Kamis, 25 Maret 2021

Nude 20


gnidiH tesolC. 02

 

Hal pertama yang Tommy lakukan adalah mematikan semua dering yang ada di ponselnya. Sudah terlambat bagi Tommy untuk keluar dari lemari dan pergi ke koridor seharusnya. Sheena mengunci pintu kamar saat masuk, dan kini mereka sedang melakukan seks. Yang berarti Tommy tak punya pilihan lain selain menunggu di dalam lemari sampai kegiatan mereka selesai.

Lemari itu besar sekali, mungkin sebesar kamar tidur Tommy. Di satu sisi ada gantungan kemeja-kemeja dan baju mahal Jerome, dengan sepatu-sepatu mahal bertumpuk rapi di bawahnya. Di sisi lain ruangan ada rak-rak tinggi yang berisi baju-baju Jerome yang dilipat rapi. Sebuah cermin besar ditempelkan di dinding dekat pintu, berdampingan dengan kumpulan dasi dan ikat pinggang.

Di seberang pintu kloset, ada lemari kecil berwarna putih dengan pinggiran dan pegangan berwarna emas mengilat. Ketika Tommy perlahan-lahan membuka isinya, terdapat banyak sekali kaus kaki dan celana dalam mahal milik Jerome. Tak satu pun celana dalam itu merek Indomaret atau yang 100.000 tiga dari Matahari Depstor. Semuanya menunjukkan brand fashion designer seperti Calvin Klein, Emporio Armani, Hugo Boss, bahkan Polo Ralph Lauren.

Aroma kapur barus menyengat di setiap sudut. Setidaknya itu membuat Tommy lebih tenang setelah panik karena salah masuk ruangan.

Daun pintu lemari tidak didesain tertutup. Ada kaca besar yang berukuran nyaris sebesar daun pintu, dengan shades yang bisa dibuka tutup. Dari dalam lemari, Tommy dapat mengintip ke kamar tidur Jerome dengan leluasa tanpa harus membuka pintu. Dan karena Tommy bisa mengintip, tentu saja Tommy sange karena akhirnya bisa melihat Jerome telanjang.

Bayangkan ini, tiga hari terakhir darahnya dibuat berdesir tak keruan oleh tungkai-tungkai indah Jerome yang berpangkal di selangkangan menggemaskan itu. Sudah tiga hari pula Tommy melihat jendolan kelamin Jerome di balik celana dalam mahalnya. Hasrat untuk menyentuhnya sangat besar. Sesekali Tommy berharap tangan Jerome kesakitan juga, supaya Tommy bisa membantunya pipis melalui pispot dan Tommy bisa memegang kelamin itu—persis kejadian Cokro kemarin.

Sayangnya Jerome bisa pipis sendiri. Satu kakinya yang lain, plus dua tangannya, sehat wal ‘afiat.

Tommy tak benar-benar bermaksud mengintip Jerome dan Sheena bercinta. Namun baginya, akan sangat mubazir tidak menonton pertunjukan gratis itu. Tubuh Jerome tidak bulky seperti Pak Anto, tidak juga atletis seperti Arthur. Tubuh Jerome normal saja. Normal anak cowok kelas 3 SMA, yang enggak terlalu kurus, enggak chubby, tapi tulangnya besar, perutnya mungkin agak buncit sedikit—hanya sedikiiit saja, dengan dada yang biasa-biasa saja tidak menonjol seperti dadanya Arthur dan Pak Anto. Namun kenormalan itu benar-benar seksi. Rasanya nyata. Rasanya inilah tubuh manusia yang seharusnya. Karena tubuh semacam Arthur itu hanya ada di film-film porno saja, bukan di kehidupan nyata.

Kelamin Jerome pun saat menegang tidak sebesar bayangan Tommy. Kemaluan itu gemuk, tapi tidak terlalu panjang. Sudah disunat dengan batang berwarna cokelat terang, tanpa kelihatan luka bekas sunat sedikit pun dari jarak sejauh ini. Mungkin Jerome disunat oleh dokter-dokter branded seperti misalnya Dr. Calvin Klein atau Dr. Louis Vuitton, pikir Tommy dalam hati. Kan, Jerome kaya raya. Yang pasti, siapa pun dokter sunatnya, Tommy ereksi bukan main.

Tommy ingin sekali masturbasi sambil menonton Jerome bercinta, tetapi dia tidak merasa pantas. Takutnya Tommy mengerang keenakan dan Jerome bisa mendengarnya dari sana. Namun faktor lain yang membuatnya sabar tidak masturbasi adalah tubuh Sheena yang telanjang itu. Tommy jijik melihat tubuh perempuan telanjang.

Pada akhirnya, Tommy hanyalah Tommy. Anak remaja yang sedang mengalami puber dan rasa ingin tahunya begitu tinggi. Egonya sebagai anak yang sedang beralih ke masa dewasa membuatnya berani melakukan hal-hal nekat. Kalau mengendus ketiak Pak Anto saja berani dia lakukan, mengapa dia tidak merekam saja adegan bercinta Jerome dan Sheena?

Sejauh ini, posisi Tommy aman. Kecuali Jerome atau Sheena mendadak ingin masuk lemari, baru deh situasinya gawat. Namun meski begitu pun, Tommy sudah memperhitungkan bahwa dia bisa mengenakan sepatu bot Jerome yang di ujung itu, lalu berdiri di antara baju-baju yang digantung—misal ada seseorang yang masuk.

Dan aku bukan orang jahat, kok, batin Tommy. Aku enggak akan menyebarkan video itu kepada siapa pun, janji Tommy pada diri sendiri. Dia hanya ingin memutarnya ulang di kamarnya sambil masturbasi menonton adegan Jerome bercinta.

Dengan jantung berdegup kencang dan kemaluan snut-snutan minta dipuaskan, Tommy mengangkat ponselnya dan merekam kegiatan bercinta ketua OSIS-nya itu.

“Aku mau kamu di atas,” rintih Sheena dengan dada melompat-lompat naik turun.

“Kakiku masih sakit, Beb,” balas Jerome sambil menghempas-hempaskan kelaminnya ke kemaluan Sheena.

“Aku enggak suka posisi ini.”

“Ya mau gimana lagi? Kakiku sakit, Beb. Coba kamu jangan terlalu nekan perutku.”

Sheena menjejakkan kakinya ke atas tempat tidur. Posisinya seperti sedang berkongkok. Jerome lebih leluasa menghantamkan rudalnya ke dalam lubang vagina itu. Namun itu tak bertahan lama. Jerome tampak kelelahan.

“Kita enggak pernah nyobain gaya ini,” ungkap Sheena. “Aku enggak suka kalau aku harus di atas.”

“Iya, aku tahu, Beb.” Jerome pun berhenti menggenjot. Tangannya jatuh lemas ke atas tempat tidur. “Kamu ada ide?”

Sheena mengangkat bahu. “Kamu enggak bisa nyobain sekali aja di atas, ditumpu pake satu kaki?”

Jerome terdiam sejenak mempertimbangkan ide itu. “Oke,” katanya akhirnya. Jerome mencoba bangkit dan membalik posisi bercinta barusan. Dengan gembira Sheena membanting tubuhnya terlentang ke atas tempat tidur, kedua kakinya mengangkang otomatis.

Tommy cengar-cengir jijik saat melihat vagina itu tampak jelas di depan matanya. Dia mengalihkan pandangannya ke arah lain, mati-matian berusaha fokus pada kelamin gendutnya Jerome.

Jerome berusaha bangkit dan telungkup di atas tubuhnya Sheena. “Aw, aw, aaaw!” Namun Jerome menjerit-jerit kecil karena kakinya kesakitan saat dibalik. Lutut pada kaki yang keseleo juga masih terasa ngilu. Enggak, enggak bisa.” Jerome membanting lagi tubuhnya terlentang di samping Sheena. Kelaminnya yang gendut terkulai agak-agak lemas.

Sheena melipat tangan di depan dada. “Kok enggak bisa, sih? Kenapa kaki kamu enggak dibungkus kayak kemaren?”

“Ankle strap?” ulang Jerome. “Tadi aku lagi dipijat, Beb. Kamu datang tiba-tiba, jadinya si anak baru itu enggak sempat pasang lagi. Kamu bisa pasangin buat aku?”

Enggak bisa, lah.” Sheena memutar bola mata. “Cita-citaku jadi artis, bukan dokter.”

Jerome mendengus dan mencoba duduk. Kelaminnya sudah mulai mengecil sekarang, karena ketika tubuhnya diseret ke kepala tempat tidur, kelamin itu terkulai jatuh ke atas buah zakar di bawahnya. Jerome mencondongkan tubuh ke arah sofa kecil di samping tempat tidur. Dia berusaha menggapai ankle strap yang Tommy letakkan di sana. Begitu berhasil meraihnya, Jerome berupaya keras mengenakannya di tumit.

Sayangnya Jerome tak tahu caranya. Dibolak-balik arah mana pun, selalu saja salah atau kurang kencang. Setiap Tommy mengenakan ankle strap itu di kakinya, Jerome tak pernah sudi melihat prosesnya—karena baginya itu bukan urusannya.

"Anjing!” umpat Jerome kesal sambil melempar ankle strap itu ke atas lantai.

Sheena memukul lengan Jerome sambil mendelik sebal. “Apa sih anjing-anjing.”

“Abisnya bego banget itu strap kagak mau nempel di kakiku, Beb!”

Sheena berdecak dan bangkit lagi. “Ya udah, gapapa, aku di atas aja.”

“Bukan soal itu, Beb,” ungkap Jerome. “Memang enggak enak kalau kamu di atas. Pantat kamu neken-neken pahaku, sakit. Nih, jadi lemes gini.”

“Yaaahhh ....” Sheena memegang kepala kemaluan Jerome yang sudah semakin mengecil. “Kenapa enggak digedein lagi, sih?”

Jerome mengangkat bahu.

“Aku udah bugil begini, kok nggak horny?

“Tau,” kata Jerome. “Mungkin aku stres gara-gara barusan. Kalau stres, aku susah ngaceng.”

“Ih, lemah.” Sheena memutar bola mata. “Ya udah, mana pelicin kamu.”

“Tuh, di laci.”

Sheena merangkak di atas melewati tubuh Jerome untuk menggapai laci yang berada di meja tidur sebelah. Dia mengeluarkan sebotol Durex Play yang disembunyikan di bagian paling-paling dalam. Sheena berusaha mengeluarkan isinya, mengocok-kocok botolnya, tetapi hanya mendapat sedikit sekali cairan.

“Mana, ih. Habis ini mah.”

Jerome mengambil botol itu dan menelitinya. Jerome melakukan hal yang sama, berharap cairan pelumas itu keluar lebih banyak, tetapi hasilnya sama saja. Enggak usah pake ini, lah,” usul Jerome.

“Ya kalau enggak pake itu, kamunya ngaceng, dong.” Sheena turun dari tempat tidur. “Kamu nyimpan cadangan nggak?”

Jerome mengangguk. “Di lemari sana,” katanya, mengedikkan kepala ke arah Tommy.

Tommy membelalak dan beringsut panik. Dia segera berdiri untuk mencari tempat persembunyian. Seperti rencana awalnya, Tommy memasukkan kaki ke dalam dua bot milik Jerome yang diletakkan paling ujung. Kebetulan di atas bot itu ada coat musim dingin yang sangat lebar. Tommy masuk ke dalamnya. Tepat saat Tommy baru saja bersembunyi, Sheena membuka pintu.

“Di sebelah mana?” teriak Sheena sambil menghambur masuk.

Di balik persembunyiannya, Tommy memelotot saat melihat tubuh telanjang Sheena dari dekat. Penampakan itu bahkan lebih mengerikan dibandingkan melihat dari jauh.

“Di laci-laci celana dalam!” balas Jerome dari kamar tidur.

Sheena mengaduk-aduk laci celana dalam itu hingga berantakan. Selama bermenit-menit menghamburkan semua isi laci ke luar, Sheena belum juga mendapatkannya.

Enggak ada!” pekik Sheena.

Tommy mendengar Jerome berdecak. Meski tak dapat melihatnya, Tommy yakin Jerome sedang berusaha mencapai lemari untuk membantu pencarian. Sosok Jerome berjalan terpincang-pincang muncul di pintu lemari. Dia berpegangan pada dinding dan pintu. Wajahnya meringis ngeri.

“Itu sebelah situ masa enggak ada?” sahut Jerome. Tommy kini dapat melihat tubuh telanjang Jerome dari dekat, meski pandangannya terhalang kumpulan kemeja dan jaket yang digantung. Kemaluan gendut itu juga tampak raksasa meski sedang mengerut. Jerome menggapai-gapai dinding untuk berpegangan, kemudian dia berjalan perlahan-lahan.

Yang namanya Sheena ini benar-benar enggak punya simpati, batin Tommy. Bukannya membantu Jerome berjalan menuju laci, Sheena malah mengamati dari seberang ruangan sambil melipat tangan di bawah payudaranya.

Masalahnya, sekarang Tommy deg-degan bukan main. Keringat dingin mengucur sangat deras membasahi seragam SMA-nya. Ada dua orang lain di dalam lemari ini. Bergerak sedikit saja, Tommy bakal ketahuan. Yang membuat Tommy panik sebenarnya Jerome, yang kini berjalan berpegangan pada dinding. Jerome bertumpu pada baju-baju yang digantung, seraya berjalan terpincang-pincang.

Tommy hanya bisa berharap Jerome tidak menyentuh dirinya—

Oh, tidak. Jerome menggapai coat di mana Tommy bersembunyi!

Tommy mematung dengan ngeri. Dia bahkan menahan napasnya sambil memejamkan mata. Ternyata Jerome hanya berpegangan sebentar. Tampaknya cowok itu enggak ngeh bahwa coat yang dia pegang barusan menyembunyikan sesosok manusia di dalamnya.

“Nih!” sahut Jerome, menemukan dengan mudah pelumas di dalam laci celana dalam. Diserahkannya pelumas itu, tetapi Jerome kelelahan berjalan. Jerome menjatuhkan diri di atas karpet, duduk bersandar pada rak-rak baju yang dilipat. “Aku malas balik lagi ke kamar, Beb.”

“Ya udah, di sini aja.” Sheena pun duduk di depan Jerome dan mulai membasahi tangannya dengan pelumas. Perlahan-lahan Sheena mengocok kemaluan Jerome hingga batang itu ereksi. Kemudian Sheena jongkok di atasnya dan memasukkan kelamin Jerome ke dalam tubuhnya. “Aku jongkok, nih. Jadi kamu enggak akan kedudukin.”

“Iya, Beb. Thanks.”

Sheena pun menggerakkan panggulnya naik turun, menstimulasi kemaluan Jerome agar orgasme. Desahan Sheena semakin lama semakin keras, tetapi rupanya Jerome orgasme duluan. Tiba-tiba saja Jerome memegang ketiak Sheena dan mencoba mengangkatnya naik.

“Lepas!”

“Kenapa?”

“Aku mau keluar!” Jerome memejamkan matanya menahan orgasme agar tidak terjadi saat batang itu berada di dalam tubuh Sheena.

Sheena berdecak kesal. “Ck!” Dia lalu bangkit berdiri dan meninggalkan Jerome di lemari.

Jerome melanjutkan sebentar kocokan di kemaluannya dengan pelumas, hingga akhirnya sperma-sperma putih itu berlompatan keluar. Air maninya jatuh ke sembarang tempat. Ke baju yang dilipat, ke celana dalam yang berserakan di atas lantai, ke baju yang menggantung, dan karena memang Jerome memutar-mutarnya seperti helikopter saat orgasme itu terjadi, satu lompatan air maninya mendarat di wajah Tommy di balik coat.

Jerome mengatur napas yang memburu. Dia menatap kekacauan yang disebabkannya sambil geleng-geleng kepala. Pandangannya jatuh pada mangkuk-mangkuk berisi essential oil yang Tommy letakkan di dekat pintu.

“Elah, kenapa si tukang urut itu ninggalin mangkok di sini?” gumam Jerome, tetapi dia tak begitu memedulikannya. Jerome mencoba bangkit berdiri. “Aku mau mandi. Kamu mau ikut?” tanya Jerome sambil berjalan tertatih-tatih keluar.

“Ikuuut! Aku, kan belum keluar.”

“Iya, Beb. Aku bantuin pake jari. Yuk!”

Lemari itu pun kosong, pun kamar tidur Jerome. Tommy yang masih bersembunyi di balik coat akhirnya bernapas lega. Dia baru saja melewatkan sepuluh menit paling menegangkan dalam hidupnya, bersembunyi di lemari orang ganteng yang sedang bercinta di lemari. Dan sperma yang jatuh ke hidungnya itu, buru-buru Tommy jilat dengan nikmat.

Rasanya berbeda dari sperma Tommy sendiri yang dulu pernah dia jilat awal-awal tahu caranya masturbasi.

Karena Jerome dan Sheena sedang berada di kamar mandi, Tommy memanfaatkan kesempatan itu untuk kabur. Perlahan-lahan Tommy keluar sambil memeluk mangkuk-mangkuk essential oil di dadanya. Jerome dan Sheena tampak sedang melanjutkan sesi intim mereka di bathtub kamar mandi Jerome. Desahan Sheena terdengar keras sekali.

Tommy lega bukan main saat berhasil menutup pintu kamar Jerome tanpa suara berisik, lalu berlari menyusuri koridor menuju dapur, tempat di mana dia meletakkan ransel sekolahnya tadi. Buru-buru Tommy menghampiri Pak Yanto sang sopir dan memintanya mengantar pulang. Sepanjang perjalanan, Tommy merasa sangat deg-degan. Dia duduk dengan gelisah di antara macetnya Kota Bandung.

Sesampainya di rumah, Tommy menghambur masuk ke dalam kamar sambil mengabaikan sang ibu yang menyapanya. “Kamu enggak mau nyapa dulu, gitu? Istilahnya mah, bilang assalamu alaikum minimal?” Tommy tak menggubris ibunya. Dia melemparkan diri ke atas tempat tidur, mengatur napas, lalu menarik ranselnya ke dalam pelukan. Ada satu benda yang dia curi dari dalam lemari Jerome. Benda itu kini dia hidu baunya, dan gosokkan ke wajahnya. Benda itu adalah celana dalam Jerome yang tadi kena cipratan sperma sang Ketua OSIS. 


To be continued ....


<<< Part 19  |  Nude  |  Part 21 >>>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Nude 33

  ssendrawkwA emitefiL .33     Pada suatu pagi lima tahun lalu, Miza bangun lebih pagi dari biasanya meski semalaman tak bisa tidur. D...