neeuQ debboR tsoM .01
MOS hari ketiga ditutup
dengan insiden kurang menyenangkan bagi Tommy. Berada satu kelompok dengan
Karyo dan Baharudin adalah musibah besar. Tommy membayangkan penguasaan dirinya
harus ekstra selama masa outbond,
jangan sampai Tommy menunjukkan ciri-ciri gay
di depan mereka, lalu Karyo mengonfirmasi ciri-ciri itu, lalu Arthur
mendengarkan, lalu semua orang bisa tahu Tommy gay, dan Arthur pun tak mau lagi semeja dengannya.
Sepanjang naik ojek
menuju rumahnya sore itu, Tommy sudah merencanakan hal-hal apa yang harus dia
pertahankan selama outbond. Berjalan
ngangkang, menggosok perut sambil santai-santai, mengatakan bro lebih sering, suara lebih ngebas,
membahas cewek-cewek, membahas toketnya Keysha, membahas bahwa Frederika Alexis
Cull itu cantik dan semok saat pakai baju renang, bukan soal Frederika adalah
seorang beauty queen dan Tommy ingin
menjadi beauty queen.
Atau jangan bahas soal Frederika sama sekali, batin Tommy. Bahas figur selebritas lain. Raisa,
misalnya.
Bahkan, saat turun dari
ojek, Tommy mulai mempraktikkan jalan agak ngangkang. Paha tidak boleh
bersentuhan satu sama lain. Lengan tidak boleh menyentuh tubuh.
Ibunya menyambut dengan
heran di ruang tamu. “Kunaon ari
kamu?” tanyanya, keheranan melihat tingkah anaknya.
“Gapapa.”
“Baru disunat lagi di
sekolah?”
“Ih, enggak, lah!”
“Sok atuh, ganti baju dulu. Terus makan. Terus entar mun si Bapak udah datang, temenin Bapak
mijat. Kamu téh harus belajar mijat
kayak Bapak. Istilahnya mah, Bapak téh enggak punya warisan apa-apa lagi buat kamu selain sekil mijat. Mun kamu gagal jadi PNS, kan kamu téh istilahnya mah bisa
jadi tukang pijat.”
Selain sebagai gay, menjadi anak seorang tukang pijat
dan pedagang nasi kuning adalah hal lain yang Tommy tak mau ungkap ke
teman-teman barunya di sekolah. Itu juga salah satu alasan Tommy mencari
sekolah di luar zonasi. Karena rata-rata, teman SMP-nya, sudah keburu tahu
Tommy anak tukang pijat.
Ayah Tommy, Kang Asep
adalah tukang urut tersohor wilayah Bandung Utara. Kang Asep sudah sangat tua,
umurnya di atas enam puluh tahun. Setiap malam, selama berpuluh-puluh tahun,
bahkan tanpa hari libur, Kang Asep selalu menerima pasien setidaknya satu orang
semalam. Konon katanya, berbagai jenis penyakit bisa disembuhkan oleh Kang
Asep. Beliau tahu di mana titik-titik yang tepat untuk melancarkan aliran
darah, yang pada akhirnya mendorong penyakit-penyakit untuk pergi. Tommy
menyaksikan selama bertahun-tahun para pasien kembali ke rumahnya untuk
berterima kasih karena penyakit mereka sembuh. Mulai dari wasir, diabetes,
gagal ginjal, keseleo, penyakit paru-paru, masuk angin, sakit perut, hingga
yang akhir-akhir ini Tommy pelajari adalah terapi kejantanan.
Sebagai satu-satunya anak
laki-laki di rumah, Tommy terpaksa belajar pijat dari ayahnya sejak kecil.
Tommy dibawa ke rumah-rumah pasien, dibiarkan menunggu sambil mengamati sang
ayah memijat pasiennya.
“Kadieu, Mi,” kata ayahnya memanggil, sambil menunjukkan telapak
kaki seorang om-om gendut dari RW sebelah. “Yang ini téh buat wasir.” Kang Asep menunjukkan sebuah titik di belakang
tumit. “Kalau ini diurut ....”
“Aduh, aduh, aduh!” Si Om
teriak kesakitan.
“Berarti pasien punya
wasir,” lanjut sang ayah. “Berarti kamu harus mijat daerah sini kayak begini,
supaya aliran darah di sini lancar, terus nanti wasirnya sembuh. Teu nanaon kan Pak lamun murangkalih
ngabantosan abdi mencétan?” tanya Kang Asep ke si Om, bertanya apakah dia
mengizinkan anaknya ikut memijat.
“Iya, sok, Kang. Mangga.”
“Sini. Kamu duduk di
situ. Urut kayak begini, kayak Bapak.”
Umur Tommy saat itu masih
tujuh tahun. Dan sejak malam itu, Tommy cukup sering ikutan memijat pasien
ayahnya sambil belajar bagaimana caranya menjadi tukang pijat.
Apakah Tommy menyukainya?
Tentu saja tidak. Tommy membenci pijat-memijat.
Hanya karena Kang Asep adalah ayahnya saja, Tommy terpaksa ikut dan belajar
memijat. Kalau ada kesempatan untuk tidak ikut, Tommy merasa senang sekali.
Terkadang, Tommy mengada-ada agar tak bisa ikut ayahnya.
“Aduh, Pak. Sakit perut
nih, Pak. Enggak bisa ikut kayaknya mah.”
“Aduh, Pak. Banyak PR,
Pak. Kalau enggak dikerjain, nanti enggak naik kelas.”
“Aduh, Pak. Ada kumpul
OSIS Pak di sekolah. Harus ikut cenah.”
Padahal Tommy sama sekali tidak ikut OSIS.
Sore itu pun, Tommy
sedang malas ikut ayahnya untuk memijat pasien lagi. Apalagi semakin ke sini
ayahnya semakin sering menerima pasien di rumah, di mana Tommy terpaksa duduk
di ruang tengah dan membantu sang ayah. Tommy sedang ingin masturbasi lagi
sambil mencium-cium celana dalam Pak Anto. Jadi Tommy mulai memutar otak
mencari cara menolak ajakan ayahnya.
“Aa harus siapin buat
MOS, Mah. Besok outbond. Kayaknya enggak bisa nemenin si Bapak,” kata Tommy sambil membuka sepatu.
“Siapin apa emangnya?”
“Banyak, Mah. Keperluan outbond, lah. Kan dibagi kelompok, terus
ada tugas-tugasnya. Nah, Aa harus nyari barang-barangnya ama temen.”
“Enggak bisa ditunda dulu, kitu?
Sejam aja wé. Bantuin si Bapak ama
pasien malam ini. Istilahnya mah, biar
si Bapak téh tahu kamu belajar mijat
juga. Di sini da pijatnya.”
“Enggak bisa, Mah,” ungkap Tommy bersikukuh. “Harus malam ini
carinya.”
Sebenarnya, semua tugas
kelompok itu sudah disiapkan Tommy jauh sebelum MOS dimulai. Karena Tommy tahu
akan ada outbond pada penutupan MOS,
lalu ada daftar barang-barang keperluan outbond
dalam surat pemberitahuan. Namun dia tetap harus mencari cara agar tidak berada
di rumah saat ayahnya memijat pasien.
“Eeeh ... kamu téh jangan suka durhaka gitu. Sebentar aja
wé. Istilahnya mah, istirahat sambil belajar dikit-dikit soal pijat. Si Bapak
bilang cenah pasiennya dari jauh,
bukan orang sini. Istilahnya mah,
kasihan si Bapak kalau enggak
ada yang nemenin.”
“Enggak bisa, Mah. Aa kudu nyiapin tugas buat besok, ah!” Tommy
pun masuk ke kamar dan mengunci pintu.
Salah satu masalah lain
dari urusan pijat-memijat ini adalah siapa yang menjadi pasien. Sebanyak
lebih dari 95% pasiennya adalah orang tua. Setidaknya berumur 45 tahun ke atas,
dan setidaknya kulit sudah kendor sehingga ketika Tommy dipaksa memijat mereka,
ada gelambir-gelambir menjijikkan yang dulunya sempat kencang. Sangat jarang
Tommy bertemu pasien yang lebih muda. Yang ganteng, misalnya, bisa dihitung dengan jari.
Lagi pula, orang-orang
muda biasanya enggak mendatangi tukang urut di dalam gang
seperti rumahnya ini untuk berobat. Biasanya, mereka masih punya orang tua yang punya uang, lalu mereka
akan ke dokter untuk mengobati keseleo, lalu mereka akan dirontgen atau diberi
gips. Hanya baby boomers saja yang
percaya segala jenis penyakit harus ditangani tukang urut.
Setiap Tommy dihadapkan
pada pertanyaan, “Apa cita-citamu?” Jawabannya adalah, “Yang pasti bukan tukang
urut.”
Tommy melempar ranselnya
ke atas tempat tidur lalu mulai mengecek peralatan yang diperlukan untuk outbond besok. Jujur saja, semuanya literally dan harfiahly sudah Tommy siapkan sebelum MOS hari pertama. Tommy
membuka lemari untuk mengecek ulang. Ya! Semuanya masih ada di sana. Lengkap
dan siap dipakai. Kecuali beberapa hal seperti pita berwarna merah, karena ini
adalah idenya Baharudin untuk mengistimewakan kelompok. Namun itu pun tugasnya
Baharudin, si pencetus ide. Jadi secara literally
dan harfiahly lagi, tidak ada yang
perlu Tommy siapkan untuk besok selain tubuh yang segar dan bugar.
By the way, Arthur tampak baik hati banget, batin
Tommy. Cowok berprestasi itu menyambut akrab Karyo dan Baharudin dalam
kelompok. Mungkin Arthur terlalu polos
untuk memahami bahwa Karyo dan Baharudin homo, pikir Tommy. Banyak, kok
cowok cerdas yang masih enggak
mau membuka mata bahwa sekalinya banci ya sudah pasti homo. Arthur ini kelewat
polos dengan tidak menyadari bahaya yang akan datang berada satu tenda bersama
Karyo dan Baharudin.
Secara teknis, sebenarnya
Tommy juga gay. Jadi sebenarnya
posisi Arthur sangat-sangat berisiko.
Bagaimana kalau Karyo ngegerepe Arthur, coba? batin Tommy.
Namun kepolosan Arthur
dan keramahan itu malah membuat Tommy terangsang. Ujung-ujungnya Tommy
menelanjangi diri sendiri dan mulai memainkan kelaminnya sembari menggulir
semua foto di Instagram Arthur. Beberapa foto menampilkan Arthur dalam balutan speedo celana renang yang seksi. Bulge-nya kelihatan. Dan tubuh atletis
itu. Dan bisep-trisep itu.
Enggak, enggak, enggak, pikir Tommy dalam hati. Ini harus dihentikan.
Jangan membayangkan
Arthur. Dia itu teman sebangkumu, Tommy! Enggak pantas berfantasi tentang teman sebangkumu, seganteng
apa pun itu!
Sambil menghela napas
panjang, Tommy bangkit dan mengaduk lemarinya. Diambilnya celana dalam Pak Anto
yang dia sembunyikan rapi-rapi di balik tumpukan celana. Bayangkan Pak Anto saja, batin Tommy. Pak Anto bukan teman
dekatnya. Akan lebih wajar berfantasi tentang orang dewasa dibandingkan teman
sebangku sendiri.
Selama dua puluh menit,
Tommy kembali menciumi celana dalam Pak Anto sambil membayangkan bagian
selangkangan gurunya itu. Tommy juga mengingat kembali imaji permukaan kulit
dada Pak Anto saat dia hanya mengenakan kaus singlet saja di rumahnya.
Lengannya yang besar itu. Rambut ketiaknya. Cetakan putingnya. Tubuhnya yang bulky dan tampak hangat untuk direngkuh.
Di bawah wajah dewasa nan
menawan yang dihiasi bekas cukuran jambang ....
Oh, rasanya Tommy sudah
akan orgasme.
Dear Pak Anto ...
... Bapak seksi banget sih, Pak.
Tok-tok-tok! “A
Tomi!”
“Shit!” umpat Tommy panik sambil buru-buru menarik selimut dan menutupi
tubuh telanjangnya. Dia tak perlu melakukan itu sebenarnya, karena pintu kamar
sudah dikunci. Barusan ayahnya mengetuk pintu.
“A Tomi dijero?” tanya sang ayah, bertanya apakah Tommy ada di
dalam.
“Iyah!” balas Tommy
sambil belingsatan mencari baju dan celana. Sudah pasti acara orgasmenya harus
ditunda. “Tapi mau keluar sekarang.”
“Keluar ka mana?”
“Nyari bahan buat tugas!”
“Oooh ....” Kang Asep
terdengar kecewa. “Ieu, padahal Bapak
ada tamu buat pijat. Sugan wé A Tomi
mau bantuin—“
Tommy menyela kata-kata
ayahnya dengan membuka pintu. Dia sudah tampak siap keluar rumah. Tak bercelana
dalam, tapi sudah bercelana pendek dan bersweter. Tommy juga memegang dompet,
seolah-olah harus membeli sesuatu di luar.
“Aduh, punten, Pak. Aa harus nyari buat tugas
besok. Penting!”
“Enggak bisa ditunda, kitu? Sejam wé.”
Tommy menggeleng dan
memberikan gestur buru-buru. “Teu tiasa,
Pak. Aa harus beli sekarang. Keburu
tutup.”
“Ka mana belina?”
“Ka ... ngng ....” Tommy memutar otak. “Ka Cibiru!”
“Sebentar padahal mah. Cuma urut masuk angin aja, da. Tuh, tamu Bapak udah mau datang ....”
Tommy tak mendengarkan
lagi. Sebelum tamu ayahnya benar-benar datang, Tommy sudah mengenakan sandal
dan kabur dari rumah. Sengaja Tommy mengambil jalan berlawanan menuju kuburan,
agar tidak bertemu tamu ayahnya. Dia benar-benar malas berada di rumah untuk
melihat ayahnya memijat. Sorenya hancur sempurna bagi Tommy. Setelah terpaksa
sekelompok dengan Karyo dan Baharudin, sangenya
akan Pak Anto harus dia tunda. Padahal spermanya sudah di pangkal kemaluan.
Sambil merutuk kesal,
Tommy berjalan ke kuburan dan menunggu di sana hingga magrib datang. Dia
memainkan ponselnya, menonton broadcast
Blued sampai baterai habis. Begitu azan Magrib dikumandangkan, dengan lesu Tommy berjalan kembali ke
rumahnya. Dia berharap penuh tamunya sudah pulang, supaya tidak perlu
basa-basi-busuk whatsoever.
Ketika Tommy mendekati
rumahnya, pintu depan masih terbuka dengan ruang tamu menyala terang. Tidak ada
motor terparkir, tetapi tampaknya sang tamu masih di dalam. Ah, sial, masih ada, batin Tommy. Namun
karena baterai ponsel sudah wafat, Tommy memaksakan diri masuk. Toh dia yakin
sesi urut sudah selesai. Ini sudah dua jam sejak Tommy kabur dari rumah tadi.
Masa iya tamunya masih dipijat juga. Lagi pula masih ada orgasme yang
menggantung di selangkangan yang belum Tommy selesaikan. Tommy hanya perlu
kreatif mengarang alasan, sehingga bisa masuk kamar dan lanjut membayangkan Pak
Anto.
Tommy menarik napas dan
berjalan masuk ke dalam rumah. Di ruang tengah, sang tamu baru saja mengenakan
kemejanya dan menurunkan sarung. Tamu itu sudah mengenakan celana panjangnya
lagi. Biasanya, saat dipijat masuk angin, tamu hanya mengenakan celana dalam
atau celana pendek, yang dibalut sarung kotak-kotak saja.
Namun, napas Tommy
tercekat saat melihat tamu itu berbalik.
Beliau Pak Anto.
“Eh, Tommy?” Pak Anto
membelalak kaget. “Oh, Tommy yang ini, Pak?”
“Iya yang ini,” jawab
Kang Asep.
“Dari tadi Pak Asep
cerita anaknya masuk sekolah saya. Saya kirain téh Tommy yang anak kelas dua belas, dari jurusan MIA. Ternyata
Tommy yang siswa baru.”
“Iya Pak yang ini,” kata
Kang Asep mesem-mesem ketawa. “Cenah
ada tugas, Pak. Jadi tadi enggak
bisa nemenin mijat. Padahal biasanya mah
nemenin Pak. Udah saya minta nemenin malah kabur.”
“Iya memang siswa baru téh besok ada outbond, Pak. Harus nyiapin banyak perlengkapan.” Pak Anto
menggelengkan kepalanya sambil menatap Tommy dan tersenyum ramah. “Duh, tahu
bapak kamu tukang urut mah atuh Tom,
bisa bareng ke sininya tadi sepulang sekolah.”
Itu adalah sore paling
Tommy sesalkan seumur hidup. Sore paling terlepeh, dn paling terampok. Istilah pageant-nya “most robbed queen”. Tommy seolah-olah mendapatkan gelar El Tocuyo
malam itu. Karena dia baru saja melewatkan dua jam di mana Pak Anto telanjang,
dan mungkin Tommy punya kesempatan memijat badannya, menyentuh seluruh
permukaan kulitnya. Rasanya seperti Tommy menabung uang satu milyar selama
bertahun-tahun, lalu semua uang itu raib digondol maling dalam semenit.
Tommy literally and harfiahly is the easy-to-hate character, the villain of this story
BalasHapus