selwonK écnoyeB .81
“Gimana outbond-nya? Seru?”
“Lumayan, Ma.”
“Kamu punya banyak
teman?”
Arthur mengangkat bahu. “I won a signature challenge anyway. So maybe
....”
“Signature challenge tuh kayak gimana?” tanya Nyai sambil menoleh
dan mengganti persneling.
“Ya ... kita disuruh
ngumpulin tanda tangan sebanyak-banyaknya. I
guess more than 80% of the new kids signed my book. Sampe halamannya abis.
Padahal enggak disuruh ngasih nomor telepon pun, ada aja
yang cantumin nomor telepon di bawah tanda tangannya.”
“Nice.”
“Kayaknya semua cewek
tanda tanganin bukuku. Pas nyampe Gasibu tuh aku diserang banyak cewek yang
secara sukarela tanda tangan di bukuku. Some
of the boys were also there. And I was stunned, so I just let the book flew
itself from hand to hand. And when I got back my book, it was full.”
Nyai Khadijah tertawa. “Berarti
kalau mau punya pacar, gampang dong. Tinggal milih yang dipingin. Kan, semua cewek tanda tangan.”
Arthur menyikut ibunya.
“Ih, Mama nih apa, sih. Enggak,
lah.”
“Tapi banyak yang cantik,
kaaan ...?” Nyai Khadijah mengedipkan satu mata.
Arthur merasa terganggu.
Jadi dia hanya cemberut dan menyikut ibunya lagi. “Udah, ah. Jangan bahas
begituan.”
Nyai Khadijah paham betul
Arthur seorang straight. Sejak kecil
hingga remaja, tidak ada tanda-tanda Arthur menyukai sesama jenis. Arthur enggak paham betapa kerennya Beyonce, atau betapa enaknya jadi
bottom, atau mengapa kelingking harus
ngetril ke atas kalau minum. Semua
gestur yang Arthur tunjukkan sudah valid mengumumkan bahwa dia straight.
Tentu saja Nyai Khadijah enggak keberatan. Sebagai bagian dari komunitas LGBT, justru
pandangannya terbuka pada keragaman seksualitas. Apa pun seksualitas yang
dimiliki Arthur anaknya, Nyai Khadijah akan support
seratus persen. Mungkin anak remaja masih
malu-malu bahas cinta, pikir Nyai Khadijah. Jadinya, Arthur agak malas bahas soal cewek.
“Tapi kamu have fun kan di outbond-nya?” tanya Nyai Khadijah sambil mengusap kepala Arthur.
“Karena buat Mama, that’s the most
important thing.”
“Yeah. Of course. I did,” jawab Arthur.
“Apa yang paling seru?
Yang paling enggak bisa kamu lupakan?”
Arthur tahu jawabannya,
tetapi dia tahu mengungkapkannya akan memunculkan
masalah baru. Dia tahu ibunya sangat cair dalam memahami seksualitas, karena
Arthur tumbuh dengan kasih sayang seorang ibu yang terus-menerus
mengingatkannya, bahwa, “Manusia itu beragam. Mulai dari fisik, kepercayaan
pada Tuhan, hingga seksualitasnya. Jangan sekali-kali kamu menghakimi seseorang
karena berbeda. Enggak ada yang namanya hitam dan putih di dunia
ini. Semua konsep dualisme itu selalu membawa ruang dan jarak di antaranya,
untuk sebuah spektrum yang lebih luas lagi. Dalam gelap dan terang, ada
remang-remang di antaranya.”
Yang tak bisa Arthur
lupakan tentunya bocah polos kurus yang seperti baru keluar dari telur itu. Pertama
kali melihat Tommy, Arthur menyimpulkan sosok itu sedang mempelajari tentang
dunia. Ada unsur misterius sekaligus keluguan yang menempel pada sosok Tommy. Dan
Arthur, entah dapat dorongan dari mana, selalu merasa ingin mengajaknya
bertualang ke dunianya yang mungkin lebih berwarna. Tommy masih tampak hitam
dan putih. Bahwa banci itu tidak ada, bahwa kalau lahir dengan penis maka
sampai mati dia laki-laki, tak mungkin bisa berjiwa perempuan—seperti ibunya.
Kepolosan itu benar-benar
menarik. Sehingga Arthur tetap menempel kepadanya saat tidur.
Cara-cara Tommy
membelalak terkejut atau salah tingkah, seringkali membuat Arthur tertawa dalam
hati. Arthur jadi ingin merangkul Tommy terus-terusan ke dalam pelukannya
sambil mengusap kepala bocah itu untuk menenangkannya.
Satu hal yang pasti,
Arthur tidak tertarik secara seksual kepada Tommy. Namun semakin sini Arthur
semakin curiga Tommy tertarik pada sesama jenis—yang berarti, bisa jadi, Arthur
salah satu yang ditaksirnya. Karena ketika dua malam kemarin Arthur
memberikan dekapan erat yang intim ....
... tidak ada penolakan
sedikit pun dari Tommy.
Faktanya, Arthur tahu kok
Tommy mengalami orgasme saat dia bertelanjang dada dan memeluk Tommy di tenda
OSIS. Guncangan badan itu seperti sedang menggelinjang. Saat Arthur melirik ke
arah selangkangan Tommy, ada gundukan besar yang keras, yang lama-lama
menciptakan noda basah dari dalam. Saat itu remang-remang, tetapi Arthur yakin
yang dilihatnya adalah apa yang dipikirkannya.
Jadi, kebersamaan bersama
Tommy adalah hal yang tak bisa Arthur lupakan. Arthur tahu, Tommy bukan anak
perempuan cantik yang menggemaskan. Namun kepolosannya juga sama
menggemaskannya. Dia menyayangkan Tommy tak dapat ikut bersama mobilnya untuk
pulang ke rumah. Namun Arthur tahu, dia tak bisa memaksa Tommy begitu saja,
karena belum tentu Tommy menyukainya. He might be gay, but it doesn’t mean he
will like me straight away, pikir Arthur.
Nah, situasi seperti ini,
agak membingungkan untuk disampaikan kepada Nyai Khadijah. Arthur tahu persis dirinya
heteroseksual. Dan Arthur juga memahami sang ibu akan menerima Arthur apa
adanya. Namun kalau Arthur bilang dia dekat dengan seorang cowok, bisa-bisa
Nyai Khadijah bersama semua drag daughter-nya
akan mengira Arthur homoseksual, lalu mungkin lama-lama topik pembicaraan jadi
seputar cowok ganteng, dan tak ada lagi yang ingat Arthur ngaceng-nya melihat cewek.
Bukan seperti itu yang
Arthur mau. Arthur masih belum paham apa menariknya Beyonce, sementara kalau
Arthur ketahuan queer sedikit saja,
Arthur harus mampu presentasi di depan umum tentang Studi Budaya dan Seni Popular Berbasis Selebritas Milenial Bernama
Beyonce Knowles dan Korelasinya Dengan Komunitas LGBT Dalam Implementasi
Kesetaraan Gender dan Ras. Nyai Khadijah berkali-kali cerita soal Univesitas
Copenhagen yang punya jurusan kuliah “Beyonce, Gender, dan Ras” yang fokus pada
studi budaya dan seni dari karya-karya Beyonce.
Bukan.
Bukan seperti itu yang Arthur
harapkan dari keluarganya.
Arthur tahu keluarganya selebay itu
dalam menanggapi kemungkinan Arthur gay.
Sedikit saja Arthur ketahuan gay, ratusan cowok gay
langsung mengantre ingin PDKT. Bahkan setiap Arthur dibawa keliling ke
kelab-kelab oleh Nyai Khadijah, beberapa gay
mencoba mendekatinya. Untung saja Nyai Khadijah selalu siap melindungi Arthur
dari rayuan para gay tak tahu diri
itu.
“Heh, botol kecap Bango!
Jauh-jauh dari anak gue!” teriak Nyai Khadijah kalau ada laki-laki dewasa gay mencoba mendekati Arthur. “Pertama, detseu bukan sekong kayak eluh! Detseu
kagak bakal ngaceng lihat bool burik lo itu! Kedua, ini anak masih
di bawah umur! Kagak bisa ngelihat hah kulitnya mulus begini kayak kulitnya
Cleopatra?! Situ pedofil apa lagi kena santet?!”
Arthur diam-diam
mengacungkan jempol ke ibunya kalau sudah dibela seperti itu.
Makanya kalau dia cerita,
“Ma, aku peluk cowok dua malam outbond,”
bisa-bisa bumi gonjang-ganjing dan rotasi bumi berbalik arah.
Sayangnya, di lain sisi,
Arthur juga masih ingin pulang ke rumah dan menunjukkan bahwa dia punya bromance dengan seorang cowok. Entah
mengapa Arthur yakin hal itu akan membahagiakan ibunya. Dia bisa saja
melakukannya sedari dulu, karena di SMP-nya di Jakarta, nyaris semua banci dan gay di sekolah PDKT dengannya gara-gara
Arthur kelewat baik hati. Para gay
bau kencur ini mengira Arthur memberikan harapan, padahal Arthur cuma orang
baik biasa saja. Yang kalau pulpen seseorang jatuh, dia akan membungkuk dan
menyerahkannya ke yang punya—bukan berarti Arthur punya perasaan cinta atau
apa.
Itulah yang membuat
Arthur selalu galau. Dilema membahagiakan ibu dan diri sendiri sering menjadi pikiran-pikiran
yang mengganggu.
“Heh.” Nyai Khadijah
menyikut Arthur. “Kok,
ngelamun?”
“Oh, enggak,” jawab Arthur salah tingkah. Lamunannya langsung buyar
seketika. “Paling fun waktu kami
unjuk bakat.”
“Oh, really?” Nyai Khadijah menurunkan kacamatanya. “Kamu senam atau
gimana?”
“Iya, Ma. Senam.”
Hingga mereka tiba di
rumah, obrolan Arthur dan ibunya tak menyerempet lagi soal naksir-naksiran.
Arthur menceritakan dengan detail aktivitas outbond
sementara Nyai Khadijah menceritakan rencana-rencananya perform di beberapa kelab malam di Jakarta. Jadi mungkin, hari
Minggu besok, beliau akan ke Jakarta untuk tampil lagi.
Arthur langsung
membereskan peralatan outbond-nya
dengan patuh. Dia simpan sepatu di tempatnya, mengembalikan kotak-kotak makan
ke dapur, juga memisahkan baju-baju kotor ke dalam keranjang mesin cuci. Ketika
Arthur mengeluarkan semua pakaiannya, dia menemukan kaus yang digunakan Tommy
semalaman saat mereka tidur di tenda OSIS.
Arthur menariknya dan
mengamatinya dengan saksama. Dia menoleh ke arah lorong, memastikan tak ada
satu pun orang yang melihatnya. Kemudian dengan kilat, Arthur mencium kausnya
itu.
Wanginya bukan wangi
parfum, mungkin bau keringat karena dia melihat Tommy keringatan bukan main
saat Arthur muncul. Tapi enggak
bau juga, karena ada aroma minyak kayu putih tercampur di beberapa bagian. Ada
perasaan aneh saat Arthur menghidu kaus bekas pakai Tommy. Arthur tak dapat
menjelaskan bagaimana perasaannya. Sehingga Arthur buru-buru memasukkan lagi
kaus itu ke keranjang cucian.
Dia bergegas menuju
kamarnya untuk beristirahat. Beberapa drag
queen anak buahnya Nyai Khadijah sedang duduk di ruang tengah lantai dua, menyapa
Arthur dengan gembira sehingga Arthur harus menyalami mereka satu per satu.
“Iiihhh ... alemong si ganteng udah balik dari james bond!” sapa Cantika Harmonika.
“Hush!” Lolita Chabelita menyikut.
“Outbond.”
“Serah gue kali, Bitch. Gimana
Darling, asyik james bond-nya?”
Arthur mengangguk dan
mengacungkan jempol. “Asyik, dong. Tempatnya dingin, jadinya enak buat
pelukan.”
“Alemooong ... cucok meong!” semua banci di ruangan itu menjerit
keenakan mendengar komentar Arthur.
“Kapan dong kamu peluk
Tante?” goda Lisa Blekkrupuk.
“Yoh!” Arthur mengedikkan
kepala ke arah kamar tidurnya. “Kasurku kosong.”
“Yuk, yuk, yuk!”
“HEH!” sembur Bella Soang
dari seberang ruangan. “Jangan macem-macem yes
kamu sama anabul-nya Nyai!”
“Becanda aja Kaaakkk
...,” balas Lisa Blekkrupuk sambil bibirnya berkedut-kedut sebal.
“Arthur, kamu masuk kamar
aja, gih. Entar bencong-bencong ini horny.
Bisa-bisa satpam di depan ditempong
semua.”
Arthur tertawa. “Iyaaa
....”
Arthur pun masuk ke dalam
kamar dan langsung mengganti baju. Entah mengapa hal pertama yang dia lakukan
setelah membanting tubuh ke atas tempat tidur adalah mengecek Instagram Tommy
yang sebenarnya enggak banyak konten apa-apa. Sosok Tommy mendadak
memenuhi kepalanya, sehingga Arthur menggelengkan kepala untuk menghalau bayangan
itu. Arthur bahkan memutar musik sambil mengecek semua brosur klub renang
dan senam di Bandung yang dikumpulkan Nyai Khadijah beberapa hari yang lalu.
Tetap saja, memori saat
memeluk Tommy memenuhi lagi kepalanya.
Arthur tak merasa jijik
memeluk laki-laki lain secara intim saat itu. Mungkin karena sejak kecil ibunya
mengajarkan toleransi pada seksualitas. Namun Arthur merasa ini bukan sekadar
toleransi. Ada sebuah perasaan kecil di mana Arthur ingin mengulang kejadian
itu sekali lagi.
Enggak, enggak, enggak, batin Arthur. Dia enggak seharusnya berpikiran seperti itu.
Jadi, Arthur kembali fokus pada brosur senam, atau sesekali
menghubungi teman-teman klub renangnya di Jakarta untuk share pengalaman MOS. Namun setelah setengah jam mencoba
mengalihkan diri, sosok Tommy kembali masuk ke dalam kepalanya.
Arthur menarik napas
panjang. Dia memutuskan untuk mengirim Whatsapp saja, biar dia enggak kepikiran.
Tom, udah nyampe rumah?
Pesan itu tak terkirim.
Baru sekitar tiga jam kemudian ceklisnya bertambah satu garis dan berubah warna
menjadi biru. Kebetulan Arthur sedang makan malam di ruang makan sambil
Whatsapp-an dengan beberapa temannya. Jadi, ketika Tommy terdeteksi online, Arthur buru-buru masuk ke chat room itu. Tommy is typing.
Sori baru balas Thur
Aku baru nyampe rumah
Hapeku lowbat dari sejak outbond
Ini baru bisa ngecas lagi di rumah
Tadi buah batu macet total
Oh, okay.
Good that you’re safe and sound.
Iya, tengs.
Gimana Thur ada apa?
Arthur mengetik sesuatu
di ponselnya, “I miss you—“ tetapi
kemudian buru-buru menghapusnya. Arthur bahkan terkejut dirinya sempat
mengetikkan tiga kata itu di Whatsapp. Kok, bisa dia menyebutkan I miss you? Memang sih sedari tadi dia kepikiran
Tommy terus, tapi bukan berarti Arthur kangen, kan?
Arthur hanya ingin mereka
ulang pelukan intim saat tidur kemarin. Bukan Arthur naksir atau betulan rindu
sosok Tommy.
“Kenapa kamu, Thur?” Nyai
Khadijah yang baru saja masuk ke ruangan bertanya. Beliau mengenakan dress flowy yang berkibar saat berjalan.
Motifnya macan tutul.
“Eh, enggak apa-apa,” jawab Arthur, dengan salah tingkah
menyembunyikan ponselnya ke bawah meja. Padahal setelah dipikir-pikir, tidak
ada apa pun yang aneh dari percakapan itu.
“Kok disembunyiin
hapenya? Lagi chatting-an ama siapa, hayo?” goda ibunya sambil menyendok nasi ke
piring.
“Temen aja, kok Ma.”
Arthur pun menarik napas
dan mencoba berpikir rasional. Dibalasnya pesan Tommy dengan lebih netral.
I just wanna say thanks for your cooperation during the—
Enggak, batin Arthur. Tidak ada alasan Arthur berterima kasih pada
Tommy yang secara teknis enggak
membantu banyak di kelas. Jadi, Arthur menghapus lagi pesan itu. Setelah lima
belas menit berpikir keras, akhirnya Arthur mengirim pesan ini.
Gapapa, kok.
Cuma kepikiran, coz I do gymnastic a lot
Maybe someday you should become my injury doctor. How about
it?
To be continued ....
Still hating Tommy's guts but mendukung dwngan pasti kalau Tommy pen jadi Orthopedic sekalian!
BalasHapus