Kamis, 25 Maret 2021

Nude 13

 

iznuT inibizoZ .31

 

Tak ada kegiatan berat sepanjang sore hari pertama outbond itu. Setelah mendirikan tenda, setiap kelompok berkumpul melingkar di tengah api unggun yang belum menyala. Senior OSIS memberikan ice breaking games yang menarik selama setengah jam, menjelaskan gambaran umum tentang kelas IBB selama tiga tahun ke depan, kemudian meminta setiap anak mengenalkan diri. Murid-murid baru kelas IBB pun diminta membuat kolom di buku catatan mereka, yang nantinya harus diisi tanda tangan siswa baru dan senior sebanyak mungkin. Pada penutupan MOS, siswa dengan buku yang berisi tanda tangan paling banyak akan mendapatkan award.

Sejauh ini, buku Arthur sudah terisi tanda tangan 39 siswa dan empat senior OSIS.

Arthur sibuk menandatangani semua buku murid kelas IBB. Bahkan, kalau diperhatikan, tanda tangan Arthur selalu berada di paling atas kolom, sebelum ditandatangani oleh orang lain.

“Aku sih ditandatanganin Arthur udah cukup,” bisik Lusi ke Siska. Lusi memeluk bukunya dengan erat di depan dada. Matanya berbinar gembira. “Yang lain enggak mau tanda tangan pun gapapa. Yang penting ada tanda tangan Arthur.”

“Aku juga,” balas Siska. “Makanya kemarin aku setuju sekelompok sama Keysha. Karena pasti gampang deketin Arthur.”

Iyuh, batin Tommy, yang tanpa sengaja mendengarkan percakapan itu. Kenapa banyak cewek gatal ya di kelasnya?

Menjelang Magrib, seluruh siswa secara bergantian meninggalkan area perkemahan menuju masjid terdekat untuk mandi dan juga salat. Sebenarnya enggak dekat-dekat amat. Jaraknya sekitar dua kilometer, ditempuh dalam waktu tiga puluh menit berjalan kaki menyusuri jalan setapak di hutan. Meski ini hutan, tentu saja area ini sudah dikunjungi jutaan orang yang berkemah, sehingga keberadaan masjid di ujung jalan juga tidak aneh lagi.

Tommy tidak menghabiskan waktu banyak bersama Arthur. Cowok ganteng itu direbut oleh siapa pun setiap kelihatan senggang. (Kebanyakan cewek.) Dan mungkin karena kece, Arthur dianggap bisa melakukan segala hal seperti robot. Yang ternyata memang benar-benar bisa dia lakukan.

“Thur, bantu kami benerin tenda, dong!”

“Thur, di tenda kami ada ulatnya. Tolong singkirin, dong!”

“Thur, aku mau bahas kajian feminisme dalam karyanya Suparto Brata Para Pawestri Pejuang terkait keikutsertaan perempuan dalam pembangunan ekonomi rumah tangga setelah menikah. Kamu mau ikutan berdiskusi enggak?”

Dan Arthur pun hanya bisa menghela napas sambil membuntuti.

Tommy sebal karena Arthur sebaik hati itu melayani semua orang. Seharusnya Arthur belajar menolak permintaan-permintaan enggak penting semacam itu, karena dia pun berhak untuk bersantai. Memangnya manusia macam apa baca kajian feminisme saat lagi kemah begini, hah?

Makan malam dilakukan dengan cara duduk melingkari api unggun di tengah-tengah jejeran tenda. Suasana hutan benar-benar gelap. Cahaya berasal dari kobaran api dan beberapa spot light yang dibawa oleh OSIS. Semuanya dinyalakan menggunakan generator kecil yang berisik. Ada murid yang menyantap makanannya menggunakan daun pisang, ada yang menggunakan kotak makan. Melalui voting stik es krim (dari enam belas stik es krim, ada satu yang bagian bawahnya dicat warna merah), Arthur kebagian mencuci piring. Arthur mencabut stik bercat merah itu sehingga dia harus membawa semua piring kotor bersama satu orang yang dia tunjuk, lalu mencucinya.

Okay. Looks like I have to do the dishes here. Ada yang mau nemenin saya?”

Semua anak perempuan mengacung kecuali Evelyn. Evelyn hanya memutar bola mata saja.

“Saya enggak akan nyuci ke masjid yang tadi,” kata Arthur. “Di arah sana,” Arthur menunjuk arah berlawanan, “sore tadi saya nemu satu sungai kecil yang airnya jernih. Jaraknya lebih dekat, tapi ya ... agak gelap sih kalau jam segini. Nah, saya mau nyuci di sana aja. Ada yang masih mau ikut saya?”

Semua anak perempuan menurunkan tangannya. Mereka saling berpandangan.

“Kenapa enggak di masjid tadi aja, Honey?” sahut Nikita. “Kan kalau ke sana, bisa mampir Alfamart juga.”

Arthur menggeleng. “To be honest: kejauhan. Bawa piring kotornya aja berat. Bisa putus di jalan tangan saya bawa piring kotor dua kilometer.”

“Atau kita cuci besok pagi?” usul seorang senior OSIS. “Pas berangkat salat subuh misalnya?”

Trust me. Sungainya deket. Paling cuma tiga ratus meter. Yang cowok ada yang mau gabung?”

Semua anak laki-laki menatap jalan setapak gelap ke arah utara. Beberapa memang tahu ada sungai jernih di sana. Mereka menemukannya bersama Arthur saat eksplorasi sore tadi. Namun kalau harus berjalan dalam gelap seperti ini, mereka harus mempertimbangkannya baik-baik.

“No one?” tanya Arthur. “I’ll go with Tommy, then.”

Tommy menelan ludah. Matanya membelalak dan langsung membayangkan yang bukan-bukan melihat jalur setapak gelap di depannya itu.

“Gapapa, kan?” tanya Arthur.

Enggak apa-apa, lah!” sahut Baharudin dari jauh. “Tommy kan laki-laki.”

Sialan! batin Tommy. Namun Tommy justru mengiakan sarkasme Baharudin. “Iya, lah. Gapapa.”

Pak Anto yang baru saja tiba dari bawah dan mendengarkan ide itu langsung bertanya, “Kenapa enggak di masjid aja, Thur? Aman, kok. Tadi saya baru dari sana.”

“Lebih dekat sungai di sini, Pak.”

Please, jangan. Nanti Arthur dipatok ular gimana ...?” rengek Marsela manja. “Sungai-sungai jernih kan penuh ular. Iyuuuhhh ....”

“Gapapa, kok. Aman. I’ve checked,” kata Arthur bersikukuh.

“Iya, Pak. Nyantai aja. Kan ada Tommy juga. Macho banget dia. Semua ular pasti keok!” sahut Baharudin.

“Apa, sih!” Tommy memelotot.

Alhasil, Tommy dan Arthur berjalan kaki berdua menggotong sekeranjang penuh piring kotor ke arah utara. Baru berjalan beberapa meter, aliran air sungai sudah terdengar. Hanya saja, jalan tersebut benar-benar gelap. Susah payah Tommy menyoroti jalan setapak dengan senter, sementara satu tangan lainnya menenteng piring kotor.

Sesampainya di sungai yang dimaksud, Tommy menemukan sebuah aliran kecil yang sebenarnya enggak besar-besar amat untuk disebut sungai, tetapi alirannya cukup deras. Ketika Tommy menyoroti aliran air tersebut, dia bisa melihat permukaan dasarnya. Yang berarti aliran ini benar-benar jernih. Hal pertama yang Tommy lakukan adalah menyoroti setiap inci sungai kecil itu, waspada kalau-kalau ada ular di sekitarnya. Kata-kata Marsela entah mengapa terserap ke dalam kepalanya.

“There’s not going to be any dangerous snake around here,” ungkap Arthur sambil berjongkok dan meletakkan piring kotor di tepi sungai.

“Tapi ini kan tengah hutan. Bisa jadi, kan?” Tommy masih menyoroti setiap bagian sungai yang bisa tersorot senter. Beberapa kali Tommy terkesiap melihat akar pohon yang dia kira ular.

“Bisa jadi iya. But instead of ular, we’re more likely to meet ...,” Arthur terdiam sejenak, menoleh ke belakang, lalu menoleh ke arah Tommy sambil memelotot, “... kuntilanak.”

“AAAAAARGH!” Itu adalah jeritan paling luar biasa yang pernah Tommy semburkan dari kerongkongannya. Lebih luar biasa dari speech-nya Zozibini Tunzi di Miss Universe 2019. Mungkin naik dua tiga oktaf menyamai Mariah Carey. Terdengar seperti perempuan, tetapi Tommy tak peduli. Dia benar-benar ketakutan. Tommy sampai terpeleset sebuah batu, kemudian terjatuh ke dalam sungai, dan membasahi sekujur tubuhnya. Mulai dari celana panjangnya, hingga ke jaket tebalnya.

Tommy yang ketakutan menggigil kedinginan. Dia buru-buru bangkit mendekati Arthur, mencoba berlindung di balik bahunya sambil menyembunyikan kepala. Namun Arthur malah cekikikan. Gelakannya terdengar sangat puas.

“Sorry, sorry, sorry. I was just kidding!”

“What?!” sergah Tommy marah. “Aku takut, tahu! Aku kira kamu lihat kuntilanak!”

“No, I didn’t.” Arthur terbahak semakin keras.

Tommy betulan bete dengan candaan Arthur barusan. Bukan soal basah kuyupnya, sih. Soal jeritannya itu. Mungkin teman-teman sekelasnya di bawah sana akan mengira Marsela sedang menjerit, bukannya Tommy. Dia merasa benar-benar malu terlihat ketakutan di depan cowok ganteng paling berprestasi di kelas. (Teman sebangkunya pula. Sial.)

“Maaf, dong. Aku cuma bercanda,” kata Arthur tak tega. Arthur melingkarkan lengannya ke tubuh Tommy, menariknya ke dalam sebuah pelukan hangat.

Tentu saja semua rasa bete dan malu itu meleleh ketika Arthur memeluk Tommy ke dalam rangkulannya. Tommy dapat menghirup aroma Arthur yang segar. Rangkulan itu erat, seperti seorang kekasih melindungi pacarnya dari marabahaya. Di tengah tubuhnya yang menggigil, Tommy berharap pelukan itu tak pernah berakhir.

“Here. Use mine.” Arthur melepaskan jaket tebalnya, menyisakan sehelai kaus oblong membaluti tubuhnya. “Kamu buka dulu baju kamu.”

“Tapi nanti kamu kedinginan kalau enggak pake jaket. Ini kan Lembang Atas,” bisik Tommy.

“Kamu bakal lebih kedinginan kalau baju kamu basah begini. Pake aja.” Arthur membantu Tommy melepaskan jaket dan kausnya, menelanjangi Tommy di tengah hutan yang dingin dan gelap. Dengan cekatan, Arthur pun memasangkan jaketnya ke tubuh Tommy, menarik ritsleting hingga ke leher dan mengaitkan setiap kancingnya. Jaket itu kebesaran. Mungkin karena tubuh Arthur lebih besar dan berotot hasil workout sebagai atlet. Namun Tommy tampaknya tak keberatan.

“Lagi pula barusan salahku, kamu jadi kecebur gitu,” kata Arthur. “Please forgive me.”

“Why you do that?” tanya Tommy, sedikit-sedikit mencoba berbahasa Inggris meski terbatas.

“Cause you’re so intense,” jawab Arthur jujur. “I have no idea what is happening in your head right now, or ... this while. But you kept drowning in your own thought, avoiding people, or ... you know, picking a useless fight with Udin. What was that all about?”

Karena aku sedang susah payah menjaga image-ku supaya enggak ketahuan gay, jawab Tommy dalam hati. Dia tak berani mengungkapkan jawaban sebenarnya, sehingga Tommy hanya menggeleng saja saat pertanyaan itu mencuat.

“Just ... relax,” ungkap Arthur.

Pelukan itu berlangsung selama beberapa menit sampai akhirnya Arthur mengingatkan Tommy bahwa mereka harus mencuci piring. Tommy kecewa karena pelukan hangat itu harus lepas. Namun dia tahu, kalau mereka kelamaan pelukan di tengah suhu dingin yang mencubit seperti ini, keduanya bisa masuk rumah sakit. Celana Tommy masih basah, dan Arthur hanya berbalutkan kaus saja.

Ketika keduanya kembali ke area perkemahan sambil membawa piring yang telah dicuci, semua peserta sedang bersantai-santai menyambut malam. Ada yang berkumpul di dalam tenda dan mengobrol, ada yang menyanyi-nyanyi sambil membawa gitar, ada yang sedang pedekate, para anggota OSIS sedang berdiskusi dengan Pak Anto terkait kegiatan besok pagi, dan ada juga yang masih belum selesai membahas kajian feminisme dalam literatur-literatur kuno Indonesia.

Tommy bergegas menuju tendanya untuk mengganti celana yang basah. Arthur membuntutinya dari belakang, menunggu di luar seraya Tommy mengganti celana, kemudian masuk dan bersiap untuk tidur.

“I think I wanna hit the bed,” ungkap Arthur sambil membuka lipatan selimutnya. Arthur mengeluarkan sweter dari dalam tas disertai kupluk yang menutupi telinga. Dia menyiapkan kantung tidurnya di tengah-tengah.

“Kamu mau tidur sebelah mana?” tanya Tommy.

“Kamu mau tidur sebelah mana?” ulang Arthur sambil membuka tangan.

Dalam pelukanmu, Arthur, batin Tommy. Namun tentu tak dia ungkapkan jawaban itu. Dengan jujur Tommy berkata, “Aku lagi nggak begitu ... you know, sama Baharudin, dan—“

“I understand,” sela Arthur sambil mengangguk.

Arthur membantu Tommy menyiapkan kantung tidur, kemudian meletakkannya di paling ujung. Dia lalu menggeser kantung tidurnya ke sebelah kantung tidur Tommy. Jadi dari sebelah kiri ada Tommy, berikutnya Arthur, dan dua space kosong di samping Arthur bisa digunakan siapa pun antara Karyo atau Baharudin.

“Tapi secepatnya, kamu harus baikan sama Udin. Atau Karyo. Jangan berantem terus,” ujar Arthur serius. “Kalau masih berantem aja, besok kamu tidurnya di antara Udin dan Karyo.

“Iyaaa ....”

Arthur mengacungkan kelingkingnya. “Janji?”

Tommy menghela napas pasrah dan mengaitkan kelingkingnya ke kelingking Arthur. “Iya, janji.”

Tak berapa lama, ketika Tommy dan Arthur sudah menyelusup masuk ke kantung tidur masing-masing, Karyo dan Baharudin masuk ke dalam tenda. Hal pertama yang Arthur lakukan adalah memastikan sleeping arrangement di dalam tenda disetujui juga oleh dua orang tersebut. “Gapapa urutannya gini?”

“Is okay,” jawab Karyo sambil tersenyum lebar. Tentu saja, baik Karyo maupun Baharudin berharap bisa tidur di sebelah Arthur. Kalau bisa masing-masing mengambil satu sisi tubuh Arthur. Namun karena Arthur sudah menentukan secara inisiatif, Karyo dan Baharudin hanya bisa menerima.

Diam-diam, Karyo dan Baharudin bersuten untuk menentukan siapa yang kebagian tidur di samping Arthur. Baharudin yang menang.

Dalam tiga puluh menit, keempat orang di dalam tenda itu sudah siap menyambut tidur pertama di dalam kemah. Arthur sudah terlelap di balik selimut tebal corak Burberry yang diselipkan Nyai ke dalam ranselnya. Karyo sudah pasrah menerima nasib karena kebagian tidur di samping dinding tenda. Baharudin juga bersiap tidur di bawah selimut rumbai-rumbai warna merah, meski jantungnya berdegup kencang karena bisa merasakan kehangatan Arthur di sebelahnya. Dibandingkan memejamkan mata, Baharudin terus-menerus melirik ke arah Arthur di dalam gelapnya tenda. Di ujung lain tenda, Tommy mencoba tidur tetapi tak berhasil juga. Badannya masih menggigil kedinginan gara-gara tercebur ke sungai sebelumnya.

Sekitar pukul dua pagi, ketika Karyo dan Baharudin sudah ngorok seperti kuda, Tommy mendapati dirinya masih terjaga. Badannya juga masih bergetar kecil. Dia peluk seerat mungkin tubuhnya untuk mendapatkan kehangatan, tetapi nihil. Dia tarik selimutnya hingga menutupi leher seraya meringkuk memeluk lutut agar bisa menenangkan gigilnya, tetapi tak berhasil juga. Fakta bahwa cowok “the most wanted” di sekolah berbaring di sebelahnya tak mampu membuat Tommy tertidur lelap ke alam mimpi yang indah. Tommy tetap sibuk menenangkan tubuhnya yang berguncang-guncang kecil.

Kemudian, ketika kokokan ayam pukul tiga pagi terdengar, Tommy merasakan sebuah uluran tangan yang besar dan hangat meluncur melewati wajahnya. Lengan besar itu merangkul tubuh Tommy, menariknya ke dekapan si empu tubuh atletis di belakang Tommy.

Hingga pagi menjelang, Arthur memeluk Tommy dalam dekapannya. Menenangkan tubuh Tommy yang menggigil dalam sekejap. Menyalurkan kehangatan yang membuat Tommy mampu terlelap. Kain rajut tebal bercorak Burberry itu pun dirapikan Arthur, agar menyelimuti tubuhnya ... dan tubuh Tommy bersamaan.


To be continued ....


<<< Part 12  |  Nude  |  Part 14 >>>

2 komentar:

Nude 33

  ssendrawkwA emitefiL .33     Pada suatu pagi lima tahun lalu, Miza bangun lebih pagi dari biasanya meski semalaman tak bisa tidur. D...