Kamis, 25 Maret 2021

Nude 08


nawanuG navI .80

 

Selalu ada banyak orang menginap di rumah Arthur setiap malam. Ketika Arthur bangun pagi-pagi sekali untuk mandi, dia bisa menemukan dua atau tiga orang terlelap di sofa, atau melintang di atas karpet menghalangi jalannya. Sesekali mereka baru muncul pukul enam pagi lalu menjatuhkan diri ke atas bean bag untuk kemudian tepar sepanjang siang. Yang perlu Arthur lakukan hanyalah mengabaikannya, lanjut ke kegiatan pagi Arthur sebagai anak sekolah.

Pukul setengah enam pagi Arthur sudah turun dari tempat tidur menuju kamar mandi. Seorang laki-laki berambut pirang panjang tidur berguling-guling sampai melintang di depan kamar mandi. Arthur menggelengkan kepalanya lalu menarik laki-laki itu ke tengah ruang, ke lokasi yang berkarpet hangat. Arthur mengenal laki-laki itu. Namanya Tante Bella. Bulu mata palsunya belum dilepaskan.

Arthur lanjut mandi dan bersiap-siap ke sekolah. Dia masih mengenakan seragam SMP sekolah swastanya di Jakarta. Kabarnya hari ini seragam SMA akan dibagikan bersamaan dengan diskusi terbuka tentang camping penutupan MOS. Ketika Arthur menuruni tangga marbel yang mahal itu, dia menemukan ibunya sudah sibuk membereskan alat makan di dapur.

“Mama pulang jam berapa?” sapa Arthur, memeluk sang ibu dari belakang sambil mengecup tengkuknya.

“Biasalah, Nak. Jam empat pagi baru selesai acaranya. Si Cici Mesin Cuci ulang tahun, dia nraktir semuanya wine. Ya udah Mama tungguin deh mereka sampe kelar.”

“Mama minum juga?”

Ibunya menggeleng. “Enggak mungkin, lah. Kan, Mama yang nyetir. Duduk sana! Mama siapin roti panggang ya buat kamu.”

No need to, Mama. And also, I could take an online ride. Mama kan belum tidur.”

“Ck!” sang ibu menepuk bahu Arthur. “Udah, enggak usah online-online-an. Mama yang antar kamu ke sekolah. Kamu duduk sana aja, tunggu Mama panggang roti dulu.”

Dengan patuh Arthur duduk di meja makan dan menunggu. Dia mengeluarkan ponselnya untuk menggulir linimasa Instagram. Meski ramai orang, rumah besar itu terasa sepi pagi hari. Mungkin karena semua orang tertidur lelap setelah malam panjang yang melelahkan. Arthur bersyukur bisa tinggal di rumah ini, karena tempat ini jauh lebih besar daripada rumahnya di Jakarta seminggu lalu.

Dulu, setiap orang yang menginap di rumahnya tidur bertumpuk di ruang tengah, berhimpitan seperti ikan sarden di dalam kaleng. Sekarang, mereka bisa memilih spot favorit di seluruh rumah. Ada empat kamar tidur dan tiga kamar mandi, ditemani tiga ruang tengah besar, teras belakang dengan dipan empuk menghadap matahari terbit, bahkan hammock tiga tingkat di antara dua pohon kelapa besar. Ruang tamunya pun sangat besar sampai-sampai harus ada dua set sofa mahal diatur di dalamnya, entah untuk apa. Kehidupan Arthur sudah sangat lebih baik di Bandung. Tampaknya hingga bertahun-tahun ke depan, kalau Arthur bersedia kerasan tinggal di sini, dia akan hidup dengan nyaman.

Ibu yang kini memasakkannya roti panggang bukanlah ibu kandung Arthur. Namun seumur hidup, Arthur tak pernah peduli pada fakta tersebut.

“Gimana MOS kamu?” tanya sang ibu.

Good,” jawab Arthur cepat. “I signed up for three extracurriculars.

Ibu mengangkat kedua alisnya. “Wooow ... apa aja, Sayang?”

“Basket, renang, dan voli.”

“Nggak ada loncat indah sama senam?”

Arthur menggeleng. “Ekskul renang aja baru akan dibikin kok, Ma. Begitu mereka tahu I am one of their student, mendadak mereka bikin ekskul renang. Peminatnya lumayan.”

“Apa kamu berencana ikut klub lokal?”

Arthur mengangkat bahu. “Let’s see.

Ibu menghampiri Arthur di meja makan sambil menyodorkan sepiring roti panggang yang sudah diolesi selai bluberi. Ini adalah set sarapan favorit Arthur. “Kalau kamu mau ikutan klub senam lokal, atau loncat indah, gapapa. Nanti Mama bantu cari juga.”

Arthur malah menggeleng. “Or ...,” katanya, sambil mengunyah satu gigit roti panggang, “... I could take a break from all of that and enjoy my high school season.

“Kamu yakin?” sang ibu bertanya. “Nanti beasiswa masuk kampus favorit bisa lewat jalur prestasi, lho. Kan, lumayan.”

“Olahraga bukan satu-satunya jalan dapatin beasiswa, Ma.”

Sang ibu menghela napas. “Ya udah, terserah kamu aja. Nanti kalau udah beres, kasih tahu Mama, ya. Mama mau beresin dulu wig yang dilemparin anak-anak sembarangan pas masuk tadi. Kalau udah pada mabuk begitu, lupa deh buat lepas makeup sama cuci kaki.”

Ibu Arthur adalah seorang laki-laki yang tangguh. Beliau menemukan Arthur di tempat sampah, ditinggalkan kedua orangtuanya saat masih berumur dua bulan. Beliau besarkan Arthur di kontrakannya yang kecil dan sempit, berpindah-pindah ke sana kemari karena warga lokal selalu keberatan dihuni oleh waria. Padahal, ibunya Arthur bukan waria. Beliau seorang drag performer, pelaku pentas kabaret di mana seorang laki-laki berpakaian layaknya perempuan untuk menghibur sebuah kelab. Tentu saja, beliau gay dan berpikir dirinya adalah perempuan yang terjebak di tubuh laki-laki. Namun sehari-hari penampilannya seperti laki-laki. Hanya saat naik panggung saja ibunya Arthur mengenakan wig dan kostum perempuan.

Ibu Arthur menamai dirinya Nyai Khadija, dari Haus of Khadija, di mana beliau menjadi ibu dari beberapa drag queen Indonesia. Nyai Khadija membawa Arthur nyaris ke mana-mana sehingga sejak kecil Arthur sudah dipapari toleransi tinggi pada perbedaan, pun rangsangan untuk menjadi kreatif dan fleksibel pada situasi. Sayangnya, Nyai tak pernah mengizinkan Arthur untuk membeberkan di rumah siapa pemuda tampan itu tinggal, katanya demi keamanan Arthur di lingkungan sosialnya.

Arthur diantar pagi itu oleh Nyai mengendarai sedan merah yang kaca jendelanya berwarna gelap. Cowok itu turun dari mobil dan bergegas masuk melalui gerbang yang ramai. Nyaris semua siswa cewek yang ada di sana melirik bahkan melambaikan tangan ke arahnya. Arthur hanya membalas dengan senyuman seraya melaju terus menuju kelasnya.

“Aku ikut ekskul renang lho, Thur,” kata seorang cewek berseragam SMP, menghampiri dan menjejeri langkah Arthur. Cewek itu bertubuh kurus dan pendek. Otot-otot lengannya tampak seperti tak pernah dilatih angkat beban. Hobinya merapikan poni di kening membuat Arthur berkesimpulan cewek ini lebih senang berdandan daripada berenang.

You’re not likely to survive the first round, batin Arthur.

“Ah, okay. Sampai jumpa di ekskul nanti, ya!” jawab Arthur ramah.

“Kapan sih ekskulnya?”

Arthur mengangkat bahu. “Enggak tahu. Mungkin sama kayak ekskul lain?” Arthur menutup percakapan itu dengan senyum sempurna. Dia lalu berjalan agak cepat untuk meninggalkan cewek entah siapa itu. “Duluan, ya!” Kalau tidak begitu, Arthur sudah tahu si cewek akan terus mencari topik pembicaraan.

Arthur agak-agak jalan cepat menuju kelas IBB, supaya segera terhindar dari kejaran cewek-cewek lain. Hidup ibunya yang keras membuatnya tak tega untuk bersikap dingin pada orang-orang yang ingin menyapa, padahal Arthur ingin sekali menghindar dari tatapan-tatapan penuh fantasi itu. Dia tahu persis rasanya dicemooh warga se-RT, diusir keluar dari kontrakannya bersama Nyai Khadija, berjalan kaki ke daerah lain sambil membawa gembolan wig dan gaun pentas mencari kontrakan baru. Karena dicemooh rasanya tidak enak, Arthur tak mau mencemooh orang lain.

Ketika masuk ke kelas IBB, seperti biasa, teman sebangkunya Tommy sudah ada di sana. Arthur ingin sekali bertanya, pukul berapa Tommy berangkat ke sekolah. Namun rasanya pertanyaan itu tidak penting. Apalagi Tommy lebih sering diam dalam pikirannya sendiri, seolah-olah bahaya untuk mengganggu Tommy dengan pertanyaan apa pun.

Good morning!” sapa Arthur.

Tommy seperti terkejut. Cowok itu buru-buru menyembunyikan sesuatu di kolong meja, semacam bungkusan plastik berisi pakaian, yang sebenarnya tampak normal-normal saja, tetapi tingkah Tommy seolah-olah bungkusan plastik itu isinya narkoba. “Ini mau kukembalikan ke temen!” balas Tommy menyapa buru-buru. “Bukan ke guru atau apa.”

Arthur sebenarnya bingung melihat reaksi Tommy, tetapi dia tak berniat untuk kepo. “Okay,” jawabnya, lalu menyampirkan ransel ke punggung kursi.

Good morning, Arthur!” sapa Keysha ceria. Rambutnya dikuncir dua hari ini. “Kita lagi bahas LGBT barusan. Well, sebenarnya bahas soal beasiswa ke Inggris, sih. Tapi tiba-tiba nyambung ke LGBT. Kamu ingat kasusnya Reynhard yang merkosa ratusan orang itu? Awal-awal tahun ini lah beritanya mencuat.”

Tidak mungkin Arthur tidak tahu. Haus of Khadija diisi teman-teman dari komunitas LGBT. Dan meski Arthur seorang heteroseksual, dia memahami cukup banyak perjuangan Nyai dan semua anak didiknya melepaskan diri dari stigma itu. Tanpa Nyai Khadija menjelaskan kepadanya soal orientasi seksual, Arthur sudah paham sendiri, apa yang dilakukan Reynhard Sinaga tidak ada hubungannya dengan homoseksualitas. Predator ya predator saja, apa pun orientasi seksualnya.

Yes,” jawab Arthur sambil mengangguk. “I remember that.

“Menurut kamu, berkaca pada kejadian itu, apa LGBT itu salah?” tanya Keysha.

“Ha-harusnya salah, sih,” sela Tommy buru-buru. “Ya nggak, Bro?”

“Ih, aku mau nanya pendapatnya Arthur. Kan, kalau kamu sudah aku tanya tadi!” Keysha mencubit lengan Tommy kecil.

Apa LGBT itu salah?

Ini pertanyaan menjebak bagi Arthur. Cowok itu jelas tahu jawabannya apa, tetapi dia paham jawabannya tidak akan memuaskan banyak pihak di negara ini. Jawaban yang dia pegang bisa membahayakan nyawanya, bahkan reputasinya. Nyai Khadija melatih Arthur cukup keras menghadapi pertanyaan semacam ini. Ibu angkatnya itu benar-benar tak ingin Arthur merasakan kesulitan yang beliau hadapi sebagai seorang gay.

What Sinaga did was wrong,” kata Arthur.

“Tuh, kan, salah!” kata Tommy, agak semangat dengan opininya.

Padahal, Arthur merujuk pada perbuatan Reynhard, bukan pada orientasi seksualnya. Namun Arthur tak punya cukup keberanian untuk meluruskan pernyataan itu. Jadi, dia hanya mengamati Keysha dan Tommy berdiskusi lebih lanjut tentang LGBT.

“Ya tapi maksud aku LGBT-nya,” kata Keysha. “Cita-citaku kan jadi fashion designer. Aku tuh bakalan ketemu banyak gay, which is so amazing. Tapi kadang aku bingung gimana ngejelasin ke papa mamaku kalau gay itu gapapa. Cool, malah.”

“Ya tapi kan di Indonesia enggak bisa gitu. Ivan Gunawan atau Hengki Kawilarang bukan LGBT, kok,” balas Tommy. “Si Ivan Gunawan itu kan menikah sama perempuan. Kamu bisa cerita soal itu.”

Arthur menahan tawa.

“Iya tapi poinku adalah,” sela Keysha lagi, “gimana aku ngejelasin dunia fashion ke papa mamaku, tanpa nyinggung soal LGBT-nya?”

You can tell your parents about the designer’s work, rather than their sexual life,” kata Arthur akhirnya.

“Bisa, tuh!” sahut Tommy. “Karena kalau bahas gay, nanti jadinya masuk neraka.”

Arthur tak percaya teman sebangkunya bisa sehomofobia itu. Namun pembicaraan itu akhirnya berhenti gara-gara kedatangan Evelyn yang langsung mengoceh soal ojek online yang pagi ini nyaris menabrak motor kakaknya. Arthur lega karena mereka tak perlu membahas soal LGBT lagi. Apalagi kini Arthur mempelajari bahwa topik soal homoseksualitas bukanlah topik yang menyenangkan dibahas bersama teman sebangku barunya, Tommy.


To be continued ....

1 komentar:

  1. Nyai is giving POSE vibe. Definitely House of Abundance vibe kalau baik gini, bukan kek House of Wintour wkwk

    BalasHapus

Nude 33

  ssendrawkwA emitefiL .33     Pada suatu pagi lima tahun lalu, Miza bangun lebih pagi dari biasanya meski semalaman tak bisa tidur. D...