Kamis, 25 Maret 2021

Nude 18

 

selwonK écnoyeB .81

 

“Gimana outbond-nya? Seru?”

“Lumayan, Ma.”

“Kamu punya banyak teman?”

Arthur mengangkat bahu. “I won a signature challenge anyway. So maybe ....

Signature challenge tuh kayak gimana?” tanya Nyai sambil menoleh dan mengganti persneling.

“Ya ... kita disuruh ngumpulin tanda tangan sebanyak-banyaknya. I guess more than 80% of the new kids signed my book. Sampe halamannya abis. Padahal enggak disuruh ngasih nomor telepon pun, ada aja yang cantumin nomor telepon di bawah tanda tangannya.”

Nice.

“Kayaknya semua cewek tanda tanganin bukuku. Pas nyampe Gasibu tuh aku diserang banyak cewek yang secara sukarela tanda tangan di bukuku. Some of the boys were also there. And I was stunned, so I just let the book flew itself from hand to hand. And when I got back my book, it was full.

Nyai Khadijah tertawa. “Berarti kalau mau punya pacar, gampang dong. Tinggal milih yang dipingin. Kan, semua cewek tanda tangan.”

Arthur menyikut ibunya. “Ih, Mama nih apa, sih. Enggak, lah.”

“Tapi banyak yang cantik, kaaan ...?” Nyai Khadijah mengedipkan satu mata.

Arthur merasa terganggu. Jadi dia hanya cemberut dan menyikut ibunya lagi. “Udah, ah. Jangan bahas begituan.”

Nyai Khadijah paham betul Arthur seorang straight. Sejak kecil hingga remaja, tidak ada tanda-tanda Arthur menyukai sesama jenis. Arthur enggak paham betapa kerennya Beyonce, atau betapa enaknya jadi bottom, atau mengapa kelingking harus ngetril ke atas kalau minum. Semua gestur yang Arthur tunjukkan sudah valid mengumumkan bahwa dia straight.

Tentu saja Nyai Khadijah enggak keberatan. Sebagai bagian dari komunitas LGBT, justru pandangannya terbuka pada keragaman seksualitas. Apa pun seksualitas yang dimiliki Arthur anaknya, Nyai Khadijah akan support seratus persen. Mungkin anak remaja masih malu-malu bahas cinta, pikir Nyai Khadijah. Jadinya, Arthur agak malas bahas soal cewek.

“Tapi kamu have fun kan di outbond-nya?” tanya Nyai Khadijah sambil mengusap kepala Arthur. “Karena buat Mama, that’s the most important thing.”

Yeah. Of course. I did,” jawab Arthur.

“Apa yang paling seru? Yang paling enggak bisa kamu lupakan?”

Arthur tahu jawabannya, tetapi dia tahu mengungkapkannya akan memunculkan masalah baru. Dia tahu ibunya sangat cair dalam memahami seksualitas, karena Arthur tumbuh dengan kasih sayang seorang ibu yang terus-menerus mengingatkannya, bahwa, “Manusia itu beragam. Mulai dari fisik, kepercayaan pada Tuhan, hingga seksualitasnya. Jangan sekali-kali kamu menghakimi seseorang karena berbeda. Enggak ada yang namanya hitam dan putih di dunia ini. Semua konsep dualisme itu selalu membawa ruang dan jarak di antaranya, untuk sebuah spektrum yang lebih luas lagi. Dalam gelap dan terang, ada remang-remang di antaranya.”

Yang tak bisa Arthur lupakan tentunya bocah polos kurus yang seperti baru keluar dari telur itu. Pertama kali melihat Tommy, Arthur menyimpulkan sosok itu sedang mempelajari tentang dunia. Ada unsur misterius sekaligus keluguan yang menempel pada sosok Tommy. Dan Arthur, entah dapat dorongan dari mana, selalu merasa ingin mengajaknya bertualang ke dunianya yang mungkin lebih berwarna. Tommy masih tampak hitam dan putih. Bahwa banci itu tidak ada, bahwa kalau lahir dengan penis maka sampai mati dia laki-laki, tak mungkin bisa berjiwa perempuan—seperti ibunya.

Kepolosan itu benar-benar menarik. Sehingga Arthur tetap menempel kepadanya saat tidur.

Cara-cara Tommy membelalak terkejut atau salah tingkah, seringkali membuat Arthur tertawa dalam hati. Arthur jadi ingin merangkul Tommy terus-terusan ke dalam pelukannya sambil mengusap kepala bocah itu untuk menenangkannya.

Satu hal yang pasti, Arthur tidak tertarik secara seksual kepada Tommy. Namun semakin sini Arthur semakin curiga Tommy tertarik pada sesama jenis—yang berarti, bisa jadi, Arthur salah satu yang ditaksirnya. Karena ketika dua malam kemarin Arthur memberikan dekapan erat yang intim ....

... tidak ada penolakan sedikit pun dari Tommy.

Faktanya, Arthur tahu kok Tommy mengalami orgasme saat dia bertelanjang dada dan memeluk Tommy di tenda OSIS. Guncangan badan itu seperti sedang menggelinjang. Saat Arthur melirik ke arah selangkangan Tommy, ada gundukan besar yang keras, yang lama-lama menciptakan noda basah dari dalam. Saat itu remang-remang, tetapi Arthur yakin yang dilihatnya adalah apa yang dipikirkannya.

Jadi, kebersamaan bersama Tommy adalah hal yang tak bisa Arthur lupakan. Arthur tahu, Tommy bukan anak perempuan cantik yang menggemaskan. Namun kepolosannya juga sama menggemaskannya. Dia menyayangkan Tommy tak dapat ikut bersama mobilnya untuk pulang ke rumah. Namun Arthur tahu, dia tak bisa memaksa Tommy begitu saja, karena belum tentu Tommy menyukainya. He might be gay, but it doesn’t mean he will like me straight away, pikir Arthur.

Nah, situasi seperti ini, agak membingungkan untuk disampaikan kepada Nyai Khadijah. Arthur tahu persis dirinya heteroseksual. Dan Arthur juga memahami sang ibu akan menerima Arthur apa adanya. Namun kalau Arthur bilang dia dekat dengan seorang cowok, bisa-bisa Nyai Khadijah bersama semua drag daughter-nya akan mengira Arthur homoseksual, lalu mungkin lama-lama topik pembicaraan jadi seputar cowok ganteng, dan tak ada lagi yang ingat Arthur ngaceng-nya melihat cewek.

Bukan seperti itu yang Arthur mau. Arthur masih belum paham apa menariknya Beyonce, sementara kalau Arthur ketahuan queer sedikit saja, Arthur harus mampu presentasi di depan umum tentang Studi Budaya dan Seni Popular Berbasis Selebritas Milenial Bernama Beyonce Knowles dan Korelasinya Dengan Komunitas LGBT Dalam Implementasi Kesetaraan Gender dan Ras. Nyai Khadijah berkali-kali cerita soal Univesitas Copenhagen yang punya jurusan kuliah “Beyonce, Gender, dan Ras” yang fokus pada studi budaya dan seni dari karya-karya Beyonce.

Bukan.

Bukan seperti itu yang Arthur harapkan dari keluarganya. Arthur tahu keluarganya selebay itu dalam menanggapi kemungkinan Arthur gay. Sedikit saja Arthur ketahuan gay, ratusan cowok gay langsung mengantre ingin PDKT. Bahkan setiap Arthur dibawa keliling ke kelab-kelab oleh Nyai Khadijah, beberapa gay mencoba mendekatinya. Untung saja Nyai Khadijah selalu siap melindungi Arthur dari rayuan para gay tak tahu diri itu.

“Heh, botol kecap Bango! Jauh-jauh dari anak gue!” teriak Nyai Khadijah kalau ada laki-laki dewasa gay mencoba mendekati Arthur. “Pertama, detseu bukan sekong kayak eluh! Detseu kagak bakal ngaceng lihat bool burik lo itu! Kedua, ini anak masih di bawah umur! Kagak bisa ngelihat hah kulitnya mulus begini kayak kulitnya Cleopatra?! Situ pedofil apa lagi kena santet?!”

Arthur diam-diam mengacungkan jempol ke ibunya kalau sudah dibela seperti itu.

Makanya kalau dia cerita, “Ma, aku peluk cowok dua malam outbond,” bisa-bisa bumi gonjang-ganjing dan rotasi bumi berbalik arah.

Sayangnya, di lain sisi, Arthur juga masih ingin pulang ke rumah dan menunjukkan bahwa dia punya bromance dengan seorang cowok. Entah mengapa Arthur yakin hal itu akan membahagiakan ibunya. Dia bisa saja melakukannya sedari dulu, karena di SMP-nya di Jakarta, nyaris semua banci dan gay di sekolah PDKT dengannya gara-gara Arthur kelewat baik hati. Para gay bau kencur ini mengira Arthur memberikan harapan, padahal Arthur cuma orang baik biasa saja. Yang kalau pulpen seseorang jatuh, dia akan membungkuk dan menyerahkannya ke yang punya—bukan berarti Arthur punya perasaan cinta atau apa.

Itulah yang membuat Arthur selalu galau. Dilema membahagiakan ibu dan diri sendiri sering menjadi pikiran-pikiran yang mengganggu.

“Heh.” Nyai Khadijah menyikut Arthur. “Kok, ngelamun?”

“Oh, enggak,” jawab Arthur salah tingkah. Lamunannya langsung buyar seketika. “Paling fun waktu kami unjuk bakat.”

“Oh, really?” Nyai Khadijah menurunkan kacamatanya. “Kamu senam atau gimana?”

“Iya, Ma. Senam.”

Hingga mereka tiba di rumah, obrolan Arthur dan ibunya tak menyerempet lagi soal naksir-naksiran. Arthur menceritakan dengan detail aktivitas outbond sementara Nyai Khadijah menceritakan rencana-rencananya perform di beberapa kelab malam di Jakarta. Jadi mungkin, hari Minggu besok, beliau akan ke Jakarta untuk tampil lagi.

Arthur langsung membereskan peralatan outbond-nya dengan patuh. Dia simpan sepatu di tempatnya, mengembalikan kotak-kotak makan ke dapur, juga memisahkan baju-baju kotor ke dalam keranjang mesin cuci. Ketika Arthur mengeluarkan semua pakaiannya, dia menemukan kaus yang digunakan Tommy semalaman saat mereka tidur di tenda OSIS.

Arthur menariknya dan mengamatinya dengan saksama. Dia menoleh ke arah lorong, memastikan tak ada satu pun orang yang melihatnya. Kemudian dengan kilat, Arthur mencium kausnya itu.

Wanginya bukan wangi parfum, mungkin bau keringat karena dia melihat Tommy keringatan bukan main saat Arthur muncul. Tapi enggak bau juga, karena ada aroma minyak kayu putih tercampur di beberapa bagian. Ada perasaan aneh saat Arthur menghidu kaus bekas pakai Tommy. Arthur tak dapat menjelaskan bagaimana perasaannya. Sehingga Arthur buru-buru memasukkan lagi kaus itu ke keranjang cucian.

Dia bergegas menuju kamarnya untuk beristirahat. Beberapa drag queen anak buahnya Nyai Khadijah sedang duduk di ruang tengah lantai dua, menyapa Arthur dengan gembira sehingga Arthur harus menyalami mereka satu per satu.

“Iiihhh ... alemong si ganteng udah balik dari james bond!” sapa Cantika Harmonika.

“Hush!” Lolita Chabelita menyikut. “Outbond.”

“Serah gue kali, Bitch. Gimana Darling, asyik james bond-nya?”

Arthur mengangguk dan mengacungkan jempol. “Asyik, dong. Tempatnya dingin, jadinya enak buat pelukan.”

Alemooong ... cucok meong!” semua banci di ruangan itu menjerit keenakan mendengar komentar Arthur.

“Kapan dong kamu peluk Tante?” goda Lisa Blekkrupuk.

“Yoh!” Arthur mengedikkan kepala ke arah kamar tidurnya. “Kasurku kosong.”

“Yuk, yuk, yuk!”

“HEH!” sembur Bella Soang dari seberang ruangan. “Jangan macem-macem yes kamu sama anabul-nya Nyai!”

“Becanda aja Kaaakkk ...,” balas Lisa Blekkrupuk sambil bibirnya berkedut-kedut sebal.

“Arthur, kamu masuk kamar aja, gih. Entar bencong-bencong ini horny. Bisa-bisa satpam di depan ditempong semua.”

Arthur tertawa. “Iyaaa ....”

Arthur pun masuk ke dalam kamar dan langsung mengganti baju. Entah mengapa hal pertama yang dia lakukan setelah membanting tubuh ke atas tempat tidur adalah mengecek Instagram Tommy yang sebenarnya enggak banyak konten apa-apa. Sosok Tommy mendadak memenuhi kepalanya, sehingga Arthur menggelengkan kepala untuk menghalau bayangan itu. Arthur bahkan memutar musik sambil mengecek semua brosur klub renang dan senam di Bandung yang dikumpulkan Nyai Khadijah beberapa hari yang lalu.

Tetap saja, memori saat memeluk Tommy memenuhi lagi kepalanya.

Arthur tak merasa jijik memeluk laki-laki lain secara intim saat itu. Mungkin karena sejak kecil ibunya mengajarkan toleransi pada seksualitas. Namun Arthur merasa ini bukan sekadar toleransi. Ada sebuah perasaan kecil di mana Arthur ingin mengulang kejadian itu sekali lagi.

Enggak, enggak, enggak, batin Arthur. Dia enggak seharusnya berpikiran seperti itu.

Jadi, Arthur kembali fokus pada brosur senam, atau sesekali menghubungi teman-teman klub renangnya di Jakarta untuk share pengalaman MOS. Namun setelah setengah jam mencoba mengalihkan diri, sosok Tommy kembali masuk ke dalam kepalanya.

Arthur menarik napas panjang. Dia memutuskan untuk mengirim Whatsapp saja, biar dia enggak kepikiran.

Tom, udah nyampe rumah?

Pesan itu tak terkirim. Baru sekitar tiga jam kemudian ceklisnya bertambah satu garis dan berubah warna menjadi biru. Kebetulan Arthur sedang makan malam di ruang makan sambil Whatsapp-an dengan beberapa temannya. Jadi, ketika Tommy terdeteksi online, Arthur buru-buru masuk ke chat room itu. Tommy is typing.

Sori baru balas Thur

Aku baru nyampe rumah

Hapeku lowbat dari sejak outbond

Ini baru bisa ngecas lagi di rumah

Tadi buah batu macet total

Oh, okay.

Good that you’re safe and sound.

Iya, tengs.

Gimana Thur ada apa?

Arthur mengetik sesuatu di ponselnya, “I miss you—“ tetapi kemudian buru-buru menghapusnya. Arthur bahkan terkejut dirinya sempat mengetikkan tiga kata itu di Whatsapp. Kok, bisa dia menyebutkan I miss you? Memang sih sedari tadi dia kepikiran Tommy terus, tapi bukan berarti Arthur kangen, kan?

Arthur hanya ingin mereka ulang pelukan intim saat tidur kemarin. Bukan Arthur naksir atau betulan rindu sosok Tommy.

“Kenapa kamu, Thur?” Nyai Khadijah yang baru saja masuk ke ruangan bertanya. Beliau mengenakan dress flowy yang berkibar saat berjalan. Motifnya macan tutul.

“Eh, enggak apa-apa,” jawab Arthur, dengan salah tingkah menyembunyikan ponselnya ke bawah meja. Padahal setelah dipikir-pikir, tidak ada apa pun yang aneh dari percakapan itu.

“Kok disembunyiin hapenya? Lagi chatting-an ama siapa, hayo?” goda ibunya sambil menyendok nasi ke piring.

“Temen aja, kok Ma.”

Arthur pun menarik napas dan mencoba berpikir rasional. Dibalasnya pesan Tommy dengan lebih netral.

I just wanna say thanks for your cooperation during the—

Enggak, batin Arthur. Tidak ada alasan Arthur berterima kasih pada Tommy yang secara teknis enggak membantu banyak di kelas. Jadi, Arthur menghapus lagi pesan itu. Setelah lima belas menit berpikir keras, akhirnya Arthur mengirim pesan ini.

Gapapa, kok.

Cuma kepikiran, coz I do gymnastic a lot

Maybe someday you should become my injury doctor. How about it?



To be continued ....


<<< Part 17  |  Nude  |  Part 19 >>>

1 komentar:

  1. Still hating Tommy's guts but mendukung dwngan pasti kalau Tommy pen jadi Orthopedic sekalian!

    BalasHapus

Nude 33

  ssendrawkwA emitefiL .33     Pada suatu pagi lima tahun lalu, Miza bangun lebih pagi dari biasanya meski semalaman tak bisa tidur. D...