amaM .11
Arthur beruntung ibunya
tak punya kegiatan panjang malam sebelumnya. Nyai Khadija sudah berada di rumah
pukul dua pagi dan langsung terlelap cantik setelah melepaskan wig dan
menghapus makeup. Ketika sang ibu
menuruni tangga tergopoh-gopoh pukul sembilan pagi, hal pertama yang
dilakukannya adalah mencari sang anak dengan panik.
“Kamu enggak kesiangan, Arthur?! Ini sudah jam sembilan.”
Arthur tergelak kecil. “Today I’m going for a camp, Ma. Semua
siswa kumpulnya jam sepuluh pagi, kok.”
Nyai Khadija melihat jam
dinding dan langsung mengurut dada lega. “Oke. Ya udah. Mama antarin kamu, ya.”
“I could take an online ride, lho.”
“Alah. Mama udah tidur
dari malam tadi, sampe bangun kesiangan begini. Mama udah segar. Tunggu sebentar, ya. Mama mandi dulu.”
“Alright, will do!”
Pukul setengah sepuluh,
Arthur dan ibunya sudah berada di mobil, melaju menuju sekolah. Karena sistem
zonasi mensyaratkan calon siswa baru tinggal di wilayah sekolah, jarak menuju
sekolah pun tak terlalu jauh. Nyai Khadija ingin sekali mendaftarkan anaknya ke
SMAN 3 Bandung karena dulu itu SMA favorit. Namun sistem zonasi tampaknya
mengubah kemungkinan tersebut, hanya demi Bandung yang lebih sedikit
macet, pun agar anak-anak cerdas tersebar ke seluruh sekolah.
“Kalau kamu ketemu teman kamu dan ada Mama di situ, jangan panggil Mama, ya,” ungkap
Nyai Khadija, beberapa saat sebelum mereka tiba. “Panggil Papa.”
“Why?” Arthur mengerutkan alisnya.
“Kamu ini buta atau apa
sih, Sayang. Lihat nih bentukan Mama kayak gimana!”
Nyai Khadija tidak sedang
mengenakan kostum kabaretnya. Dia mengenakan celana jins panjang, kemeja
laki-laki, jam tangan laki-laki, dan rambut disisir klimis dengan gel Gatsby
khusus laki-laki. Aromanya pun laki banget, dipadu dengan sepatu bot cokelat
besar yang sangat maskulin.
“But you’re my mom,” balas Arthur tak terima.
“Iyaaa .... Tapi entar
orang-orang bingung, Sayang. Gimana entar kamu jelasin soal Mama ke teman-teman
kamu.”
Arthur menarik napas
panjang. “I’ll explain that ... here is
the true lady who raise me up until I become who I am today. She’s the reason
behind all those gold medals and how high I could leap on a gym bar or diving
down with my head hitting the surface first. I’ve been calling her Mama, and
I’ll never change the way I call her regardless of how she looks.”
Nyai Khadija tak dapat
memungkiri pandangannya mulai mengabur oleh air mata yang mendesak keluar.
Supaya tidak menabrak apa pun, Nyai menepi sejenak untuk menyusut air matanya.
“Kamu bisa aja, Arthur.”
“Come on, Mama. You guys have been struggling enough for equality thus
far,” ungkap Arthur sambil mencondongkan tubuh, menarik tangan ibunya, dan
mengecup punggung tangan itu. “Jangan malah mundur dengan ikutan apa yang society di sini pikirkan soal Mama. You’re not defined by society. You’re
defined by yourself.”
Nyai mengangguk sambil
mencoba mengatur napasnya yang tercekat. Dia tak pernah berharap Arthur anaknya
akan menjadi anak yang ganteng enggak
ketulungan dibuntuti segudang prestasi. Dia hanya ingin Arthur menyayangi dirinya
apa adanya. Dan selama ini Arthur selalu menunjukkan hal itu. Entah mengapa
Nyai selalu punya ketakutan Arthur menjadi “mayoritas masyarakat Indonesia”
yang akhirnya mengusir Nyai suatu hari dari rumah seperti Malin Kundang. Bagi
Nyai, Arthur terlalu sempurna. Entah bagaimana Nyai
harus berterima kasih kepada alam semesta.
Arthur mengecup kening
ibunya. “Kalau Mama enggak nyaman, aku turun di sini aja.”
“Oh, enggak apa-apa. Mama antar sampai depan gerbang.” Nyai kembali
memasukkan persneling dan melaju menuju sekolah. “Terima kasih ya Sayang. Enggak ada yang Mama harapkan selain kamu bisa memahami kondisi
Mama.”
“I understand you the first day I met you, Ma.”
Nyai menghela napas dan
menguasai dirinya kembali. “Gimana? Tiga
hari di SMA sudah ada cewek yang kamu taksir?”
Arthur mengangkat bahu.
“Ada atau enggak ada, Mama enggak
masalah Sayang,” ungkap Nyai tulus. “Apa pun yang bikin kamu senang, Mama
ikutan senang.”
Yang membuat Arthur
senang adalah membuat ibunya itu bahagia. Sudah sejak lama Arthur punya sebuah
rencana kecil yang tak pernah dibagi kepada siapa pun di dunia. Arthur
berencana punya bromance dengan
seorang pria.
Arthur memahami dirinya
seorang heteroseksual. Sudah dia tes berkali-kali, barangkali dia juga seorang
homo atau setidaknya biseksual. Namun Arthur yang sudah mempelajari soal
orientasi seksual sejak umur enam tahun ini tak pernah punya ketertarikan pada
sesama jenis. Entah mengapa, Arthur berpikir pacaran dengan cowok akan membuat
ibunya bahagia. Jadi Arthur sedang mencoba segala cara untuk punya seorang
kawan cowok dekat yang bisa berbagi keintiman tanpa perlu melakukan apa pun
seksual. Orang tersebut juga akan menerima keluarga Arthur apa adanya, dengan
segala anak buah ibunya yang semua berprofesi sebagai drag queen.
Arthur belum menemukan
siapa orang itu.
Pukul sepuluh lebih lima
belas menit, Arthur sudah berada di dalam bus menuju Tangkuban Perahu. Murid-murid
perempuan mengerubunginya sepanjang perjalanan, menanyakan hal-hal enggak krusial seperti misalnya ekstrakurikuler renang. Peminat
ekskul itu cukup banyak. Ketika Arthur menyortirnya kemarin, ada lebih dari 100
siswa perempuan mendaftar, ditambah beberapa siswa laki-laki yang entah betulan
perenang, atau hanya naksir saja—karena Karyo dan Baharudin pun terdaftar di
sana. Arthur sudah harus menyiapkan audisi keanggotaan ekskul renang minggu
depan karena budget yang diberikan
sekolah untuk ekskul baru ini tidak cukup memfasilitasi hingga lebih dari 100
orang.
Di kelas IBB, ada tiga
orang cewek yang selama tiga hari terakhir sudah menunjukkan dominasi sebagai the ‘it’ girl. Ketiganya mengenakan
sepatu bermerek dan tote bag mahal
yang entah diisi buku atau peralatan makeup.
Diskusi yang mereka lakukan setiap hari enggak pernah jauh dari shopping,
fashion, dan cowok. Salah satu dari
mereka bahkan sudah me-rating nyaris
semua cowok murid baru di sekolah, bahkan membuat artikel which one to date and which one to avoid.
Namanya Marsella, Nikita,
dan Olivia. Bagi mereka, Arthur mendapat rating
5 out of 5. Arthur adalah satu-satunya cowok yang mendapat rating setinggi
itu, karena orang ganteng berikutnya mendapat rating 4,5 saja. Cowok-cowok
feminin seperti Baharudin, rating-nya
-2 out of 5.
Nah, karena mereka satu
bus dengan Arthur dalam perjalanan outbond
ini, tentu saja ketiganya menyingkirkan Tommy, Karyo, dan Baharudin dari
Arthur, yang awalnya berencana duduk berdekatan sebagai satu kelompok tenda.
“Of course, aku pernah berenang di Mykonos pakai bikini. Mommy
pengin belanja ke Itali, tapi sebelum kami pulang ke Indonesia, Mommy ngajak
mampir ke Yunani. Bikiniku harganya 900 Euro. Each piece,” kata Marsella. Dia duduk di samping Arthur dan
membelai cowok itu sejak bus melaju.
“That’s cool, Bitch!” balas Nikita. “Aku sih paling ke Bali doang.
Tapi omku yang memang orang Bali ngasih aku various
choices of bikini, terus aku pake yang minim banget gitu, dari Harvey
Nichols. Eh pas aku berenang ke pantai, tetekku keluar gara-gara bikininya
kegedean. Kan, sialan, ya? Hihihi ....”
Tiga cewek itu cekikikan.
“Nanti kamu lolosin
kami-kami ya Arthur,” kata Olivia sambil mengedipkan sebelah mata. “Kan kamu
barusan sudah dengar semua kisah kami soal dunia renang berenang.”
Di mana fokusnya adalah bikini, bukan soal berenangnya, batin Arthur.
“Yes, Olivia’s right. Kami apply
buat ekskul renang, because we truly want
to be excellent in swimming!” tambah Marsella. “Kapan sih audisinya?”
“Minggu depan,” jawab
Arthur singkat, diiringi senyum, karena dia berusaha ramah.
“Kita enggak perlu datang, kan?” tanya Nikita. “I mean, barusan kamu udah dengar semua kisah kita soal berenang di
pantai-pantai eksotis. Otomatis kita lolos audisi, dong?”
“Oh, aku mau nambahin!”
sahut Olivia bersemangat. “Aku pernah deng
berenang di Phuket. Waktu itu bikiniku apricot
halter 2 piece, kayak warna pink
gitu, dari Kate Spade New York. Aku pake bentar karena kekecilan. Tapi aku
sempat masuk air dan kakiku kena ombak-ombak kecil gitu.”
“Yes, Honey!” Marsella mengacungkan tangan dan melakukan high-five bersama Olivia. “You’re amazing. Berarti portfolio kita
udah cukup buat masukin kita ke ekskul, tanpa perlu ikutan audisi.”
Yang benar saja,
batin Arthur.
“I wanna go to the toilet,” kata Arthur akhirnya, menemukan cara
keluar dari obrolan menyesatkan ini. Bus difasilitasi dengan toilet di bagian
belakang. Ada 50 kursi tersedia, dan masih ada beberapa kursi tak terisi karena
jumlah siswa di IBB hanya 40, ditambah Pak Anto dan empat orang anggota OSIS.
Arthur tidak benar-benar berencana pergi ke toilet. Dia ingin pindah tempat
duduk saja.
Arthur menemukan Tommy
duduk sendiri sekitar empat baris dari belakang. Di jajaran kursi sebelahnya
ada Karyo dan Baharudin mengenakan kacamata hitam dan tertidur. Kursi di
samping Tommy kosong. Cowok itu sedang asyik menggulir Instagramnya.
Tommy tak menyadari
kehadiran Arthur di lorong bus. Dia masih asyik membaca berita-berita terbaru
dari portal pageant favoritnya.
Tentang Miss Thailand yang baru terpilih, kontroversi Miss Philippines Universe
yang baru, Miss St Vincent & The Grenadines yang katanya berencana return ke Miss Universe, semua Tommy
baca dengan saksama.
Arthur tak sengaja
mengamati apa pun yang Tommy baca dan mulai memikirkan sesuatu. Mengapa cowok ini membaca berita soal beauty
pageant? Apalagi Tommy terlihat
memberikan like untuk semua photoshoot terbaru trio Puteri Indonesia
2020. Arthur tahu ini artinya apa. Ibunya pernah menjadi salah satu desainer
gaun Miss International Indonesia dan Arthur belajar bahwa nyaris 100% cowok
penggemar beauty pageant adalah ... gay.
Apakah ini artinya Tommy
seorang gay? Arthur sudah curiga
sejak hari pertama. Namun tak pernah berani berasumsi tanpa bukti. Jadi untuk
mengonfirmasinya, Arthur pun bertanya, “Do
you like pageant that much?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar