sliO laitnessE .91
Jerome adalah anak bungsu
dari sepasang suami-istri kaya asal Garut. Ayahnya merintis usaha berbahan baku
kulit domba dan pada tahun 1985 meraih kesuksesannya dengan membuka toko di
berbagai kota. Pada Piala Dunia 1998, perusahaan ayahnya memasok kulit bola
yang digunakan dalam ajang sepakbola terbesar di dunia itu. Hasil produksinya
diekspor ke banyak negara, mendatangkan banyak devisa untuk Indonesia, sehingga
pemerintah mulai mengajak ayah Jerome dalam politik. Sang ayah kini menjabat
sebuah posisi penting di pemerintahan Jawa Barat.
Maka dari itu, pada tahun
2003 ketika Jerome lahir, dia sudah berada di rumah keluarga kaya. Apa pun yang
Jerome inginkan akan selalu terkabulkan. Uang tak pernah menjadi masalah dalam
hidup Jerome. Merengek sedikit saja kepada ibunya, ATM BRI Juniornya pasti
langsung terisi beberapa juta rupiah.
Apalagi sekarang Jerome
satu-satunya anak yang masih tinggal di rumah. Jerome merupakan lima
bersaudara, tetapi keempat kakaknya sudah menikah dan hengkang dari rumah.
Keempat kakaknya itu meneruskan bisnis ayah mereka di masing-masing kota di
mana cabang perusahaannya dibuka. Karena menjadi satu-satunya “tuan muda” di
rumah, semua orang melayani Jerome, dan harus melayani apa pun keinginan Jerome. Sang ibu, Nyonya Yulia tampak mendukung
konsep tersebut.
“Heh, Surti! Anak saya
pengin bubur sumsum! Cepet cari! Kalau nggak, kamu saya pecat!”
“Ta-tapi Nyonya ... ini,
kan jam satu pagi.”
“Saya enggak peduli! Cepat cari!”
Surti akhirnya dipecat
karena gagal mencari bubur sumsum untuk Jerome yang mendadak ingin makanan
tersebut tengah malam. Lagi pula Jerome enggak suka Surti. Menurut Jerome, Surti itu sering melawan
perintah Jerome.
Namun, meski Jerome
selalu mendapatkan apa yang dia inginkan, dia menyadari bahwa di sekolah dia
tak bisa mendapatkan hal yang sama seperti di rumah. Pada masa SMP, Jerome
bersikap sangat menyebalkan seperti di rumah, sehingga dia tak punya teman satu
pun di sekolah. Masuk masa SMA, Jerome mengubah kepribadiannya menjadi sangat
menyenangkan saat di sekolah, sehingga banyak orang yang menyukainya, bahkan
saat Jerome iseng mendaftarkan diri menjadi ketua OSIS kelas XI lalu, dia
memenangkan voting pemilihan seluruh sekolah.
Tak pernah ada yang tahu
sifat asli Jerome di rumah. Misal dia membawa teman atau pacar ke rumah, Jerome
bakal tetap menjadi pribadi menyenangkan seperti di sekolah. Sifat aslinya
keluar kalau di sekitarnya tak ada teman-teman sekolahnya. Jerome menyadari
betul anomali ini. Dia sudah terbiasa melakukannya, bahkan sudah merasa nyaman mempraktikkannya.
Hingga akhirnya Sabtu
sore yang menyebalkan itu Jerome terjatuh di tangga bus, dan seorang anak baru di
sekolahnya terpaksa mengetahui wajah asli Jerome di rumah.
“Adek sekolah enggak hari ini?” Nyonya Yulia masuk ke kamar Jerome tanpa
mengetuk pintu. Dia menemukan anaknya masih terbaring di atas tempat tidur,
asyik memainkan ponsel.
“Enggak lah, Mom!” balas Jerome ketus. “Kan, kaki Adek masih tatit.”
“Iya, iya, Mommy tahu.”
Nyonya Yulia duduk di samping anaknya sambil membelai kepala anaknya itu. “Tapi
kamu sarapan, ya. Jangan lupa makan.”
“Iyaaa ...! Udah ih,
sana. Mommy ganggu aja. Adek lagi ML.”
“ML?!” Nyonya Yulia
membelalak terkejut. “ML ama siapa?!”
“Ck!” Jerome berdecak sambil
beberapa saat melanjutkan permainannya di ponsel. “Bukan ML ama siapa, Mommy.
ML tuh Mobile Legend. Nih!” Jerome
menunjukkan sekilas permainan di ponselnya.
Nyonya Yulia mengurut
dada lega. “Kirain Mommy kamu berbuat macam-macam, Dek. Jangan, ya. Jangan
aneh-aneh.” Dia mengusap lagi kepala anaknya penuh sayang. “Daddy kamu itu mau
calonin diri jadi Bupati Bolaang Mongondow di Sulawesi Utara tahun 2022 entar. Jangan
sampai kamu ada skandal apa-apa, lalu image
Daddy rusak. Kasihan entar parpol yang udah sponsorin Daddy bisa rugi uang
sia-sia.”
“Iya ... iyaaa ...!”
Jerome tak pernah paham
politik, dan tak pernah peduli semua peringatan ibunya. Diam-diam Jerome
melakukan seks bebas maupun mabuk-mabukan di klub malam. Lagi pula Jerome tak
suka ide ayahnya mengajukan diri jadi kepala daerah di Kabupaten Bolaang
Mongondow. Orang Sulawesi juga bukan,
mengapa jadi pemimpin di sana? pikir Jerome.
“Ya sudah, Mommy hari ini
mau keluar, ya.” Nyonya Yulia bangkit berdiri sambil merapikan rok mahalnya.
“Ke mana?”
“Yah, biasa. Arisan sama
ibu-ibu pejabat udah gitu shopping
bareng di Jakarta. Mommy sama temen-temen naik pesawat jam sepuluh entar ke
Halim. Pulangnya naik pesawat yang Maghrib. Kamu jangan nakal ya di rumah.”
“Iyaaa ...!”
Ini hari kedua Jerome
bolos sekolah pada semester baru. Dia percaya tak akan ada pelajaran apa pun
yang krusial dipelajari setiap awal semester. Paling juga perkenalan dan bincang-bincang nggak penting, pikir
Jerome. Jadi selama terbaring sakit di atas tempat tidur, Jerome bisa main game maupun leha-leha sampai puas.
Anggap saja ini bayaran lunas setelah minggu-minggu melelahkan menyiapkan
kegiatan MOS untuk siswa baru kemarin. Persiapan outbond di lokasi berbeda sungguh-sungguh menghabiskan energi.
Jerome seringkali pulang larut malam dan terpaksa berangkat pagi-pagi sekali
demi kelancaran acara.
Selama dua hari terakhir
pula, Jerome memanggil siswa baru itu untuk mengurut kakinya yang keseleo.
Sebenarnya kaki Jerome sudah lebih baik. Jerome sudah bisa bolak balik ke kamar
mandi, meskipun belum bisa menuruni tangga. Namun karena Jerome masih kesulitan
bergerak ke sana kemari, Tommy selalu dijemput oleh Pajero Sport-nya untuk
datang dan memijat lagi.
Lagi pula, pijatannya memang enak, batin Jerome. Juga
tuh bocah nurut-nurut aja disuruh apa pun.
Jerome sempat khawatir
Tommy akan bilang-bilang ke semua orang bahwa Jerome anak manja nan galak di
rumah sendiri. Namun melihat track record
Tommy yang benar-benar enggak
berkesan (nobody remembers him, Dude),
Jerome rasa dia tak perlu terlalu cemas.
Sore ini, sepulang
sekolah, Pajero Sport itu sudah menunggu di depan SMA untuk menjemput Tommy.
Murid baru dari kelas IBB itu tiba di kediaman Jerome pukul tiga sore. Anaknya
benar-benar lugu. Kepalanya menunduk segan ketika masuk ke kamar tidur Jerome dan
duduk dalam hening di sofa yang ada dekat jendela.
“Kenapa lu?” tanya Jerome
bingung.
“Enggak apa-apa, Kak.”
“Elo, kan udah ke sini tiga kali. Kagak usah malu-malu
lagi. Sana minta Mbok Merry bikinin kita jus buah. Suruh dia bawa ke sini,
terus elo langsung mijat gue lagi.”
“Iya, Kak.”
Tommy menghilang ke dapur
dan kembali membawa mangkuk berisi minyak urut. Minyak itu berupa essential oil dari Young Living, yang
harganya jutaan rupiah, yang diusulkan oleh Nyonya Yulia karena beliau tidak
suka Tommy menggunakan minyak murahan untuk memijat anaknya. Tommy tak banyak
basa-basi. Dia langsung membuka selimut tebal dengan 400 jalinan benang milik
Jerome dan melepas ankle strap
sebelum membalur kaki Jerome dengan minyak.
Jerome membiarkan Tommy
melakukan tugasnya sementara dia menggulir Instagram melihat kabar terbaru di
sekolah. Jerome sudah mengetahui beberapa fakta tentang Tommy. Jerome tahu rumahnya
Tommy, profesi ayahnya, ke sekolah naik apa, atau siapa aja di kelas IBB yang
kemarin daftar juga jadi anggota OSIS. Semua pertanyaan Jerome hanya basa-basi
belaka, tetapi Jerome jadinya tahu.
Ketika Tommy mulai
membalur kaki dengan minyak, Jerome mendapatkan kiriman Whatsapp dari
kekasihnya, Sheena.
Beb, aku main ke rumah ya.
Oke. Mom lagi ga ada juga.
Asyik. Kita bisa ena2
dong?
Bisalah beb.
Kabari aja kalo udh datang.
Skrg lg dimana?
Aku ke TSM dulu beb
Blanja baju baru
Ntar aku kbari ya
Jerome tidak membalas
lagi pesan itu karena mendadak tubuhnya merasa nyaman. Pijatan dari Tommy
benar-benar membuat Jerome relaks, sehingga Jerome meletakkan ponselnya ke atas
meja tidur, lalu mulai memejamkan mata. Jerome juga menikmati aroma menenangkan
yang keluar dari baluran minyak, pun dari alat pewangi ruangan yang sudah
ditetesi essential oil oleh Tommy
sebelumnya.
Jerome tertidur.
Mungkin selama satu jam
penuh, apalagi kedua kaki Jerome terus-menerus dipijat dengan lembut dan
menenangkan oleh Tommy. Ketua OSIS itu terbangun oleh deringan ponselnya
sendiri. Ada telepon dari Sheena.
“Beb, aku udah di bawah, ya. Langsung masuk aja?”
Jerome yang baru saja
bangun, dengan tergesa langsung bilang, “I-iya! Masuk aja, Beb!” Kemudian,
Jerome panik sendiri. Apalagi di depannya masih ada Tommy yang asyik memijat
kaki Jerome. “Heh, pergi lo! Cepetan!”
“Hah?” Tommy kebingungan.
“Cewek gue mau datang.
Sana, pergi!” Jerome bahkan menendang Tommy dengan kakinya yang tidak sakit,
membuat murid baru itu belingsatan membereskan peralatannya, lalu
terjatuh-jatuh menuju pintu.
Sebelum Sheena muncul,
Tommy sudah lenyap dari kamar Jerome. Sok seksi, Jerome membuka kaus yang
membalut tubuhnya, menampilkan tubuh telanjang yang menggoda. Dia memang
berencana bercinta dengan Sheena sore ini. Dia harus siap sedia.
“Beeeb!” sapa Sheena
sambil membuka pintu dan menghabur masuk. “Mommy pada ke mana?”
“Mommy ke Jakarta. Sini!”
Jerome menepuk bagian kosong di sampingnya.
Sheena melemparkan
beberapa kantung belanjaan ke atas sofa. Dengan genit dia melompat ke atas
tempat tidur lalu duduk di atas perut Jerome.
“Hati-hati, Sayang. Kaki
aku lagi sakit,” bisik Jerome.
Sheena mencondongkan
tubuhnya dan segera mencumbu kekasihnya itu. Jerome membalas cumbuan itu dengan
langsung melahap bibir Sheena, melesakkan lidahnya ke dalam mulut Sheena.
Tangannya bergerilya menggerayangi punggung Sheena. Membuat cewek berambut ikal
sepunggung itu mendesah, “Aaahhh ...!”
“Aku kangen kamu, Beb,”
bisik Jerome, melumat lagi bibir Sheena, kemudian lidahnya mulai menelusuri
leher Sheena.
Sheena menengadah
keenakan. Dibukanya seragam SMA, dan dibiarkannya Jerome menenggelamkan wajah di
dadanya. Payudara itu begitu empuk dan lembut. Agak besar dengan puting yang juga
besar. Jerome langsung melucuti kancing-kancing seragam Sheena, menarik turun
branya, membuat kedua payudara Sheena mencuat keluar, bergetar seperti jelly.
“Aku kangen ini, Beb,”
desah Jerome, memainkan dua payudara itu di wajahnya.
“Aaahhh ....” Sheena
hanya mendesah sambil menengadah menatap langit-langit, memejamkan matanya
dengan nikmat. Dia lalu menunduk ke bawah, tepatnya ke selangkangan Jerome, dan
berusaha melepaskan celana pendek itu dari tungkai kekasihnya. Ketika celana
pendek Jerome melorot, sebatang kelamin ereksi teracung tegang di atas perut Jerome.
“Iiihhh ... kok belum
dicukur jembutnya?” desah Sheena. “Aku kan nggak suka.”
“Ya maaf, Beb,” balas
Jerome sambil tetap menjilati payudara Sheena. “Gara-gara MOS aku belum sempet
ngapa-ngapain. Entar aku cukur!”
“Aku tetep sayang kamu
kok, Beb. Aaaaaahhh ...!” Sheena mengerang keras sekali, keenakan oleh
permainan lidah Jerome.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar