nawanuG navI .80
Selalu ada banyak orang
menginap di rumah Arthur setiap malam. Ketika Arthur bangun pagi-pagi sekali
untuk mandi, dia bisa menemukan dua atau tiga orang terlelap di sofa, atau
melintang di atas karpet menghalangi jalannya. Sesekali mereka baru muncul pukul
enam pagi lalu menjatuhkan diri ke atas bean
bag untuk kemudian tepar sepanjang siang. Yang perlu Arthur lakukan
hanyalah mengabaikannya, lanjut ke kegiatan pagi Arthur sebagai anak sekolah.
Pukul setengah enam pagi
Arthur sudah turun dari tempat tidur menuju kamar mandi. Seorang laki-laki
berambut pirang panjang tidur berguling-guling sampai melintang di depan kamar
mandi. Arthur menggelengkan kepalanya lalu menarik laki-laki itu ke tengah
ruang, ke lokasi yang berkarpet hangat. Arthur mengenal laki-laki itu. Namanya
Tante Bella. Bulu mata palsunya belum dilepaskan.
Arthur lanjut mandi dan
bersiap-siap ke sekolah. Dia masih mengenakan seragam SMP sekolah swastanya di
Jakarta. Kabarnya hari ini seragam SMA akan dibagikan bersamaan dengan diskusi terbuka
tentang camping penutupan MOS. Ketika
Arthur menuruni tangga marbel yang mahal itu, dia menemukan ibunya sudah sibuk
membereskan alat makan di dapur.
“Mama pulang jam berapa?”
sapa Arthur, memeluk sang ibu dari belakang sambil mengecup tengkuknya.
“Biasalah, Nak. Jam empat
pagi baru selesai acaranya. Si Cici Mesin Cuci ulang tahun, dia nraktir
semuanya wine. Ya udah Mama tungguin
deh mereka sampe kelar.”
“Mama minum juga?”
Ibunya menggeleng.
“Enggak mungkin, lah. Kan, Mama yang nyetir. Duduk sana! Mama siapin roti
panggang ya buat kamu.”
“No need to, Mama. And also, I could take an online ride. Mama kan
belum tidur.”
“Ck!” sang ibu menepuk
bahu Arthur. “Udah, enggak usah online-online-an.
Mama yang antar kamu ke sekolah. Kamu duduk sana aja, tunggu Mama panggang roti
dulu.”
Dengan patuh Arthur duduk
di meja makan dan menunggu. Dia mengeluarkan ponselnya untuk menggulir linimasa
Instagram. Meski ramai orang, rumah besar itu terasa sepi pagi hari. Mungkin
karena semua orang tertidur lelap setelah malam panjang yang melelahkan. Arthur
bersyukur bisa tinggal di rumah ini, karena tempat ini jauh lebih besar
daripada rumahnya di Jakarta seminggu lalu.
Dulu, setiap orang yang
menginap di rumahnya tidur bertumpuk di ruang tengah, berhimpitan seperti ikan
sarden di dalam kaleng. Sekarang, mereka bisa memilih spot favorit di seluruh rumah. Ada empat kamar tidur dan tiga kamar mandi, ditemani tiga ruang
tengah besar, teras belakang dengan dipan empuk menghadap matahari terbit,
bahkan hammock tiga tingkat di antara
dua pohon kelapa besar. Ruang tamunya pun sangat besar sampai-sampai harus ada
dua set sofa mahal diatur di dalamnya, entah untuk apa. Kehidupan Arthur sudah
sangat lebih baik di Bandung. Tampaknya hingga bertahun-tahun ke depan, kalau
Arthur bersedia kerasan tinggal di sini, dia akan hidup dengan nyaman.
Ibu yang kini
memasakkannya roti panggang bukanlah ibu kandung Arthur. Namun seumur hidup,
Arthur tak pernah peduli pada fakta tersebut.
“Gimana MOS kamu?” tanya
sang ibu.
“Good,” jawab Arthur cepat. “I
signed up for three extracurriculars.”
Ibu mengangkat kedua
alisnya. “Wooow ... apa aja, Sayang?”
“Basket, renang, dan
voli.”
“Nggak ada loncat indah
sama senam?”
Arthur menggeleng.
“Ekskul renang aja baru akan dibikin kok, Ma. Begitu mereka tahu I am one of their student, mendadak
mereka bikin ekskul renang. Peminatnya lumayan.”
“Apa kamu berencana ikut
klub lokal?”
Arthur mengangkat bahu. “Let’s see.”
Ibu menghampiri Arthur di
meja makan sambil menyodorkan sepiring roti panggang yang sudah diolesi selai
bluberi. Ini adalah set sarapan favorit Arthur. “Kalau kamu mau ikutan klub
senam lokal, atau loncat indah, gapapa. Nanti Mama bantu cari juga.”
Arthur malah menggeleng.
“Or ...,” katanya, sambil mengunyah
satu gigit roti panggang, “... I could
take a break from all of that and enjoy my high school season.”
“Kamu yakin?” sang ibu
bertanya. “Nanti beasiswa masuk kampus favorit bisa lewat jalur prestasi, lho.
Kan, lumayan.”
“Olahraga bukan
satu-satunya jalan dapatin beasiswa, Ma.”
Sang ibu menghela napas.
“Ya udah, terserah kamu aja. Nanti kalau udah beres, kasih tahu Mama, ya. Mama
mau beresin dulu wig yang dilemparin anak-anak sembarangan pas masuk tadi.
Kalau udah pada mabuk begitu, lupa deh buat lepas makeup sama cuci kaki.”
Ibu Arthur adalah seorang
laki-laki yang tangguh. Beliau menemukan Arthur di tempat sampah, ditinggalkan
kedua orangtuanya saat masih berumur dua bulan. Beliau besarkan Arthur di
kontrakannya yang kecil dan sempit, berpindah-pindah ke sana kemari karena
warga lokal selalu keberatan dihuni oleh waria. Padahal, ibunya Arthur bukan
waria. Beliau seorang drag performer,
pelaku pentas kabaret di mana seorang laki-laki berpakaian layaknya perempuan
untuk menghibur sebuah kelab. Tentu saja, beliau gay dan berpikir dirinya adalah perempuan yang terjebak di tubuh
laki-laki. Namun sehari-hari penampilannya seperti laki-laki. Hanya saat naik
panggung saja ibunya Arthur mengenakan wig dan kostum perempuan.
Ibu Arthur menamai
dirinya Nyai Khadija, dari Haus of Khadija, di mana beliau menjadi ibu dari
beberapa drag queen Indonesia. Nyai
Khadija membawa Arthur nyaris ke mana-mana sehingga sejak kecil Arthur sudah
dipapari toleransi tinggi pada perbedaan, pun rangsangan untuk menjadi kreatif
dan fleksibel pada situasi. Sayangnya, Nyai tak pernah mengizinkan Arthur untuk
membeberkan di rumah siapa pemuda tampan itu tinggal, katanya demi keamanan
Arthur di lingkungan sosialnya.
Arthur diantar pagi itu
oleh Nyai mengendarai sedan merah yang kaca jendelanya berwarna gelap. Cowok
itu turun dari mobil dan bergegas masuk melalui gerbang yang ramai. Nyaris
semua siswa cewek yang ada di sana melirik bahkan melambaikan tangan ke
arahnya. Arthur hanya membalas dengan senyuman seraya melaju terus menuju
kelasnya.
“Aku ikut ekskul renang
lho, Thur,” kata seorang cewek berseragam SMP, menghampiri dan menjejeri
langkah Arthur. Cewek itu bertubuh kurus dan pendek. Otot-otot lengannya tampak
seperti tak pernah dilatih angkat beban. Hobinya merapikan poni di kening
membuat Arthur berkesimpulan cewek ini lebih senang berdandan daripada
berenang.
You’re not likely to
survive the first round, batin Arthur.
“Ah, okay. Sampai jumpa di ekskul nanti, ya!” jawab Arthur ramah.
“Kapan sih ekskulnya?”
Arthur mengangkat bahu.
“Enggak tahu. Mungkin sama kayak ekskul lain?” Arthur menutup percakapan itu
dengan senyum sempurna. Dia lalu berjalan agak cepat untuk meninggalkan cewek
entah siapa itu. “Duluan, ya!” Kalau tidak begitu, Arthur sudah tahu si cewek
akan terus mencari topik pembicaraan.
Arthur agak-agak jalan
cepat menuju kelas IBB, supaya segera terhindar dari kejaran cewek-cewek lain. Hidup
ibunya yang keras membuatnya tak tega untuk bersikap dingin pada orang-orang
yang ingin menyapa, padahal Arthur ingin sekali menghindar dari tatapan-tatapan
penuh fantasi itu. Dia tahu persis rasanya dicemooh warga se-RT, diusir keluar
dari kontrakannya bersama Nyai Khadija, berjalan kaki ke daerah lain sambil
membawa gembolan wig dan gaun pentas mencari kontrakan baru. Karena dicemooh
rasanya tidak enak, Arthur tak mau mencemooh orang lain.
Ketika masuk ke kelas
IBB, seperti biasa, teman sebangkunya Tommy sudah ada di sana. Arthur ingin
sekali bertanya, pukul berapa Tommy berangkat ke sekolah. Namun rasanya
pertanyaan itu tidak penting. Apalagi Tommy lebih sering diam dalam pikirannya sendiri, seolah-olah bahaya untuk
mengganggu Tommy dengan pertanyaan apa pun.
“Good morning!” sapa Arthur.
Tommy seperti terkejut.
Cowok itu buru-buru menyembunyikan sesuatu di kolong meja, semacam bungkusan
plastik berisi pakaian, yang sebenarnya tampak normal-normal saja, tetapi
tingkah Tommy seolah-olah bungkusan plastik itu isinya narkoba. “Ini mau
kukembalikan ke temen!” balas Tommy menyapa buru-buru. “Bukan ke guru atau
apa.”
Arthur sebenarnya bingung
melihat reaksi Tommy, tetapi dia tak berniat untuk kepo. “Okay,” jawabnya, lalu menyampirkan ransel ke punggung kursi.
“Good morning, Arthur!” sapa Keysha ceria. Rambutnya dikuncir dua hari
ini. “Kita lagi bahas LGBT barusan. Well,
sebenarnya bahas soal beasiswa ke Inggris, sih. Tapi tiba-tiba nyambung ke
LGBT. Kamu ingat kasusnya Reynhard yang merkosa ratusan orang itu? Awal-awal
tahun ini lah beritanya mencuat.”
Tidak mungkin Arthur
tidak tahu. Haus of Khadija diisi teman-teman dari komunitas LGBT. Dan meski
Arthur seorang heteroseksual, dia memahami cukup banyak perjuangan Nyai dan semua
anak didiknya melepaskan diri dari stigma itu. Tanpa Nyai Khadija menjelaskan
kepadanya soal orientasi seksual, Arthur sudah paham sendiri, apa yang dilakukan
Reynhard Sinaga tidak ada hubungannya dengan homoseksualitas. Predator ya
predator saja, apa pun orientasi seksualnya.
“Yes,” jawab Arthur sambil mengangguk. “I remember that.”
“Menurut kamu, berkaca
pada kejadian itu, apa LGBT itu salah?” tanya Keysha.
“Ha-harusnya salah, sih,”
sela Tommy buru-buru. “Ya nggak, Bro?”
“Ih, aku mau nanya
pendapatnya Arthur. Kan, kalau kamu sudah aku tanya tadi!” Keysha mencubit
lengan Tommy kecil.
Apa LGBT itu salah?
Ini pertanyaan menjebak
bagi Arthur. Cowok itu jelas tahu jawabannya apa, tetapi dia paham jawabannya
tidak akan memuaskan banyak pihak di negara ini. Jawaban yang dia pegang bisa
membahayakan nyawanya, bahkan reputasinya. Nyai Khadija melatih Arthur cukup
keras menghadapi pertanyaan semacam ini. Ibu angkatnya itu benar-benar tak
ingin Arthur merasakan kesulitan yang beliau hadapi sebagai seorang gay.
“What Sinaga did was wrong,” kata Arthur.
“Tuh, kan, salah!” kata
Tommy, agak semangat dengan opininya.
Padahal, Arthur merujuk
pada perbuatan Reynhard, bukan pada orientasi seksualnya. Namun Arthur tak
punya cukup keberanian untuk meluruskan pernyataan itu. Jadi, dia hanya
mengamati Keysha dan Tommy berdiskusi lebih lanjut tentang LGBT.
“Ya tapi maksud aku LGBT-nya,”
kata Keysha. “Cita-citaku kan jadi fashion
designer. Aku tuh bakalan ketemu banyak gay,
which is so amazing. Tapi kadang aku
bingung gimana ngejelasin ke papa mamaku kalau gay itu gapapa. Cool,
malah.”
“Ya tapi kan di Indonesia
enggak bisa gitu. Ivan Gunawan atau Hengki
Kawilarang bukan LGBT, kok,” balas Tommy. “Si Ivan Gunawan itu kan menikah sama
perempuan. Kamu bisa cerita soal itu.”
Arthur menahan tawa.
“Iya tapi poinku adalah,”
sela Keysha lagi, “gimana aku ngejelasin dunia fashion ke papa mamaku, tanpa nyinggung soal LGBT-nya?”
“You can tell your parents about the designer’s work, rather than their
sexual life,” kata Arthur akhirnya.
“Bisa, tuh!” sahut Tommy.
“Karena kalau bahas gay, nanti
jadinya masuk neraka.”
Nyai is giving POSE vibe. Definitely House of Abundance vibe kalau baik gini, bukan kek House of Wintour wkwk
BalasHapus