ssalC eht citamehtaM I. 90
Tommy bersyukur Evelyn
muncul dan menghentikan diskusi soal LGBT itu. Dia tak tahu lagi harus mengatakan
apa soal LGBT di depan Arthur. Salah ngomong sedikit saja, nanti Arthur tahu
bahwa Tommy seorang gay. Tommy
berusaha keras agar itu tidak terjadi.
Lagi pula, pagi ini
Arthur sedang kasmaran pada sosok Pak Anto. Guru bertubuh bulky itu sampai terbawa ke dalam mimpi. Tommy masturbasi sampai
tiga kali sambil mengenakan celana dalam Pak Anto di kepalanya. Fantasinya
begitu liar membayangkan celana dalam itu membungkus selangkangan Pak Anto sehari-hari.
Saking liarnya, celana
dalam itu tidak dia lipat bersamaan dengan kemeja dan celana kargo. Tommy
menyimpannya untuk diri sendiri. Toh,
yang Pak Anto tahu, aku kan enggak pakai celana dalam, pikir Tommy.
Pak Anto enggak seganteng
Arthur yang kini duduk di sebelahnya. Namun kedewasaan Pak Anto benar-benar memikat.
Mungkin sebenarnya Tommy menyukai tipe-tipe daddy.
Entahlah. Kalau antropologi diajarkan di kelas IBB, kemungkinan besar Tommy
akan punya nilai bagus.
Pagi itu, seluruh murid
baru lagi-lagi berdiri di lapangan untuk melaksanakan upacara pagi. Kali ini
agendanya mengenalkan setiap guru yang akan mengajar di SMA 44. Setiap guru
maju dan mengenalkan diri, menyebut nama dan mata pelajaran yang diajarkan.
Tommy tak bisa fokus pada semua guru yang ada di sana, kecuali Pak Anto. Sosok
maskulin itu berdiri di belakang bersama guru laki-laki muda lainnya,
mengobrolkan sesuatu.
Ketika Pak Anto maju
mengenalkan diri, entah mengapa Tommy senyum-senyum sendiri.
Pada istirahat pertama,
Tommy membawa bungkusan plastik ke ruang guru, berencana memberikan kemeja itu
kembali ke
empunya. Pak Anto sedang duduk
di mejanya yang penuh kertas dan buku, sibuk dengan ponselnya. Setelah menarik
napas panjang, Tommy berjalan menghampiri Pak Anto dengan hati-hati. Sebisa
mungkin tidak kelihatan seperti seorang remaja yang sedang kasmaran.
“Misi, Pak,” sapa Tommy
hati-hati.
Pak Anto menengadah. “Eh,
Tommy, ya?” Beliau meletakkan ponsel di atas meja. “Gimana kemarin? Aman
pulangnya?”
Tommy mengangguk sambil
tersenyum lebar. “Aman, Pak. Ini baju yang kemarin—“
“Ah, nanti juga gapapa,”
katanya.
Padahal, Tommy mengamati,
kemeja yang Pak Anto kenakan hari ini sama persis dengan kemeja hari kemarin. Sudah
seharusnya Tommy mengembalikan kemeja itu. “Enggak apa-apa, Pak. Kan saya cuma
butuh buat pulang kemaren aja. Seragam SMP saya ada banyak di rumah.”
“Iya maksudnya, nyantai
aja. Enggak dikembalikan hari ini juga gapapa,” balas
Pak Anto dengan senyum lebar di atas bekas cukuran jambang yang maskulin. “Eh,
omong-omong, kamu udah coba hubungi bagian BP? Minta rekomendasiin buat
abodemen. Siapa tahu ada yang rumahnya daerah sana juga, kamu bisa request sekolah untuk antar jemput kalian
setiap hari, kaliannya tinggal bayar bulanan aja. Menurut saya Setrasari
kejauhan kalau sekolah kamu di sini. Biasanya anak-anak yang rumahnya di
Soreang dan keukeuh sekolah di sini
pada pake abodemen.”
“Oh, soal itu—“
“Pagi, Pak!” Seseorang
memotong kata-kata Tommy. Sosok itu dengan akrab dan gembira menyalami Pak
Anto, tampak sangat supel dan menyenangkan. “Kabar baik?”
“Kabar baik, lah. Aman
aja semuanya?”
“Aman dong, Pak!” Dia
mengacungkan jempol.
Sosok itu adalah Jerome.
Ketua OSIS terkini SMAN 44. Ketika Jerome berdiri di samping Tommy, aromanya
menguar manis dan membuat candu. Tommy merasa hangat oleh kehadiran Jerome.
Apalagi senyum lebar dan wajah ramah itu dipamerkan dengan cuma-cuma, membuat
siapa pun merasa betah berdiri di dekatnya. Dari jarak segini, Tommy mengamati
wajah Jerome yang nyaris sempurna. Seolah-olah jerawat tak sudi mampir di wajah
imut itu. Tanpa melakukan apa pun yang intim, Jerome berhasil membuat Tommy
deg-degan.
“Tadi panitia udah breakdown kepembinaan camping, Pak,” mulai Jerome to the point, mengabaikan fakta bahwa
ada seorang murid baru sedang berdiri di depan meja Pak Anto. “Bapak kayaknya
ikut kelas IBB ke Tangkuban Perahu. Karena cuma sekelas, jadinya cuma Bapak aja
nih yang jaga di sana. Boleh enggak Pak?”
“Enggak ada guru lain?”
“Pak Santo sama Pak Dani
ikut ke Tahura. Bu Desi sama Pak Anwar Kiarapayung. Kalau enggak salah Pak Nono di Parongpong. Tapi rata-rata bisa sampe
dua atau tiga kelas. Nah, IBB tuh ke Tangkuban Perahu, tapi cuma sekelas. Yah,
pasti ditemenin sama OSIS sih, Pak.”
“Pak Zaenudin?”
“Ngng ....” Jerome
memutar otak. “Kalau enggak salah Kiarapayung juga, deh. Di sana kan besar ya
Pak. Butuh lebih banyak pembina gurunya.”
“Oh ya udah kalau enggak ada lagi. Siapin aja.”
“Siap, Komandan!” Jerome
memberi hormat. Bercanda, tapi terlihat sangat supel.
Tommy tak begitu memahami
poin pembicaraan Jerome, yang memang sebenarnya bukan urusan Tommy. Yang dia
tahu, besok seluruh murid baru akan melakukan outbond selama dua malam di tempat-tempat tertentu. Pada hari
ketiga, semuanya akan berkumpul di Gasibu untuk penutupan MOS. Tommy sudah
mendapatkan informasi ini sejak mendaftar ulang. Beberapa peralatan yang perlu
dibawa sudah diinformasikan secara mencicil sejak hari pertama. Keysha bahkan
berkali-kali menoleh ke belakang untuk bertanya, “Kira-kira, ke mana ya kita
akan outbond?”
Sekarang Tommy tahu
jawabannya. Namun tampaknya seluruh kelas juga sudah tahu.
Jerome berniat pamit,
tetapi fokusnya mendadak tertuju pada murid baru yang sedari tadi tak
disadarinya sedang berdiri di depan meja Pak Anto. “Hey! Kamu dari kelas mana?”
“IBB, Kak.” Tommy menelan
ludah. Bahkan, bertanya sesederhana itu, Jerome tampak ganteng dan
mengintimidasi.
“Ah, IBB. Kayaknya kalian
belum dapat seragam, deh. Bantu saya bawa seragam dari ruang BK ke kelas kamu,
mau?”
Tommy mengangguk pasrah.
Masak iya dia menolak permintaan itu. Di depannya ini ada Ketua OSIS dan
seorang guru, Tommy merasa harus tampil sebagai murid yang berbakti.
“Jangan lupa
pertimbangkan naik abodemen, ya!” sahut Pak Anto sebelum keduanya pergi. “Atau
ngekos. Di sekitar sini banyak kosan, kok.”
Tommy mengangguk. “Baik,
Pak.”
Tommy membuntuti Jerome
keluar dari ruang guru. Seorang anggota OSIS lain sedang
menunggu di depan pintu sambil memainkan ponsel. Dia cowok, tampaknya
seangkatan dengan Jerome, dan jelas ogah-ogahan masuk ruang guru.
“Udah, Bro?” sambutnya.
“Udah. Eh, lu bantuin
gue, yuk! Bawain seragam dari BK ke kelas IBB.” Jerome menepuk lengan kawannya
itu. “Anak-anak pada sibuk bimbing semua kelas buat persiapan outbond besok.”
“Siap, Bos!” Temannya
tergelak sambil menyikut Jerome.
Tommy berjalan membuntuti
dua kakak kelas bertubuh besar itu. Mereka menyusuri koridor terbuka yang di
sampingnya ada taman cantik penuh bunga, dan samping lainnya berjejer
ruang-ruang administrasi sekolah, seperti ruang guru, tata usaha, kesiswaan,
dan lain sebagainya. Ruang BK berada di jejeran paling ujung di koridor ini,
karena lokasinya lebih dekat ke gerbang sekolah. Karena tahun ajaran belum
dimulai, koridor ini agak sepi. Hanya beberapa anggota OSIS yang sedang sibuk
mengoordinir penutupan MOS kelihatan mondar-mandir di koridor. Beberapa bahkan
menyapa Jerome dengan kilat.
“Aku kayaknya tukeran
sama yang Kiarapayung ya, Jer. Ada anak yang asma. Di sana nggak ada OSIS yang
PMR.”
“Oke.” Jerome memberikan
jempol.
Kesibukan itu tampak
keren, bagi Tommy. Seolah-olah setiap anggota OSIS adalah orang penting. Namun
Tommy tak tertarik bergabung bersama OSIS. Tekanan yang diterima anggota OSIS
khawatir akan membuatnya menguak jati diri. Kalau stres, bisa-bisa Tommy
menangis seperti perempuan, lalu ketahuan deh Tommy bagian dari komunitas LGBT.
Tommy kembali membuntuti
dua seniornya seraya tak sengaja mendengarkan percakapan di depan.
“IBB tuh yang ada
banci-banci itu bukan, Jer?” tanya temannya Jerome.
Jerome tergelak kecil
sambil menyikut kawannya. “Iye.”
“Anjing, menjamur lagi
LGBT di sekolah kita.” Kawannya terkekeh. “Kita ketularan homo enggak nih nganterin seragam ke sana?”
“Kagak lah, Kunyuk!”
Jerome menggeplak kepala kawannya. “Lo aja yang ketularan. Gue kagak.”
“Anjing!”
Lalu kawannya menggeplak.
Dan mereka pun berantem dengan akrab. Persis dua ekor anak kucing yang
bertarung main-main melatih kemampuan pertahanan diri mereka. Candaan itu
berhenti ketika ketiganya tiba di depan pintu ruang BK. Seorang guru perempuan
berkerudung panjang hingga menutupi perut baru saja selesai menghitung beberapa
tumpuk seragam SMA dalam plastik.
“IBB, Bu?” tanya Jerome.
Guru itu mengangguk. “Ya,
ya, ya. Udah Ibu hitung, nih. Ada empat puluh. Baju olahraga juga udah
diselipin di dalamnya. Nah, bawa.”
Tommy, Jerome, dan
kawannya mengambil beberapa tumpuk seragam untuk kelas IBB ke tangan mereka.
Mereka menyusuri lagi koridor yang mulai sepi, karena tampaknya istirahat
pertama sedari tadi sudah selesai. Tidak ada pembicaraan soal LGBT antara
Jerome dan kawannya. Namun Tommy mulai tenggelam dalam renungannya sendiri.
Keputusannya memasang topeng straight
memang tepat. Menjadi LGBT di sini tampaknya akan berat, sebagus apa pun track record toleransi pada LGBT yang
dulu pernah diusung sekolah ini.
Misi utama Tommy harus
dilancarkan hingga tahun ketiga.
Ketika Tommy dan kedua
seniornya memasuki kelas IBB, murid-murid di dalamnya tampak sedang ribut berdiskusi.
Dua orang anggota OSIS berdiri di depan untuk mengawasi, sementara tiga anggota
OSIS lain berkeliling untuk membimbing. Jerome meletakkan seragam di meja guru,
diikuti temannya, kemudian Tommy mengikuti dari belakang.
Jerome menepuk bahu
Tommy. “Thanks, ya. Silakan kamu
gabung sama teman kamu.”
“Iya, Kak.”
Jerome dan kawannya pergi
meninggalkan kelas IBB. Tommy masih dapat melihat keduanya cekikikan saat
keluar. Sayup-sayup, kawan Jerome terdengar berkata, “Yang mana sih
banci-bancinya?”
Lalu Jerome menjawab,
“Ada, lah.”
Kemudian mereka tak
terdengar lagi suaranya.
Tommy duduk kembali ke
mejanya. Dia menemukan Arthur juga baru tiba ke kelas. Di tangannya ada
beberapa dokumen yang diselipkan ke dalam map berbeda-beda. Sejak ekskul renang
itu diciptakan (gara-gara kehadiran Arthur di sekolah), Arthur jadi sering
mengunjungi kesiswaan untuk menangani ekstrakurikuler ini.
“Kalian dari mana aja?”
tanya Keysha si Kepo sambil berbalik ke belakang.
“Ngurusin renang,” jawab
Arthur sambil sibuk memasukkan map ke dalam ranselnya.
“Ngurusin seragam,” jawab
Tommy, tak mau kalah penting.
“Kita barusan bagiin
kelompok tenda.”
“Tenda?” ulang Tommy.
“Besok kita outbond-nya di Tangkuban Perahu. Kelas kita aja. Kelas yang lain
lokasinya beda-beda.”
Evelyn juga menoleh. “Dan
satu tenda cuma bisa diisi empat orang. Semua orang udah nyari kelompok
tendanya. Kalian buruan cari kelompoknya, gih. Entar kayak cowok-cowok yang
lain, pada jijay gabung ama Karyo ama
Baharudin.”
Tommy mengerutkan
alisnya.
“Kayaknya mereka dapat
sisa deh, Eve,” ungkap Keysha agak berbisik. Namun karena suara Keysha cukup
lantang, bisikannya itu dapat didengar sampai radius tiga meja di sekitar. “Jadi
cowok-cowok di belakang itu pada enggak
mau sekelompok sama Karyo dan Baharudin. Pas tadi disuruh bikin kelompok,
mereka kompak bikin kelompok yang enggak
ada merekanya. Kalian sih enggak
ada di sini pas kejadian perkara. Jadi kayaknya kalian harus sekelompok ama
mereka.”
“Apa?!” Tommy membelalak
terkejut. Dia menoleh ke belakang dan menemukan tiga kumpulan murid cowok,
masing-masing terdiri dari empat orang, sedang duduk berdiskusi dengan asyik.
Di seberang ruangan, Karyo dan Baharudin tampak sedang duduk nelangsa mengamati
seisi kelas yang sedang sibuk diskusi kelompok.
Tidak, tidak, tidak, please ... JANGAAANNN
...! jerit Tommy dalam hati. Keringat dingin mengucur di pelipis Tommy
seketika. Rasa takutnya sekelompok dengan duo Karyo-Baharudin lebih parah dibandingkan semua homofobik yang ada.
Tommy enggak siap kelepasan sebagai banci. Dia benar-benar
percaya, kalau dia berada di lingkungan gay
kayak Karyo dan Baharudin, dia akan dengan mudah ketahuan gay juga.
“Kenapa muka kamu pucat,
Tommy?” tanya Keysha.
Tommy hanya menggeleng
sambil mengatur napasnya dengan tenang. Tommy menoleh sedikit ke belakang.
Karyo dan Baharudin tampaknya sudah memahami, bahwa di kelas yang isi cowoknya
hanya enam belas ini, tinggal Tommy dan Arthur lah yang belum punya kelompok.
Karyo dan Baharudin saling berpandangan, kemudian mereka bangkit dan
menghampiri meja Tommy.
“Sha, kita harus kumpul
kelompok, tuh,” bisik Evelyn sambil menyikut Keysha.
“Oh, ayo!” Keysha dan
Evelyn beranjak menuju mejanya Siska dan Lusi. Pada saat bersamaan, Karyo dan Baharudin
tiba, kemudian duduk di bangkunya Keysha dan Evelyn.
“Haaai!” sapa Karyo. “Kayaknya
kalian belum punya kelompok, ya?”
“Belum,” kata Arthur.
“UDAH!” sergah Tommy, pada waktu bersamaan.
Baik Arthur, Karyo, dan
Baharudin memandang Tommy dengan heran. Tommy memelotot sambil menyikut Arthur.
“Kita udah punya kelompok, kan?”
Arthur mengerutkan
alisnya. “I don’t think we have ....”
“Udah, kok.” Tommy
berbalik dan mulai mencari-cari ke sekeliling ruangan. “Kelompok kami yang di
... sana!” Tommy menunjuk sekumpulan cowok.
“Mereka udah berempat,
Cong!” sahut Baharudin.
“Maksud aku yang itu!” Tommy
menunjuk dua laki-laki berseragam SMA yang sedang berkeliling di antara
lorong-lorong meja.
Karyo mengernyitkan dahi.
“Itu kan kakak kelas kita anggota OSIS. Kamu setenda ama mereka?”
“Iya!” jawab Tommy agak
defensif.
Hening membuntuti
kata-kata Tommy. Arthur, Karyo, dan Baharudin tak begitu yakin apa yang
dimaksud oleh Tommy. Setelah jeda beberapa saat yang mulai terasa canggung, Arthur
pun berbicara lagi.
“We’re not a part of any group.”
“Yes yes yes, you two is,” balas Karyo, bersemangat karena bisa
berbicara bahasa Inggris. “I mathematic
the class. The class is sixteen boy person. Sixteen person dibagi group group,
later the boy is four group-group.”
“Exactly,” jawab Arthur, yang entah mengapa bisa memahami bahasa
Inggrisnya Karyo. “Kalau kalian belum dapat kelompok—“
“Belum!” sahut Karyo dan
Baharudin berbarengan, menyela kata-kata Arthur.
“—kita bisa sekelompok
bareng. How about it, Tom?” Arthur
menyikut Tommy.
Tommy menghela napas bete. “Kamu enggak mau lihat-lihat sekeliling dulu?”
Arthur melihat
sekeliling. “I did. Everyone is having
their own group, except us.”
“Yes yes yes,” sambut Karyo berbunga-bunga, “It is we that not have group.”
Tommy mengembuskan napas
panjang. Pasrah dan menyerah. Dia bete
sepanjang sisa hari itu. Namun bagaimana lagi, tak ada pilihan lain selain
membiarkan dua banci ini satu tenda bersamanya (dan bersama cowok paling
ganteng seangkatan). Ketika Tommy mau tak mau mengiakan pengelompokan itu,
Karyo dan Baharudin langsung bersemangat mendiskusikan tugas-tugas kelompok
yang sebelumnya diberikan ketika Tommy dan Arthur masih di luar kelas.
Tommy hanya bisa diam
sepanjang diskusi. Dia bete bukan
main. Apalagi Tommy percaya, Karyo dan Baharudin hanya fokus bicara dengan
Arthur, bukan bicara dengan Tommy juga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar