Kamis, 25 Maret 2021

Nude 15


iraneP aseD .51

 

Tommy tak memahami pesan seniornya itu. Namun dia tak berani bertanya lebih banyak karena Miza adalah alumni yang bahkan sudah lulus kuliah, yang berarti dia ini maha maha maha senior dibandingkan semua senior yang ada di bumi perkemahan. Tommy selalu merasa terintimidasi oleh kakak kelas. Nggak pernah sekali pun dalam hidupnya Tommy berani melawan kakak kelas.

Cokro dipapah kembali ke perkemahan, diikuti kelompok Tommy yang diharuskan kembali ke base.

“Saya lihat kalian barusan ambil entrance yang salah. Harusnya kalian tadi ikuti jalur awal,” ungkap Miza seraya merangkul Cokro di bahunya. “Peta yang kalian pegang itu nggak meng-cover area sini, karena memang nggak ada aktivitas apa-apa di sini.”

Ini gara-gara Nina, batin Tommy dengan puas.

Pak Anto dan tim medis menyambut Cokro ke tenda OSIS sementara empat anggota kelompok Tommy berdiri clueless di dekat kayu-kayu api unggun. Tak ada siapa pun di sana, karena semua kelompok sedang sibuk melakukan aktivitas di pos-pos yang disediakan. Bisa jadi beberapa kelompok saling berpapasan lalu berbagi strategi. Tommy membayangkan pasti akan sangat menyenangkan kalau kegiatan hari ini dilalui normal melalui jalan setapak yang seharusnya.

Miza keluar dari tenda OSIS sambil berdiri menghadap keempat murid baru itu. “Okay. Karena kalian seenggaknya perlu mengunjungi dua pos, saya antar kalian ke sana gimana?”

“Mau!” sahut Keysha dan Olivia berbarengan. Di mana Tommy yakin, excitement itu dimotivasi oleh pesona Miza yang jantan.

Nina memutar bola mata. “Kita bisa kok pergi sendiri. Palingan sekarang masuk lewat jalan yang benar aja.”

“Yakin bisa pergi sendiri?” tanya Miza.

“Nggak bisa, lah,” sahut Olivia. “Kita cuma berempat. Pamali tahu keliaran di Gunung Tangkuban Perahu empat orang. Nanti dimakan kalong wewe. Harus berlima!”

Semua yang ada di sana mengerutkan alis. Sejak kapan ada kepercayaan lokal semacam itu?

Okay, saya ikut,” ujar Miza akhirnya. “Tapi kalian ladies yang memimpin di depan, saya ikut dari belakang untuk mengawasi. Oke?”

Menemukan dua pos pertama ternyata sangat mudah kalau sejak awal mengikuti petunjuk peta yang ada. Yang membuat agak lama adalah Keysha maupun Olivia berusaha pedekate dengan Miza sehingga kecepatan kelompok Tommy berada di bawah batas wajar. Pukul empat sore ketika tujuh kelompok yang lain sudah kembali ke perkemahan dan menyelesaikan misi di semua pos, kelompok Tommy baru menyelesaikan dua pos. Miza langsung menghentikan misi kelompok Tommy dan mengajaknya kembali ke perkemahan.

Sepanjang perjalanan pulang, Miza tampak lega berhasil lepas dari Keysha dan Olivia yang menempel dan bersaing merebut perhatian. Miza berjalan dekat sekali dengan Tommy. Bahkan tampak berusaha berada sedekat mungkin dengan murid baru itu.

Tommy, lagi-lagi GR hari ini. Sudah dua cowok ganteng membuatnya salah tingkah. Tommy sebenarnya bertanya-tanya, mengapa Miza bisa muncul dengan kilat ketika suar asap itu dikeluarkan? Kalau memang jalan mereka salah, seharusnya butuh waktu lama untuk panitia menemukan mereka. Kan, mereka tidak berada di wilayah yang dijangkau panitia. Ketika Keysha, Olivia, dan Nina berada cukup jauh dari mereka, Tommy pun menanyakan pertanyaan itu.

“Karena kalian sejak awal udah nyasar,” jawab Miza. “Gue kira kalian mau kabur dari kegiatan ini, makanya gue buntutin dari belakang.”

Tommy merasa canggung mendengar seniornya ini mulai menggunakan gue-elo dalam bercakap-cakap. Tommy tak pernah terbiasa menggunakan kata ganti orang Jakarta ini. Mungkin karena Tommy tidak merasa dirinya anak gaul, padahal toh banyak juga orang Bandung yang menggunakannya.

“Kakak udah sering hiking?” tanya Tommy lagi, terpesona pada aksi effortless Miza menyelamatkan Cokro tadi. “Kayaknya Kakak udah banyak pengalaman.”

“Nggak hiking juga, sih. Tepatnya traveling. Karena gue datangin berbagai tempat mulai dari gunung, pantai, reruntuhan bekas perang, bandara yang ditinggalkan, dasar laut penuh terumbu karang, pecinan, gua-gua, bulan kemaren gue camping di satu ladang tebu luas di Lampung. Nggak ada pohon apa-apa di sekitarnya. Cuma tanaman tebu doang berhektar-hektar. Makanya gue item sekarang,” katanya, tergelak kecil.

Tommy tersenyum lebar mendengar ceritanya. “Kakak suka traveling?”

“Gue suka datangin tempat yang belum pernah gue datangin,” jawabnya.

“Sejak kapan?”

“SMA.” Miza memberikan jeda beberapa saat sebelum melanjutkan ceritanya. “Gue mulai travel pertama gue ke Nusa Tenggara, berdua barengan sobat gue. Kami ngeteng berbagai jenis transportasi, nginep di motel dan rumah warga. Setiap hari selalu ada satu kota yang kami eksplor bareng, kami cicipi kulinernya dari yang hambar sampe yang ekstrim, kalau ada museum kami datangin juga meski nggak pernah tahu alasannya kenapa harus masuk museum. Perjalanan ke Ende yang mestinya paling tiga jam pake pesawat, kami tempuh selama dua belas hari.”

“Lama banget.”

“Karena bukan tujuannya yang gue cari,” kata Miza. “Perjalanannya itu yang gue nikmatin. Ke Ende doang mah, alah, ngumpulin duit lima juta aja bisa dapat tiket pesawat pulang pergi. Tapi kalau gue bisa ngumpulin lima juta buat ngeteng naik bus, angkot, kereta, kapal laut, plus nginep di motel-motel lokal—misal nggak dapat rumah warga buat ditebengin, bakal lebih memorable dan punya nilai. You know what, gue bahkan sempat mampir di ‘Desa Penari’ Jawa Timur, jauh sebelum kisah horor KKN itu mencuat.”

“Tapi kan, capek.”

“Capek mah tinggal tidur, Dek,” katanya. “Nggak usah dibikin ribet. Gue ama sobat gue itu aja pernah tidur di padang rumput Pulau Mojo, dekat Sumbawa, gara-gara telat nyari penginapan. Tenda kami angkasa luas, dekorasinya bintang-bintang.”

Bagi Tommy, kisah itu terdengar romantis. Apalagi kalau bisa menghabiskannya bareng orang seganteng Miza, yang tampaknya tahu apa yang dia mau, lengan-lengannya kokoh, perjalanan terasa aman dan nyaman seolah-olah diasuransikan. Mungkin bakal sangat melelahkan, karena seumur hidup Tommy tak pernah mencoba traveling ke mana pun. Masa kecilnya diisi oleh “traveling” bersama ayahnya, memijat pasien dari satu rumah ke rumah lain.

“Terus, di mana sekarang sobat Kak Miza ini?” tanya Tommy.

Miza menarik napas panjang. Butuh waktu beberapa saat sebelum akhirnya menjawab, “Dia nggak pulang bareng gue ke Bandung waktu itu.”

“Dia pulang duluan?”

“I wish,” jawab Miza, mendadak suasana jadi lebih canggung dibandingkan saat Miza bilang gue-elo barusan. Ada nada sedih terdengar dari jawaban Miza. Sebuah perasaan kehilangan yang belum juga diatasi hingga hari ini. “Gue nggak pernah ketemu dia lagi sejak kami nyeberang dari Angel Island ke Labuan Bajo. Gue nggak tahu dia ke mana, gue nggak tahu sebesar apa salah gue sampe dia ninggalin gue gitu aja. Padahal ....” Miza menarik napas panjang. “Gue kangen dia.”

Tommy menoleh dan ingin sekali mengusap punggung cowok jantan itu. Namun Miza tampak ingin berkontemplasi dalam kenangannya sendiri. Sehingga Tommy hanya bisa terus berjalan menapaki jalan menurun dipenuhi rumput dan semak.

“Dan dia mirip elo, Tom,” kata Miza sambil mencoba tersenyum lebar. “Secara fisik, lah miripnya. Gue yakin kalian orang yang berbeda.”

“I-iya ....” Tommy teringat lagi pagi itu ketika nyaris semua orang dari Travelustration mengerubungi dan mengamatinya dari atas ke bawah.

“Makanya gue cemas waktu elo salah jalan tadi,” ungkap Miza terakhir kali. “Gue nggak mau kehilangan seseorang lagi. Jadi tolong jaga diri baik-baik.”

Tommy kepikiran percakapan itu hingga malam berkunjung. Masih ada puluhan pertanyaan Tommy simpan tentang masa lalu Miza, tetapi dia tak berani se-kepo itu karena merasa ini bukan urusannya. Lagi-lagi, Tommy terhambat segannya sebagai adik kelas, sehingga tak punya cukup keberanian untuk tahu lebih lanjut siapa sosok yang sejak kemarin dibicarakan Miza.

Untungnya, kegiatan malam itu cukup banyak. Seisi kelas berlatih yel-yel kembali, membacakan puisi yang dibuat di pos literasi, memamerkan adegan teatrikal yang dibuat di pos teater, main tebak-tebakan, main award-award-an, hingga latihan unjuk bakat yang juga akan ditampilkan di penutupan besok. Tentu saja Arthur diminta melakukan serangkaian tumbling atau jungkir balik yang tak mampu dilakukan oleh siapa pun lagi di perkemahan itu. Ketua kelas sudah merancang sedemikian rupa bagaimana konsep unjuk bakat yang akan dipamerkan di penutupan.

Tommy absen di sebagian besar acara malam itu. Pak Anto memanggilnya masuk ke tenda OSIS, memintanya mengecek lagi kondisi terakhir Cokro. Tubuh Cokro sudah tidak menggigil seperti saat tadi pertama kali keseleo. Namun Cokro masih belum sanggup berjalan ke sana kemari dan mungkin butuh sedikit pijatan lembut agar kakinya merasa tenang. Senior OSIS yang menjadi medik rupanya bukan medik betulan. Dia hanya ditugasi membawa kotak kesehatan, tapi tak benar-benar tahu cara melakukan pertolongan pertama.

“Karena dia sekelompok sama kamu di kegiatan tadi,” kata Pak Anto, mendahului Tommy masuk ke tenda OSIS khusus peserta sakit, “kamu jaga dia sampai besok pagi, ya.”

“M-maksudnya, saya nggak tidur di tenda saya?” tanya Tommy ngeri. Sepanjang hari dia membayangkan akan tidur di sebelah Arthur lagi malam ini. Kalau dia harus menginap di tenda ini dan meninggalkan Arthur bersama Karyo dan Baharudin, maka itu akan menjadi mimpi buruknya.

“Kalau Cokro kondisinya membaik, sih nggak usah. Tapi kalau dia butuh bantuan kamu, sebaiknya kamu tidur di sini aja. Ya nggak?” Pak Anto bertanya dengan sangat ramah, membuat Tommy merasa tak enak untuk menolak idenya. Lagi pula, sejauh ini, memang Tommy-lah yang paling masuk akal menjaga Cokro. Dia bisa mengamati apakah lebam kakinya sudah baikan atau belum.

Tenda OSIS itu besar. Tidak digunakan tidur oleh anggota OSIS mana pun, karena fungsinya memang untuk fasilitas peserta sakit, penyimpanan barang, juga bahan makanan. Ada sudut yang dipenuhi berkardus-kardus mi dan peralatan makan. Di seberang ruangan juga bertumpuk ransel-ransel panitia acara beserta beberapa piagam yang akan dibagikan besok pagi ke setiap murid di kelas IBB. Namun di bagian lain tenda, ada ruang yang cukup luas untuk lima orang berbaring nyaman di dalam kantong tidur.

Enak juga sih di sini, pikir Tommy. Kurang Arthur doang, tapi seenggaknya nggak ada Karyo dan Baharudin. Jadi tidak akan ada aura-aura negatif yang mengganggu tidurnya. Namun tetap saja, rasanya seperti mencelus saat mengetahui malam ini Tommy tidak akan tidur di sebelah cowok yang seharian dia bayangkan tidur di sebelahnya.

Tommy melihat ke luar. Arthur sedang asyik latihan unjuk bakat bersama ketua kelas IBB, Nindya.

“Nanti ... saya tidur berdua aja sama Cokro?” tanya Tommy.

“Nggak, lah. Saya pasti nemenin di sini.” Pak Anto menepuk bahu Tommy.

“Eeerrrggghhh ...!” Cokro mengerang. Dia bilang ada bagian yang sakit di bawah punggungnya, sehingga Tommy dengan cekatan membalik tubuh Cokro lalu mengecek kondisinya. Mungkin ada lebam yang tadi tidak terlihat, sehingga Tommy segera mengusapnya supaya lebih enakan.

“Nah, kan .... Kamu memang dibutuhkan di sini.” Pak Anto mengusap kepala Tommy, dan itu membuat Tommy GR. Perlakuan sepele macam itu bagi Tommy adalah hal besar. “Masak anaknya Kang Asep nggak mau bantuin temannya yang lagi sakit, sih. Oke, Bapak keluar dulu bawain makan buat kalian. Kamu tunggu Cokro di sini, ya.”

Karena hari ini ada Arthur dan Miza yang mengalihkan dunia Tommy, dia nggak begitu memperhatikan bahwa Pak Anto juga salah satu orang yang dia taksir di sekolah barunya. Mungkin karena selama berkemah Tommy sedikit berinteraksi dengan Pak Anto, sehingga Tommy agak-agak lupa presensinya. Padahal, malam sebelum berangkat camping, Tommy masturbasi dua kali sambil mengendus celana dalam Pak Anto (yang makin sini aromanya malah seperti parfumnya Tommy). Ketika Pak Anto keluar dari tenda, Tommy melihat pantat besar itu berbalutkan celana katun hitam, dan ada cetakan celana dalam melintang di pipi pantatnya.

Tak apa, kok, batin Tommy. Malam ini nggak tidur sama Arthur pun, Tommy tetap bisa tidur dengan Pak Anto.

“Pssst!” desis Cokro sambil celingukan ke sana kemari. “Aku mau pipis,” bisiknya.

“Ya udah pipis aja.”

“Caranya?”

“Caranya apa?” Tommy mengerutkan alis. “Masa kamu lupa caranya pipis?”

“Aku kan nggak bisa jalan.”

“Oh.” Tommy kebingungan harus melakukan apa. Dia celingukan ke sekeliling tenda, bingung harus melakukan apa. Mau mencari pispot pun rasanya mustahil disediakan panitia OSIS. “Ka-kamu mau pipis di luar, atau ....”

“Nggak, lah!” sahut Cokro. “Aku nggak bisa jalan keluar. Tadi siang pas kamu berangkat ke pos lagi terus aku coba berdiri, langsung limbung lagi. Aku jatuh nindih tanganku. Nih, pegel juga yang ini.” Cokro mengangkat tangan kanannya.

“Ja-jadi?”

“Ada botol nggak?”

Tommy celingukan lagi ke sekeliling. Dia tak menemukan botol. Ekskul travelustration agak anti sama botol plastik, sehingga semua peserta wajib membawa botol minum sendiri, yang nanti airnya akan diisi dari galon yang dibawa OSIS. Sepanjang Tommy berada di perkemahan ini pun dia belum bertemu dengan botol plastik.

“Kita nggak punya botol, Cokro. Travelustration kan anti botol plastik.”

“Oh, iya.” Cokro mendengus sebal. Dia langsung memutar otak mencari alternatif. “Gelas-gelas, deh?”

“Gelas apaan? Gelas untuk minum?”

“Ya gapapa, pake gelas dulu. Udah gitu kamu buang ke sembarang tempat sama gelas-gelasnya. Cepetan, aku udah kebelet, nih!”

“I-iya!” Tommy berlari keluar tenda untuk mencari gelas yang tidak terpakai. Ada satu gelas plastik warna pink—memang terbuat dari plastik, tapi bisa digunakan berkali-kali—entah milik siapa, tergeletak di tumpukan piring kotor. Ada bekas kopi di dalamnya. Diam-diam, setelah melihat keadaan sekitar dan memastikan semua orang sibuk menyiapkan unjuk bakat, Tommy mengambil gelas itu dan membuang ampas kopinya. Buru-buru dia masuk ke dalam tenda lagi sambil meritsleting pintu tenda hingga penuh. “Adanya ini.”

“Ya udah gapapa.”

“Nih!” Tommy menyodorkan gelas itu.

Cokro memandang Tommy dengan bingung. “Caranya gimana? Tangan aku dua-duanya sakit. Yang kiri cedera pas di tebing tadi, yang kanan ketimpa badan sendiri barusan. Kamu bantuin lah, Tom. Please.”

“Ta ... tapi ....”

“Kita, kan sama-sama cowok. Kenapa, sih? Tolong bukain cepetan.”

“Tapi ....” Tommy panik.

“Kamu cowok bukan? Apa kamu homo?”

“Cowok, lah!” balas Tommy buru-buru. “Aku nggak homo, please!”

“Ya udah, bantu aku buka celana sama miringin badanku. Udah mau netes nih pipisnya!” Cokro yang sehari-hari pendiam, jadi gusar gara-gara Tommy belum juga membantunya pipis.

“I-iya!” Tommy menelan ludah seraya mencoba menggulingkan badan Cokro ke samping, lalu berusaha membuka kancing celana panjang Cokro.

Seumur hidup, belum pernah Tommy memegang kelamin cowok lain. Tentu saja dia ingin memegang atau mengulumnya seperti dalam film porno, tetapi Tommy tak pernah berpikiran pada umur 15 tahun begini dia sudah bakal ketemu (dan melihat) kemaluan laki-laki. Masturbasi membayangkan Pak Anto saja hanya butuh celana dalam, nggak butuh melihat atau menyentuh kelaminnya Pak Anto. Dan sebucin apa pun Tommy membayangkan pelukan Arthur semalam, dia nggak pernah berani membayangkan kelamin Arthur seperti apa.

“TOM!” hardik Cokro tak sabar. “Cepetaaan ...! Haduuuhhh ... udah mau netes, nih!”

“Iyaaa!” Tommy pun berhasil membuka kancing celana dan menurunkan ritsleting. Ada celana dalam longgar warna putih merek Indomaret dikenakan Cokro. Di balik celana dalam itu, ada gundukan kelamin yang di bagian ujungnya mengeluarkan cairan, hingga membuat noda basah pada celana dalam.

Penampakan itu membuat Tommy panas dingin. This is it, batin Tommy. Titit pertama yang bakal kulihat (dan mungkin kupegang) seumur hidupku. Kalau aku memang mau menjadi dewasa suatu hari, melakukan seks dengan laki-laki, aku harus terbiasa dengan ini.

Sambil menelan ludah (setengah gembira), Tommy menurunkan celana dalam itu hingga ke bawah buah zakar Cokro. Tampaklah benda paling indah sedunia yang sudah lama Tommy idam-idamkan untuk lihat. Kelamin itu berkerut di antara rambut-rambut pubis yang baru tumbuh, berwarna hitam legam. Mungkin karena salurannya sudah penuh air kencing, batangnya agak naik sedikit.

“Buruan arahiiin!” jerit Cokro ingin menangis. Dia benar-benar gelisah.

“Iya, bentar.” Tommy meletakkan gelas tadi di bawah kemaluan Cokro, lalu mulai menyentuh kelamin itu untuk mengarahkannya ke gelas. Tommy bahkan memegangnya dengan lembut ketika air kencing menyembur keluar dan Cokro mulai bernapas lega. Namun yang ada dalam benak Tommy, kelamin itu begitu rapuh dan lembut ... dan kenyal. Dan sangat menggemaskan. Apakah ini alasannya Tommy menjadi gay? Kemaluan laki-laki benar-benar membuat darahnya berdesir kencang oleh perasaan bahagia. Perasaan yang nikmat dan menyenangkan.

Kelamin Tommy sudah otomatis ereksi dan berkedut-kedut manja. Ketika kencing itu selesai dan Tommy membantu Cokro mengenakan lagi celananya, Tommy buru-buru keluar membawa gelas itu untuk membuang air kencingnya. Namun dalam hatinya dia berteriak ulang, aku harus coli, aku harus coli, aku harus coli, nggak bisa, aku harus coli saat ini juga!

Sepanjang Tommy kabur ke pepohonan terdekat untuk membuang kencing Cokro, tubuhnya sudah telanjur dibalut gairah seksual yang menggebu-gebu. Namun sial …, Karyo dan Baharudin menghadangnya.


To be continued ....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Nude 33

  ssendrawkwA emitefiL .33     Pada suatu pagi lima tahun lalu, Miza bangun lebih pagi dari biasanya meski semalaman tak bisa tidur. D...