naniluksameK satiroirepuS .41
Meski tak mendapat tidur
yang cukup, Tommy tetap bangun dengan segar esok paginya. Dia melewatkan salat
subuh. Tahu-tahu tenda sudah kosong ketika Tommy terjaga, tak ada Karyo, tak
ada Baharudin, tak ada Arthur yang Tommy yakini memeluknya sepanjang dini hari.
Ketika Tommy melongokkan kepala ke luar tenda, beberapa orang sudah bersiap
menyambut kegiatan hari ini. Sekumpulan peserta baru kembali dari masjid,
sekumpulan yang lain bersiap mandi. Langit sudah berwarna biru muda. Tommy
menyambut pagi itu dengan senyum yang sangat lebar.
Dia yakin
seyakin-yakinnya, pelukan dari Arthur itu nyata. Bukan mimpi belaka.
Seperempat pagi
dihabiskan seluruh murid kelas IBB untuk membuat yel-yel. Rencananya, yel-yel
tersebut akan ditampilkan pada penutupan MOS di Gasibu. Kelas dengan yel-yel
terbaik akan mendapatkan award. Tommy
bukan tipe-tipe yang aktif menyampaikan kreativitas. Dia hanya duduk di sudut
dan mengangguk setuju pada apa pun ide yang terlontar.
Pukul sepuluh pagi, para
senior dari ekskul Travelustration, english
club, teater, dan literasi muncul ke perkemahan kelas IBB. Setiap titik
perkemahan akan didatangi perwakilan ekstrakurikuler khusus yang akan
membimbing kelas terkait dalam korelasinya terhadap bidang pelajaran.
Kelas-kelas MIA didatangi ekskul olahraga, KIR, dan komputer karena berkaitan
dengan fisika, biologi, maupun ilmu-ilmu teknis yang pasti. Kelas-kelas IIS
didatangi ekskul modelling, jurnalistik, koperasi, dan apa pun yang berkaitan
dengan ilmu sosial.
Di perkemahan IBB, Tommy
mengamati senior alumni bernama Miza itu memimpin semua ekskul yang hadir di
sini. Miza memimpin briefing bersama
tiga ekskul lainnya, kemudian berdiri di depan kelas IBB untuk berbicara.
“Mengapa kami?” mulai
Miza melalui sebuah pertanyaan. “Karena bahasa dan kebudayaan adalah sebuah
perjalanan. Nggak perlu kita berangkat dari kota A ke kota B naik mobil dan
lain sebagainya, tetapi berangkat dari satu situasi ke situasi yang baru, juga bisa
disebut perjalanan. Dan budaya itu sendiri, merupakan buah dari perjalanan
leluhur-leluhur kita, dari yang nggak tahu caranya nyalain api, sampai hari ini
kita bisa makan nasi rendang di rumah makan Padang. Ada situasi di mana tidak
ada rutinitas unik yang dilakukan satu kelompok masyarakat, kemudian
bertahun-tahun setelahnya rutinitas itu berkembang dan menjadi apa yang
kita sebut sebagai budaya.
“Karena semua berawal
dari perjalanan, travelustration barengan teman-teman dari english club, teater, dan literasi di sini akan membimbing kegiatan
kemah kalian hari ini, di mana semuanya berkaitan dengan kebahasaan dan
kebudayaan.”
Sosok Miza tampak
berwibawa saat berbicara di depan seluruh peserta. Tommy mendapati beberapa
kali Miza menoleh ke arahnya selama beberapa detik sebelum akhirnya melanjutkan
kata-katanya. Tommy tak memahami sebesar apa pengaruh seseorang pada masa lalu
Miza, yang kebetulan mirip banget dengan Tommy, sehingga sosok berkharisma itu
seringkali mencuri pandang ke arahnya. Bukan Tommy mau GR, tapi yang namanya
cowok ganteng di depan kelas nggak mungkin Tommy lewatkan untuk amati. Namun
selama mengamati, cowok gantengnya melihat ke arah Tommy terus. Wajar kan kalau
Tommy otomatis GR?
Bagi Tommy, sosok Miza terlihat
seperti cowok berbadan jangkung yang baru lulus kuliah, rambut agak gondrong
sedikit, dan punya idealisme tinggi akan sesuatu. Bukan terlihat dewasa seperti
Pak Anto, tetapi tetap seksi karena Miza tahu apa yang dia inginkan. Cowok yang
percaya diri dan konten memang tampak memesona, apalagi ketika harus
menyampaikan isi kepalanya.
Tommy sedang kangen dan
kasmaran pada Arthur, sebenarnya. Namun Miza di depannya ini oke juga. Tentu
saja, Tommy nggak berani berpikir yang bukan-bukan, karena dari semua gestur
yang dilakukan Miza, nggak ada tanda-tanda cowok itu gay. Misal iya Miza gay
pun, belum tentu Miza jatuh hati kepada Tommy.
Sepanjang Miza
menjelaskan kegiatan petualangan hari ini, Tommy fokus menatap hasta lengannya
yang tidak terbalut kemeja. Lengan itu begitu kokoh dan keras. Warnanya
kecokelatan karena sering terjemur di bawah matahari. Mungkin tulang-tulangnya
juga besar, meski Miza kelihatan slim
dan fit dari segi postur. Tommy
paling menyukai tatapannya saat memandang satu per satu semua murid kelas IBB.
Tatapan Miza itu tajam, mengundang, dan maskulin.
Dan gara-gara Tommy
terlena menatap pesona Miza, dia sama sekali nggak tahu apa yang cowok charming itu katakan di depan. Tommy
menyikut Evelyn di sebelahnya, “Apa katanya?”
Evelyn mengerutkan alis.
“Apa apa?”
“Aku tadi agak-agak ...
ngelamun. Jadi nggak ngedengerin.”
Evelyn memutar bola mata.
“Kita bakal keliling daerah ini mencari pos-pos ekskul, lalu melewati tantangan
yang disediakan, kemudian pergi ke pos berikutnya. Kayak jurit malam aja
gimana.”
“Oh, okay. Sendiri-sendiri?”
Evelyn menggeleng. “Lo
kan punya kuping. Pake dong sekali-sekali.”
Kelompok yang bertualang bukan kelompok tenda. Kelas IBB dibagi ke dalam
delapan kelompok, masing-masing kelompok terdiri dari lima orang, dua cowok dan
tiga cewek. Pengundian dilakukan secara adil melalui lintingan kertas. Tommy
satu kelompok bersama Keysha, Olivia, Nina, dan Cokro. Nina adalah cewek yang
aktif membahas feminisme dalam kajian literatur kuno, sementara Cokro selalu
duduk di paling belakang selama tiga hari MOS, nyaris tak pernah kedengaran
suaranya. Tommy nggak kenal-kenal amat sama Cokro, selain fakta bahwa Cokro lumayan
cakep—meski nggak secakep Arthur.
Pukul sebelas siang,
setiap kelompok sudah dibekali makan siang yang disiapkan panitia, peralatan
salat, peralatan keselamatan, peta, buku petunjuk, dan peralatan dasar naik
gunung. Penjelajahan dimulai pukul setengah dua belas siang setelah semua
perwakilan ekskul bersiap di posnya, entah di mana. Ketika semua penunggu pos
sudah hilang dari perkemahan, Tommy menemukan Miza masih berdiri di depan
delapan kelompok yang berjejer rapi.
“Sebelum Adik-Adik
berangkat,” katanya terakhir kali, “mohon sekali lagi baca buku petunjuk
keselamatan yang ada di kantung jelajah Adik-Adik. Jangan sekali-sekali
menyepelekan semua tanda alam atau potensi musibah yang mungkin Adik-Adik
hadapi. Ya, kita memang bukan di pegunungan berbahaya macam Himalaya di mana
kalau kita mati di tempat, orang nggak pernah nemuin kita. Akan ada banyak
pendaki gunung, warga lokal, atau bahkan turis yang berkeliaran, sehingga
penjelajahan kita ini seharusnya aman. Tapi tetep aja, ya Adik-Adik, jangan
abaikan prosedur keselamatan. Gunakan pita merah ini untuk meninggalkan jejak,
atau lemparkan suar asap ini untuk memberitahukan posisi saat kalian berada
dalam bahaya. Paham?”
“Siap, paham!”
Tommy melirik ke arah
Arthur yang berada di kelompok lain. Cowok itu ternyata sedang menatap ke arah
Tommy juga, tapi entah mengapa buru-buru melemparkan pandangan ke arah lain.
Tommy ikutan salah tingkah dengan melemparkan pandangan ke arah lain juga.
Tunggu ..., kenapa Arthur bertingkah konyol seperti itu? batin Tommy. Apa
maksudnya?
Sepanjang perjalanan
mencari pos pertama, Tommy GR bukan main. Apa
Arthur punya perasaan kepadaku? Ah, nggak mungkin. Arthur dari segala
perspektif kan straight habis.
Sikapnya memeluk Tommy dini hari tadi sebagai bentuk tolong-menolong sesama teman karena Tommy menggigil semalaman. Mana
mungkin Arthur naksir Tommy juga.
Lagi pula, Arthur kelewat baik sama semua orang, pikir Tommy. Literally semua orang. Nina mengajak diskusi soal feminisme dalam
literatur kuno saja Arthur datang dan mendengarkan. Wajar banget kalau Arthur
lihat ada orang menggigil kedinginan dan dia
memeluknya sampai tenang. Ya, pasti seperti itu. Jangan ke-GR-an dulu.
Bahkan mungkin, misal
Baharudin yang menggigil kedinginan, Arthur akan memeluknya juga. Atau Karyo.
Atau Pak Anto. Intinya Arthur memang terlahir jadi anak baik nggak ketulungan.
Semua kebaikan yang dia lakukan sebaiknya tidak diartikan sebagai sebuah
harapan.
“Kamu ngelamunin apa?”
tanya Keysha membuyarkan lamunan Tommy.
“Ah, nggak, kok.”
“Jadi kita ke mana ini?”
Keysha membolak-balik peta dan kebingungan. “Yang dimaksud U tuh apa sih, ini?
Usulan, ya?”
“Itu utara,” sahut Nina
sambil mendelik sebal. Segala jenis cewek yang tidak tampak setrong sebagai perempuan, pasti dibenci
Nina.
Kelompok Tommy sudah
berada di sebuah area hutan dengan pohon-pohon pinus menjulang tinggi dan jalur
setapak berumput yang sering dilewati entah siapa. Tak ada kelompok lain di
sekitar mereka, gara-gara Nina bersikukuh mengambil entrance dari titik lain.
“Eh, kita ikutin
kelompoknya Arthur aja!” usul Olivia tadi, saat kelompok Tommy ini baru saja
memulai perjalanan. “Yang ganteng-ganteng kayak dia kan pasti nggak akan pernah
tersesat di jalan. Apalagi kalau kita nikah sama dia, pasti kita dibimbing ke
jalan yang benar.”
“Jadi kamu menggantung
hidup kamu di tangan superioritas kemaskulinan yang diciptakan di bawah
masyarakat patriarkal yang nggak pernah menghargai nilai-nilai feminitas?!” sambut
Nina ngegas. “Kita lewat jalan sana aja! Lihat, nih ... di peta kita bisa
mencapai pos literatur lebih cepat kalau lewat sini. Jangan pernah
sekali-sekali kalian para cewek menggantungkan hidup di bawah ketek laki-laki!
Kalian punya harga diri! Camkan itu!”
Tommy, Keysha, Olivia,
dan Cokro terpana mendengar kata-kata Nina. Sebenarnya mereka sedang memproses,
apa maksud kalimat pertama Nina barusan. Namun karena keempatnya juga nggak
punya jiwa pemimpin, mereka menurut saja kata-kata Nina. Sekarang, mereka nggak
tahu sedang berada di mana di hutan raya sekitaran Gunung Tangkuban Perahu ini.
Tommy menggelengkan
kepalanya untuk mengibaskan semua pikiran halu soal Arthur yang mungkin naksir
kepadanya. Dia berencana fokus menyelesaikan misi kelompok. Tampaknya tak ada
yang berani mengambil alih posisi Nina yang melakukan swa-klaim sebagai
pemimpin kelompok ini.
“Kita ke arah sana!”
sahut Nina menunjuk sembarangan arah sambil melihat peta. Tommy sebenarnya
tidak begitu yakin Nina bisa membaca peta. Apalagi Nina berkali-kali
membolak-balik peta—tak ubahnya Keysha, dan kelihatan jelas tidak tahu ke mana
arah U meski Nina tahu apa arti dari U. Namun sudahlah. Mereka bakal nyasar ke
mana, sih? Ini masih wilayah yang bisa dijangkau semua petugas keamanan.
Turis-turis mungkin lewat sini juga kalau mereka berniat berjalan kaki ke
Tangkuban Perahu dari gerbang bawah.
Nina membawa mereka ke
sebuah tebing landai dengan panorama Kota Bandung di bawahnya. Jalan setapak
berhenti di sana, seolah-olah tak ada lagi manusia yang pernah melewati lokasi
ini sebelumnya.
“Harusnya di sini,” kata
Nina sok tahu.
“Harusnya kita pakai iPhone
11 Pro Max 256 giga Gold,” ujar Olivia sambil melipat tangan di depan dada. “Map-nya canggih. Kenapa OSIS nggak
memfasilitasi kita itu, sih? Why do we
get this stupid paper map?”
“Ya nggak bisa gitu lah,
Liv,” kata Keysha mencoba membela. “Kalau pake iPhone, entar kalau baterainya
habis, gimana?”
Ya tinggal di-charge pake power bank, lah, batin Tommy kesal pada logika Keysha. Lagi pula, apa
tujuannya berkemah kalau petualangan kecil macam begini saja harus pake iPhone
untuk melihat peta?
Nina membalik lagi peta.
“Oh, harusnya kita ke sana!”
Tommy memutar bola mata
tetapi memutuskan untuk membuntuti Nina saja. Misal mereka kesasar pun, setidaknya
ada orang yang bisa disalahkan—yaitu Nina. Kalau Tommy sampai ikut campur
menentukan arah, bisa-bisa dia jadi ikut disalahkan juga.
Baru beberapa meter
berjalan, Tommy menyadari satu anggota kelompoknya hilang.
“Mana Cokro?”
Nina, Keysha, dan Olivia
yang berjalan di depan langsung berhenti dan menoleh. Cowok pendiam yang sedari
tadi berjalan di belakang Tommy kini sudah nggak ada.
“Tuh, kan! Pasti dia udah
nyampe duluan ke posnya nggak ngajak-ngajak kita!” sahut Olivia sambil memukul
telapak tangannya sendiri dengan geram.
Mana mungkin, bitch! jerit Tommy dalam hati. Tadi
masih di sebelahku waktu Nina mengambil alih arah lagi.
“Tolooong!” Terdengar
sayup-sayup suara seseorang meminta bantuan.
Keempat anggota kelompok
itu celingukan. Permintaan tolong dikumandangkan sampai tiga kali hingga
akhirnya Keysha berseru, “Di sana!” sambil menunjuk ke bawah tebing yang landai.
Cokro ternyata terpeleset
tanah lumpur yang pecah, sehingga tubuhnya terperosok ke bawah. Jaraknya
mungkin lima meter dari permukaan tebing, cukup jauh dan curam bagi siapa pun
untuk menyusul dan menariknya ke atas. Masih cukup jauh juga bagi Cokro untuk
mencapai dasar tebing—yang entah berakhir di mana.
“Tolooong ...!” sahut
Cokro mulai menangis. Cokro sedang berpegangan pada salah satu akar, dengan
satu kaki berpijak pada batu yang mencuat dari tebing. Wajahnya agak tertutup
dedaunan paku, tetapi semua orang bisa melihatnya dari atas.
“Bertahanlah, Cokro!”
sahut Olivia.
“Yang sabar ya, Cokro!”
tambah Keysha panik. “Coba kamu ikuti kata-kataku, ya! Ikuti kata-kataku!”
“Iya!” jawab Cokro
pasrah.
Keysha menarik napas dan
mulai memimpin kata-kata, “Asyhadu an laa ilaaha ill—“
Geplak! Tommy
menjitak kepala Keysha. “Kamu apa-apaan, sih?!”
“Ya kan siapa tahu—“
“Pakai suar!” usul Nina
memberi ide. Tommy segera membuka ranselnya dan menyalakan suar asap. Proses
penggunaannya sudah diterangkan oleh seorang anggota travelustration tadi, dan
dalam kondisi genting seperti ini, ternyata Tommy mengoperasikannya dengan
mudah.
Suar itu diacungkan
tinggi-tinggi di antara pohon pinus yang menjulang. Asap berwarna merah
berkobar ke atas ditiup angin. Tidak sampai dua menit, keempatnya melihat sosok
Miza berlari sangat kencang dari arah bawah. Miza mengambil langkah-langkah
lebar melompati semak-semak yang tumbuh di luar jalur setapak. Tangannya
mengendor melepaskan ransel yang tersampir di punggungnya.
“Ada apa?” tanya Miza kilat
sambil menatap Tommy serius.
Gara-gara tatapannya itu,
Tommy malah tersihir oleh pesona Miza yang jantan dan imut, bersikap seperti
seorang pahlawan yang siap sedia menolong.
“Heh!” Keysha menyikut
Tommy. “Jawab, tuh!”
“C-Cokro jatuh, Kak!”
Miza melihat situasi yang
terjadi dan memindainya dengan teliti. Tanpa banyak bicara, Miza mengeluarkan
tali tambang yang panjang, yang dia ikatkan ke satu pohon pinus paling tebal di
dekat mereka. Ujung tali tambang itu dipasangi harnet yang diikatkan ke
selangkangan Miza. Sosok ganteng itu melakukan semua proses di bawah satu
menit.
“Menurut kamu dia udah
punya pacar belum?” bisik Keysha sambil menyikut Tommy.
“Ssst, ah! Jangan dulu
mikirin itu!” balas Tommy kesal.
Kira-kira Miza udah punya pacar belum, ya? batin Tommy bertanya-tanya. Pacarnya sih pasti cewek. Tapi bayangkan kalau dia gay, widih ... nilainya melonjak naik di antara
para binan. Reza Rahardian pun kalah.
Miza tanpa ragu langsung
melompat menuruni tebing yang landai itu, menuju lokasi Cokro dalam waktu
sepuluh detik saja. Begitu dirinya berada sangat dekat dengan Cokro, kaki-kaki
Miza menjejak kuat ke tanah, tangannya melilitkan tali tambang yang tersisa ke
pergelangan tangannya, sehingga Miza bisa menopang tubuhnya dan tubuh Cokro
melalui tali itu.
“Tolong ... huhuhu ...!”
Cokro sudah beruraian airmata. “Ashyahdu an laa ilaaha
illalah, wa asyhadu anna Muhammad Rasulullah ....” Cokro bahkan mulai merapalkan syahadat. Mungkin
gara-gara Keysha mengingatkannya barusan.
Miza dengan cekatan
menarik tubuh Cokro ke tubuhnya, mendekap tubuh itu erat, bahkan melilitkan
satu tali tambahan ke tubuh Cokro, yang terkoneksi ke tubuhnya. Cokro memeluk
tubuh Miza dengan erat seraya alumni ganteng itu mulai mendaki lagi tebing ke
permukaan. Jujur saja Tommy iri. Dia setengah berharap dialah yang jatuh ke
bawah supaya dapat kesempatan memeluk Miza. Apalagi Cokro membenamkan wajahnya
di bahu Miza, dan Miza tidak tampak keberatan.
Beruntung banget kamu Cokro, batin Tommy iri.
Cokro berhasil dievakuasi
beberapa saat kemudian. Miza membaringkan tubuh Cokro di permukaan yang keras
dan bebas dari semak-semak hijau. Tubuh Cokro menggigil. Lututnya ditekuk
terus-menerus, seraya Cokro meringis kesakitan dan menangis.
“Siapa nama kamu?” tanya
Miza seraya melepaskan ransel dan semua atribut yang mengganggu dari Cokro.
“Cokro.”
“Bisa tolong ceritakan
apa aja yang sakit?”
“Kaki.”
Miza segera membuka kedua
sepatu dan kaus kaki Cokro lalu memindai potensi cedera yang mungkin terjadi.
Kaki kanannya agak lebam. Tommy tahu persis bagian situ keseleo. Bertahun-tahun
membuntuti ayahnya memijat pasien, Tommy hafal betul seperti apa dislokasi yang
disebabkan oleh keseleo.
“Keseleo,” kata Tommy
tiba-tiba, berjongkok di samping Miza sambil menunjuk bagian lebam itu.
Hmmm ... wanginya Miza ini segar seperti permen mint, batin Tommy. Apa ya sabun yang Miza gunakan untuk mandi?
“Kamu bisa bantu ngurut
ini?” tanya Miza.
Tommy mengangguk dan
segera mengambil alih. Dia juga mengeluarkan minyak kayu putih setelah
sebelumnya membersihkan kaki Cokro yang terkena tanah. Tommy menggunakan semua
ilmu yang didapatnya dari Kang Asep selama bertahun-tahun terakhir, membiarkan
Cokro menjerit, tetapi dislokasi itu memang harus ditangani dengan segera.
Setengah jam kemudian, tangisan Cokro mulai reda. Bagian yang keseleo masih
sakit, tetapi Tommy sudah membebatnya dengan dedaunan beraroma kuat dan kain
panjang yang ditemukan di peralatan kesehatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar