menyayangkan dirinya tak memijat langsung kemaluan laki-laki dewasa itu. Selama liburan menyambut MOS di SMA baru, mungkin ada sekitar enam tamu Kang Asep yang dilayani pijat kejantanan di mana Tommy hadir untuk belajar. Tak satu pun dari enam tamu itu menunjukkan kelaminnya. Mereka mengenakan celana dalam sepanjang sesi pijat, dan Kang Asep tak sekali pun menyentuh kelamin itu. (Maka dari itu kemaluan Cokro adalah kelamin pertama yang Tommy lihat secara langsung.)

Lama-lama, Tommy tak tertarik lagi belajar pijat kejantanan. Apalagi ternyata teknik itu malah fokus di beberapa titik di bagian kaki, juga usapan-usapan khusus sekitaran selangkangan. Tidak ada yang namanya memijat batang ‘kejantanan’, seperti namanya.

Tiga hari setelah kejadian di rumah Jerome, Kang Asep dan Teh Yanti tampaknya berencana mengajarkan Tommy teknik lain dalam pijat kejantanan. Jujur saja Tommy malas mengikutinya. Pertama, dia sedang enggak mau melihat tubuh kakek-kakek telanjang. Kedua, dia sedang kasmaran kepada Jerome—Tommy yakin visual kakek-kakek telanjang akan merusak segala jenis visual tubuh telanjang Jerome.

Selama tiga hari terakhir Tommy masturbasi tiga kali sehari, sambil mengulang-ulang video seks Jerome dan Sheena. Kemaluan Jerome yang gemuk itu membuat Tommy gemas dan ingin merawatnya. Dia sudah berfantasi dalam berbagai skenario tentang memelihara kelamin Jerome. Menamaninya Jerome Junior, mengusapnya setiap pagi sambil memberi kecupan, mengulumnya setiap Jerome membutuhkan, Jerome dilarang memegang kemaluannya saat pipis harus Tommy yang pegang, merapikan rambut kemaluan itu ke barbeshop, melumurinya dengan madu agar Tommy bisa mengulumnya dengan nikmat, memilikinya seperti memiliki seekor kucing, dan jutaan fantasi lain yang nyaris saja Tommy catat lalu jadikan novel. Semua fantasi itu benar-benar halu, tetapi fantasi itulah yang selama tiga hari terakhir membuatnya seperti di awang-awang, seolah-olah Tommy nge-fly gara-gara narkoba.

Kontol Jerome memang bikin candu, batin Tommy. Andai saja Tommy bisa mengubah diri menjadi Sheena sehingga Tommy bisa menikmati kemaluan Jerome itu. Tommy sih bersedia bercinta dalam posisi apa pun, meski Tommy punya zero experience soal seks dan enggak begitu paham mengapa ada posisi yang menurut Sheena maupun Jerome enggak enak.

Jadi, saat pulang sekolah Jumat sore itu, Tommy sudah membayangkan akan memainkan lagi kelaminnya sambil menonton video seks Jerome. Dalam perjalanan menaiki angkot, Tommy duduk paling pojok, berangan-angan menatap ke luar jendela, lalu membuat skenario mengajak kemaluan Jerome jalan-jalan ke pantai. Semua fantasi itu begitu indah sampai akhirnya Teh Yanti menyapanya di rumah, “Sore ini jangan ke mana-mana, yah. Temenin si Bapak ada yang mau pijat kejantanan.”

Mendengar kata “pijat kejantanan” kepala Tommy langsung diisi visual kakek-kakek telanjang bercelana dalam, di mana kulit kendornya sedang diminyaki oleh Kang Asep.

Iyuuuh!” sahut Tommy jijik. Respons itu benar-benar spontan, membuat ibunya keheranan.

Kunaon ari kamu?”

“Aa enggak mau ikut, ah!”

“Eh, jangan gitu, atuh. Bantuin si Bapak. Istilahnya mah, sekalian belajar soal mijit kamu téh.”

Selalu begitu aja alasannya, batin Tommy. “Aa mau ngerjain PR.”

“Sebentar aja,” desak ibunya. “Cenah mau diajarin teknik baru. Untuk meningkatkan vitalitas.”

“PR-ku bahasa Jerman, Mamah. Susah pisan. Harus dikerjain malam ini. Enggak mau, ah!”

Apan besok Sabtu, emangnya mau dikumpulin besok?” balas ibunya lagi. “Kamu téh tahu enggak, membantah orangtua téh bisa bikin kamu masuk neraka? Istilahnya mah, durhaka itu téh. Di Quran juga ada, berkata ‘ah’ ke orangtua téh sama aja durhaka. Ada di surat Al Isra ayat 23. Kemarin Uztad Yayan ngasih tahu di pengajian. Kamu barusan udah berapa kali bilang ‘ah’. Nanti kamu durhaka sama Mamah.”

“Ck!” Tommy berdecak malas. Dia akhirnya mempertimbangkan apakah perlu ikut ayahnya pijat kejantanan lagi, atau mendingan tiduran di kamarnya sambil membayangkan kemaluan Jerome. Tiba-tiba, Tommy teringat bahwa Pak Anto pernah ke sini untuk pijat. Terakhir kali Tommy kabur dari ajakan memijat, malah Pak Anto yang datang dan Tommy kehilangan kesempatan menatap tubuh telanjang Pak Anto.

Mungkin sebaiknya Tommy tidak mengabaikan kesempatan ini lagi. Belum tentu Pak Anto yang datang, karena guru antropologinya itu tidak tampak butuh “pijat kejantanan”. Namun daripada kena karma, Tommy pun bilang, “Ya udah deh, entar Aa ikut. Jam berapa?”

“Alhamdulillah,” kata Teh Yanti sambil mengusap kepala Tommy, “nanti ba’da Isya, yah. Istilahnya mah, salat Isya dulu biar tenang. Kamu juga ikut salat ke masjid sama Bapak, yah. Pulangnya bantu pijitin.”

Tommy hanya punya beberapa jam untuk indehoyan bersama fantasinya sendiri. Jadi sebelum sesi pijat itu benar-benar berlangsung, Tommy sudah dua kali orgasme sambil menghidu celana dalam Jerome untuk kesekian kali. Kang Asep mengetuk pintu kamar Tommy sekitar pukul delapan, membangunkan Tommy yang tertidur karena lelah masturbasi. Tommy beringsut turun dan mengenakan kaus ganti yang tak masalah jika dikotori minyak.

Ketika Tommy keluar kamar, yang menjadi pasien ayahnya bukanlah Pak Anto. Setidaknya bukan kakek-kakek juga. Tommy tidak mengenal sosok itu, tetapi dari tebakannya mungkin berumur 45 tahunan, lagi-lagi dengan perut buncit, dan beberapa bagian kulit sudah mengendor. Mukanya juga enggak ganteng, persis kuli pinggir jalan. Kalau Tommy masih kecil, sosok bapak-bapak seperti ini pasti diembat juga, karena segala jenis pria dewasa akan membuat Tommy kecil horny. Namun pada usia remaja semacam sekarang, Tommy benar-benar pemilih. Apalagi dia sudah melihat Pak Anto, Arthur, Cokro, maupun Jerome, rasa-rasanya kalau enggak semenarik mereka, Tommy sudah nggak bisa terangsang lagi.

Bapak itu bernama Bambang, pekerjaannya sopir bus Damri. Kang Asep bilang, Pak Bambang sudah kesulitan ereksi sama istrinya sendiri, jadi mau pijat vitalitas. Pak Bambang yakin dia mulai impoten, meskipun Kang Asep bilang, “Insha Allah belum, Pak. Kita coba, ya.” Pak Bambang pun memberikan konsen untuk Tommy ikut belajar memijat vitalitas

Pak Bambang mengenakan celana dalam hijau belel yang sudah bolong di bagian bawahnya. Mereknya entah apa. Sejak Tommy mencuri celana dalam Armani milik Jerome yang dimuncrati sperma itu, Tommy mulai aware sama celana dalam. Baginya, merek celana dalam menentukan status seseorang. Misalnya saja celana dalam Pak Anto, orangnya hidup pas-pasan, maka celana dalam pun mereknya pas-pasan.

Pak Bambang berbaring telungkup di atas kasur palembang di ruang tengah. Bagian selangkangannya ditutup oleh sarung. Kang Asep mulai memijat dari kaki, seperti biasa. Dan Tommy pun diberi tahu titik-titik mana yang pembuluh darahnya menyambung langsung dengan vitalitas dan kejantanan. Tommy bahkan langsung praktik, sehingga Pak Bambang merasa sangat keenakan saat kedua kakinya langsung dipijat oleh dua pasang tangan.

Pijatan itu menjalar naik ke betis, lalu ke paha. Tommy mengikuti dengan saksama ajaran ayahnya, meski sesekali pikirannya melayang ke mana-mana. Teknik pijatan ini sudah dipelajari sebelumnya, Tommy tak tahu apa yang membuatnya berbeda. Bahkan ketika Kang Asep mulai memijat bagian punggung bawah, membalurnya dengan minyak, meratakannya dengan mengusap ke seluruh permukaan, lalu perlahan-lahan mencubit kulit di berbagai titik, Tommy merasa pernah mendapatkan pelajaran ini sebelumnya.

Pijatan itu mulai berbeda ketika tiba-tiba sang ayah menurunkan sarung dan celana dalam Pak Bambang. Terpaparlah pantat Pak Bambang yang tidak menggembung. Guratan-guratan selulit juga tampak menghiasi bagian bawahnya. Belum area menghitam yang menyebar di bagian bawah pantat seperti bekas terbakar api.

Tommy membelalak. Antara jijik, maupun gembira. Ini pantat orang dewasa! Enggak ganteng, sih, tapi ini pantat orang dewasa. Paling mendebarkan adalah ketika Kang Asep mulai memijat pantat itu mengikuti beberapa pola. Tommy juga diminta melakukan hal yang sama dan rasanya ... aneh.

Mungkin ada sedikit debar menyenangkan, tetapi tetap saja terasa aneh. Apalagi ketika Kang Asep mengajarkan untuk memijat bagian antara buah zakar dan lubang pantat menggunakan jempol. Ada satu teknik pijatan khusus tekanan naik turun di bawah selangkangan itu, yang diikuti dengan menggeser jempol ke arah lubang pantat, lanjut terus hingga ke titik teratas belahan pantat. Teknik itu dilakukan berulang-ulang dan membuat Pak Bambang menggelinjang keenakan.

Tommy merasa janggal harus melakukan itu semua, tetapi dia tetap mempelajarinya. Ini kali pertama Tommy menyentuh lubang pantat orang dewasa. Dan ternyata, menarik juga. Mungkin karena Pak Bambang sedang telungkup dan wajahnya tak kelihatan, makanya Tommy merasa oke-oke saja. Lama kelamaan, Tommy malah menikmati memijat bagian pantat tersebut.

Ketika Kang Asep merasa pijatan area pantat cukup, dia menepuk Pak Bambang agar berbalik terlentang. Tommy terkejut saat melihat kelamin Pak Bambang sudah mengacung keras ke udara. Kelamin itu mencoba melesak keluar dari celana dalam hijau yang belel. Tampak mungil dan kurus, berdiri di antara jembut lebat nan keriting. Kang Asep membuka celana dalam sehingga kelamin itu terekspos di depan mata Tommy.

Tommy membelalak lagi. Wow. Ini kontol ketiga yang kulihat dalam seminggu terakhir, batin Tommy. Ternyata setiap orang bentuknya berbeda-beda. Selama ini Tommy melihat kemaluan laki-laki dari film porno saja. Itu pun film porno luar. Yang rata-rata kelaminnya sama semua.

“Tuh, Pak. Insha Allah bisa, Pak,” kata Kang Asep sambil menunjuk kelamin Pak Bambang yang ereksi.

Pak Bambang melihat sejenak ke arah kelaminnya, lalu terkekeh. “Enya, Pak. Ternyata yang barusan téh enak pisan.”

“Insha Allah, Pak. Semuanya bisa diusahakan atas izin Allah,” kata Kang Asep, mulai memijat perut bawah.

Tommy hanya mengikuti ayahnya lagi, mengusap dengan pola khusus di titik-titik tertentu. Lama kelamaan, ayahnya mulai mengusap dan memijat di selangkangan Pak Bambang. Tepatnya di pangkal kemaluan, ke bawah buah zakar, dan di antara lipatan paha. Kelamin itu terus mengacung ke udara. Tommy mengamatinya dengan saksama, dan kelamin itu berkedut-kedut minta diservis. Semakin Kang Asep dan Tommy mengusap daerah sekitaran pangkal, tampak semakin keras lah kemaluan mungil Pak Bambang itu.

“Aaahhh ....” Pak Bambang mulai keenakan. Tommy melihat kaki Pak Bambang naik turun dan berputar-putar, seperti menahan sesuatu. Pahanya pun menegang, membuat lututnya bergerak naik maupun terkulai ke atas kasur berkali-kali. Desahan Pak Bambang sudah mulai keras. “Aaahhh ...!” Mungkin sudah kedengaran oleh Teh Yanti di dalam kamar.

Badé dikaluarkeun, Pak?” tanya Kang Asep, bertanya apakah Pak Bambang ingin dibuat orgasme?

Pak Bambang mengangguk di tengah gelinjangnya. “Enya, sok! Aaahhh ...!”

Kang Asep pun mengangguk.

“Nah, coba Aa pijat yang ini,” bisik Kang Asep.

Telunjuk ayah Tommy itu menyentuh puting susu Pak Bambang. Tommy mengikutinya dengan canggung. Sang ayah mengajarkan Tommy memilin-milin puting Pak Bambang dengan telunjuk dan jempolnya. Tubuh Pak Bambang mulai berguncang keenakan. Apalagi ketika Kang Asep mulai melumasi tangannya dengan minyak, dan menggenggam kelamin Pak Bambang ...

... meremasnya ....

... menggerakkan tangannya yang licin naik turun ....

Tak lama kemudian, sperma itu pun menyembur dari kelamin Pak Bambang. Melompat cukup jauh hingga mengenai tangan Tommy yang sedang memilin puting susu. Tommy sampai memelotot melihat praktik yang dilakukan ayahnya.

“Boleh, ya?” bisik Tommy.

Kang Asep terkekeh. “Boleh atuh, A. Yang penting kamu dapat izin dulu. Karena inilah yang namanya pijat vitalitas. Kamu harus tahu.”

Tommy masih terpana selama beberapa menit kemudian. Bahkan saat ayahnya meminta Tommy mengelap ceceran air mani yang keluar, termasuk menghanduki bagian-bagian tubuh Pak Bambang yang licin karena minyak. Praktik yang dilakukannya tak pernah dibayangkan Tommy sebelumnya.

Pak Bambang memang tak begitu menarik secara fisik. Namun Tommy tak bisa memungkiri, malam itu kelaminnya ereksi gara-gara melihat Pak Bambang. 


To be continued ....


<<< Part 20  |  Nude  |  Part 22 >>>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Nude 33

  ssendrawkwA emitefiL .33     Pada suatu pagi lima tahun lalu, Miza bangun lebih pagi dari biasanya meski semalaman tak bisa tidur. D...