feirayS azlE .71
Gara-gara Pak Anto,
sekarang semua orang di sekolah tahu bahwa Tommy bisa memijat. Bahkan, Tommy
sudah terkenal sebagai anak tukang pijat. Hancur sudah impiannya membual ke
semua orang bahwa dia anak berkecukupan dari ayah PNS dan ibu buka toko—begini
rencana awalnya memperkenalkan diri. Tommy tak sudi menyebut pekerjaan ayahnya
apa karena dia malu. Sudah sejak lama dia malu. Waktu SMP sering diejek, “Si
bencong anak tukang urut!”
Namun saat bus Tommy tiba
di Gasibu sebagai rombongan terakhir, dia langsung diseret ke sebuah bus khusus
yang isinya para peserta cedera—termasuk Cokro. Ada sekitar tiga belas peserta
MOS yang ditempel stiker merah di pipinya sebagai pertanda sedang sakit. Ada
yang demam biasa, ada yang keseleo juga, ada yang asma. Tentu saja Tommy tak
perlu menangani semua. Beberapa panitia OSIS yang ada dalam bus itu memiliki
kemampuan medis yang cukup karena mereka tergabung dalam ekskul PMR.
Pada akhirnya, Tommy tak
bisa mengikuti upacara penutupan. Tita dari kelas MIA keseleo di Kiarapayung,
tubuhnya terperosok ke dalam sebuah selokan besar. Hingga Tita tiba di Gasibu,
kakinya masih keseleo. Jadi, Tommy segera mengambil minyak lalu mengurut bagian
yang dirasa bergeser.
Yang bikin sebal adalah
Pak Anto koar-koar ke banyak guru lain atau senior OSIS, bahwa, “Tommy dari
kelas IBB anaknya tukang urut profesional. Dia bisa ngurut juga diajarin bapaknya.
Coba minta Tommy untuk ngurutin bagian mana yang sakit.”
Semua sudah terlambat.
Bahkan, Pak Wardoyo, yang
tampak segar bugar, minta dikerok dengan dalih masuk angin. Dua jam penutupan
MOS Tommy lewatkan begitu saja. Tommy tak dapat menonton unjuk bakat,
penyerahan award, lomba yel-yel,
berada di samping Arthur sambil kasmaran, menonton penampilan Arthur sambil
kasmaran, mengamati Arthur sambil kasmaran, semua harus digantikan dengan
pasien-pasien masuk angin dan keseleo di dalam bus OSIS.
Yang bisa Tommy dengar
dari speaker hanyalah pemenang
yel-yel terbaik berasal dari kelas X IIS 3 dan unjuk bakat terbaik diraih oleh
X MIA 2. Kelas IBB meraih peringkat dua unjuk bakat, karena sejago apa pun
Arthur jungkir balik sebagai pesenam profesional, konsep unjuk bakatnya enggak jelas. Ada yang menyanyi, membaca puisi, menari,
tahu-tahu ada yang tumbling. Kan gaje. Untungnya kelas IBB mendapat tepuk
tangan paling banyak, itu pun karena Arthurnya ganteng.
Tommy masih belum bisa melupakan malam menakjubkan yang
dialaminya semalam. Dia terbangun keesokan paginya karena ribut-ribut senior
OSIS mencari bahan makanan. Sudah tidak ada Arthur maupun Pak Anto di tenda
OSIS tersebut. Hanya ada Cokro yang sedang diwawancarai salah satu senior
tentang kondisi terakhirnya.
Tommy segera bangkit dan kembali ke tendanya untuk
membereskan semua peralatan. Arthur sedang ada di dalam tenda, membantu
Baharudin menyambungkan ristleting ransel yang rusak.
“Pagi!” sapa Arthur
dengan senyum lebar.
“P-pagi ...,” jawab Tommy
malu-malu kucing.
Arthur mengenakan kaus
olahraga pagi itu, jadi Tommy rada-rada kecewa. Dia sebenarnya berharap Arthur
masih telanjang dada atau apa. Sepanjang perjalanan ke Gasibu, Tommy lagi-lagi
duduk sendiri, karena Arthur dikerubungi lalat-lalat semacam Marsella, Nikita,
dan Olivia. Namun tak apa. Tommy menghabiskan perjalanan dari Tangkuban Perahu
ke Gasibu dengan mereka ulang semua kejadian yang dialaminya semalam. Tommy
bahkan masih merekam aroma tubuh Pak Anto yang memikat, atau hangatnya tubuh
Arthur di tengah wilayah pegunungan yang dingin.
Tommy benar-benar
kasmaran. Paling kangen kepada Arthur, karena pelukan itu benar-benar nyaman
dan menenangkan.
Ketika upacara penutupan
selesai dan para pasien dijemput pulang oleh keluarganya, Tommy berlari keluar
bus untuk mencari Arthur. Cowok itu sedang melayani foto bareng peserta MOS
lain, khususnya dari kelas MIA dan IIS yang tidak satu perkemahan dengan Arthur.
Antreannya sudah seperti selebritas papan atas. Dan Arthur entah mengapa
terlihat oke-oke saja melayani semua foto bareng itu.
Tommy melihat ransel dan
peralatan camping Arthur tertinggal di tumpukan barang-barang kelas IBB.
Dengan baik hati, Tommy menyeretnya mendekat ke empunya. Ketika sesi foto itu
selesai, Arthur mengangkat kedua alisnya melihat semua perlengkapannya sudah
dibawakan Tommy.
“Ah, thanks, Man!” Arthur menepuk lengan Tommy sambil mengangkat
ranselnya yang besar, lalu menggendongnya.
“Thanks too, Bro,”
balas Tommy, bingung apakah dia perlu menepuk lengan Arthur juga atau nggak.
Karena gestur menepuk
lengan itu terlihat maskulin barusan, Tommy pun mencoba menepuk lengan Arthur
yang berotot. Namun mungkin karena sedang kasmaran, Tommy jadi kayak orang yang
sedang menyentuh layar ponsel touchscreen.
Sangat lembut sentuhannya.
“Kamu dijemput?” tanya
Arthur.
Tommy menggeleng. “Aku
naik angkot sekali aja dari depan.”
“Angkot?” Tommy
mengerutkan alis. “Rumah kamu di mana?”
“Setrasari.”
Arthur menggeleng. “I have no idea where the F is that,” katanya, sambil tergelak kecil. “Ikut mobil mamaku aja.
Mau?”
Mau! jerit
Tommy dalam hati. Namun karena dia orang Indonesia, tentu saja jawabannya, “Ah,
enggak usah.” Meskipun maksudnya adalah yes, yes, yes.
“Really? Mamaku kayaknya enggak
masalah ngantarin kamu dulu.”
“Enggak apa-apa, kok,” jawab Tommy. Iya, itu tuh maksudnya mau!
Arthur mengangkat lagi
kedua alisnya. “Ya udah, kalau memang enggak
mau.”
Eh, lho, kok? Tommy
kebingungan. Memangnya Arthur enggak
ngeh bahwa jawaban Tommy barusan maksudnya adalah mau? Dia kan hanya berbasa-basi saja. Nyaris semua orang Indonesia
yang Tommy kenal bilang enggak
mau padahal mau. Seolah-olah sudah etikanya kita menjawab “tidak mau” tetapi
yang menawarkan tetap harus melakukannya.
“M-maksud aku—“ Ketika
Tommy bermaksud menjelaskan lebih gamblang bahwa dia hanya berbasa-basi saja
tadi, tiba-tiba terdengar suara gaduh dari seberang lapangan.
“Aaargh!” Lebih tepatnya
teriakan kesakitan dari arah bus-bus yang diparkir.
Beberapa orang berkumpul
dan tampak berusaha menolong seseorang. Tak lama kemudian terdengar sebagian dari
mereka berseru, “Panggil si Tommy yang anak IBB! Tommy yang anak IBB!”
Oh, shit, batin Tommy. Pasti keseleo lagi.
“Seems like you’re still having a patient today,” kata Arthur sambil
terkekeh. “Ah, mamaku juga sudah datang.” Arthur mengedikkan kepala ke arah
sedan merah yang baru saja muncul dari salah satu bus yang akan pulang. “Yakin
nih enggak mau ikut?”
“Aku ... sebenernya ....”
Arthur menepuk bahu Tommy.
“It’s alright. Aku paham. Kamu pasti
pengin nolongin orang yang di sana, kan?”
NO. BUKAN BEGITU! Enggak, enggak, enggak!
Aku justru pengin pulang sama kamu! jerit
Tommy dalam hati. Tommy bahkan sudah menggelengkan kepala untuk membantah
pernyataan Arthur itu, tetapi entah mengapa tak ada kata-kata keluar dari mulutnya.
“See you on Monday, then!” Arthur pun pergi menghampiri mobil
ibunya, sementara Tommy harus berjalan lesu ke arah kerumunan orang di parkiran
barat sana.
Tommy merasa bodoh sekali
tak mengungkapkan keinginan yang sebenarnya. Meski nanti akan semobil dengan
ibunya Arthur, seenggaknya Tommy bisa menghabiskan lebih banyak waktu bersama
Arthur sebelum sampai di rumah. Perjalanan dari Gasibu ke rumahnya paling tiga
puluh menit, tetapi tiga puluh menit itu akan menjadi menit-menit paling
membahagiakan bagi Tommy. Kan, dia sedang kasmaran kepada Arthur.
Tommy merasa kecolongan.
Barusan itu tawaran yang mungkin enggak
akan datang sering-sering.
Namun saat Tommy tiba di
kerumunan, setidaknya pasien Tommy kali ini orang ganteng juga.
Jerome.
Ketua OSIS superramah dan
digilai banyak cewek sedang terduduk di atas aspal sambil memejamkan mata
kesakitan. Dari mulutnya juga keluar erangan-erangan perih.
Seseorang menjelaskan
dengan singkat kepada Tommy, “Kayaknya Jerome tadi miss step tangga bus, jadinya jatuh dan kakinya keseleo.”
Badan Jerome menggigil,
yang memang tanda-tanda awal perjuangan tubuh mengatasi rasa sakit dadakan itu.
Meski yang keseleo adalah kakinya, Jerome juga tampak memegangi pahanya
seolah-olah ada bagian yang sakit di situ.
“Bagian paha juga harus
diurut, Kak. Karena ini nyambung dari sini ke sana,” terang Tommy.
“Mobil elo udah jemput, Jer,” ungkap seseorang lagi, entah siapa.
Jerome mengangguk. “Oke.
Kamu bisa ikut saya, enggak?”
tanya Jerome, matanya memincing karena kesakitan.
“Ikut ke …?”
“Ke rumah saya. Argh!”
balas Jerome ngilu. “Kamu pijat di mobil, kalau perlu lanjut di rumah saya,
argh! Entar kamu diantar pulang sama, argh, sopir saya.”
“O-oke ....” Tak ada pilihan lain, pikir Tommy.
Setelah acara melelahkan camping dua
malam, Tommy rasa—misal ada siswa lain dengan bakat memijat seperti Tommy—tak
akan ada yang mau pergi ke rumah Jerome untuk memijat kaki yang cedera. Semua
orang ingin sekali menghabiskan akhir pekan di rumah karena kegiatan outbond ini benar-benar melelahkan.
Anggap saja Arthur benar,
bahwa Tommy ingin menolong orang sebelum pulang.
Sebuah Pajero Sport
berwarna perunggu muncul mendekati kerumunan. Jerome dibawa masuk ke jok
penumpang, diikuti oleh Tommy setelah sebelumnya meletakkan ransel dan peralatan
camping di bagian belakang.
Jerome ini manis banget, pikir Tommy. Mungkin pasien terganteng yang dia tangani
selama masa outbond ini. Seperti yang
pernah dijelaskan, wajahnya tipe-tipe yang bikin orang pengin cubit pipinya,
saking imut dan menggemaskan. Jerome yang kelihatan jelas baik hati, juga
tampak jenaka dan menyenangkan. Tommy rasa perjalanannya menangani Jerome akan
berlalu baik-baik saja.
Ketika pintu ditutup, Jerome
langsung menodong Tommy proses yang perlu dilakukan.
“Gue harus gimana?” tanyanya
tegas, seperti pemimpin.
Karena secara teknis Jerome
Ketua OSIS, Tommy agak terintimidasi. “B-buka celana, Kak,” katanya agak segan.
“Bagian paha sebelah sini harus dipijat. Sebelah aja yang dibuka.”
“Oke. Lo bantu gue.”
Nada bicara ini berbeda
dari yang diketahui Tommy. Pertama, seingat Tommy, Jerome tidak menggunakan
gue-elo sehari-hari. Kedua, Jerome terdengar bossy. Namun sekali lagi, Tommy tidak merasakan apa pun yang aneh
karena memang Jerome ini ketua OSIS. Dan dia sedang kesakitan juga. Semua orang
yang sedang kesakitan menjadi enggak
sabaran.
Tommy mengira Jerome
hanya akan melepaskan sebelah celana SMA-nya saja. Namun ketika Tommy dengan
hati-hati menarik salah satu tungkai celana itu, Jerome memerosotkan seluruhnya.
Tommy kebingungan dan mengerutkan alisnya.
“Buka semuanya lah, bego.
Masa satu doang?”
Tommy terkejut mendengar
perubahan reaksi itu. Namun sekali lagi, Tommy memahaminya karena orang yang
sedang kesakitan biasanya jadi emosian. Bukan sekali dua kali Tommy bertemu
pasien ayahnya yang marah-marah sambil dipijat. Ada yang sampai membentak dan
meludahi ayahnya, tetapi mereka memang butuh dipijat. Yah, namanya juga
pengobatan. Obat apa, sih yang enak? Enggak
semua obat seenak obat maag atau dikasih perisa stroberi.
Hal pertama yang Tommy
lakukan adalah menggali ingatan tentang bagaimana sang ayah sabar menghadapi pasien
yang marah-marah. Biasanya Kang Asep akan menjelaskan mengapa rasa sakit itu
muncul, sehingga pasien bisa paham.
“Jadi, Kak, urat yang di sini
tuh ketarik. Dan ini tuh nyambung ke bagian—“
“Alah berisik, lo!”
potong Jerome ketus. Dia juga mengerang lagi, “Aaargh!” yang terdengar sangat
memilukan.
Tommy memutuskan mungkin
ini bukan saat yang tepat untuk membalas secara ilmiah mengapa pijatan itu akan
menyakitkan. Malah, fokus Tommy beralih segera ketika mendapati dua tungkai
indah milik Jerome berada di depannya sekarang. Jerome mengenakan celana dalam
abu-abu bermerek, dari bahan yang membalut sempurna area selangkangan Jerome,
pun memberi ruang bagi kemaluannya untuk terkulai lembut. Jendolan itu cukup
besar. Tommy menelan ludah dan berusaha keras tidak mencuri pandang ke arah
sana.
Sayangnya, hal tersebut
sulit dilakukan.
Tanpa Tommy sadari,
sesekali dia melirik ke arah kemaluan Jerome meski tangannya sedang sibuk
memijat kaki. Tommy bahkan mulai menemukan beberapa rambut kemaluan itu mencuat
keluar dari pinggiran celana dalam. Tommy sampai membelalak salah tingkah,
kemudian benar-benar melempar pandangan ke arah lain sambil menelan ludah.
Karena Jerome mengerang
kesakitan sepanjang perjalanan, sopir Pajero Sport itu memberikan usul, “Mau
saya antar ke rumah sakit aja?”
“Kagak, lah. Anjing!”
balas Jerome galak. “Ngapain ke rumah sakit?! Nih, udah ada tukang urut di
sini. Bentar lagi juga sembuh.”
Tommy ingin membantah
pernyataan Jerome, karena mengunjungi rumah sakit, setidaknya melakukan rontgen
kaki, adalah langkah yang tepat.
Kalau dislokasinya parah, Kang Asep juga akan meminta tamunya melakukan rontgen
terlebih dahulu sebelum melakukan proses pijat. Sesekali Tommy diajari membaca
hasil rontgen, meski Kang Asep bukan orang yang ahli-ahli amat membaca rontgen.
Rumah Jerome berlokasi di
Buah Batu, di sebuah kompleks perumahan mewah yang pastinya milik orang-orang kaya. Agak lama mencapai lokasi ini
karena Jalan Buah Batu macetnya bukan main pada hari Sabtu. Selama sekitar 120
menit Pajero itu bergerak dari Gasibu ke Buah Batu, di mana normalnya bisa
ditempuh dalam 20-30 menit saja. Selama itu jugalah Tommy memijat dan mengurut
bagian kaki Jerome yang sakit, bahkan ketua OSIS manis itu memerintahkan Tommy
untuk terus memijat tanpa henti.
“Lanjut, dong! Kok
berhenti?” tanyanya galak ketika Tommy beristirahat sebentar. Alhasil, karena
tangan Tommy sudah pegal, dia hanya membalur kaki Jerome dengan minyak kayu
putih dan mengusap-usapnya naik turun.
Ketika mobil tiba di kediaman
Jerome, waktu menunjukkan pukul empat sore. Jerome turun dari mobil tanpa
celana, dipapah oleh sopir dan juga Tommy di masing-masing sisi. Layaknya anak
kecil, Jerome mengerang kesakitan sambil melompat-lompat menggunakan satu kaki,
menaiki tangga, menyusuri teras depan, lalu masuk ke ruang tamu.
Seorang wanita mengenakan
blazer mahal khas orang-orang kaya muncul dengan wajah khawatir. Beliau
menyanggul rambutnya besar-besar, sudah mirip petinggi Yayasan Puteri Indonesia, Ibu KD. Di leher, telinga, dan pergelangan tangannya ada banyak
sekali perhiasan emas yang bergemerincing ketika dia berlari menghampiri
Jerome.
“Aduuuhhh ... Deeek! Kamu
kenapa?” tanyanya dengan dramatis. “Kenapa ini Pak Yanto? Anak saya ketabrak di
mana? Siapa yang nabrak?”
“Alah, Mommy. Adek cuma jatuh
dari bus aja,” balas Jerome malas. Tommy dan sopir yang tampaknya bernama Pak
Yanto itu membantu Jerome duduk di sofa ruang tamu, tetapi Jerome langsung
ngegas lagi, “Elah, ngapain gue duduk di sini. Bawa gue ke kamar! Cepet!”
“Terus busnya di mana
sekarang? Dibawa ke sini nggak? Kita tuntut perusahaan bus itu!” sahut ibunya
Jerome penuh percaya diri. “Papa kamu punya banyak relasi sama pengacara. Kalau
perlu, kita boyong Elza Syarief, Dek.”
“Idih, Mommy lebay!”
rengek Jerome. “Udah ah, Adek mau ke kamar dulu!”
“Terus celana Adek mana?!
Diambil juga, ya
sama busnya?!” Ibunya Jerome memegang
pipinya dengan ketakutan. Persis emosikon di Whatsapp yang digunakan chatter saat terkaget-kaget.
“Jangan-jangan Adek korban penculikan yang sampe ke celana-celana itu, ya?!
Yang beberapa tahun lalu sempat heboh itu?”
“Iiihhh ... Mommy
berisik!” balas Jerome sambil cemberut. “Celana Adek di mobil! Udah, ah Adek
mau ke kamar dulu!”
Tommy sebenarnya ingin
tertawa, tetapi dia tahan. Ternyata, seseorang bisa berbeda 180 derajat saat
berada di rumah dan di sekolah. Di sekolah, Jerome tampak sangat ramah dan
berwibawa, seorang leader yang
mendengarkan aspirasi rakyatnya, menyapa setiap anak yang lewat, ganteng,
akrab, baik hati, lucu, jenaka, segala-galanya kesempurnaan calon imam yang
baik. Namun setibanya di rumah mendadak jadi anak manja yang gampang merengek dan
cemberut. Dan dipanggil Adek. Dan tampak sangat-sangat dimanja.
Tommy berpikir, mungkin
sikap galaknya di mobil bukan karena Jerome sedang kesakitan. Bisa jadi memang
wataknya seperti itu.
Setelah dibaringkan di
atas tempat tidur, seorang pelayan membawakan baju ganti dan menyajikan jus
jeruk bersama beberapa biskuit. Tommy menjelaskan beberapa hal kecil seperti,
jangan dulu berjalan bertumpu pada kaki yang keseleo atau jangan lupa membebat kaki
dengan ankle strap.
Namun reaksi Jerome malah
begini. “Alah, ribet! Besok lo ke sini lagi periksain sama pijitin gue. Enggak mau tahu!” Jerome pun mendengus angkuh. “Sekarang, elo boleh pergi. Mobil yang tadi bakal nganter lo pulang,
terus mobil yang sama bakal jemput lo besok. Sana!”
To be continued ....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar