Kamis, 25 Maret 2021

Nude 16

 

dnatS thgiN enO .61

 

Dalam perjalanan, dia bertemu Karyo dan Baharudin yang tampak baru kembali dari masjid sambil berlari-lari. Karyo dan Baharudin mengenakan sajadah sebagai tameng kepalanya. Mereka berhenti saat melihat Tommy berjalan panik ke sebuah kumpulan pohon bambu.

“Teh dari mana itu?” cegat Baharudin sambil terengah-engah.

“Ini bukan teh!” sahut Tommy panik, mencoba mencari jalan melewati kedua banci di depannya ini.

“Kita, kan enggak disediakan teh buat malam-malam,” ungkap Karyo, ngos-ngosan juga. “Tea is for morning drink. But I want tea drinking right now. May I?”

Karyo sudah mengulurkan tangannya untuk mengambil gelas itu, tetapi Tommy segera berteriak, “Jangan!” Dan Tommy pun memutari mereka berdua agar bisa mencapai pohon bambu terdekat. Dibuangnya gelas berisi air kencing itu dengan segera. Jantungnya berdegup kencang seolah-olah Tommy baru saja melakukan aksi kriminal. Namun desir darah yang menggebu itu juga akibat tubuhnya terangsang oleh sentuhan di kelamin Cokro tadi.

Tommy benar-benar ingin masturbasi.

“Why you throw to tree bamboo?!”

“Kamu tuh beneran benci sama kita ya Tom sampe teh aja dibuang ke tanah sama gelas-gelasnya, saking enggak sudinya kamu bantu kita yang kecapean lari dari bawah?!” sergah Baharudin emosional. Tommy melihat bahu Baharudin berguncang menahan tangis. Dadanya pun kembang kempis.

Karyo mencoba menenangkan Baharudin dengan mengelus pundaknya. “Done, done.”

“Bukan gitu ...,” balas Tommy bingung.

“Aku enggak paham salah apa kita sama kamu?!” ungkap Baharudin terbawa emosi. Bahkan di bawah gelapnya malam, melalui pantulan cahaya lampu sorot di tengah perkemahan, Tommy dapat melihat mata Baharudin berkaca-kaca. “Kalau kamu enggak mau ngaku kamu banci kayak kita, ya udah. Aku minta maaf karena aku terus-terusan maksa kamu ngaku. Aku cuma kira kamu tuh sama kayak kita, makanya kita deketin karena siapa tahu kita bisa berjuang bareng di SMA ini. Tapi kalau sampai segelas teh aja kamu senajis itu enggak ngasih ke kita, apa sih salah kita, Tom?”

Beberapa murid yang kebetulan berada di sekitar, menoleh tertarik.

“Yang barusan bukan teh,” desis Tommy, mencoba menjelaskan, tetapi enggak berani bersuara keras.

“It is ice tea. I looked it!” kata Karyo membela diri. “My feeling is same like Baharudin. Kalau kamu tersinggung karena kita sebut kamu banci, I too forgiveness, Tom. Tapi kok kamu segitunya sampe  buang teh yang bisa kita minum karena barusan kecapean lari dari bawah.”

“Kita tuh tadi dari masjid. Terus di sana hujan. Jadi kita lari ke sini,” ungkap Baharudin menambahkan. “Capek tahu lari nanjak gelap-gelap kayak barusan. Kita juga enggak minta kamu sediain minum atau apa. Cuma minta setetes ... setetes aja teh yang kamu pegang untuk membayar dahaga kita, tapi kamu buang sama gelas-gelasnya. Memangnya kita ini virus corona, hah?”

Tommy mendengus kesal karena sedari tadi tak punya kesempatan untuk menjelaskan. Jadi, agak memekik Tommy berkata, “Itu bukan teh! Itu air pipisnya Cokro!”

Dan entah mengapa, pada saat bersamaan, bumi perkemahan terdengar hening, teristimewa saat Tommy mengatakan “air pipisnya Cokro”. Sehingga seluruh orang yang ada di kompleks tenda itu menoleh ke arah Tommy.

Tommy merah padam. Matanya membelalak melihat semua mata kini tertuju kepadanya, persis slogan Miss Indonesia. Dengan gugup dan terbata-bata, Tommy juga menjelaskan ke semua orang yang memandangnya, “C-Cokro ma-masih sakit buat berdiri. J-jadi aku minta dia pipis di gelas. Udah gitu, a-aku bantuin buang.”

Beberapa orang saling berpandangan saat mendengar penjelasan itu, tetapi kemudian melanjutkan aktivitasnya. Kecuali Arthur. Yang tetap memandang ke arah Tommy, yang kini mulai menghampiri Karyo dan Baharudin. Tommy melihat Arthur sedang menatapnya dari jauh. Dan Tommy teringat janjinya kepada Arthur. Jadi Tommy benar-benar menghampiri Karyo dan Baharudin dengan tulus, mengulurkan tangannya dengan canggung.

“A-aku yang minta maaf,” ujar Tommy sambil menunduk. “Aku cuma ... aku ... aku nggak mau punya masalah di sekolah ini. Aku cuma ingin belajar dengan tenang.”

Karyo dan Baharudin berpandangan. Sambil tersenyum lebar, Karyo menyambut uluran tangan itu dengan tulus. “Iya, aku juga minta maaf kalau ada wrong.”

“Aku minta maaf pernah meludahi kamu,” ungkap Tommy tulus juga.

Karyo mengangguk. “Aku paham situasi kamu.”

Tommy melepaskan jabatan tangannya lalu mengulurkan tangan ke Baharudin. “Maaf, ya.”

“Iya.” Baharudin membalas uluran itu, tetapi pada saat bersamaan, tetesan-tetesan air hujan mulai berjatuhan.

“Hujannya udah nyampe sini,” gumam Baharudin sambil menengadah. “Sepatuku masih di luar! Aku duluan, ya!” Baharudin dan Karyo meninggalkan Tommy dengan terburu-buru, karena tetesan hujan semakin lama semakin deras.

Semua orang di sekitaran api unggun juga mulai berlarian ke sana kemari, kebanyakan menuju tendanya masing-masing. Sebelum Tommy berlari ke tenda OSIS lagi, dia sempat melihat Arthur menatapnya dari jauh dan tersenyum. Tommy merasa lega Arthur dapat menangkap momen permintaan maaf itu.

Ketika Tommy masuk ke dalam tenda, Cokro sedang menutup mata dan mencoba tertidur. Tommy menemukan sehelai selimut tebal yang disediakan OSIS untuk peserta sakit di antara tumpukan ransel. Ditariknya selimut itu dan dipasangkannya menutupi tubuh Cokro yang mulai menggigil kecil.

Tommy lalu duduk menunggu hujan reda di salah satu sudut tenda. Dia tidak bisa memainkan ponsel karena baterainya sudah habis dari kemarin, dan Tommy tak punya power bank. Desakan untuk masturbasinya sudah lenyap gara-gara kejadian Karyo dan Baharudin barusan, tetapi Tommy akan selalu ingat bagaimana rasanya memegang kemaluan laki-laki yang kenyal dan mungil di balik rambut pubis yang baru tumbuh. Dia hanya merasa sekarang bukan waktu yang tepat.

Pertama, di dalam tenda ini ada Cokro yang bisa saja menoleh ke arahnya dan memergokinya memainkan kelamin. Kedua, hujan sangat deras di luar menciptakan suara tetesan air yang berisik sehingga Tommy tak bisa memastikan siapa yang akan masuk ke dalam tenda.

Selama nyaris tiga puluh menit, Pak Anto akhirnya masuk dengan kondisi agak-agak basah kuyup sambil membawa tiga bungkus mi goreng. “Waduh, kita abis gas barusan jadi Bapak ke bawah dulu, masak di warung dekat masjid. Udah gitu nunggu hujan reda, tapi kayaknya enggak reda-reda. Akhirnya Bapak pinjam payung. Maaf menunggu lama.”

Tommy tak merasa Pak Anto harus meminta maaf. Dedikasinya membawakan Tommy dan Cokro makan malam pun sudah patut dianugrahi award guru terbaik sepanjang masa. Tak pernah dalam hidup Tommy bertemu guru yang rela berlari menembus hujan hanya demi mengantarkan makan malam muridnya. Pak Anto terlalu baik sebagai seorang guru. Ramah pula. Dan menawan. Dan itu membuat Tommy merasa harus memberikan umpan balik yang setimpal, misalnya dengan fokus pada mata pelajaran Antropologi, kalau bisa mendapatkan nilai terbaik.

Pak Anto meletakkan bungkusan mi goreng di tengah ruangan seraya membersihkan kakinya yang kotor oleh lumpur menggunakan lap. Tommy bangkit ke tumpukan logistik di mana tadi dia temukan selimut untuk Cokro. Di sana juga ada handuk darurat. Enggak begitu besar, tetapi cukup untuk mengelap bekas hujan. Diserahkannya handuk itu kepada Pak Anto.

“Alhamdulillah, ada handuk ternyata.” Pak Anto mendesah lega seraya mengambil handuk itu lalu mengusap kepalanya yang agak basah. “Makasih ya Tommy. Handuk saya ada di dalam tenda saya. Di sebelah.”

“Iya, Pak. Barusan saya nemu di kantung plastik logistik.”

“Gimana Cokro? Baikan?”

“Tangannya masih belum bisa digerakkan.” Tommy menghampiri Cokro dan mengecek lagi tangan maupun kakinya. Sayup-sayup Tommy mendengar dengkuran kecil keluar dari mulut Cokro yang menganga sedikit. “Tapi sekarang Cokronya udah tidur.”

“Ya udah, gapapa. Kamu makan dulu, ya. Di kantung logistik ada baju juga?”

Seingat Tommy tidak ada, jadi Tommy menggeleng. Tommy menghampiri makan malamnya, duduk di depan Pak Anto. Dia melihat Pak Anto mulai menarik tepian bawah kemeja polonya yang basah, sehingga Tommy membelalak.

Jangaaannn ...! jerit Tommy dalam hati.

Namun Pak Anto, yang tentunya tak bisa mendengar kata hati Tommy, terlanjur membuka kemeja polo itu sambil menggantungkannya di sebuah kawat agar kering. “Haduh, baju-baju saya juga di sebelah, euy,” gumam Pak Anto.

Guru antropologi itu tak tahu apa efek yang dialami muridnya dengan bertelanjang dada. Paparan kulit berwarna terang, guratan-guratan tubuh berisi, khas pemuda 30 tahunan yang kurus enggak, gendut enggak, nge-gym enggak, tapi badannya besar dan berisi, tampil memesona seperti patung-patung telanjang para dewa Yunani. Sumpahnya ini bukan badan berotot peserta L-Men, tetapi bagi Tommy tubuh telanjang Pak Anto itu jauh lebih indah dan menakjubkan. Dua puting gelap dan susuran rambut halus di sekitar pusarnya membuat darah Tommy berdesir kencang lagi.

Ya Tuhan ..., Tommy menangis dalam hati. Kan, aku jadi ngaceng lagi.

Tommy tak habis pikir, mengapa para cowok dengan mudahnya telanjang dada (atau menyodorkan kelaminnya untuk kencing) di depan cowok lain. Ya memang, sih secara logika harusnya Tommy biasa-bisa saja, karena bagi orang-orang ini, Tommy bukanlah homoseksual. Namun kamu pun pasti bisa membayangkan perjuangan Tommy agar tetap waras dan enggak salah tingkah di depan pemandangan indah guru laki-laki tampan yang bertelanjang dada dan kini mengelap sebagian tubuhnya dengan lap.

“Bapak enggak kedinginan buka baju?” tanya Tommy, berusaha mencari cara agar gangguan itu teralihkan.

“Ya pengin sih pake baju. Tapi baju saya kan semua di tenda sebelah. Yang ini basah.” Pak Anto lalu berjalan kembali ke depan Tommy dan mulai membuka bungkusan mi goreng untuk dirinya sendiri.

Oh bagus, sekarang pemandangan surga yang membuat kemaluannya snut-snutan itu malah berada di depan wajah Tommy. Semoga saja celananya yang basah juga nggak dibuka, karena kalau iya, Tommy bisa mimisan. Diam-diam Tommy mencari cara agar ereksinya tidak terlihat oleh Pak Anto, jadi Tommy menarik-narik tepian bawah bajunya ke atas lantai. Sebisa mungkin Tommy tidak melihat ke arah Pak Anto. Matanya fokus menatap mi goreng di hadapannya.

Begini, meski Tommy sudah tahu masturbasi sejak SMP dan nyaris melakukannya setiap hari, dia tidak pernah melakukan aktivitas seksual dengan siapa pun. Tidak ada paman yang memerkosanya pada masa kecil, tidak ada teman SMP yang penasaran dengan seks sehingga onani bareng misalnya, tidak ada juga online dating yang berakhir pada one night stand. Tommy pernah mencoba Grindr, tetapi ketika orang-orang tahu dia berumur empat belas tahun, semuanya menyingkir.

Tommy perawan tulen. Satu-satunya yang pernah menyentuh kelaminnya hanyalah tangannya sendiri. Padahal sudah sejak SD Tommy menggali informasi tentang dirinya termasuk seksualitasnya. Umur tiga belas tahun, Tommy terangsang melihat tubuh telanjangnya. Dia membereskan kamar tanpa mengenakan pakaian dan menemukan kelaminnya ereksi sepanjang sesi beres-beres itu. Ketika Tommy menyentuhnya, dia merasakan sensasi nikmat. Itulah kali pertama Tommy orgasme.

Semakin sini Tommy semakin belajar bahwa laki-laki dewasa yang telanjanglah yang mampu membuat kelaminnya mengacung keras. Itu pun sangat-sangat spesifik, laki-laki dewasanya harus good looking dan muda, tidak lebih tua dari 40 tahun. Kalau melihat kakek-kakek telanjang sih Tommy sudah sangat sering karena semua pasien ayahnya pasti nyaris bugil setiap dipijat.

Maka dari itu, menyentuh kemaluan Cokro adalah turning point dalam hidupnya. Kalau momen berharga tersebut dipadukan dengan pemandangan Pak Anto telanjang dada, ambyar sudah selangkangan Tommy malam ini. Tommy enggak sanggup lagi menahan gejolak seksual yang menggebu-gebu.

Dengan tergesa-gesa, Tommy menyelesaikan mi gorengnya, lalu membungkus sisa makan ke dalam plastik, kemudian melompat ke satu kantung tidur paling ujung. Namun kantung tidur itu enggak berada di sebelah dinding tenda, karena ada banyak bahan makanan ditumpuk di sana. Tak apa, batin Tommy. Ini sudah titik terjauh di ruangan ini dari pemandangan surga sebelah sana.

“Pak, aku tidur duluan, ya!” sahut Tommy tanpa menoleh.

“Ya, ya. Silakan. Tidur aja. Nanti kalau Cokro butuh bantuan, gapapa ya Bapak bangunin?”

“Iya, Pak.” Tommy tak peduli lagi. Dia harus tidur. Harus. Situasinya benar-benar tak nyaman karena gelora seksualnya sedang memuncak, sementara dia tak bisa melakukan apa pun di dalam tenda itu. Dia tak bisa masturbasi, karena pasti kentara banget kalau tangannya bergerak-gerak mencurigakan di selangkangan. Apalagi menggerakkan panggulnya maju mundur menggesek kelamin ke lantai, bisa-bisa Pak Anto ngamuk dan mengeluarkannya dari sekolah.

Mungkin karena Tommy kelelahan berjuang untuk tak masturbasi, ditambah hujan deras di luar tenda menciptakan nuansa sempurna untuk beristirahat, Tommy sempat ketiduran selama beberapa puluh menit. Dia terbangun dalam kondisi menjepit kelaminnya sendiri di antara paha, tetapi kelamin itu tak sekeras sebelumnya. Tommy masih memunggungi Pak Anto dan Cokro di seberang ruangan. Satu lengannya kesemutan karena ditindih dalam posisi yang sama. Lampu pijar dalam tenda sudah padam, digantikan oleh lampu tidur kecil yang memendar remang-remang oleh baterai. Hujan masih turun cukup deras di luar. Namun suara dengkuran Pak Anto terdengar sangat jelas di dalam ruangan.

Tommy menoleh perlahan-lahan ke belakang. Dia merasakan hangat sosok manusia di sebelahnya. Dalam cahaya remang-remang tenda, Tommy bisa melihat bahwa Pak Anto tidur di sampingnya.

Masih telanjang dada.

Oh, nooo ..., jerit Tommy dalam hati. Kenapa masih seksi, sih Pak? Kan aku horny lagi.

Tommy rasanya ingin menangis. Hasrat seksual itu benar-benar tak bisa dia kontrol. Pantas saja ada banyak orang yang memerkosa, karena memang gairah seksual ini seperti racun yang membuat gila. Tommy tidak membenarkan perkosaan, tentu. Dia malah salut pada milyaran manusia yang berhasil menahan nafsunya dari memerkosa. Karena ternyata menahan nafsu itu sangat sulit. Apalagi bagi remaja amatiran semacam Tommy.

Pak Anto meletakkan kedua tangannya di bawah kepala. Handuk yang tadi dia pakai untuk mengelap kepala, dia gunakan untuk menyelimuti perutnya. Namun meski dalam cahaya minim, Tommy dapat melihat puting susu gelap yang menggairahkan itu.

Tommy menghabiskan bermenit-menit mengamati pemandangan di depannya. Perut Pak Anto kembang-kempis karena bernapas. Dadanya juga sesekali naik turun. Tanpa Tommy sadari, sekarang wajahnya sudah berada di samping ketiak Pak Anto. Tommy menghidu aroma Pak Anto yang khas laki-laki dewasa. Aroma itu begitu memabukkan dan nikmat. Aroma kejantanan. Aroma maskulin. Aroma yang membuatmu ingin membenamkan kepala di setiap inci permukaan kulit telanjang itu. Wajah Pak Anto dilihat dari perspektif bawah juga tampak memesona. Bekas cukuran jambangnya memberikan ketegasan bahwa dia sosok maskulin yang siap melindungi kaum-kaum lemah.

Oh, tidak. Tampaknya Tommy nyaris orgasme sekarang. Orgasme karena menghidu aroma asli tubuh Pak Anto.

Ingin rasanya Tommy menyentuh puting susu itu. Menyentuh saja. Merasakan kulitnya yang keras, lalu memainkannya ... lalu mengisapnya ... enggak, enggak enggak, batin Tommy. Tolong jangan berpikiran yang bukan-bukan!

Tommy menarik napas dan mati-matian menjaga diri. Tubuhnya berkeringat, padahal suasana di luar sangat-sangat dingin. Karena kelamaan memandang tubuh telanjang Pak Anto yang terpapar di depan Tommy, kaus yang Tommy kenakan menempel ke tubuhnya karena keringat. Sekarang kemaluannya mulai terasa ngilu. Mungkin karena berpuluh-puluh menit ereksi, tetapi tidak ada eksekusi dilakukan Tommy.

Tommy sudah tak tahan lagi. Desiran darahnya yang menggebu-gebu membuatnya gelisah. Tommy tahu, dia harus orgasme supaya hidupnya tenang.

“Bismillah,” gumam Tommy nekat. Tommy bergeser mendekati Pak Anto, mendekatkan wajahnya pada ketiak berambut halusnya Pak Anto. Tommy mengulurkan tangan ke balik celananya sendiri, mulai memijat-mijat kelaminnya. Hidungnya menghidu aroma tubuh alami itu. Rasanya benar-benar nikmat. Mungkin sebentar lagi air mani Tommy keluar. Dia hanya butuh mendekatkan wajahnya ke kulit Pak Anto, membenamkan hidungnya pada aroma yang memabukkan itu ....

Wajah Tommy semakin dekat. Rambut-rambut ketiak itu mulai menggelitiki hidungnya. Dengan aroma yang semakin kuat dan memabukkan ....

... kelamin Tommy pun sudah sangat menegang ....

Tommy mulai merasakan—

Zzzrrrttt ...! Ritsleting pintu tenda dibuka seseorang dari luar.

Oh, shit, shit, shit, SHIT! jerit Tommy dalam hati seraya kelabakan berbalik memunggungi Pak Anto. Tommy tak tahu apakah orang yang masuk barusan melihatnya sedang mengendus ketiak guru antropologi di sekolahnya atau tidak. Namun Tommy bisa memastikan melalui ekor matanya, sebuah sosok membawa payung, tersorot oleh lampu sorot luar, tengah mencoba masuk ke dalam tenda. Mungkin panitia OSIS, entahlah. Sosok itu menurunkan payungnya di depan pintu dan menggembol sesuatu di pundaknya.

Tommy panik dan ketakutan bukan main. Kepergok sedang mengendus ketiak guru yang sedang tidur (dan gurunya laki-laki) adalah hal terakhir yang ingin dia alami di dunia ini. Pikiran pendeknya mulai merencanakan konsep bunuh diri, karena dilihat dari perspektif mana pun, yang Tommy lakukan barusan benar-benar memalukan. Lebih memalukan dibandingkan menjadi gay itu sendiri.

Napas Tommy mulai memburu karena rasa gugup. Keringat mengucur lebih banyak dibandingkan saat menikmati Pak Anto barusan. Tommy meringkuk dan mulai merasa kedinginan. Jantungnya berdegup lebih kencang, rasanya seperti sedang mencolong perabot di rumah yang sepi, tahu-tahu yang punya rumah muncul dan Tommy harus bersembunyi. Deg-degannya seperti itu.

Tommy memejamkan mata supaya orang yang baru masuk itu mengiranya sedang tidur. Melalui kelopak mata yang sedikit terbuka, sosok itu tampak sedang membereskan semua bahan makanan yang ditumpuk di samping Tommy. Dia memindahkan kardus-kardus mi dan Energen ke bagian lain tenda. Kakinya berjalan mondar-mandir selama bermenit-menit membersihkan area. Tahu-tahu sehelai alas tidur tebal dihamparkan di samping Tommy.

Memberanikan diri, Tommy membuka satu matanya untuk melihat siapa sosok yang rada maksa tidur di samping Tommy, padahal area di sebelah Cokro kosong melompong.

Arthur.

Dia sekarang sedang membuka selimut lebar-lebar, bersiap untuk bergelung di balik selimut. Arthur melihat ke arah Tommy dan mengerutkan alis.

“Kamu belum tidur?” tanyanya berbisik.

Tommy menelan ludah. Perlahan-lahan, Tommy mendongak dan memandang Arthur dengan tatapan memelas. Dalam hati Tommy, dia memohon-mohon, please Arthur, andai kamu melihat apa pun barusan, itu enggak seperti yang kamu pikirkan, kok. Aku enggak bermaksud mengendus Pak Anto. Please jangan berpikiran yang macam-macam.

“Badan kamu menggigil lagi?” Arthur duduk di sebelah Tommy sambil membuka kantung tidurnya. “Baju kamu juga basah sama keringat. Were you catching a cold?” Arthur memegang kening Tommy.

“Aku enggak apa-apa,” balas Tommy, berbisik juga.

“Get up!” Arthur menarik tubuh Tommy agar duduk. Tommy hanya menurut.

Kemudian, tanpa diduga, Arthur membuka kaus yang membalut tubuhnya. Tubuh atletis pesenam dan perenang langsung terkuak di depan mata Tommy, membuat cowok itu membelalak salah tingkah lagi.

“Bajuku baru dipakai dan masih kering. Kamu pakai ini aja,” katanya. “Sekarang, buka bajumu.”

Bunuh aja deh aku, batin Tommy. Di belakang ada Pak Anto telanjang dada, di depan ada Arthur setengah telanjang sedang menyodorkan kausnya. Mana badan Arthur sempurna total! Bisep trisep yang pas, dada bidang yang pas, perut kotak-kotak yang pas, udah deh ... tinggal disebut dewa Yunani orang-orang pasti percaya.

Apa dosa Tommy sampai harus dihadapkan pada situasi sulit seperti ini?

Bukannya jantung berhenti berdetak, degupannya justru semakin kencang. Tommy sebisa mungkin mengalihkan pandangan ke arah lain agar tak perlu melihat lekukan-lekukan sempurna tubuh Arthur. Karena meski cahaya remang-remang, justru lekukan itu tampak kokoh dan indah dilihat. Tommy menelan ludah berkali-kali dan semakin berkeringat.

“Open your shirt,” bisik Arthur. Namun karena Tommy sedang kesambet, yang diartikan Arthur sebagai kelelahan karena sedang sakit, Arthur pun membantu membuka kaus Tommy. Dikenakannya kaus itu ke tubuh Tommy, kemudian dibaringkannya lagi Tommy ke kantung tidurnya, diselimuti oleh selimut tebal yang digembol Arthur tadi.

Masih bertelanjang dada, Arthur berbaring di samping Tommy dan menarik selimut yang sama menutupi tubuhnya. Dia berguling menghadap Tommy yang sedang gelisah belum orgasme.

“Tenda kita berisik,” bisik Arthur beberapa saat kemudian, di bawah hujan yang mulai berubah gerimis. “Karyo dan Udin rebutan tidur di sampingku. Once I let each of them to sleep by my side, they keep talking about their favorite thing.

Tommy melirik Arthur yang masih bugil di bawah selimut, kemudian menelan ludah dan bertanya, “Kamu enggak akan pakai baju?”

I’m fine. Selimutnya juga tebal.” Arthur melemparkan senyum lebar. “Lagian tadi aku latihan buat unjuk bakat besok. I gotta be honest, I’m still warmed up right now.”

Tommy tak tahu harus merespons bagaimana. Posisinya semakin sulit sekarang. Memunggungi Arthur, berarti dia harus melihat tubuh telanjang Pak Anto yang dewasa. Memunggungi Pak Anto, dia akan melihat tubuh telanjang Arthur yang sempurna.  Melihat ke atas pun sama saja bohong, karena ekor matanya malah menangkap siluet dua tubuh telanjang yang memikat itu.

Bagaimana kabar kelamin Tommy di bawah sana?

Kerusuhan.

Kelamin itu mengacung keras sampai-sampai Tommy bisa melihat jendolannya di permukaan selimut. Diam-diam, Tommy menarik banyak-banyak kain selimut ke area selangkangannya agar jendolan itu tidak kentara.

“Kamu masih enggak enak badan?” tanya Arthur.

Tommy menggeleng.

Badanku terlalu enak, Thur, batin Tommy. Aku cuma bingung bagaimana melampiaskannya.

“Kamu masih menggigil,” gumam Arthur, sekali lagi mengecek dahi Tommy. Yang suhunya terasa normal-normal saja. “Come here!” kata Arthur tiba-tiba.

Tommy dapat merasakan tubuh Arthur mendekat. Tangannya menarik tubuh Tommy mendekat juga. Arthur menggulingkan tubuh Tommy ke arah Pak Anto, kemudian lengan-lengan berotot itu melingkari tubuh Tommy. Arthur mendekap erat tubuh Tommy ke tubuhnya. Tengkuk Tommy dapat merasakan napas hangat Arthur. Punggung Tommy menyentuh lekukan-lekukan berotot itu, merengkuhnya dengan kuat.

“Human heat can save a life,” bisik Arthur. “Semoga hangatku cukup.”

Lebih dari cukup, batin Tommy. Dia masih belum bisa mengatakan apa-apa karena tubuhnya masih gelisah dengan gairah seksual yang tak terlampiaskan.

“Besides,” kata Arthur lagi, “aku janji buat tidur di samping kamu kalau kamu minta maaf ke Karyo dan Udin. I saw you did that thing earlier. So thanks.

Arthur mendekap Tommy lebih erat. Entah ini hanya perasaan Tommy saja, tetapi rasanya dia bisa merasakan kelamin Arthur menyentuh pantat Tommy, meski kelamin itu tidak sedang ereksi. Dengan pemandangan surga lain di depannya, yaitu Pak Anto yang mendadak berguling ke arah Tommy, punah sudah pertahanan Tommy.

Tanpa disentuh oleh apa pun, air mani itu keluar juga membasahi celana Tommy. Keluar banyak sekali, tidak seperti biasanya. Membuat Tommy bergetar keenakan di balik rengkuhan Arthur yang telanjang, menghidu dua aroma tubuh laki-laki berbeda.

Ini malam terbaik Tommy seumur hidup.


To be continued ....


<<< Part 15  |  Nude  |  Part 17 >>>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Nude 33

  ssendrawkwA emitefiL .33     Pada suatu pagi lima tahun lalu, Miza bangun lebih pagi dari biasanya meski semalaman tak bisa tidur. D...