Kamis, 25 Maret 2021

Nude 14


naniluksameK satiroirepuS .41

 

Meski tak mendapat tidur yang cukup, Tommy tetap bangun dengan segar esok paginya. Dia melewatkan salat subuh. Tahu-tahu tenda sudah kosong ketika Tommy terjaga, tak ada Karyo, tak ada Baharudin, tak ada Arthur yang Tommy yakini memeluknya sepanjang dini hari. Ketika Tommy melongokkan kepala ke luar tenda, beberapa orang sudah bersiap menyambut kegiatan hari ini. Sekumpulan peserta baru kembali dari masjid, sekumpulan yang lain bersiap mandi. Langit sudah berwarna biru muda. Tommy menyambut pagi itu dengan senyum yang sangat lebar.

Dia yakin seyakin-yakinnya, pelukan dari Arthur itu nyata. Bukan mimpi belaka.

Seperempat pagi dihabiskan seluruh murid kelas IBB untuk membuat yel-yel. Rencananya, yel-yel tersebut akan ditampilkan pada penutupan MOS di Gasibu. Kelas dengan yel-yel terbaik akan mendapatkan award. Tommy bukan tipe-tipe yang aktif menyampaikan kreativitas. Dia hanya duduk di sudut dan mengangguk setuju pada apa pun ide yang terlontar.

Pukul sepuluh pagi, para senior dari ekskul Travelustration, english club, teater, dan literasi muncul ke perkemahan kelas IBB. Setiap titik perkemahan akan didatangi perwakilan ekstrakurikuler khusus yang akan membimbing kelas terkait dalam korelasinya terhadap bidang pelajaran. Kelas-kelas MIA didatangi ekskul olahraga, KIR, dan komputer karena berkaitan dengan fisika, biologi, maupun ilmu-ilmu teknis yang pasti. Kelas-kelas IIS didatangi ekskul modelling, jurnalistik, koperasi, dan apa pun yang berkaitan dengan ilmu sosial.

Di perkemahan IBB, Tommy mengamati senior alumni bernama Miza itu memimpin semua ekskul yang hadir di sini. Miza memimpin briefing bersama tiga ekskul lainnya, kemudian berdiri di depan kelas IBB untuk berbicara.

“Mengapa kami?” mulai Miza melalui sebuah pertanyaan. “Karena bahasa dan kebudayaan adalah sebuah perjalanan. Nggak perlu kita berangkat dari kota A ke kota B naik mobil dan lain sebagainya, tetapi berangkat dari satu situasi ke situasi yang baru, juga bisa disebut perjalanan. Dan budaya itu sendiri, merupakan buah dari perjalanan leluhur-leluhur kita, dari yang nggak tahu caranya nyalain api, sampai hari ini kita bisa makan nasi rendang di rumah makan Padang. Ada situasi di mana tidak ada rutinitas unik yang dilakukan satu kelompok masyarakat, kemudian bertahun-tahun setelahnya rutinitas itu berkembang dan menjadi apa yang kita sebut sebagai budaya.

“Karena semua berawal dari perjalanan, travelustration barengan teman-teman dari english club, teater, dan literasi di sini akan membimbing kegiatan kemah kalian hari ini, di mana semuanya berkaitan dengan kebahasaan dan kebudayaan.”

Sosok Miza tampak berwibawa saat berbicara di depan seluruh peserta. Tommy mendapati beberapa kali Miza menoleh ke arahnya selama beberapa detik sebelum akhirnya melanjutkan kata-katanya. Tommy tak memahami sebesar apa pengaruh seseorang pada masa lalu Miza, yang kebetulan mirip banget dengan Tommy, sehingga sosok berkharisma itu seringkali mencuri pandang ke arahnya. Bukan Tommy mau GR, tapi yang namanya cowok ganteng di depan kelas nggak mungkin Tommy lewatkan untuk amati. Namun selama mengamati, cowok gantengnya melihat ke arah Tommy terus. Wajar kan kalau Tommy otomatis GR?

Bagi Tommy, sosok Miza terlihat seperti cowok berbadan jangkung yang baru lulus kuliah, rambut agak gondrong sedikit, dan punya idealisme tinggi akan sesuatu. Bukan terlihat dewasa seperti Pak Anto, tetapi tetap seksi karena Miza tahu apa yang dia inginkan. Cowok yang percaya diri dan konten memang tampak memesona, apalagi ketika harus menyampaikan isi kepalanya.

Tommy sedang kangen dan kasmaran pada Arthur, sebenarnya. Namun Miza di depannya ini oke juga. Tentu saja, Tommy nggak berani berpikir yang bukan-bukan, karena dari semua gestur yang dilakukan Miza, nggak ada tanda-tanda cowok itu gay. Misal iya Miza gay pun, belum tentu Miza jatuh hati kepada Tommy.

Sepanjang Miza menjelaskan kegiatan petualangan hari ini, Tommy fokus menatap hasta lengannya yang tidak terbalut kemeja. Lengan itu begitu kokoh dan keras. Warnanya kecokelatan karena sering terjemur di bawah matahari. Mungkin tulang-tulangnya juga besar, meski Miza kelihatan slim dan fit dari segi postur. Tommy paling menyukai tatapannya saat memandang satu per satu semua murid kelas IBB. Tatapan Miza itu tajam, mengundang, dan maskulin.

Dan gara-gara Tommy terlena menatap pesona Miza, dia sama sekali nggak tahu apa yang cowok charming itu katakan di depan. Tommy menyikut Evelyn di sebelahnya, “Apa katanya?”

Evelyn mengerutkan alis. “Apa apa?”

“Aku tadi agak-agak ... ngelamun. Jadi nggak ngedengerin.”

Evelyn memutar bola mata. “Kita bakal keliling daerah ini mencari pos-pos ekskul, lalu melewati tantangan yang disediakan, kemudian pergi ke pos berikutnya. Kayak jurit malam aja gimana.”

“Oh, okay. Sendiri-sendiri?”

Evelyn menggeleng. “Lo kan punya kuping. Pake dong sekali-sekali.”

Kelompok yang bertualang bukan kelompok tenda. Kelas IBB dibagi ke dalam delapan kelompok, masing-masing kelompok terdiri dari lima orang, dua cowok dan tiga cewek. Pengundian dilakukan secara adil melalui lintingan kertas. Tommy satu kelompok bersama Keysha, Olivia, Nina, dan Cokro. Nina adalah cewek yang aktif membahas feminisme dalam kajian literatur kuno, sementara Cokro selalu duduk di paling belakang selama tiga hari MOS, nyaris tak pernah kedengaran suaranya. Tommy nggak kenal-kenal amat sama Cokro, selain fakta bahwa Cokro lumayan cakep—meski nggak secakep Arthur.

Pukul sebelas siang, setiap kelompok sudah dibekali makan siang yang disiapkan panitia, peralatan salat, peralatan keselamatan, peta, buku petunjuk, dan peralatan dasar naik gunung. Penjelajahan dimulai pukul setengah dua belas siang setelah semua perwakilan ekskul bersiap di posnya, entah di mana. Ketika semua penunggu pos sudah hilang dari perkemahan, Tommy menemukan Miza masih berdiri di depan delapan kelompok yang berjejer rapi.

“Sebelum Adik-Adik berangkat,” katanya terakhir kali, “mohon sekali lagi baca buku petunjuk keselamatan yang ada di kantung jelajah Adik-Adik. Jangan sekali-sekali menyepelekan semua tanda alam atau potensi musibah yang mungkin Adik-Adik hadapi. Ya, kita memang bukan di pegunungan berbahaya macam Himalaya di mana kalau kita mati di tempat, orang nggak pernah nemuin kita. Akan ada banyak pendaki gunung, warga lokal, atau bahkan turis yang berkeliaran, sehingga penjelajahan kita ini seharusnya aman. Tapi tetep aja, ya Adik-Adik, jangan abaikan prosedur keselamatan. Gunakan pita merah ini untuk meninggalkan jejak, atau lemparkan suar asap ini untuk memberitahukan posisi saat kalian berada dalam bahaya. Paham?”

“Siap, paham!”

Tommy melirik ke arah Arthur yang berada di kelompok lain. Cowok itu ternyata sedang menatap ke arah Tommy juga, tapi entah mengapa buru-buru melemparkan pandangan ke arah lain. Tommy ikutan salah tingkah dengan melemparkan pandangan ke arah lain juga.

Tunggu ..., kenapa Arthur bertingkah konyol seperti itu? batin Tommy. Apa maksudnya?

Sepanjang perjalanan mencari pos pertama, Tommy GR bukan main. Apa Arthur punya perasaan kepadaku? Ah, nggak mungkin. Arthur dari segala perspektif kan straight habis. Sikapnya memeluk Tommy dini hari tadi sebagai bentuk tolong-menolong sesama teman karena Tommy menggigil semalaman. Mana mungkin Arthur naksir Tommy juga.

Lagi pula, Arthur kelewat baik sama semua orang, pikir Tommy. Literally semua orang. Nina mengajak diskusi soal feminisme dalam literatur kuno saja Arthur datang dan mendengarkan. Wajar banget kalau Arthur lihat ada orang menggigil kedinginan dan dia memeluknya sampai tenang. Ya, pasti seperti itu. Jangan ke-GR-an dulu.

Bahkan mungkin, misal Baharudin yang menggigil kedinginan, Arthur akan memeluknya juga. Atau Karyo. Atau Pak Anto. Intinya Arthur memang terlahir jadi anak baik nggak ketulungan. Semua kebaikan yang dia lakukan sebaiknya tidak diartikan sebagai sebuah harapan.

“Kamu ngelamunin apa?” tanya Keysha membuyarkan lamunan Tommy.

“Ah, nggak, kok.”

“Jadi kita ke mana ini?” Keysha membolak-balik peta dan kebingungan. “Yang dimaksud U tuh apa sih, ini? Usulan, ya?”

“Itu utara,” sahut Nina sambil mendelik sebal. Segala jenis cewek yang tidak tampak setrong sebagai perempuan, pasti dibenci Nina.

Kelompok Tommy sudah berada di sebuah area hutan dengan pohon-pohon pinus menjulang tinggi dan jalur setapak berumput yang sering dilewati entah siapa. Tak ada kelompok lain di sekitar mereka, gara-gara Nina bersikukuh mengambil entrance dari titik lain.

“Eh, kita ikutin kelompoknya Arthur aja!” usul Olivia tadi, saat kelompok Tommy ini baru saja memulai perjalanan. “Yang ganteng-ganteng kayak dia kan pasti nggak akan pernah tersesat di jalan. Apalagi kalau kita nikah sama dia, pasti kita dibimbing ke jalan yang benar.”

“Jadi kamu menggantung hidup kamu di tangan superioritas kemaskulinan yang diciptakan di bawah masyarakat patriarkal yang nggak pernah menghargai nilai-nilai feminitas?!” sambut Nina ngegas. “Kita lewat jalan sana aja! Lihat, nih ... di peta kita bisa mencapai pos literatur lebih cepat kalau lewat sini. Jangan pernah sekali-sekali kalian para cewek menggantungkan hidup di bawah ketek laki-laki! Kalian punya harga diri! Camkan itu!”

Tommy, Keysha, Olivia, dan Cokro terpana mendengar kata-kata Nina. Sebenarnya mereka sedang memproses, apa maksud kalimat pertama Nina barusan. Namun karena keempatnya juga nggak punya jiwa pemimpin, mereka menurut saja kata-kata Nina. Sekarang, mereka nggak tahu sedang berada di mana di hutan raya sekitaran Gunung Tangkuban Perahu ini.

Tommy menggelengkan kepalanya untuk mengibaskan semua pikiran halu soal Arthur yang mungkin naksir kepadanya. Dia berencana fokus menyelesaikan misi kelompok. Tampaknya tak ada yang berani mengambil alih posisi Nina yang melakukan swa-klaim sebagai pemimpin kelompok ini.

“Kita ke arah sana!” sahut Nina menunjuk sembarangan arah sambil melihat peta. Tommy sebenarnya tidak begitu yakin Nina bisa membaca peta. Apalagi Nina berkali-kali membolak-balik peta—tak ubahnya Keysha, dan kelihatan jelas tidak tahu ke mana arah U meski Nina tahu apa arti dari U. Namun sudahlah. Mereka bakal nyasar ke mana, sih? Ini masih wilayah yang bisa dijangkau semua petugas keamanan. Turis-turis mungkin lewat sini juga kalau mereka berniat berjalan kaki ke Tangkuban Perahu dari gerbang bawah.

Nina membawa mereka ke sebuah tebing landai dengan panorama Kota Bandung di bawahnya. Jalan setapak berhenti di sana, seolah-olah tak ada lagi manusia yang pernah melewati lokasi ini sebelumnya.

“Harusnya di sini,” kata Nina sok tahu.

“Harusnya kita pakai iPhone 11 Pro Max 256 giga Gold,” ujar Olivia sambil melipat tangan di depan dada. “Map-nya canggih. Kenapa OSIS nggak memfasilitasi kita itu, sih? Why do we get this stupid paper map?

“Ya nggak bisa gitu lah, Liv,” kata Keysha mencoba membela. “Kalau pake iPhone, entar kalau baterainya habis, gimana?”

Ya tinggal di-charge pake power bank, lah, batin Tommy kesal pada logika Keysha. Lagi pula, apa tujuannya berkemah kalau petualangan kecil macam begini saja harus pake iPhone untuk melihat peta?

Nina membalik lagi peta. “Oh, harusnya kita ke sana!”

Tommy memutar bola mata tetapi memutuskan untuk membuntuti Nina saja. Misal mereka kesasar pun, setidaknya ada orang yang bisa disalahkan—yaitu Nina. Kalau Tommy sampai ikut campur menentukan arah, bisa-bisa dia jadi ikut disalahkan juga.

Baru beberapa meter berjalan, Tommy menyadari satu anggota kelompoknya hilang.

“Mana Cokro?”

Nina, Keysha, dan Olivia yang berjalan di depan langsung berhenti dan menoleh. Cowok pendiam yang sedari tadi berjalan di belakang Tommy kini sudah nggak ada.

“Tuh, kan! Pasti dia udah nyampe duluan ke posnya nggak ngajak-ngajak kita!” sahut Olivia sambil memukul telapak tangannya sendiri dengan geram.

Mana mungkin, bitch! jerit Tommy dalam hati. Tadi masih di sebelahku waktu Nina mengambil alih arah lagi.

“Tolooong!” Terdengar sayup-sayup suara seseorang meminta bantuan.

Keempat anggota kelompok itu celingukan. Permintaan tolong dikumandangkan sampai tiga kali hingga akhirnya Keysha berseru, “Di sana!” sambil menunjuk ke bawah tebing yang landai.

Cokro ternyata terpeleset tanah lumpur yang pecah, sehingga tubuhnya terperosok ke bawah. Jaraknya mungkin lima meter dari permukaan tebing, cukup jauh dan curam bagi siapa pun untuk menyusul dan menariknya ke atas. Masih cukup jauh juga bagi Cokro untuk mencapai dasar tebing—yang entah berakhir di mana.

“Tolooong ...!” sahut Cokro mulai menangis. Cokro sedang berpegangan pada salah satu akar, dengan satu kaki berpijak pada batu yang mencuat dari tebing. Wajahnya agak tertutup dedaunan paku, tetapi semua orang bisa melihatnya dari atas.

“Bertahanlah, Cokro!” sahut Olivia.

“Yang sabar ya, Cokro!” tambah Keysha panik. “Coba kamu ikuti kata-kataku, ya! Ikuti kata-kataku!”

“Iya!” jawab Cokro pasrah.

Keysha menarik napas dan mulai memimpin kata-kata, Asyhadu an laa ilaaha ill—“

Geplak! Tommy menjitak kepala Keysha. “Kamu apa-apaan, sih?!”

“Ya kan siapa tahu—“

“Pakai suar!” usul Nina memberi ide. Tommy segera membuka ranselnya dan menyalakan suar asap. Proses penggunaannya sudah diterangkan oleh seorang anggota travelustration tadi, dan dalam kondisi genting seperti ini, ternyata Tommy mengoperasikannya dengan mudah.

Suar itu diacungkan tinggi-tinggi di antara pohon pinus yang menjulang. Asap berwarna merah berkobar ke atas ditiup angin. Tidak sampai dua menit, keempatnya melihat sosok Miza berlari sangat kencang dari arah bawah. Miza mengambil langkah-langkah lebar melompati semak-semak yang tumbuh di luar jalur setapak. Tangannya mengendor melepaskan ransel yang tersampir di punggungnya.

“Ada apa?” tanya Miza kilat sambil menatap Tommy serius.

Gara-gara tatapannya itu, Tommy malah tersihir oleh pesona Miza yang jantan dan imut, bersikap seperti seorang pahlawan yang siap sedia menolong.

“Heh!” Keysha menyikut Tommy. “Jawab, tuh!”

“C-Cokro jatuh, Kak!”

Miza melihat situasi yang terjadi dan memindainya dengan teliti. Tanpa banyak bicara, Miza mengeluarkan tali tambang yang panjang, yang dia ikatkan ke satu pohon pinus paling tebal di dekat mereka. Ujung tali tambang itu dipasangi harnet yang diikatkan ke selangkangan Miza. Sosok ganteng itu melakukan semua proses di bawah satu menit.

“Menurut kamu dia udah punya pacar belum?” bisik Keysha sambil menyikut Tommy.

“Ssst, ah! Jangan dulu mikirin itu!” balas Tommy kesal.

Kira-kira Miza udah punya pacar belum, ya? batin Tommy bertanya-tanya. Pacarnya sih pasti cewek. Tapi bayangkan kalau dia gay, widih ... nilainya melonjak naik di antara para binan. Reza Rahardian pun kalah.

Miza tanpa ragu langsung melompat menuruni tebing yang landai itu, menuju lokasi Cokro dalam waktu sepuluh detik saja. Begitu dirinya berada sangat dekat dengan Cokro, kaki-kaki Miza menjejak kuat ke tanah, tangannya melilitkan tali tambang yang tersisa ke pergelangan tangannya, sehingga Miza bisa menopang tubuhnya dan tubuh Cokro melalui tali itu.

“Tolong ... huhuhu ...!” Cokro sudah beruraian airmata. “Ashyahdu an laa ilaaha illalah, wa asyhadu anna Muhammad Rasulullah ....” Cokro bahkan mulai merapalkan syahadat. Mungkin gara-gara Keysha mengingatkannya barusan.

Miza dengan cekatan menarik tubuh Cokro ke tubuhnya, mendekap tubuh itu erat, bahkan melilitkan satu tali tambahan ke tubuh Cokro, yang terkoneksi ke tubuhnya. Cokro memeluk tubuh Miza dengan erat seraya alumni ganteng itu mulai mendaki lagi tebing ke permukaan. Jujur saja Tommy iri. Dia setengah berharap dialah yang jatuh ke bawah supaya dapat kesempatan memeluk Miza. Apalagi Cokro membenamkan wajahnya di bahu Miza, dan Miza tidak tampak keberatan.

Beruntung banget kamu Cokro, batin Tommy iri.

Cokro berhasil dievakuasi beberapa saat kemudian. Miza membaringkan tubuh Cokro di permukaan yang keras dan bebas dari semak-semak hijau. Tubuh Cokro menggigil. Lututnya ditekuk terus-menerus, seraya Cokro meringis kesakitan dan menangis.

“Siapa nama kamu?” tanya Miza seraya melepaskan ransel dan semua atribut yang mengganggu dari Cokro.

“Cokro.”

“Bisa tolong ceritakan apa aja yang sakit?”

“Kaki.”

Miza segera membuka kedua sepatu dan kaus kaki Cokro lalu memindai potensi cedera yang mungkin terjadi. Kaki kanannya agak lebam. Tommy tahu persis bagian situ keseleo. Bertahun-tahun membuntuti ayahnya memijat pasien, Tommy hafal betul seperti apa dislokasi yang disebabkan oleh keseleo.

“Keseleo,” kata Tommy tiba-tiba, berjongkok di samping Miza sambil menunjuk bagian lebam itu.

Hmmm ... wanginya Miza ini segar seperti permen mint, batin Tommy. Apa ya sabun yang Miza gunakan untuk mandi?

“Kamu bisa bantu ngurut ini?” tanya Miza.

Tommy mengangguk dan segera mengambil alih. Dia juga mengeluarkan minyak kayu putih setelah sebelumnya membersihkan kaki Cokro yang terkena tanah. Tommy menggunakan semua ilmu yang didapatnya dari Kang Asep selama bertahun-tahun terakhir, membiarkan Cokro menjerit, tetapi dislokasi itu memang harus ditangani dengan segera. Setengah jam kemudian, tangisan Cokro mulai reda. Bagian yang keseleo masih sakit, tetapi Tommy sudah membebatnya dengan dedaunan beraroma kuat dan kain panjang yang ditemukan di peralatan kesehatan.

Mereka semua terduduk lelah sambil mulai mengeluarkan kotak makan siang. Miza menatap Tommy terus-terusan, tampak sangat khawatir. Dia bahkan membungkuk dan berbisik kepada Tommy. “Please, jangan macam-macam. Tolong jaga diri kamu sebaik mungkin.”


To be continued ....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Nude 33

  ssendrawkwA emitefiL .33     Pada suatu pagi lima tahun lalu, Miza bangun lebih pagi dari biasanya meski semalaman tak bisa tidur. D...