Kamis, 25 Maret 2021

Nude 10


neeuQ debboR tsoM .01

 

MOS hari ketiga ditutup dengan insiden kurang menyenangkan bagi Tommy. Berada satu kelompok dengan Karyo dan Baharudin adalah musibah besar. Tommy membayangkan penguasaan dirinya harus ekstra selama masa outbond, jangan sampai Tommy menunjukkan ciri-ciri gay di depan mereka, lalu Karyo mengonfirmasi ciri-ciri itu, lalu Arthur mendengarkan, lalu semua orang bisa tahu Tommy gay, dan Arthur pun tak mau lagi semeja dengannya.

Sepanjang naik ojek menuju rumahnya sore itu, Tommy sudah merencanakan hal-hal apa yang harus dia pertahankan selama outbond. Berjalan ngangkang, menggosok perut sambil santai-santai, mengatakan bro lebih sering, suara lebih ngebas, membahas cewek-cewek, membahas toketnya Keysha, membahas bahwa Frederika Alexis Cull itu cantik dan semok saat pakai baju renang, bukan soal Frederika adalah seorang beauty queen dan Tommy ingin menjadi beauty queen.

Atau jangan bahas soal Frederika sama sekali, batin Tommy. Bahas figur selebritas lain. Raisa, misalnya.

Bahkan, saat turun dari ojek, Tommy mulai mempraktikkan jalan agak ngangkang. Paha tidak boleh bersentuhan satu sama lain. Lengan tidak boleh menyentuh tubuh.

Ibunya menyambut dengan heran di ruang tamu. Kunaon ari kamu?” tanyanya, keheranan melihat tingkah anaknya.

“Gapapa.”

“Baru disunat lagi di sekolah?”

“Ih, enggak, lah!”

Sok atuh, ganti baju dulu. Terus makan. Terus entar mun si Bapak udah datang, temenin Bapak mijat. Kamu téh harus belajar mijat kayak Bapak. Istilahnya mah, Bapak téh enggak punya warisan apa-apa lagi buat kamu selain sekil mijat. Mun kamu gagal jadi PNS, kan kamu téh istilahnya mah bisa jadi tukang pijat.”

Selain sebagai gay, menjadi anak seorang tukang pijat dan pedagang nasi kuning adalah hal lain yang Tommy tak mau ungkap ke teman-teman barunya di sekolah. Itu juga salah satu alasan Tommy mencari sekolah di luar zonasi. Karena rata-rata, teman SMP-nya, sudah keburu tahu Tommy anak tukang pijat.

Ayah Tommy, Kang Asep adalah tukang urut tersohor wilayah Bandung Utara. Kang Asep sudah sangat tua, umurnya di atas enam puluh tahun. Setiap malam, selama berpuluh-puluh tahun, bahkan tanpa hari libur, Kang Asep selalu menerima pasien setidaknya satu orang semalam. Konon katanya, berbagai jenis penyakit bisa disembuhkan oleh Kang Asep. Beliau tahu di mana titik-titik yang tepat untuk melancarkan aliran darah, yang pada akhirnya mendorong penyakit-penyakit untuk pergi. Tommy menyaksikan selama bertahun-tahun para pasien kembali ke rumahnya untuk berterima kasih karena penyakit mereka sembuh. Mulai dari wasir, diabetes, gagal ginjal, keseleo, penyakit paru-paru, masuk angin, sakit perut, hingga yang akhir-akhir ini Tommy pelajari adalah terapi kejantanan.

Sebagai satu-satunya anak laki-laki di rumah, Tommy terpaksa belajar pijat dari ayahnya sejak kecil. Tommy dibawa ke rumah-rumah pasien, dibiarkan menunggu sambil mengamati sang ayah memijat pasiennya.

Kadieu, Mi,” kata ayahnya memanggil, sambil menunjukkan telapak kaki seorang om-om gendut dari RW sebelah. “Yang ini téh buat wasir.” Kang Asep menunjukkan sebuah titik di belakang tumit. “Kalau ini diurut ....”

“Aduh, aduh, aduh!” Si Om teriak kesakitan.

“Berarti pasien punya wasir,” lanjut sang ayah. “Berarti kamu harus mijat daerah sini kayak begini, supaya aliran darah di sini lancar, terus nanti wasirnya sembuh. Teu nanaon kan Pak lamun murangkalih ngabantosan abdi mencétan?” tanya Kang Asep ke si Om, bertanya apakah dia mengizinkan anaknya ikut memijat.

“Iya, sok, Kang. Mangga.”

“Sini. Kamu duduk di situ. Urut kayak begini, kayak Bapak.”

Umur Tommy saat itu masih tujuh tahun. Dan sejak malam itu, Tommy cukup sering ikutan memijat pasien ayahnya sambil belajar bagaimana caranya menjadi tukang pijat.

Apakah Tommy menyukainya? Tentu saja tidak. Tommy membenci pijat-memijat. Hanya karena Kang Asep adalah ayahnya saja, Tommy terpaksa ikut dan belajar memijat. Kalau ada kesempatan untuk tidak ikut, Tommy merasa senang sekali. Terkadang, Tommy mengada-ada agar tak bisa ikut ayahnya.

“Aduh, Pak. Sakit perut nih, Pak. Enggak bisa ikut kayaknya mah.”

“Aduh, Pak. Banyak PR, Pak. Kalau enggak dikerjain, nanti enggak naik kelas.”

“Aduh, Pak. Ada kumpul OSIS Pak di sekolah. Harus ikut cenah.” Padahal Tommy sama sekali tidak ikut OSIS.

Sore itu pun, Tommy sedang malas ikut ayahnya untuk memijat pasien lagi. Apalagi semakin ke sini ayahnya semakin sering menerima pasien di rumah, di mana Tommy terpaksa duduk di ruang tengah dan membantu sang ayah. Tommy sedang ingin masturbasi lagi sambil mencium-cium celana dalam Pak Anto. Jadi Tommy mulai memutar otak mencari cara menolak ajakan ayahnya.

“Aa harus siapin buat MOS, Mah. Besok outbond. Kayaknya enggak bisa nemenin si Bapak,” kata Tommy sambil membuka sepatu.

“Siapin apa emangnya?”

“Banyak, Mah. Keperluan outbond, lah. Kan dibagi kelompok, terus ada tugas-tugasnya. Nah, Aa harus nyari barang-barangnya ama temen.”

Enggak bisa ditunda dulu, kitu? Sejam aja . Bantuin si Bapak ama pasien malam ini. Istilahnya mah, biar si Bapak téh tahu kamu belajar mijat juga. Di sini da pijatnya.”

Enggak bisa, Mah,” ungkap Tommy bersikukuh. “Harus malam ini carinya.”

Sebenarnya, semua tugas kelompok itu sudah disiapkan Tommy jauh sebelum MOS dimulai. Karena Tommy tahu akan ada outbond pada penutupan MOS, lalu ada daftar barang-barang keperluan outbond dalam surat pemberitahuan. Namun dia tetap harus mencari cara agar tidak berada di rumah saat ayahnya memijat pasien.

“Eeeh ... kamu téh jangan suka durhaka gitu. Sebentar aja . Istilahnya mah, istirahat sambil belajar dikit-dikit soal pijat. Si Bapak bilang cenah pasiennya dari jauh, bukan orang sini. Istilahnya mah, kasihan si Bapak kalau enggak ada yang nemenin.”

Enggak bisa, Mah. Aa kudu nyiapin tugas buat besok, ah!” Tommy pun masuk ke kamar dan mengunci pintu.

Salah satu masalah lain dari urusan pijat-memijat ini adalah siapa yang menjadi pasien. Sebanyak lebih dari 95% pasiennya adalah orang tua. Setidaknya berumur 45 tahun ke atas, dan setidaknya kulit sudah kendor sehingga ketika Tommy dipaksa memijat mereka, ada gelambir-gelambir menjijikkan yang dulunya sempat kencang. Sangat jarang Tommy bertemu pasien yang lebih muda. Yang ganteng, misalnya, bisa dihitung dengan jari.

Lagi pula, orang-orang muda biasanya enggak mendatangi tukang urut di dalam gang seperti rumahnya ini untuk berobat. Biasanya, mereka masih punya orang tua yang punya uang, lalu mereka akan ke dokter untuk mengobati keseleo, lalu mereka akan dirontgen atau diberi gips. Hanya baby boomers saja yang percaya segala jenis penyakit harus ditangani tukang urut.

Setiap Tommy dihadapkan pada pertanyaan, “Apa cita-citamu?” Jawabannya adalah, “Yang pasti bukan tukang urut.”

Tommy melempar ranselnya ke atas tempat tidur lalu mulai mengecek peralatan yang diperlukan untuk outbond besok. Jujur saja, semuanya literally dan harfiahly sudah Tommy siapkan sebelum MOS hari pertama. Tommy membuka lemari untuk mengecek ulang. Ya! Semuanya masih ada di sana. Lengkap dan siap dipakai. Kecuali beberapa hal seperti pita berwarna merah, karena ini adalah idenya Baharudin untuk mengistimewakan kelompok. Namun itu pun tugasnya Baharudin, si pencetus ide. Jadi secara literally dan harfiahly lagi, tidak ada yang perlu Tommy siapkan untuk besok selain tubuh yang segar dan bugar.

By the way, Arthur tampak baik hati banget, batin Tommy. Cowok berprestasi itu menyambut akrab Karyo dan Baharudin dalam kelompok. Mungkin Arthur terlalu polos untuk memahami bahwa Karyo dan Baharudin homo, pikir Tommy. Banyak, kok cowok cerdas yang masih enggak mau membuka mata bahwa sekalinya banci ya sudah pasti homo. Arthur ini kelewat polos dengan tidak menyadari bahaya yang akan datang berada satu tenda bersama Karyo dan Baharudin.

Secara teknis, sebenarnya Tommy juga gay. Jadi sebenarnya posisi Arthur sangat-sangat berisiko.

Bagaimana kalau Karyo ngegerepe Arthur, coba? batin Tommy.

Namun kepolosan Arthur dan keramahan itu malah membuat Tommy terangsang. Ujung-ujungnya Tommy menelanjangi diri sendiri dan mulai memainkan kelaminnya sembari menggulir semua foto di Instagram Arthur. Beberapa foto menampilkan Arthur dalam balutan speedo celana renang yang seksi. Bulge-nya kelihatan. Dan tubuh atletis itu. Dan bisep-trisep itu.

Enggak, enggak, enggak, pikir Tommy dalam hati. Ini harus dihentikan.

Jangan membayangkan Arthur. Dia itu teman sebangkumu, Tommy! Enggak pantas berfantasi tentang teman sebangkumu, seganteng apa pun itu!

Sambil menghela napas panjang, Tommy bangkit dan mengaduk lemarinya. Diambilnya celana dalam Pak Anto yang dia sembunyikan rapi-rapi di balik tumpukan celana. Bayangkan Pak Anto saja, batin Tommy. Pak Anto bukan teman dekatnya. Akan lebih wajar berfantasi tentang orang dewasa dibandingkan teman sebangku sendiri.

Selama dua puluh menit, Tommy kembali menciumi celana dalam Pak Anto sambil membayangkan bagian selangkangan gurunya itu. Tommy juga mengingat kembali imaji permukaan kulit dada Pak Anto saat dia hanya mengenakan kaus singlet saja di rumahnya. Lengannya yang besar itu. Rambut ketiaknya. Cetakan putingnya. Tubuhnya yang bulky dan tampak hangat untuk direngkuh.

Di bawah wajah dewasa nan menawan yang dihiasi bekas cukuran jambang ....

Oh, rasanya Tommy sudah akan orgasme.

Dear Pak Anto ...

... Bapak seksi banget sih, Pak.

Tok-tok-tok! “A Tomi!”

Shit!” umpat Tommy panik sambil buru-buru menarik selimut dan menutupi tubuh telanjangnya. Dia tak perlu melakukan itu sebenarnya, karena pintu kamar sudah dikunci. Barusan ayahnya mengetuk pintu.

A Tomi dijero?” tanya sang ayah, bertanya apakah Tommy ada di dalam.

“Iyah!” balas Tommy sambil belingsatan mencari baju dan celana. Sudah pasti acara orgasmenya harus ditunda. “Tapi mau keluar sekarang.”

“Keluar ka mana?”

“Nyari bahan buat tugas!”

“Oooh ....” Kang Asep terdengar kecewa. “Ieu, padahal Bapak ada tamu buat pijat. Sugan wé A Tomi mau bantuin—“

Tommy menyela kata-kata ayahnya dengan membuka pintu. Dia sudah tampak siap keluar rumah. Tak bercelana dalam, tapi sudah bercelana pendek dan bersweter. Tommy juga memegang dompet, seolah-olah harus membeli sesuatu di luar.

“Aduh, punten, Pak. Aa harus nyari buat tugas besok. Penting!”

Enggak bisa ditunda, kitu? Sejam .”

Tommy menggeleng dan memberikan gestur buru-buru. “Teu tiasa, Pak. Aa harus beli sekarang. Keburu tutup.”

Ka mana belina?”

Ka ... ngng ....” Tommy memutar otak. “Ka Cibiru!”

“Sebentar padahal mah. Cuma urut masuk angin aja, da. Tuh, tamu Bapak udah mau datang ....”

Tommy tak mendengarkan lagi. Sebelum tamu ayahnya benar-benar datang, Tommy sudah mengenakan sandal dan kabur dari rumah. Sengaja Tommy mengambil jalan berlawanan menuju kuburan, agar tidak bertemu tamu ayahnya. Dia benar-benar malas berada di rumah untuk melihat ayahnya memijat. Sorenya hancur sempurna bagi Tommy. Setelah terpaksa sekelompok dengan Karyo dan Baharudin, sangenya akan Pak Anto harus dia tunda. Padahal spermanya sudah di pangkal kemaluan.

Sambil merutuk kesal, Tommy berjalan ke kuburan dan menunggu di sana hingga magrib datang. Dia memainkan ponselnya, menonton broadcast Blued sampai baterai habis. Begitu azan Magrib dikumandangkan, dengan lesu Tommy berjalan kembali ke rumahnya. Dia berharap penuh tamunya sudah pulang, supaya tidak perlu basa-basi-busuk whatsoever.

Ketika Tommy mendekati rumahnya, pintu depan masih terbuka dengan ruang tamu menyala terang. Tidak ada motor terparkir, tetapi tampaknya sang tamu masih di dalam. Ah, sial, masih ada, batin Tommy. Namun karena baterai ponsel sudah wafat, Tommy memaksakan diri masuk. Toh dia yakin sesi urut sudah selesai. Ini sudah dua jam sejak Tommy kabur dari rumah tadi. Masa iya tamunya masih dipijat juga. Lagi pula masih ada orgasme yang menggantung di selangkangan yang belum Tommy selesaikan. Tommy hanya perlu kreatif mengarang alasan, sehingga bisa masuk kamar dan lanjut membayangkan Pak Anto.

Tommy menarik napas dan berjalan masuk ke dalam rumah. Di ruang tengah, sang tamu baru saja mengenakan kemejanya dan menurunkan sarung. Tamu itu sudah mengenakan celana panjangnya lagi. Biasanya, saat dipijat masuk angin, tamu hanya mengenakan celana dalam atau celana pendek, yang dibalut sarung kotak-kotak saja.

Namun, napas Tommy tercekat saat melihat tamu itu berbalik.

Beliau Pak Anto.

“Eh, Tommy?” Pak Anto membelalak kaget. “Oh, Tommy yang ini, Pak?”

“Iya yang ini,” jawab Kang Asep.

“Dari tadi Pak Asep cerita anaknya masuk sekolah saya. Saya kirain téh Tommy yang anak kelas dua belas, dari jurusan MIA. Ternyata Tommy yang siswa baru.”

“Iya Pak yang ini,” kata Kang Asep mesem-mesem ketawa. “Cenah ada tugas, Pak. Jadi tadi enggak bisa nemenin mijat. Padahal biasanya mah nemenin Pak. Udah saya minta nemenin malah kabur.”

“Iya memang siswa baru téh besok ada outbond, Pak. Harus nyiapin banyak perlengkapan.” Pak Anto menggelengkan kepalanya sambil menatap Tommy dan tersenyum ramah. “Duh, tahu bapak kamu tukang urut mah atuh Tom, bisa bareng ke sininya tadi sepulang sekolah.”

Itu adalah sore paling Tommy sesalkan seumur hidup. Sore paling terlepeh, dn paling terampok. Istilah pageant-nya “most robbed queen”. Tommy seolah-olah mendapatkan gelar El Tocuyo malam itu. Karena dia baru saja melewatkan dua jam di mana Pak Anto telanjang, dan mungkin Tommy punya kesempatan memijat badannya, menyentuh seluruh permukaan kulitnya. Rasanya seperti Tommy menabung uang satu milyar selama bertahun-tahun, lalu semua uang itu raib digondol maling dalam semenit.

Fuuuuuuccckkk ...! jerit Tommy sepanjang malam dalam tidurnya.


To be continued ....

1 komentar:

  1. Tommy literally and harfiahly is the easy-to-hate character, the villain of this story

    BalasHapus

Nude 33

  ssendrawkwA emitefiL .33     Pada suatu pagi lima tahun lalu, Miza bangun lebih pagi dari biasanya meski semalaman tak bisa tidur. D...