Kamis, 25 Maret 2021

Nude 09


ssalC eht citamehtaM I. 90

 

Tommy bersyukur Evelyn muncul dan menghentikan diskusi soal LGBT itu. Dia tak tahu lagi harus mengatakan apa soal LGBT di depan Arthur. Salah ngomong sedikit saja, nanti Arthur tahu bahwa Tommy seorang gay. Tommy berusaha keras agar itu tidak terjadi.

Lagi pula, pagi ini Arthur sedang kasmaran pada sosok Pak Anto. Guru bertubuh bulky itu sampai terbawa ke dalam mimpi. Tommy masturbasi sampai tiga kali sambil mengenakan celana dalam Pak Anto di kepalanya. Fantasinya begitu liar membayangkan celana dalam itu membungkus selangkangan Pak Anto sehari-hari.

Saking liarnya, celana dalam itu tidak dia lipat bersamaan dengan kemeja dan celana kargo. Tommy menyimpannya untuk diri sendiri. Toh, yang Pak Anto tahu, aku kan enggak pakai celana dalam, pikir Tommy.

Pak Anto enggak seganteng Arthur yang kini duduk di sebelahnya. Namun kedewasaan Pak Anto benar-benar memikat. Mungkin sebenarnya Tommy menyukai tipe-tipe daddy. Entahlah. Kalau antropologi diajarkan di kelas IBB, kemungkinan besar Tommy akan punya nilai bagus.

Pagi itu, seluruh murid baru lagi-lagi berdiri di lapangan untuk melaksanakan upacara pagi. Kali ini agendanya mengenalkan setiap guru yang akan mengajar di SMA 44. Setiap guru maju dan mengenalkan diri, menyebut nama dan mata pelajaran yang diajarkan. Tommy tak bisa fokus pada semua guru yang ada di sana, kecuali Pak Anto. Sosok maskulin itu berdiri di belakang bersama guru laki-laki muda lainnya, mengobrolkan sesuatu.

Ketika Pak Anto maju mengenalkan diri, entah mengapa Tommy senyum-senyum sendiri.

Pada istirahat pertama, Tommy membawa bungkusan plastik ke ruang guru, berencana memberikan kemeja itu kembali ke empunya. Pak Anto sedang duduk di mejanya yang penuh kertas dan buku, sibuk dengan ponselnya. Setelah menarik napas panjang, Tommy berjalan menghampiri Pak Anto dengan hati-hati. Sebisa mungkin tidak kelihatan seperti seorang remaja yang sedang kasmaran.

“Misi, Pak,” sapa Tommy hati-hati.

Pak Anto menengadah. “Eh, Tommy, ya?” Beliau meletakkan ponsel di atas meja. “Gimana kemarin? Aman pulangnya?”

Tommy mengangguk sambil tersenyum lebar. “Aman, Pak. Ini baju yang kemarin—“

“Ah, nanti juga gapapa,” katanya.

Padahal, Tommy mengamati, kemeja yang Pak Anto kenakan hari ini sama persis dengan kemeja hari kemarin. Sudah seharusnya Tommy mengembalikan kemeja itu. “Enggak apa-apa, Pak. Kan saya cuma butuh buat pulang kemaren aja. Seragam SMP saya ada banyak di rumah.”

“Iya maksudnya, nyantai aja. Enggak dikembalikan hari ini juga gapapa,” balas Pak Anto dengan senyum lebar di atas bekas cukuran jambang yang maskulin. “Eh, omong-omong, kamu udah coba hubungi bagian BP? Minta rekomendasiin buat abodemen. Siapa tahu ada yang rumahnya daerah sana juga, kamu bisa request sekolah untuk antar jemput kalian setiap hari, kaliannya tinggal bayar bulanan aja. Menurut saya Setrasari kejauhan kalau sekolah kamu di sini. Biasanya anak-anak yang rumahnya di Soreang dan keukeuh sekolah di sini pada pake abodemen.”

“Oh, soal itu—“

“Pagi, Pak!” Seseorang memotong kata-kata Tommy. Sosok itu dengan akrab dan gembira menyalami Pak Anto, tampak sangat supel dan menyenangkan. “Kabar baik?”

“Kabar baik, lah. Aman aja semuanya?”

“Aman dong, Pak!” Dia mengacungkan jempol.

Sosok itu adalah Jerome. Ketua OSIS terkini SMAN 44. Ketika Jerome berdiri di samping Tommy, aromanya menguar manis dan membuat candu. Tommy merasa hangat oleh kehadiran Jerome. Apalagi senyum lebar dan wajah ramah itu dipamerkan dengan cuma-cuma, membuat siapa pun merasa betah berdiri di dekatnya. Dari jarak segini, Tommy mengamati wajah Jerome yang nyaris sempurna. Seolah-olah jerawat tak sudi mampir di wajah imut itu. Tanpa melakukan apa pun yang intim, Jerome berhasil membuat Tommy deg-degan.

“Tadi panitia udah breakdown kepembinaan camping, Pak,” mulai Jerome to the point, mengabaikan fakta bahwa ada seorang murid baru sedang berdiri di depan meja Pak Anto. “Bapak kayaknya ikut kelas IBB ke Tangkuban Perahu. Karena cuma sekelas, jadinya cuma Bapak aja nih yang jaga di sana. Boleh enggak Pak?”

Enggak ada guru lain?”

“Pak Santo sama Pak Dani ikut ke Tahura. Bu Desi sama Pak Anwar Kiarapayung. Kalau enggak salah Pak Nono di Parongpong. Tapi rata-rata bisa sampe dua atau tiga kelas. Nah, IBB tuh ke Tangkuban Perahu, tapi cuma sekelas. Yah, pasti ditemenin sama OSIS sih, Pak.”

“Pak Zaenudin?”

“Ngng ....” Jerome memutar otak. “Kalau enggak salah Kiarapayung juga, deh. Di sana kan besar ya Pak. Butuh lebih banyak pembina gurunya.”

“Oh ya udah kalau enggak ada lagi. Siapin aja.”

“Siap, Komandan!” Jerome memberi hormat. Bercanda, tapi terlihat sangat supel.

Tommy tak begitu memahami poin pembicaraan Jerome, yang memang sebenarnya bukan urusan Tommy. Yang dia tahu, besok seluruh murid baru akan melakukan outbond selama dua malam di tempat-tempat tertentu. Pada hari ketiga, semuanya akan berkumpul di Gasibu untuk penutupan MOS. Tommy sudah mendapatkan informasi ini sejak mendaftar ulang. Beberapa peralatan yang perlu dibawa sudah diinformasikan secara mencicil sejak hari pertama. Keysha bahkan berkali-kali menoleh ke belakang untuk bertanya, “Kira-kira, ke mana ya kita akan outbond?”

Sekarang Tommy tahu jawabannya. Namun tampaknya seluruh kelas juga sudah tahu.

Jerome berniat pamit, tetapi fokusnya mendadak tertuju pada murid baru yang sedari tadi tak disadarinya sedang berdiri di depan meja Pak Anto. “Hey! Kamu dari kelas mana?”

“IBB, Kak.” Tommy menelan ludah. Bahkan, bertanya sesederhana itu, Jerome tampak ganteng dan mengintimidasi.

“Ah, IBB. Kayaknya kalian belum dapat seragam, deh. Bantu saya bawa seragam dari ruang BK ke kelas kamu, mau?”

Tommy mengangguk pasrah. Masak iya dia menolak permintaan itu. Di depannya ini ada Ketua OSIS dan seorang guru, Tommy merasa harus tampil sebagai murid yang berbakti.

“Jangan lupa pertimbangkan naik abodemen, ya!” sahut Pak Anto sebelum keduanya pergi. “Atau ngekos. Di sekitar sini banyak kosan, kok.”

Tommy mengangguk. “Baik, Pak.”

Tommy membuntuti Jerome keluar dari ruang guru. Seorang anggota OSIS lain sedang menunggu di depan pintu sambil memainkan ponsel. Dia cowok, tampaknya seangkatan dengan Jerome, dan jelas ogah-ogahan masuk ruang guru.

“Udah, Bro?” sambutnya.

“Udah. Eh, lu bantuin gue, yuk! Bawain seragam dari BK ke kelas IBB.” Jerome menepuk lengan kawannya itu. “Anak-anak pada sibuk bimbing semua kelas buat persiapan outbond besok.”

“Siap, Bos!” Temannya tergelak sambil menyikut Jerome.

Tommy berjalan membuntuti dua kakak kelas bertubuh besar itu. Mereka menyusuri koridor terbuka yang di sampingnya ada taman cantik penuh bunga, dan samping lainnya berjejer ruang-ruang administrasi sekolah, seperti ruang guru, tata usaha, kesiswaan, dan lain sebagainya. Ruang BK berada di jejeran paling ujung di koridor ini, karena lokasinya lebih dekat ke gerbang sekolah. Karena tahun ajaran belum dimulai, koridor ini agak sepi. Hanya beberapa anggota OSIS yang sedang sibuk mengoordinir penutupan MOS kelihatan mondar-mandir di koridor. Beberapa bahkan menyapa Jerome dengan kilat.

“Aku kayaknya tukeran sama yang Kiarapayung ya, Jer. Ada anak yang asma. Di sana nggak ada OSIS yang PMR.”

“Oke.” Jerome memberikan jempol.

Kesibukan itu tampak keren, bagi Tommy. Seolah-olah setiap anggota OSIS adalah orang penting. Namun Tommy tak tertarik bergabung bersama OSIS. Tekanan yang diterima anggota OSIS khawatir akan membuatnya menguak jati diri. Kalau stres, bisa-bisa Tommy menangis seperti perempuan, lalu ketahuan deh Tommy bagian dari komunitas LGBT.

Tommy kembali membuntuti dua seniornya seraya tak sengaja mendengarkan percakapan di depan.

“IBB tuh yang ada banci-banci itu bukan, Jer?” tanya temannya Jerome.

Jerome tergelak kecil sambil menyikut kawannya. “Iye.”

“Anjing, menjamur lagi LGBT di sekolah kita.” Kawannya terkekeh. “Kita ketularan homo enggak nih nganterin seragam ke sana?”

“Kagak lah, Kunyuk!” Jerome menggeplak kepala kawannya. “Lo aja yang ketularan. Gue kagak.”

“Anjing!”

Lalu kawannya menggeplak. Dan mereka pun berantem dengan akrab. Persis dua ekor anak kucing yang bertarung main-main melatih kemampuan pertahanan diri mereka. Candaan itu berhenti ketika ketiganya tiba di depan pintu ruang BK. Seorang guru perempuan berkerudung panjang hingga menutupi perut baru saja selesai menghitung beberapa tumpuk seragam SMA dalam plastik.

“IBB, Bu?” tanya Jerome.

Guru itu mengangguk. “Ya, ya, ya. Udah Ibu hitung, nih. Ada empat puluh. Baju olahraga juga udah diselipin di dalamnya. Nah, bawa.”

Tommy, Jerome, dan kawannya mengambil beberapa tumpuk seragam untuk kelas IBB ke tangan mereka. Mereka menyusuri lagi koridor yang mulai sepi, karena tampaknya istirahat pertama sedari tadi sudah selesai. Tidak ada pembicaraan soal LGBT antara Jerome dan kawannya. Namun Tommy mulai tenggelam dalam renungannya sendiri. Keputusannya memasang topeng straight memang tepat. Menjadi LGBT di sini tampaknya akan berat, sebagus apa pun track record toleransi pada LGBT yang dulu pernah diusung sekolah ini.

Misi utama Tommy harus dilancarkan hingga tahun ketiga.

Ketika Tommy dan kedua seniornya memasuki kelas IBB, murid-murid di dalamnya tampak sedang ribut berdiskusi. Dua orang anggota OSIS berdiri di depan untuk mengawasi, sementara tiga anggota OSIS lain berkeliling untuk membimbing. Jerome meletakkan seragam di meja guru, diikuti temannya, kemudian Tommy mengikuti dari belakang.

Jerome menepuk bahu Tommy. “Thanks, ya. Silakan kamu gabung sama teman kamu.”

“Iya, Kak.”

Jerome dan kawannya pergi meninggalkan kelas IBB. Tommy masih dapat melihat keduanya cekikikan saat keluar. Sayup-sayup, kawan Jerome terdengar berkata, “Yang mana sih banci-bancinya?”

Lalu Jerome menjawab, “Ada, lah.”

Kemudian mereka tak terdengar lagi suaranya.

Tommy duduk kembali ke mejanya. Dia menemukan Arthur juga baru tiba ke kelas. Di tangannya ada beberapa dokumen yang diselipkan ke dalam map berbeda-beda. Sejak ekskul renang itu diciptakan (gara-gara kehadiran Arthur di sekolah), Arthur jadi sering mengunjungi kesiswaan untuk menangani ekstrakurikuler ini.

“Kalian dari mana aja?” tanya Keysha si Kepo sambil berbalik ke belakang.

“Ngurusin renang,” jawab Arthur sambil sibuk memasukkan map ke dalam ranselnya.

“Ngurusin seragam,” jawab Tommy, tak mau kalah penting.

“Kita barusan bagiin kelompok tenda.”

“Tenda?” ulang Tommy.

“Besok kita outbond-nya di Tangkuban Perahu. Kelas kita aja. Kelas yang lain lokasinya beda-beda.”

Evelyn juga menoleh. “Dan satu tenda cuma bisa diisi empat orang. Semua orang udah nyari kelompok tendanya. Kalian buruan cari kelompoknya, gih. Entar kayak cowok-cowok yang lain, pada jijay gabung ama Karyo ama Baharudin.”

Tommy mengerutkan alisnya.

“Kayaknya mereka dapat sisa deh, Eve,” ungkap Keysha agak berbisik. Namun karena suara Keysha cukup lantang, bisikannya itu dapat didengar sampai radius tiga meja di sekitar. “Jadi cowok-cowok di belakang itu pada enggak mau sekelompok sama Karyo dan Baharudin. Pas tadi disuruh bikin kelompok, mereka kompak bikin kelompok yang enggak ada merekanya. Kalian sih enggak ada di sini pas kejadian perkara. Jadi kayaknya kalian harus sekelompok ama mereka.”

“Apa?!” Tommy membelalak terkejut. Dia menoleh ke belakang dan menemukan tiga kumpulan murid cowok, masing-masing terdiri dari empat orang, sedang duduk berdiskusi dengan asyik. Di seberang ruangan, Karyo dan Baharudin tampak sedang duduk nelangsa mengamati seisi kelas yang sedang sibuk diskusi kelompok.

Tidak, tidak, tidak, please ... JANGAAANNN ...! jerit Tommy dalam hati. Keringat dingin mengucur di pelipis Tommy seketika. Rasa takutnya sekelompok dengan duo Karyo-Baharudin lebih parah dibandingkan semua homofobik yang ada. Tommy enggak siap kelepasan sebagai banci. Dia benar-benar percaya, kalau dia berada di lingkungan gay kayak Karyo dan Baharudin, dia akan dengan mudah ketahuan gay juga.

“Kenapa muka kamu pucat, Tommy?” tanya Keysha.

Tommy hanya menggeleng sambil mengatur napasnya dengan tenang. Tommy menoleh sedikit ke belakang. Karyo dan Baharudin tampaknya sudah memahami, bahwa di kelas yang isi cowoknya hanya enam belas ini, tinggal Tommy dan Arthur lah yang belum punya kelompok. Karyo dan Baharudin saling berpandangan, kemudian mereka bangkit dan menghampiri meja Tommy.

“Sha, kita harus kumpul kelompok, tuh,” bisik Evelyn sambil menyikut Keysha.

“Oh, ayo!” Keysha dan Evelyn beranjak menuju mejanya Siska dan Lusi. Pada saat bersamaan, Karyo dan Baharudin tiba, kemudian duduk di bangkunya Keysha dan Evelyn.

“Haaai!” sapa Karyo. “Kayaknya kalian belum punya kelompok, ya?”

“Belum,” kata Arthur.

“UDAH!” sergah Tommy, pada waktu bersamaan.

Baik Arthur, Karyo, dan Baharudin memandang Tommy dengan heran. Tommy memelotot sambil menyikut Arthur. “Kita udah punya kelompok, kan?”

Arthur mengerutkan alisnya. “I don’t think we have ....

“Udah, kok.” Tommy berbalik dan mulai mencari-cari ke sekeliling ruangan. “Kelompok kami yang di ... sana!” Tommy menunjuk sekumpulan cowok.

“Mereka udah berempat, Cong!” sahut Baharudin.

“Maksud aku yang itu!” Tommy menunjuk dua laki-laki berseragam SMA yang sedang berkeliling di antara lorong-lorong meja.

Karyo mengernyitkan dahi. “Itu kan kakak kelas kita anggota OSIS. Kamu setenda ama mereka?”

“Iya!” jawab Tommy agak defensif.

Hening membuntuti kata-kata Tommy. Arthur, Karyo, dan Baharudin tak begitu yakin apa yang dimaksud oleh Tommy. Setelah jeda beberapa saat yang mulai terasa canggung, Arthur pun berbicara lagi.

We’re not a part of any group.

Yes yes yes, you two is,” balas Karyo, bersemangat karena bisa berbicara bahasa Inggris. “I mathematic the class. The class is sixteen boy person. Sixteen person dibagi group group, later the boy is four group-group.

Exactly,” jawab Arthur, yang entah mengapa bisa memahami bahasa Inggrisnya Karyo. “Kalau kalian belum dapat kelompok—“

“Belum!” sahut Karyo dan Baharudin berbarengan, menyela kata-kata Arthur.

“—kita bisa sekelompok bareng. How about it, Tom?” Arthur menyikut Tommy.

Tommy menghela napas bete. “Kamu enggak mau lihat-lihat sekeliling dulu?”

Arthur melihat sekeliling. “I did. Everyone is having their own group, except us.

Yes yes yes,” sambut Karyo berbunga-bunga, “It is we that not have group.

Tommy mengembuskan napas panjang. Pasrah dan menyerah. Dia bete sepanjang sisa hari itu. Namun bagaimana lagi, tak ada pilihan lain selain membiarkan dua banci ini satu tenda bersamanya (dan bersama cowok paling ganteng seangkatan). Ketika Tommy mau tak mau mengiakan pengelompokan itu, Karyo dan Baharudin langsung bersemangat mendiskusikan tugas-tugas kelompok yang sebelumnya diberikan ketika Tommy dan Arthur masih di luar kelas.

Tommy hanya bisa diam sepanjang diskusi. Dia bete bukan main. Apalagi Tommy percaya, Karyo dan Baharudin hanya fokus bicara dengan Arthur, bukan bicara dengan Tommy juga.

Sialan, batin Tommy.


To be continued ....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Nude 33

  ssendrawkwA emitefiL .33     Pada suatu pagi lima tahun lalu, Miza bangun lebih pagi dari biasanya meski semalaman tak bisa tidur. D...