oniccuppaC alunarG natesaS .21
Dengan kilat, Tommy berusaha menyembunyikan ponselnya, tetapi karena
panik, ponsel itu malah terjatuh ke lorong. Ponsel Tommy tergelincir tepat ke sebelah kaki Arthur. Cowok ganteng itu
membungkuk dan menyerahkannya. “Here,” katanya, sambil mengulurkan
ponsel.
Dan, entah mengapa dia mengulurkan ponsel itu dengan layar berada
di bagian atas, menampilkan video lenggak-lenggok Miss Colombia terbaru.
Wajah Tommy sudah merah
padam karena malu. Lebih-lebih karena Arthur sekarang tahu dia menyukai kontes
kecantikan—which is so gay. Tommy rasanya ingin bunuh diri. Mungkin di
Tangkuban Perahu nanti, dia menyesatkan diri ke hutan saja. Membiarkan diri
kelaparan lalu dimakan harimau. Yang penting jangan ketemu Arthur lagi.
Tamat sudah riwayatku, batin Tommy. Kenapa aku enggak kena Corona aja, sih?
Do you like pageant that
much? Pertanyaan itu akan menghantui
Tommy seumur hidup. Mungkin memang sebaiknya Tommy pindah ke sekolah yang
sesuai dengan zonasinya dan bertahan disebut bencong selama tiga tahun di sana,
daripada teman sebangkunya ini tahu dia suka ratu kecantikan. Bayangkan kalau Arthur
sampai mendapati Tommy bisa menyebutkan setiap argumentasi dan justifikasi
mengapa Frederika dan Jolene sama-sama imbang dalam kasus yang sempat heboh
kemarin. Kan, ngeri. Tommy juga belum tahu, Arthur ini paham enggak yang
dimaksud tim Fred dan tim Jolene.
Namun, Tommy masih berupaya keras menyelamatkan situasi. Toh, dia sudah mempersiapkan diri menghadapi
pertanyaan-pertanyaan orang ketika dia mulai dicurigai gay. Jadi dengan
gelagapan, Tommy menjawab, “Bukan pageant, lah. Enak aja. Emang aku
homo, Bro?” kata Tommy sambil mengibaskan tangan.
Baharudin di seberang
menoleh dan mengerutkan alis di balik kacamata hitamnya.
“Aku lihat ini karena ...
nih, lihat!” Karena kebetulan Maria Fernanda Aristizabal Urrea, Miss Colombia
terbaru sedang berlenggak-lenggok pakai bikini di layar, Tommy pun menunjukkannya sambil
sok-sok sange. “Cewek latin pake
bikini, Bro! Seksi abis. Bohay. Cucok meong.”
Kemudian Tommy menyadari
tak seharusnya dia mengatakan cucok meong.
“Ma-maksud aku ... cocok
buat coli.”
Dan itu pun, tak
seharusnya Tommy katakan.
Arthur agak kebingungan.
Namun cowok itu tetap mengangguk kecil. “O ... kay. Cool. Boleh aku
duduk di sini?”
Tentu saja boleh, pikir Tommy dalam hati. Namun apa yang baru
saja terjadi membuat Tommy merasa jijik pada diri sendiri. Seolah-olah dia tak
pantas ditemani Arthur dalam perjalanan ini.
“B-boleh ...,” jawab
Tommy sambil menelan ludah.
Begitu Arthur mendudukkan
diri di sebelah Tommy, kehangatan menguar dari sosok ganteng itu, membuat Tommy
merasa sangat nyaman. Namun Tommy tahu, dia tak boleh terlena. Kalau dia
terlena, kemaluannya bisa menegang. Kalau sudah menegang, bisa gawat urusannya.
Untuk menyelamatkan diri,
Tommy pun membuka lagi Instagram dan mencari unggahan dengan tagar sepakbola. Ratusan
unggahan foto yang berkaitan dengan sepakbola langsung muncul di layar ponsel
Tommy. Dia pura-pura tertarik pada salah satu gambar.
“Oooh ... ternyata sekarang
Saddil Ramdani pindah ke Bhayangkara FC, ya? I see, I see,” gumam Tommy
seolah-olah mengerti. Tommy tidak tahu siapa itu Saddil Ramdani. Atau apa itu
Bhayangkara FC. Yang pasti ada foto cowok sedang bermain bola di situ, Tommy
pikir sudah pasti ini ada kaitannya dengan sepakbola.
“Those girls are quite
challenging,” bisik Arthur sambil
mengedikkan dagu ke arah Marsella, Nikita, dan Olivia yang tampaknya masih
asyik membahas bikini. “Mereka pengin masuk ekskul renang, tapi satu-satunya skill
yang mereka punya adalah pemilihan bikininya seperti apa.”
Tommy mengangkat kedua
alisnya. Wow. Jujur saja Tommy tertarik. Mungkinkah Tommy bisa berdiskusi
dengan ketiganya soal bikini, seperti misalnya membahas Yamamay Swimwear yang
dipakai di ajang Miss Universe?
“I think I need to
sleep,” bisik Arthur. “And I
need to cover my face.”
Arthur melongokkan
kepalanya di lorong dan menemukan jaketnya masih ada di kursinya, dimain-mainkan
oleh Marsella. Dia lalu melirik ke arah Tommy yang sedang memangku jaketnya
sendiri.
“Boleh pinjam?”
“Bo-boleh,” jawab Tommy,
menelan ludah.
Arthur menarik jaket itu
menutupi seluruh wajahnya, lalu melipat tangan di depan dada, dan tertidur. Tommy
membelalak tak percaya.
Arthur memilih duduk di sebelahnya dalam bus seraya kemudian tertidur
mengenakan jaketnya. Ketika Tommy melihat ke seberang, dia melihat Baharudin
baru saja menggelengkan kepalanya kecil. Mungkin di balik kacamata hitam itu Baharudin
juga memutar bola mata.
Dasar bencong sirik, lu! batin Tommy kesal.
Marsella, di bagian depan
bus, mulai berdiri dan celingukan mencari seseorang. Tampaknya Marsella sedang
mencari Arthur. Dia berjalan menyusuri lorong menuju bagian belakang bus,
melewati Arthur yang tertidur ditutupi jaket Tommy.
Tommy dapat mendengar
cewek high-maintenance itu bergumam, “Kok my darling Arthur belum
keluar toilet juga, ya?” Kemudian kembali lagi ke kursinya dan melanjutkan
obrolan soal bikini bersama Nikita dan Olivia.
Entah mengapa malah Tommy
yang mendesah lega ketika Marsella tak berhasil menemukan Arthur di sampingnya.
Tommy berhenti memainkan ponselnya. Sepanjang perjalanan, dia fokus menghidu
wangi Arthur yang menyejukkan. Kemudian, tanpa sengaja tangan Tommy jatuh ke
pahanya, dan menyentuh paha Arthur. Dan ... cowok itu bergeming, seolah-olah
tak protes tangan Tommy menyentuh pahanya.
Hingga bus tiba di
Tangkuban Perahu, kemaluan Tommy terus-menerus ereksi karena tangannya
menyentuh paha Arthur.
Kegiatan di Tangkuban
Perahu dimulai dengan mendirikan tenda. Pihak panitia sudah menyiapkan semua
kebutuhan tenda dan meminta setiap kelompok mendirikannya dalam waktu tiga
puluh menit. Tentu saja, Marsella menghampiri kelompok Tommy dengan tujuan
menculik Arthur agar dapat membantunya mendirikan tenda.
“Kami tuh hanya
cewek-cewek lemah yang enggak
didesain untuk bikin tenda kayak begini, Thur,” kata Marsella memohon. “Please
... bantu kami bikin tenda.”
“Tapi kelompok cewek yang
lain juga bisa bikin tenda sendiri, kok!” sahut Baharudin sebal. Dia
mengedikkan dagu ke arah Keysha dan Evelyn yang hampir selesai mendirikan tenda
bersama Siska dan Lusi.
Secara teknis tenda ini
mudah sekali dibuat. Rangka-rangkanya sudah tersedia di dalam, hanya tinggal
dipasangkan ke kaitannya, lalu perkuat dengan kayu-kayu yang ditanam ke tanah,
disambungkan melalui tali tambang. Kain yang menjadi dinding tenda sudah
disusupi rangka, sehingga ketika rangka dinaikkan, dinding tenda pun ikut naik.
Mungkin sebenarnya sepuluh menit pun jadi.
“Ya tapi aku baru meni
pedi kukuku. Nih, Nicole Miller Mini Nail Polish, seri glossy and
trendy colors, warna pink.” Marsella mengacungkan jemarinya
memamerkan kuku-kuku yang sudah dikuteks cantik. “Emang kamu mau tanggung jawab
kalau kuku-kuku ini kotor karena tanah?”
Baharudin mendengus sebal.
“Okay, I’ll help you,” kata Arthur akhirnya, menyerah. Arthur
meletakkan lagi rangka yang sedang dibangunnya, lalu beranjak menghampiri
Marsella.
“Tapi kita kan belum
selesai bikin tenda!” sembur Karyo panik.
“Lah, kalian kan
cowok-cowok.” Marsella memutar bola mata. “Bisa kali ngerjain bertiga aja, enggak usah pake jasa Arthur. Jadi orang tuh yang mandiri,
dong! What’s the point of camping, kalau kalian tiga cowok ini enggak
bisa bikin tenda?”
“Tommy, kamu bisa bikin
tenda, kan?” tanya Arthur serius.
Tommy, yang sedang ingin
membuktikan pada seluruh dunia bahwa dia laki-laki tulen, mengangguk mantap.
“Bisa, lah! Gampang banget ini mah!”
“Okay, thanks. Aku
ke kelompoknya Marsella dulu, ya.”
Marsella pun berbalik sambil
mengibaskan rambutnya. Seraya membuntuti Arthur, Marsella menoleh. “Bye,
bitch!”
“Dasar cewek ganjen!”
umpat Baharudin tak sabar.
“Udah, biarin aja,” kata
Karyo sambil mengelus punggung Baharudin.
Tommy hanya diam di
tempatnya, mencoba mencari rangka yang tepat untuk disambungkan ke rangka
seharusnya. Dia baru menyadari bahwa dia tak tahu sama sekali cara membangun
tenda ini. Namun Tommy yakin dia bisa menemukan jalan keluarnya dalam lima
menit. Bahkan, kalau bisa, sebelum Arthur kembali, tenda ini sudah berdiri dan
siap dihuni.
Masalahnya, bagaimana
cara menentukan mana rangka yang tepat untuk dikaitkan?
“Kamu beneran bisa bikin
tenda ini?” tanya Karyo.
“Bisa, lah!” balas Tommy
defensif, masih berusaha keras menemukan susunan rangka seharusnya. Ada nomor-nomor
yang nyaris pudar, yang Tommy tak pahami maksudnya apa.
Baharudin tiba-tiba
membuka topik lama. “Tommy, kamu kok belum minta maaf sama Karyo?”
Karyo membelalak dan
langsung menyikut Baharudin. “Ish, udah enggak apa-apa. Is okay.”
Tommy paham yang
Baharudin maksud adalah soal dia meludahi Karyo. Tommy ingin kok minta maaf.
Namun gengsinya sebagai ‘laki-laki tulen’, mencegahnya untuk memohon maaf dari seorang
banci macam Karyo.
“Tapi dia ngeludahin
kamu, Yo!” kata Baharudin ngotot.
“Ya kan dia juga position-nya serba everything wrong.”
“Serba salah gimana?!”
Baharudin membanting paku kayu yang dipegangnya. “Sebagai bencong,
kamu harus punya harga diri, dong. Jangan mau diinjak-injak sama bencong lain.
Udah cukup kita diinjak-injak sama bully kayak Revan. Jangan sampe di-bully
sama bencong juga.”
“Aku bukan bencong, ya. Please,”
kata Tommy sambil mengangkat dagu dan mengibaskan poninya yang jatuh ke kening.
“Udah enggak apa-apa, aku udah forgetting tragedy di toilet itu, kok,” kata Karyo tulus. “Mendingan
kita lanjut make
the tent-nya.”
“Kamu tuh bencong, tahu
nggak?!” seru Baharudin ngegas.
“Enak aja! Aku laki-laki,
ya!” Tommy berdiri sambil melipat tangan di depan dada. “Yang bencong tuh
kalian!”
“Lah emang eike
bencong! Kamu tuh yang munafique enggak mau ngakuin jati diri!”
“Done, done,” kata
Karyo, mencoba menengahi. Karyo mendorong Baharudin agar menjauh. “Entar kita enggak finish-finish bikin tendanya.”
“Jaga ya omongan kamu!”
sahut Tommy sambil mendengus. Rahangnya mengeras dan dagunya terangkat makin
tinggi. “Aku tuh enggak sama kayak kalian, ya. Ehmagod, please.
Dari lahir aku laki-laki, sampai sekarang laki-laki. Enak aja aku disamain ama
bencong. Hiiihhh ... dasar bencong-bencong halu! Jijay!”
“Heh, sasetan granula
cappuccino! Kamu keleus yang halu! Yawla ... enggak punya kaca ya di rumah?”
“Kamu tuh yang harus
ngaca!” sergah Tommy berapi-api. Entah datang dari mana, dia benar-benar merasa
marah. “Pake kaca di rumah kamu, terus lihat kamu itu laki-laki. Bukan
perempuan! Jangan halu!”
“Udah, ih. Udah. Jangan fighthing! Maluuu ...,” sahut Karyo sambil terduduk di
atas tanah, penuh drama. “Entar gimana kalau orang-orang lihat?!”
Faktanya, nyaris semua
orang di sana sedang melihat mereka.
“Kamu pikir kamu cantik,
hah?!” serang Tommy sambil mengedikkan poni ke arah lain.
“Serah gue, dong! Hiiihhh
... mulut bencong kamu itu lebih beracun dari mulut semua bencong yang
ada.”
“Aku bukan bencong, for
God’s sake! Sekali lagi kamu bilang aku bencong—“
“Apa?! Apa?! Mau ngapain kamu?! Mau jambak rambut aku?!” Baharudin mencoba menghambur maju, tetapi Karyo buru-buru
bangkit dan menahannya.
“Udah ih, udah. Kita ini
satu kelompok. Shy dilihat orang!”
“Awas, ya! Lihatin aja
nanti!”
“Lihatin apa, hah?!”
Baharudin bahkan melinting lengan sweternya. Jauh lebih maskulin dibandingkan
Tommy. “Dari tadi kamu cuma jago ngomong doang. Kalau kamu macho, sini berantem.
Jangan cuma bacot!”
“Is everything okay,
here?” Arthur tiba-tiba muncul
mengintervensi perang mulut. Dia tampak kebingungan melihat tenda kelompoknya
belum juga terpasang, dan dua orang anggota kelompoknya tampak sedang adu
mulut.
“Eh, o-okay,” jawab Tommy, buru-buru mengubah posenya jadi
berkacak pinggang. “Tadi aku lagi mau pasang rangka, tapi kayaknya ada rangka
yang hilang,” bual Tommy. “Kamu udah selesai sama Marsel?”
Arthur mengangguk. “Of
course. Gampang, kok bikinnya.” Tommy, Baharudin, dan Karyo menoleh ke arah
kelompok Marsella. Cewek-cewek ganjen itu tampaknya sudah tiduran sambil saling
pasang kuteks kaki di dalam tenda. “Nomor-nomor ini,” lanjut Arthur. “Ada
pasangannya. Rangka nomor lima di sini, berarti harus dipasang dengan rangka
nomor lima yang ini. Sementara ujungnya, nomor enam, pasang dengan nomor enam
juga.”
Kurang dari lima menit,
tenda itu selesai berdiri—tanpa bantuan Tommy, Karyo, dan Baharudin sama
sekali. Arthur melakukannya dengan mudah, semudah membalikkan telapak tangan.
“Nah, tinggal sekarang
kita bikin fondasinya dengan menancapkan paku kayu itu. Kalian bisa lakukan,
kan?”
Tommy dan Baharudin
berpandangan. Sebenarnya itu tugas Baharudin untuk menyiapkan paku kayu. Tugas
Tommy adalah mendirikan tenda, yang sekarang sudah berdiri dengan mudah oleh
Arthur.
“Mau kamu tancapin,
Tommy?” tanya Baharudin sambil menghampiri dan memberikan paku-paku kayu.
“Kalau enggak salah tadi kamu bilang kamu laki-laki.
Berarti enggak apa-apa dong kukunya kotor buat nancap paku
kayu? Byeee ....”
Bang mau saran, untuk font judul sebaiknya jangan yg itu. Baca backwrd aja udh susah :(
BalasHapus