iraneP aseD .51
Tommy tak memahami pesan
seniornya itu. Namun dia tak berani bertanya lebih banyak karena Miza adalah
alumni yang bahkan sudah lulus kuliah, yang berarti dia ini maha maha maha
senior dibandingkan semua senior yang ada di bumi perkemahan. Tommy selalu
merasa terintimidasi oleh kakak kelas. Nggak pernah sekali pun dalam hidupnya
Tommy berani melawan kakak kelas.
Cokro dipapah kembali ke
perkemahan, diikuti kelompok Tommy yang diharuskan kembali ke base.
“Saya lihat kalian
barusan ambil entrance yang salah.
Harusnya kalian tadi ikuti jalur awal,” ungkap Miza seraya merangkul Cokro di
bahunya. “Peta yang kalian pegang itu nggak meng-cover area sini, karena memang nggak ada aktivitas apa-apa di
sini.”
Ini gara-gara Nina,
batin Tommy dengan puas.
Pak Anto dan tim medis
menyambut Cokro ke tenda OSIS sementara empat anggota kelompok Tommy berdiri clueless di dekat kayu-kayu api unggun. Tak ada siapa pun di sana, karena
semua kelompok sedang sibuk melakukan aktivitas di pos-pos yang disediakan. Bisa
jadi beberapa kelompok saling berpapasan lalu berbagi strategi. Tommy
membayangkan pasti akan sangat menyenangkan kalau kegiatan hari ini dilalui
normal melalui jalan setapak yang seharusnya.
Miza keluar dari tenda
OSIS sambil berdiri menghadap keempat murid baru itu. “Okay. Karena kalian seenggaknya perlu mengunjungi dua pos, saya
antar kalian ke sana gimana?”
“Mau!” sahut Keysha dan
Olivia berbarengan. Di
mana Tommy yakin, excitement itu dimotivasi oleh pesona Miza yang jantan.
Nina memutar bola mata.
“Kita bisa kok pergi sendiri. Palingan sekarang masuk lewat jalan yang benar aja.”
“Yakin bisa pergi
sendiri?” tanya Miza.
“Nggak bisa, lah,” sahut
Olivia. “Kita cuma berempat. Pamali tahu keliaran di Gunung Tangkuban Perahu
empat orang. Nanti dimakan kalong wewe. Harus berlima!”
Semua yang ada di sana
mengerutkan alis. Sejak kapan ada kepercayaan lokal semacam itu?
“Okay, saya ikut,” ujar Miza akhirnya. “Tapi kalian ladies yang memimpin di depan, saya ikut
dari belakang untuk mengawasi. Oke?”
Menemukan dua pos pertama
ternyata sangat mudah kalau sejak awal mengikuti petunjuk peta yang ada. Yang
membuat agak lama adalah Keysha maupun Olivia berusaha pedekate dengan Miza sehingga kecepatan kelompok Tommy berada di bawah
batas wajar. Pukul empat sore ketika tujuh kelompok yang lain sudah kembali ke
perkemahan dan menyelesaikan misi di semua pos, kelompok Tommy baru
menyelesaikan dua pos. Miza langsung menghentikan misi kelompok Tommy dan
mengajaknya kembali ke perkemahan.
Sepanjang perjalanan
pulang, Miza tampak lega berhasil lepas dari Keysha dan Olivia yang menempel
dan bersaing merebut perhatian. Miza berjalan dekat sekali dengan Tommy. Bahkan
tampak berusaha berada sedekat mungkin dengan murid baru itu.
Tommy, lagi-lagi GR hari
ini. Sudah dua cowok ganteng membuatnya salah tingkah. Tommy sebenarnya
bertanya-tanya, mengapa Miza bisa muncul dengan kilat ketika suar asap itu
dikeluarkan? Kalau memang jalan mereka salah, seharusnya
butuh waktu lama untuk panitia menemukan mereka. Kan, mereka tidak berada di
wilayah yang dijangkau panitia. Ketika Keysha, Olivia, dan Nina berada cukup
jauh dari mereka, Tommy pun menanyakan pertanyaan itu.
“Karena kalian sejak awal
udah nyasar,” jawab Miza. “Gue kira kalian mau kabur dari kegiatan ini, makanya
gue buntutin dari belakang.”
Tommy merasa canggung
mendengar seniornya ini mulai menggunakan gue-elo dalam bercakap-cakap. Tommy
tak pernah terbiasa menggunakan kata ganti orang Jakarta ini. Mungkin karena
Tommy tidak merasa dirinya anak gaul, padahal toh banyak juga orang Bandung
yang menggunakannya.
“Kakak udah sering hiking?” tanya Tommy lagi, terpesona
pada aksi effortless Miza
menyelamatkan Cokro tadi. “Kayaknya Kakak udah banyak pengalaman.”
“Nggak hiking juga, sih. Tepatnya traveling. Karena gue datangin berbagai
tempat mulai dari gunung, pantai, reruntuhan bekas perang, bandara yang
ditinggalkan, dasar laut penuh terumbu karang, pecinan, gua-gua, bulan kemaren
gue camping di satu ladang tebu luas
di Lampung. Nggak ada pohon apa-apa di sekitarnya. Cuma tanaman tebu doang
berhektar-hektar. Makanya gue item sekarang,” katanya, tergelak kecil.
Tommy tersenyum lebar
mendengar ceritanya. “Kakak suka traveling?”
“Gue suka datangin tempat
yang belum pernah gue datangin,” jawabnya.
“Sejak kapan?”
“SMA.” Miza memberikan
jeda beberapa saat sebelum melanjutkan ceritanya. “Gue mulai travel pertama gue ke Nusa Tenggara,
berdua barengan sobat gue. Kami ngeteng
berbagai jenis transportasi, nginep di motel dan rumah warga. Setiap hari
selalu ada satu kota yang kami eksplor bareng, kami cicipi kulinernya dari yang
hambar sampe yang ekstrim, kalau ada museum kami datangin juga meski nggak
pernah tahu alasannya kenapa harus masuk museum. Perjalanan ke Ende yang
mestinya paling tiga jam pake pesawat, kami tempuh selama dua belas hari.”
“Lama banget.”
“Karena bukan tujuannya
yang gue cari,” kata Miza. “Perjalanannya itu yang gue nikmatin. Ke Ende doang mah, alah, ngumpulin duit lima juta aja
bisa dapat tiket pesawat pulang pergi. Tapi kalau gue bisa ngumpulin lima juta
buat ngeteng naik bus, angkot, kereta, kapal laut, plus nginep di motel-motel
lokal—misal nggak dapat rumah warga buat ditebengin, bakal lebih memorable dan punya nilai. You know what, gue bahkan sempat mampir
di ‘Desa Penari’ Jawa Timur, jauh
sebelum kisah horor KKN itu mencuat.”
“Tapi kan, capek.”
“Capek mah tinggal tidur, Dek,” katanya. “Nggak
usah dibikin ribet. Gue ama sobat gue itu aja pernah tidur di padang rumput
Pulau Mojo, dekat Sumbawa, gara-gara
telat nyari penginapan. Tenda kami angkasa luas, dekorasinya bintang-bintang.”
Bagi Tommy, kisah itu
terdengar romantis. Apalagi kalau bisa menghabiskannya bareng orang seganteng
Miza, yang tampaknya tahu apa yang dia mau, lengan-lengannya kokoh, perjalanan
terasa aman dan nyaman seolah-olah diasuransikan. Mungkin bakal sangat
melelahkan, karena seumur hidup Tommy tak pernah mencoba traveling ke mana pun. Masa kecilnya diisi oleh “traveling” bersama ayahnya, memijat
pasien dari satu rumah ke rumah lain.
“Terus, di mana sekarang
sobat Kak Miza ini?” tanya Tommy.
Miza menarik napas
panjang. Butuh waktu beberapa saat sebelum akhirnya menjawab, “Dia nggak pulang
bareng gue ke Bandung waktu itu.”
“Dia pulang duluan?”
“I wish,” jawab
Miza, mendadak suasana jadi lebih canggung dibandingkan saat Miza bilang
gue-elo barusan. Ada nada sedih terdengar dari jawaban Miza. Sebuah perasaan
kehilangan yang belum juga diatasi hingga hari ini. “Gue nggak pernah ketemu
dia lagi sejak kami nyeberang dari Angel Island ke Labuan Bajo. Gue nggak tahu
dia ke mana, gue nggak tahu sebesar apa salah gue sampe dia ninggalin gue gitu
aja. Padahal ....” Miza menarik napas panjang. “Gue kangen dia.”
Tommy menoleh dan ingin
sekali mengusap punggung cowok jantan itu. Namun Miza tampak ingin
berkontemplasi dalam kenangannya sendiri. Sehingga Tommy hanya bisa terus
berjalan menapaki jalan menurun dipenuhi rumput dan semak.
“Dan dia mirip elo, Tom,”
kata Miza sambil mencoba tersenyum lebar. “Secara fisik, lah miripnya. Gue
yakin kalian orang yang berbeda.”
“I-iya ....” Tommy
teringat lagi pagi itu ketika nyaris semua orang dari Travelustration
mengerubungi dan mengamatinya dari atas ke bawah.
“Makanya gue cemas waktu
elo salah jalan tadi,” ungkap Miza terakhir kali. “Gue nggak mau kehilangan
seseorang lagi. Jadi tolong jaga diri baik-baik.”
Tommy kepikiran
percakapan itu hingga malam berkunjung. Masih ada puluhan pertanyaan Tommy
simpan tentang masa lalu Miza, tetapi dia tak berani se-kepo itu karena merasa ini bukan urusannya. Lagi-lagi, Tommy terhambat segannya sebagai adik kelas, sehingga tak
punya cukup keberanian untuk tahu lebih lanjut siapa sosok yang sejak kemarin
dibicarakan Miza.
Untungnya, kegiatan malam
itu cukup banyak. Seisi kelas berlatih yel-yel kembali, membacakan puisi yang
dibuat di pos literasi, memamerkan adegan teatrikal yang dibuat di pos teater,
main tebak-tebakan, main award-award-an,
hingga latihan unjuk bakat yang juga akan ditampilkan di penutupan besok. Tentu
saja Arthur diminta melakukan serangkaian tumbling
atau jungkir balik yang tak mampu dilakukan oleh siapa pun lagi di perkemahan
itu. Ketua kelas sudah merancang sedemikian rupa bagaimana konsep unjuk bakat
yang akan dipamerkan di penutupan.
Tommy absen di sebagian
besar acara malam itu. Pak Anto memanggilnya masuk ke tenda OSIS, memintanya
mengecek lagi kondisi terakhir Cokro. Tubuh Cokro sudah tidak menggigil seperti
saat tadi pertama kali keseleo. Namun Cokro masih belum sanggup berjalan ke
sana kemari dan mungkin butuh sedikit pijatan lembut agar kakinya merasa
tenang. Senior OSIS yang menjadi medik rupanya bukan medik betulan. Dia hanya
ditugasi membawa kotak kesehatan, tapi tak benar-benar tahu cara melakukan
pertolongan pertama.
“Karena dia sekelompok
sama kamu di kegiatan tadi,” kata Pak Anto, mendahului Tommy masuk ke tenda
OSIS khusus peserta sakit, “kamu jaga dia sampai besok pagi, ya.”
“M-maksudnya, saya nggak
tidur di tenda saya?” tanya Tommy ngeri. Sepanjang hari dia membayangkan akan
tidur di sebelah Arthur lagi malam ini. Kalau dia harus menginap di tenda ini
dan meninggalkan Arthur bersama Karyo dan Baharudin, maka itu akan menjadi
mimpi buruknya.
“Kalau Cokro kondisinya
membaik, sih nggak usah. Tapi kalau dia butuh bantuan kamu, sebaiknya kamu
tidur di sini aja. Ya nggak?” Pak Anto bertanya dengan sangat ramah, membuat
Tommy merasa tak enak untuk menolak idenya. Lagi pula, sejauh ini, memang Tommy-lah yang paling masuk akal menjaga Cokro. Dia bisa mengamati apakah lebam kakinya sudah baikan atau belum.
Tenda OSIS itu besar.
Tidak digunakan tidur oleh anggota OSIS mana pun, karena fungsinya memang untuk
fasilitas peserta sakit, penyimpanan barang, juga bahan makanan. Ada sudut yang dipenuhi berkardus-kardus mi dan peralatan makan. Di seberang ruangan
juga bertumpuk ransel-ransel panitia acara beserta beberapa piagam yang akan
dibagikan besok pagi ke setiap murid di kelas IBB. Namun di bagian lain tenda,
ada ruang yang cukup luas untuk lima orang berbaring nyaman di dalam kantong
tidur.
Enak juga sih di sini, pikir Tommy. Kurang Arthur doang, tapi
seenggaknya nggak ada Karyo dan Baharudin. Jadi tidak akan ada aura-aura
negatif yang mengganggu tidurnya. Namun tetap saja, rasanya seperti mencelus
saat mengetahui malam ini Tommy tidak akan tidur di sebelah cowok yang seharian
dia bayangkan tidur di sebelahnya.
Tommy melihat ke luar.
Arthur sedang asyik latihan unjuk bakat bersama ketua kelas IBB, Nindya.
“Nanti ... saya tidur
berdua aja sama Cokro?” tanya Tommy.
“Nggak, lah. Saya pasti
nemenin di sini.” Pak Anto menepuk bahu Tommy.
“Eeerrrggghhh ...!”
Cokro mengerang. Dia bilang ada bagian yang sakit di bawah punggungnya,
sehingga Tommy dengan cekatan membalik tubuh Cokro lalu mengecek kondisinya.
Mungkin ada lebam yang tadi tidak terlihat, sehingga Tommy segera mengusapnya
supaya lebih enakan.
“Nah, kan .... Kamu
memang dibutuhkan di sini.” Pak Anto mengusap kepala Tommy, dan itu membuat
Tommy GR. Perlakuan sepele macam itu bagi Tommy adalah hal besar. “Masak
anaknya Kang Asep nggak mau bantuin temannya yang lagi sakit, sih. Oke, Bapak
keluar dulu bawain makan buat kalian. Kamu tunggu Cokro di sini, ya.”
Karena hari ini ada
Arthur dan Miza yang mengalihkan dunia Tommy, dia nggak begitu memperhatikan
bahwa Pak Anto juga salah satu orang yang dia taksir di sekolah barunya.
Mungkin karena selama berkemah Tommy sedikit berinteraksi dengan Pak Anto,
sehingga Tommy agak-agak lupa presensinya. Padahal, malam sebelum berangkat camping, Tommy masturbasi dua kali
sambil mengendus celana dalam Pak Anto (yang makin sini aromanya malah seperti parfumnya
Tommy). Ketika Pak Anto keluar dari tenda, Tommy melihat pantat besar itu
berbalutkan celana katun hitam, dan ada cetakan celana dalam melintang di pipi
pantatnya.
Tak apa, kok,
batin Tommy. Malam ini nggak tidur sama Arthur pun, Tommy tetap bisa tidur
dengan Pak Anto.
“Pssst!” desis Cokro
sambil celingukan ke sana kemari. “Aku mau pipis,” bisiknya.
“Ya udah pipis aja.”
“Caranya?”
“Caranya apa?” Tommy
mengerutkan alis. “Masa kamu lupa caranya pipis?”
“Aku kan nggak bisa jalan.”
“Oh.” Tommy kebingungan
harus melakukan apa. Dia celingukan ke sekeliling tenda, bingung harus
melakukan apa. Mau mencari pispot pun rasanya mustahil disediakan panitia OSIS.
“Ka-kamu mau pipis di luar, atau ....”
“Nggak, lah!” sahut Cokro.
“Aku nggak bisa jalan keluar. Tadi siang pas kamu berangkat ke pos lagi terus
aku coba berdiri, langsung limbung lagi. Aku jatuh nindih tanganku. Nih, pegel
juga yang ini.” Cokro mengangkat tangan kanannya.
“Ja-jadi?”
“Ada botol nggak?”
Tommy celingukan lagi ke
sekeliling. Dia tak menemukan botol. Ekskul travelustration agak anti sama
botol plastik, sehingga semua peserta wajib membawa botol minum sendiri, yang
nanti airnya akan diisi dari galon yang dibawa OSIS. Sepanjang Tommy berada di
perkemahan ini pun dia belum bertemu dengan botol plastik.
“Kita nggak punya botol,
Cokro. Travelustration kan anti botol plastik.”
“Oh, iya.” Cokro
mendengus sebal. Dia langsung memutar otak mencari alternatif. “Gelas-gelas,
deh?”
“Gelas apaan? Gelas untuk
minum?”
“Ya gapapa, pake gelas
dulu. Udah gitu kamu buang ke sembarang tempat sama gelas-gelasnya. Cepetan,
aku udah kebelet, nih!”
“I-iya!” Tommy berlari
keluar tenda untuk mencari gelas yang tidak terpakai. Ada satu gelas plastik
warna pink—memang terbuat dari plastik, tapi bisa digunakan berkali-kali—entah
milik siapa, tergeletak di tumpukan piring kotor. Ada bekas kopi di dalamnya.
Diam-diam, setelah melihat keadaan sekitar dan memastikan semua orang sibuk
menyiapkan unjuk bakat, Tommy mengambil gelas itu dan membuang ampas kopinya.
Buru-buru dia masuk ke dalam tenda lagi sambil meritsleting pintu tenda hingga
penuh. “Adanya ini.”
“Ya udah gapapa.”
“Nih!” Tommy menyodorkan gelas
itu.
Cokro memandang Tommy
dengan bingung. “Caranya gimana? Tangan aku dua-duanya sakit. Yang kiri cedera
pas di tebing tadi, yang kanan ketimpa badan sendiri barusan. Kamu bantuin lah,
Tom. Please.”
“Ta ... tapi ....”
“Kita, kan sama-sama
cowok. Kenapa, sih? Tolong bukain cepetan.”
“Tapi ....” Tommy panik.
“Kamu cowok bukan? Apa
kamu homo?”
“Cowok, lah!” balas Tommy
buru-buru.
“Aku nggak homo, please!”
“Ya udah, bantu aku buka
celana sama miringin badanku. Udah mau netes nih pipisnya!” Cokro yang
sehari-hari pendiam, jadi gusar gara-gara Tommy belum juga membantunya pipis.
“I-iya!” Tommy menelan
ludah seraya mencoba menggulingkan badan Cokro ke samping, lalu berusaha
membuka kancing celana panjang Cokro.
Seumur hidup, belum
pernah Tommy memegang kelamin cowok lain. Tentu saja dia ingin memegang atau
mengulumnya seperti dalam film porno, tetapi Tommy tak pernah berpikiran pada
umur 15 tahun begini dia sudah bakal ketemu (dan melihat) kemaluan laki-laki. Masturbasi
membayangkan Pak Anto saja hanya butuh celana dalam, nggak butuh melihat atau
menyentuh kelaminnya Pak Anto. Dan sebucin apa pun Tommy membayangkan pelukan
Arthur semalam, dia nggak pernah berani membayangkan kelamin Arthur seperti
apa.
“TOM!” hardik Cokro tak
sabar. “Cepetaaan ...! Haduuuhhh ... udah mau netes, nih!”
“Iyaaa!” Tommy pun
berhasil membuka kancing celana dan menurunkan ritsleting. Ada celana dalam
longgar warna putih merek Indomaret dikenakan Cokro. Di balik celana dalam itu,
ada gundukan kelamin yang di bagian ujungnya mengeluarkan cairan, hingga
membuat noda basah pada celana dalam.
Penampakan itu membuat
Tommy panas dingin. This is it, batin Tommy. Titit pertama yang bakal kulihat (dan mungkin kupegang) seumur hidupku.
Kalau aku memang mau menjadi dewasa suatu hari, melakukan seks dengan laki-laki,
aku harus terbiasa dengan ini.
Sambil menelan ludah
(setengah gembira), Tommy menurunkan celana dalam itu hingga ke bawah buah
zakar Cokro. Tampaklah benda paling indah sedunia yang sudah lama Tommy
idam-idamkan untuk lihat. Kelamin itu berkerut di antara rambut-rambut pubis
yang baru tumbuh, berwarna hitam legam. Mungkin karena salurannya sudah penuh
air kencing, batangnya agak naik sedikit.
“Buruan arahiiin!” jerit
Cokro ingin menangis. Dia benar-benar gelisah.
“Iya, bentar.” Tommy
meletakkan gelas tadi di bawah kemaluan Cokro, lalu mulai menyentuh kelamin itu
untuk mengarahkannya ke gelas. Tommy bahkan memegangnya dengan lembut ketika
air kencing menyembur keluar dan Cokro mulai bernapas lega. Namun yang ada
dalam benak Tommy, kelamin itu begitu rapuh dan lembut ... dan kenyal. Dan
sangat menggemaskan. Apakah ini alasannya Tommy menjadi gay? Kemaluan laki-laki benar-benar membuat darahnya
berdesir kencang oleh perasaan bahagia.
Perasaan yang nikmat dan menyenangkan.
Kelamin Tommy sudah
otomatis ereksi dan berkedut-kedut manja. Ketika kencing itu selesai dan Tommy
membantu Cokro mengenakan lagi celananya, Tommy buru-buru keluar membawa gelas
itu untuk membuang air kencingnya. Namun dalam hatinya dia berteriak ulang, aku harus coli, aku harus coli, aku harus
coli, nggak bisa, aku harus coli saat ini juga!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar