iznuT inibizoZ .31
Tak ada kegiatan berat
sepanjang sore hari pertama outbond itu. Setelah mendirikan tenda,
setiap kelompok berkumpul melingkar di tengah api unggun yang belum menyala.
Senior OSIS memberikan ice breaking games yang menarik selama setengah
jam, menjelaskan gambaran umum tentang kelas IBB selama tiga tahun ke depan,
kemudian meminta setiap anak mengenalkan diri. Murid-murid baru kelas IBB pun
diminta membuat kolom di buku catatan mereka, yang nantinya harus diisi tanda
tangan siswa baru dan senior sebanyak mungkin. Pada penutupan MOS, siswa dengan
buku yang berisi tanda tangan paling banyak akan mendapatkan award.
Sejauh ini, buku Arthur
sudah terisi tanda tangan 39 siswa dan empat senior OSIS.
Arthur sibuk
menandatangani semua buku murid kelas IBB. Bahkan, kalau diperhatikan, tanda
tangan Arthur selalu berada di paling atas kolom, sebelum ditandatangani oleh
orang lain.
“Aku sih ditandatanganin
Arthur udah cukup,” bisik Lusi ke Siska. Lusi memeluk bukunya dengan erat di
depan dada. Matanya berbinar gembira. “Yang lain enggak mau tanda tangan pun gapapa. Yang penting ada tanda
tangan Arthur.”
“Aku juga,” balas Siska.
“Makanya kemarin aku setuju sekelompok sama Keysha. Karena pasti gampang
deketin Arthur.”
Iyuh, batin Tommy, yang tanpa sengaja mendengarkan
percakapan itu. Kenapa banyak cewek gatal ya di kelasnya?
Menjelang Magrib, seluruh siswa secara bergantian meninggalkan area
perkemahan menuju masjid terdekat untuk mandi dan juga salat. Sebenarnya enggak dekat-dekat amat. Jaraknya sekitar dua kilometer,
ditempuh dalam waktu tiga puluh menit berjalan kaki menyusuri jalan setapak di
hutan. Meski ini hutan, tentu saja area ini sudah dikunjungi jutaan orang yang
berkemah, sehingga keberadaan masjid di ujung jalan juga tidak aneh lagi.
Tommy tidak menghabiskan
waktu banyak bersama Arthur. Cowok ganteng itu direbut oleh siapa pun setiap
kelihatan senggang. (Kebanyakan cewek.) Dan mungkin karena kece, Arthur
dianggap bisa melakukan segala hal seperti robot. Yang ternyata memang
benar-benar bisa dia lakukan.
“Thur, bantu kami benerin
tenda, dong!”
“Thur, di tenda kami ada
ulatnya. Tolong singkirin, dong!”
“Thur, aku mau bahas
kajian feminisme dalam karyanya Suparto Brata Para Pawestri Pejuang terkait keikutsertaan perempuan dalam
pembangunan ekonomi rumah tangga setelah menikah. Kamu mau ikutan berdiskusi enggak?”
Dan Arthur pun hanya bisa
menghela napas sambil membuntuti.
Tommy sebal karena Arthur
sebaik hati itu melayani semua orang. Seharusnya Arthur belajar menolak
permintaan-permintaan enggak
penting semacam itu, karena dia pun berhak untuk bersantai. Memangnya manusia
macam apa baca kajian feminisme saat lagi kemah begini, hah?
Makan malam dilakukan
dengan cara duduk melingkari api unggun di tengah-tengah jejeran tenda. Suasana
hutan benar-benar gelap. Cahaya berasal dari kobaran api dan beberapa spot
light yang dibawa oleh OSIS. Semuanya
dinyalakan menggunakan generator kecil yang berisik. Ada murid yang menyantap
makanannya menggunakan daun pisang, ada yang menggunakan kotak makan. Melalui
voting stik es krim (dari enam belas stik es krim, ada satu yang bagian bawahnya
dicat warna merah), Arthur kebagian mencuci piring. Arthur mencabut stik bercat
merah itu sehingga dia harus membawa semua piring kotor bersama satu orang yang
dia tunjuk, lalu mencucinya.
“Okay. Looks like I
have to do
the dishes here. Ada yang mau nemenin saya?”
Semua anak perempuan
mengacung kecuali Evelyn. Evelyn hanya memutar bola mata saja.
“Saya enggak akan nyuci ke masjid yang tadi,” kata Arthur. “Di arah
sana,” Arthur menunjuk arah berlawanan, “sore tadi saya nemu satu sungai kecil
yang airnya jernih. Jaraknya lebih dekat, tapi ya ... agak gelap sih kalau jam
segini. Nah, saya mau nyuci di sana aja. Ada yang masih mau ikut saya?”
Semua anak perempuan
menurunkan tangannya. Mereka saling berpandangan.
“Kenapa enggak di masjid tadi aja, Honey?” sahut Nikita. “Kan kalau ke
sana, bisa mampir Alfamart juga.”
Arthur menggeleng. “To
be honest: kejauhan. Bawa piring kotornya aja berat. Bisa putus di jalan
tangan saya bawa piring kotor dua kilometer.”
“Atau kita cuci besok
pagi?” usul seorang senior OSIS. “Pas berangkat salat subuh misalnya?”
“Trust me.
Sungainya deket. Paling cuma tiga ratus meter. Yang cowok ada yang mau gabung?”
Semua anak laki-laki
menatap jalan setapak gelap ke arah utara. Beberapa memang tahu ada sungai
jernih di sana. Mereka menemukannya bersama Arthur saat eksplorasi sore tadi. Namun
kalau harus berjalan dalam gelap seperti ini, mereka harus mempertimbangkannya
baik-baik.
“No one?” tanya Arthur. “I’ll go with Tommy, then.”
Tommy menelan ludah.
Matanya membelalak dan langsung membayangkan yang bukan-bukan melihat jalur
setapak gelap di depannya itu.
“Gapapa, kan?” tanya
Arthur.
“Enggak apa-apa, lah!” sahut Baharudin dari jauh. “Tommy kan
laki-laki.”
Sialan! batin
Tommy. Namun Tommy justru mengiakan sarkasme Baharudin. “Iya, lah. Gapapa.”
Pak Anto yang baru saja
tiba dari bawah dan mendengarkan ide itu langsung bertanya, “Kenapa enggak di masjid aja, Thur? Aman, kok. Tadi saya baru dari
sana.”
“Lebih dekat sungai di
sini, Pak.”
“Please, jangan.
Nanti Arthur dipatok ular gimana ...?” rengek Marsela manja. “Sungai-sungai
jernih kan penuh ular. Iyuuuhhh ....”
“Gapapa, kok. Aman. I’ve
checked,” kata Arthur bersikukuh.
“Iya, Pak. Nyantai aja.
Kan ada Tommy juga. Macho banget dia. Semua ular pasti keok!” sahut
Baharudin.
“Apa, sih!” Tommy
memelotot.
Alhasil, Tommy dan Arthur
berjalan kaki berdua menggotong sekeranjang penuh piring kotor ke arah utara.
Baru berjalan beberapa meter, aliran air sungai sudah terdengar. Hanya saja,
jalan tersebut benar-benar gelap. Susah payah Tommy menyoroti jalan setapak
dengan senter, sementara satu tangan lainnya menenteng piring kotor.
Sesampainya di sungai yang
dimaksud, Tommy menemukan sebuah aliran kecil yang sebenarnya enggak besar-besar amat untuk disebut sungai, tetapi alirannya
cukup deras. Ketika Tommy menyoroti aliran air tersebut, dia bisa melihat permukaan dasarnya. Yang
berarti aliran ini benar-benar jernih. Hal pertama yang Tommy lakukan adalah menyoroti setiap inci sungai kecil itu,
waspada kalau-kalau ada ular di sekitarnya. Kata-kata Marsela entah mengapa
terserap ke dalam kepalanya.
“There’s not going to be any
dangerous snake around here,” ungkap
Arthur sambil berjongkok dan meletakkan piring kotor di tepi sungai.
“Tapi ini kan tengah
hutan. Bisa jadi, kan?” Tommy masih menyoroti setiap bagian sungai yang bisa
tersorot senter. Beberapa kali Tommy terkesiap melihat akar pohon yang dia kira
ular.
“Bisa jadi iya. But
instead of ular, we’re more likely to meet ...,” Arthur terdiam
sejenak, menoleh ke belakang, lalu menoleh ke arah Tommy sambil memelotot, “...
kuntilanak.”
“AAAAAARGH!” Itu adalah
jeritan paling luar biasa yang pernah Tommy semburkan dari kerongkongannya. Lebih luar biasa dari speech-nya
Zozibini Tunzi di Miss Universe 2019. Mungkin
naik dua tiga oktaf menyamai Mariah Carey. Terdengar seperti perempuan, tetapi
Tommy tak peduli. Dia benar-benar ketakutan. Tommy sampai terpeleset sebuah
batu, kemudian terjatuh ke dalam sungai, dan membasahi sekujur tubuhnya. Mulai dari celana panjangnya, hingga ke
jaket tebalnya.
Tommy yang ketakutan
menggigil kedinginan. Dia buru-buru bangkit mendekati Arthur, mencoba
berlindung di balik bahunya sambil menyembunyikan kepala. Namun Arthur malah
cekikikan. Gelakannya terdengar sangat puas.
“Sorry, sorry, sorry. I
was just kidding!”
“What?!” sergah Tommy marah. “Aku takut, tahu! Aku kira
kamu lihat kuntilanak!”
“No, I didn’t.” Arthur terbahak semakin keras.
Tommy betulan bete
dengan candaan Arthur barusan. Bukan soal basah kuyupnya, sih. Soal jeritannya
itu. Mungkin teman-teman sekelasnya di bawah sana akan mengira Marsela sedang
menjerit, bukannya Tommy. Dia merasa benar-benar malu terlihat ketakutan di
depan cowok ganteng paling berprestasi di kelas. (Teman sebangkunya pula.
Sial.)
“Maaf, dong. Aku cuma
bercanda,” kata Arthur tak tega. Arthur melingkarkan lengannya ke tubuh Tommy,
menariknya ke dalam sebuah pelukan hangat.
Tentu saja semua rasa bete
dan malu itu meleleh ketika Arthur memeluk Tommy ke dalam rangkulannya. Tommy
dapat menghirup aroma Arthur yang segar. Rangkulan itu erat, seperti seorang
kekasih melindungi pacarnya dari marabahaya. Di tengah tubuhnya yang menggigil,
Tommy berharap pelukan itu tak pernah berakhir.
“Here. Use mine.” Arthur melepaskan jaket tebalnya, menyisakan
sehelai kaus oblong membaluti tubuhnya. “Kamu buka dulu baju kamu.”
“Tapi nanti kamu kedinginan
kalau enggak pake jaket. Ini kan Lembang Atas,” bisik
Tommy.
“Kamu bakal lebih
kedinginan kalau baju kamu basah begini. Pake aja.” Arthur membantu Tommy
melepaskan jaket dan kausnya, menelanjangi Tommy di tengah hutan yang dingin
dan gelap. Dengan cekatan, Arthur pun memasangkan jaketnya ke tubuh Tommy,
menarik ritsleting hingga ke leher dan mengaitkan setiap kancingnya. Jaket itu
kebesaran. Mungkin karena tubuh Arthur lebih besar dan berotot hasil workout
sebagai atlet. Namun Tommy tampaknya tak keberatan.
“Lagi pula barusan
salahku, kamu jadi kecebur gitu,” kata Arthur. “Please forgive me.”
“Why you do that?” tanya Tommy, sedikit-sedikit mencoba berbahasa
Inggris meski terbatas.
“Cause you’re so
intense,” jawab Arthur jujur. “I
have no idea what is happening in your head right now, or ... this while. But
you kept drowning in your own thought, avoiding people, or ... you know,
picking a useless fight with Udin. What was that all about?”
Karena aku sedang susah payah menjaga image-ku
supaya enggak ketahuan gay, jawab Tommy dalam hati. Dia tak berani
mengungkapkan jawaban sebenarnya, sehingga Tommy hanya menggeleng saja saat
pertanyaan itu mencuat.
“Just ... relax,” ungkap Arthur.
Pelukan itu berlangsung
selama beberapa menit sampai akhirnya Arthur mengingatkan Tommy bahwa mereka
harus mencuci piring. Tommy kecewa karena pelukan hangat itu harus lepas. Namun
dia tahu, kalau mereka kelamaan pelukan di tengah suhu dingin yang mencubit
seperti ini, keduanya bisa masuk rumah sakit. Celana Tommy masih basah, dan
Arthur hanya berbalutkan kaus saja.
Ketika keduanya kembali
ke area perkemahan sambil membawa piring yang telah dicuci, semua peserta
sedang bersantai-santai menyambut malam. Ada yang berkumpul di dalam tenda dan
mengobrol, ada yang menyanyi-nyanyi sambil membawa gitar, ada yang sedang pedekate,
para anggota OSIS sedang berdiskusi dengan Pak Anto terkait kegiatan besok
pagi, dan ada juga yang masih belum selesai membahas kajian feminisme dalam
literatur-literatur kuno Indonesia.
Tommy bergegas menuju
tendanya untuk mengganti celana yang basah. Arthur membuntutinya dari belakang,
menunggu di luar seraya Tommy mengganti celana, kemudian masuk dan bersiap
untuk tidur.
“I think I wanna hit the
bed,” ungkap Arthur sambil membuka
lipatan selimutnya. Arthur mengeluarkan sweter dari dalam tas disertai kupluk
yang menutupi telinga. Dia menyiapkan kantung tidurnya di tengah-tengah.
“Kamu mau tidur sebelah
mana?” tanya Tommy.
“Kamu mau tidur sebelah
mana?” ulang Arthur sambil membuka tangan.
Dalam pelukanmu, Arthur, batin Tommy. Namun tentu tak dia ungkapkan jawaban itu.
Dengan jujur Tommy berkata, “Aku lagi nggak begitu ... you know, sama
Baharudin, dan—“
“I understand,” sela Arthur sambil mengangguk.
Arthur membantu Tommy
menyiapkan kantung tidur, kemudian meletakkannya di paling ujung. Dia lalu
menggeser kantung tidurnya ke sebelah kantung tidur Tommy. Jadi dari sebelah
kiri ada Tommy, berikutnya Arthur, dan dua space kosong di samping Arthur
bisa digunakan siapa pun antara Karyo atau Baharudin.
“Tapi secepatnya, kamu
harus baikan sama Udin. Atau Karyo. Jangan berantem terus,” ujar Arthur serius.
“Kalau masih berantem aja, besok kamu tidurnya di antara Udin dan Karyo.
“Iyaaa ....”
Arthur mengacungkan
kelingkingnya. “Janji?”
Tommy menghela napas pasrah
dan mengaitkan kelingkingnya ke kelingking Arthur. “Iya, janji.”
Tak berapa lama, ketika
Tommy dan Arthur sudah menyelusup masuk ke kantung tidur masing-masing, Karyo
dan Baharudin masuk ke dalam tenda. Hal pertama yang Arthur lakukan adalah
memastikan sleeping arrangement di dalam tenda disetujui juga oleh dua
orang tersebut. “Gapapa urutannya gini?”
“Is okay,” jawab Karyo sambil tersenyum lebar. Tentu saja,
baik Karyo maupun Baharudin berharap bisa tidur di sebelah Arthur. Kalau bisa
masing-masing mengambil satu sisi tubuh Arthur. Namun karena Arthur sudah menentukan
secara inisiatif, Karyo dan Baharudin hanya bisa menerima.
Diam-diam, Karyo dan Baharudin bersuten untuk menentukan siapa yang
kebagian tidur di samping Arthur. Baharudin yang menang.
Dalam tiga puluh menit,
keempat orang di dalam tenda itu sudah siap menyambut tidur pertama di dalam
kemah. Arthur sudah terlelap di balik selimut tebal corak Burberry yang
diselipkan Nyai ke dalam ranselnya. Karyo sudah pasrah menerima nasib karena
kebagian tidur di samping dinding tenda. Baharudin juga bersiap tidur di bawah
selimut rumbai-rumbai warna merah, meski jantungnya berdegup kencang karena
bisa merasakan kehangatan Arthur di sebelahnya. Dibandingkan memejamkan mata,
Baharudin terus-menerus melirik ke arah Arthur di dalam gelapnya tenda. Di
ujung lain tenda, Tommy mencoba tidur tetapi tak berhasil juga. Badannya masih
menggigil kedinginan gara-gara tercebur ke sungai sebelumnya.
Sekitar pukul dua pagi,
ketika Karyo dan Baharudin sudah ngorok seperti kuda, Tommy mendapati dirinya
masih terjaga. Badannya juga masih bergetar kecil. Dia peluk seerat mungkin
tubuhnya untuk mendapatkan kehangatan, tetapi nihil. Dia tarik selimutnya
hingga menutupi leher seraya meringkuk memeluk lutut agar bisa menenangkan gigilnya,
tetapi tak berhasil juga. Fakta bahwa cowok “the most wanted” di sekolah berbaring di sebelahnya tak mampu
membuat Tommy tertidur lelap ke alam mimpi yang indah. Tommy tetap sibuk
menenangkan tubuhnya yang berguncang-guncang kecil.
Kemudian, ketika kokokan
ayam pukul tiga pagi terdengar, Tommy merasakan sebuah uluran tangan yang besar
dan hangat meluncur melewati wajahnya. Lengan besar itu merangkul tubuh Tommy,
menariknya ke dekapan si empu tubuh atletis di belakang Tommy.
Hingga pagi menjelang,
Arthur memeluk Tommy dalam dekapannya. Menenangkan tubuh Tommy yang menggigil
dalam sekejap. Menyalurkan kehangatan yang membuat Tommy mampu terlelap. Kain
rajut tebal bercorak Burberry itu pun dirapikan Arthur, agar menyelimuti
tubuhnya ... dan tubuh Tommy bersamaan.
To be continued ....
uuu, Tommy sama Arthur, sekalinya ada momen, Manis sekaliii
BalasHapusManis sekali sayyyy
BalasHapus