Kamis, 25 Maret 2021

Nude 12


oniccuppaC alunarG natesaS .21

 

Dengan kilat, Tommy berusaha menyembunyikan ponselnya, tetapi karena panik, ponsel itu malah terjatuh ke lorong. Ponsel Tommy tergelincir tepat ke sebelah kaki Arthur. Cowok ganteng itu membungkuk dan menyerahkannya. “Here,” katanya, sambil mengulurkan ponsel.

Dan, entah mengapa dia mengulurkan ponsel itu dengan layar berada di bagian atas, menampilkan video lenggak-lenggok Miss Colombia terbaru.

Wajah Tommy sudah merah padam karena malu. Lebih-lebih karena Arthur sekarang tahu dia menyukai kontes kecantikan—which is so gay. Tommy rasanya ingin bunuh diri. Mungkin di Tangkuban Perahu nanti, dia menyesatkan diri ke hutan saja. Membiarkan diri kelaparan lalu dimakan harimau. Yang penting jangan ketemu Arthur lagi.

Tamat sudah riwayatku, batin Tommy. Kenapa aku enggak kena Corona aja, sih?

Do you like pageant that much? Pertanyaan itu akan menghantui Tommy seumur hidup. Mungkin memang sebaiknya Tommy pindah ke sekolah yang sesuai dengan zonasinya dan bertahan disebut bencong selama tiga tahun di sana, daripada teman sebangkunya ini tahu dia suka ratu kecantikan. Bayangkan kalau Arthur sampai mendapati Tommy bisa menyebutkan setiap argumentasi dan justifikasi mengapa Frederika dan Jolene sama-sama imbang dalam kasus yang sempat heboh kemarin. Kan, ngeri. Tommy juga belum tahu, Arthur ini paham enggak yang dimaksud tim Fred dan tim Jolene.

Namun, Tommy masih berupaya keras menyelamatkan situasi. Toh, dia sudah mempersiapkan diri menghadapi pertanyaan-pertanyaan orang ketika dia mulai dicurigai gay. Jadi dengan gelagapan, Tommy menjawab, “Bukan pageant, lah. Enak aja. Emang aku homo, Bro?” kata Tommy sambil mengibaskan tangan.

Baharudin di seberang menoleh dan mengerutkan alis di balik kacamata hitamnya.

“Aku lihat ini karena ... nih, lihat!” Karena kebetulan Maria Fernanda Aristizabal Urrea, Miss Colombia terbaru sedang berlenggak-lenggok pakai bikini di layar, Tommy pun menunjukkannya sambil sok-sok sange. “Cewek latin pake bikini, Bro! Seksi abis. Bohay. Cucok meong.”

Kemudian Tommy menyadari tak seharusnya dia mengatakan cucok meong.

“Ma-maksud aku ... cocok buat coli.”

Dan itu pun, tak seharusnya Tommy katakan.

Arthur agak kebingungan. Namun cowok itu tetap mengangguk kecil. “O ... kay. Cool. Boleh aku duduk di sini?”

Tentu saja boleh, pikir Tommy dalam hati. Namun apa yang baru saja terjadi membuat Tommy merasa jijik pada diri sendiri. Seolah-olah dia tak pantas ditemani Arthur dalam perjalanan ini.

“B-boleh ...,” jawab Tommy sambil menelan ludah.

Begitu Arthur mendudukkan diri di sebelah Tommy, kehangatan menguar dari sosok ganteng itu, membuat Tommy merasa sangat nyaman. Namun Tommy tahu, dia tak boleh terlena. Kalau dia terlena, kemaluannya bisa menegang. Kalau sudah menegang, bisa gawat urusannya.

Untuk menyelamatkan diri, Tommy pun membuka lagi Instagram dan mencari unggahan dengan tagar sepakbola. Ratusan unggahan foto yang berkaitan dengan sepakbola langsung muncul di layar ponsel Tommy. Dia pura-pura tertarik pada salah satu gambar.

“Oooh ... ternyata sekarang Saddil Ramdani pindah ke Bhayangkara FC, ya? I see, I see,” gumam Tommy seolah-olah mengerti. Tommy tidak tahu siapa itu Saddil Ramdani. Atau apa itu Bhayangkara FC. Yang pasti ada foto cowok sedang bermain bola di situ, Tommy pikir sudah pasti ini ada kaitannya dengan sepakbola.

“Those girls are quite challenging,” bisik Arthur sambil mengedikkan dagu ke arah Marsella, Nikita, dan Olivia yang tampaknya masih asyik membahas bikini. “Mereka pengin masuk ekskul renang, tapi satu-satunya skill yang mereka punya adalah pemilihan bikininya seperti apa.”

Tommy mengangkat kedua alisnya. Wow. Jujur saja Tommy tertarik. Mungkinkah Tommy bisa berdiskusi dengan ketiganya soal bikini, seperti misalnya membahas Yamamay Swimwear yang dipakai di ajang Miss Universe?

“I think I need to sleep,” bisik Arthur. “And I need to cover my face.”

Arthur melongokkan kepalanya di lorong dan menemukan jaketnya masih ada di kursinya, dimain-mainkan oleh Marsella. Dia lalu melirik ke arah Tommy yang sedang memangku jaketnya sendiri.

“Boleh pinjam?”

“Bo-boleh,” jawab Tommy, menelan ludah.

Arthur menarik jaket itu menutupi seluruh wajahnya, lalu melipat tangan di depan dada, dan tertidur. Tommy membelalak tak percaya. Arthur memilih duduk di sebelahnya dalam bus seraya kemudian tertidur mengenakan jaketnya. Ketika Tommy melihat ke seberang, dia melihat Baharudin baru saja menggelengkan kepalanya kecil. Mungkin di balik kacamata hitam itu Baharudin juga memutar bola mata.

Dasar bencong sirik, lu! batin Tommy kesal.

Marsella, di bagian depan bus, mulai berdiri dan celingukan mencari seseorang. Tampaknya Marsella sedang mencari Arthur. Dia berjalan menyusuri lorong menuju bagian belakang bus, melewati Arthur yang tertidur ditutupi jaket Tommy.

Tommy dapat mendengar cewek high-maintenance itu bergumam, “Kok my darling Arthur belum keluar toilet juga, ya?” Kemudian kembali lagi ke kursinya dan melanjutkan obrolan soal bikini bersama Nikita dan Olivia.

Entah mengapa malah Tommy yang mendesah lega ketika Marsella tak berhasil menemukan Arthur di sampingnya. Tommy berhenti memainkan ponselnya. Sepanjang perjalanan, dia fokus menghidu wangi Arthur yang menyejukkan. Kemudian, tanpa sengaja tangan Tommy jatuh ke pahanya, dan menyentuh paha Arthur. Dan ... cowok itu bergeming, seolah-olah tak protes tangan Tommy menyentuh pahanya.

Hingga bus tiba di Tangkuban Perahu, kemaluan Tommy terus-menerus ereksi karena tangannya menyentuh paha Arthur.

Kegiatan di Tangkuban Perahu dimulai dengan mendirikan tenda. Pihak panitia sudah menyiapkan semua kebutuhan tenda dan meminta setiap kelompok mendirikannya dalam waktu tiga puluh menit. Tentu saja, Marsella menghampiri kelompok Tommy dengan tujuan menculik Arthur agar dapat membantunya mendirikan tenda.

“Kami tuh hanya cewek-cewek lemah yang enggak didesain untuk bikin tenda kayak begini, Thur,” kata Marsella memohon. “Please ... bantu kami bikin tenda.”

“Tapi kelompok cewek yang lain juga bisa bikin tenda sendiri, kok!” sahut Baharudin sebal. Dia mengedikkan dagu ke arah Keysha dan Evelyn yang hampir selesai mendirikan tenda bersama Siska dan Lusi.

Secara teknis tenda ini mudah sekali dibuat. Rangka-rangkanya sudah tersedia di dalam, hanya tinggal dipasangkan ke kaitannya, lalu perkuat dengan kayu-kayu yang ditanam ke tanah, disambungkan melalui tali tambang. Kain yang menjadi dinding tenda sudah disusupi rangka, sehingga ketika rangka dinaikkan, dinding tenda pun ikut naik. Mungkin sebenarnya sepuluh menit pun jadi.

“Ya tapi aku baru meni pedi kukuku. Nih, Nicole Miller Mini Nail Polish, seri glossy and trendy colors, warna pink.” Marsella mengacungkan jemarinya memamerkan kuku-kuku yang sudah dikuteks cantik. “Emang kamu mau tanggung jawab kalau kuku-kuku ini kotor karena tanah?”

Baharudin mendengus sebal.

“Okay, I’ll help you,” kata Arthur akhirnya, menyerah. Arthur meletakkan lagi rangka yang sedang dibangunnya, lalu beranjak menghampiri Marsella.

“Tapi kita kan belum selesai bikin tenda!” sembur Karyo panik.

“Lah, kalian kan cowok-cowok.” Marsella memutar bola mata. “Bisa kali ngerjain bertiga aja, enggak usah pake jasa Arthur. Jadi orang tuh yang mandiri, dong! What’s the point of camping, kalau kalian tiga cowok ini enggak bisa bikin tenda?”

“Tommy, kamu bisa bikin tenda, kan?” tanya Arthur serius.

Tommy, yang sedang ingin membuktikan pada seluruh dunia bahwa dia laki-laki tulen, mengangguk mantap. “Bisa, lah! Gampang banget ini mah!”

Okay, thanks. Aku ke kelompoknya Marsella dulu, ya.”

Marsella pun berbalik sambil mengibaskan rambutnya. Seraya membuntuti Arthur, Marsella menoleh. “Bye, bitch!”

“Dasar cewek ganjen!” umpat Baharudin tak sabar.

“Udah, biarin aja,” kata Karyo sambil mengelus punggung Baharudin.

Tommy hanya diam di tempatnya, mencoba mencari rangka yang tepat untuk disambungkan ke rangka seharusnya. Dia baru menyadari bahwa dia tak tahu sama sekali cara membangun tenda ini. Namun Tommy yakin dia bisa menemukan jalan keluarnya dalam lima menit. Bahkan, kalau bisa, sebelum Arthur kembali, tenda ini sudah berdiri dan siap dihuni.

Masalahnya, bagaimana cara menentukan mana rangka yang tepat untuk dikaitkan?

“Kamu beneran bisa bikin tenda ini?” tanya Karyo.

“Bisa, lah!” balas Tommy defensif, masih berusaha keras menemukan susunan rangka seharusnya. Ada nomor-nomor yang nyaris pudar, yang Tommy tak pahami maksudnya apa.

Baharudin tiba-tiba membuka topik lama. “Tommy, kamu kok belum minta maaf sama Karyo?”

Karyo membelalak dan langsung menyikut Baharudin. “Ish, udah enggak apa-apa. Is okay.

Tommy paham yang Baharudin maksud adalah soal dia meludahi Karyo. Tommy ingin kok minta maaf. Namun gengsinya sebagai ‘laki-laki tulen’, mencegahnya untuk memohon maaf dari seorang banci macam Karyo.

“Tapi dia ngeludahin kamu, Yo!” kata Baharudin ngotot.

“Ya kan dia juga position-nya serba everything wrong.”

“Serba salah gimana?!” Baharudin membanting paku kayu yang dipegangnya. “Sebagai bencong, kamu harus punya harga diri, dong. Jangan mau diinjak-injak sama bencong lain. Udah cukup kita diinjak-injak sama bully kayak Revan. Jangan sampe di-bully sama bencong juga.”

“Aku bukan bencong, ya. Please,” kata Tommy sambil mengangkat dagu dan mengibaskan poninya yang jatuh ke kening.

“Udah enggak apa-apa, aku udah forgetting tragedy di toilet itu, kok,” kata Karyo tulus. “Mendingan kita lanjut make the tent-nya.”

“Kamu tuh bencong, tahu nggak?!” seru Baharudin ngegas.

“Enak aja! Aku laki-laki, ya!” Tommy berdiri sambil melipat tangan di depan dada. “Yang bencong tuh kalian!”

“Lah emang eike bencong! Kamu tuh yang munafique enggak mau ngakuin jati diri!”

Done, done, kata Karyo, mencoba menengahi. Karyo mendorong Baharudin agar menjauh. “Entar kita enggak finish-finish bikin tendanya.”

“Jaga ya omongan kamu!” sahut Tommy sambil mendengus. Rahangnya mengeras dan dagunya terangkat makin tinggi. “Aku tuh enggak sama kayak kalian, ya. Ehmagod, please. Dari lahir aku laki-laki, sampai sekarang laki-laki. Enak aja aku disamain ama bencong. Hiiihhh ... dasar bencong-bencong halu! Jijay!

“Heh, sasetan granula cappuccino! Kamu keleus yang halu! Yawla ... enggak punya kaca ya di rumah?”

“Kamu tuh yang harus ngaca!” sergah Tommy berapi-api. Entah datang dari mana, dia benar-benar merasa marah. “Pake kaca di rumah kamu, terus lihat kamu itu laki-laki. Bukan perempuan! Jangan halu!”

“Udah, ih. Udah. Jangan fighthing! Maluuu ...,” sahut Karyo sambil terduduk di atas tanah, penuh drama. “Entar gimana kalau orang-orang lihat?!”

Faktanya, nyaris semua orang di sana sedang melihat mereka.

“Kamu pikir kamu cantik, hah?!” serang Tommy sambil mengedikkan poni ke arah lain.

“Serah gue, dong! Hiiihhh ... mulut bencong kamu itu lebih beracun dari mulut semua bencong yang ada.”

“Aku bukan bencong, for God’s sake! Sekali lagi kamu bilang aku bencong—“

“Apa?! Apa?! Mau ngapain kamu?! Mau jambak rambut aku?!” Baharudin mencoba menghambur maju, tetapi Karyo buru-buru bangkit dan menahannya.

“Udah ih, udah. Kita ini satu kelompok. Shy dilihat orang!”

“Awas, ya! Lihatin aja nanti!”

“Lihatin apa, hah?!” Baharudin bahkan melinting lengan sweternya. Jauh lebih maskulin dibandingkan Tommy. “Dari tadi kamu cuma jago ngomong doang. Kalau kamu macho, sini berantem. Jangan cuma bacot!”

“Is everything okay, here?” Arthur tiba-tiba muncul mengintervensi perang mulut. Dia tampak kebingungan melihat tenda kelompoknya belum juga terpasang, dan dua orang anggota kelompoknya tampak sedang adu mulut.

“Eh, o-okay,” jawab Tommy, buru-buru mengubah posenya jadi berkacak pinggang. “Tadi aku lagi mau pasang rangka, tapi kayaknya ada rangka yang hilang,” bual Tommy. “Kamu udah selesai sama Marsel?”

Arthur mengangguk. “Of course. Gampang, kok bikinnya.” Tommy, Baharudin, dan Karyo menoleh ke arah kelompok Marsella. Cewek-cewek ganjen itu tampaknya sudah tiduran sambil saling pasang kuteks kaki di dalam tenda. “Nomor-nomor ini,” lanjut Arthur. “Ada pasangannya. Rangka nomor lima di sini, berarti harus dipasang dengan rangka nomor lima yang ini. Sementara ujungnya, nomor enam, pasang dengan nomor enam juga.”

Kurang dari lima menit, tenda itu selesai berdiri—tanpa bantuan Tommy, Karyo, dan Baharudin sama sekali. Arthur melakukannya dengan mudah, semudah membalikkan telapak tangan.

“Nah, tinggal sekarang kita bikin fondasinya dengan menancapkan paku kayu itu. Kalian bisa lakukan, kan?”

Tommy dan Baharudin berpandangan. Sebenarnya itu tugas Baharudin untuk menyiapkan paku kayu. Tugas Tommy adalah mendirikan tenda, yang sekarang sudah berdiri dengan mudah oleh Arthur.

“Mau kamu tancapin, Tommy?” tanya Baharudin sambil menghampiri dan memberikan paku-paku kayu. “Kalau enggak salah tadi kamu bilang kamu laki-laki. Berarti enggak apa-apa dong kukunya kotor buat nancap paku kayu? Byeee ....”

Dasar bencong gatel! batin Tommy kesal.


To be continued ....

1 komentar:

  1. Bang mau saran, untuk font judul sebaiknya jangan yg itu. Baca backwrd aja udh susah :(

    BalasHapus

Nude 33

  ssendrawkwA emitefiL .33     Pada suatu pagi lima tahun lalu, Miza bangun lebih pagi dari biasanya meski semalaman tak bisa tidur. D...