Kamis, 25 Maret 2021

Nude 07


ruyS ireP mayA .70

 

Tommy merasa sangat bersalah kepada Karyo. Namun sebagian dari diri Tommy justru bersyukur melakukannya, karena dengan begitu trio banci itu akan menjauhi Tommy. Kalau mereka menjauh, maka semakin jauhlah orang-orang dari mendapati Tommy juga LGBT. Ketika kembali ke kelas, Tommy melihat Karyo menangis di mejanya, ditenangkan oleh Baharudin yang dengan setia mengelus-elus punggung Karyo. Tommy enggak berani melihat pemandangan itu lebih jauh. Jadi Tommy pura-pura sibuk dengan ponselnya, meskipun isakan Karyo terdengar jelas di telinganya.

Untuk membuatnya semakin parah, hingga pulang sekolah, Tommy tidak menghampiri Karyo untuk meminta maaf.

“Kamu lihat si Karyo itu nangis terus sepanjang sesi terakhir?” tanya Keysha, membuka topik dalam perjalanan mereka menuju gerbang sekolah. Koridor sangat ramai oleh murid baru yang sedang bergegas pulang. Karyo dan Baharudin berjalan sangat cepat mendahului Tommy, Keysha, Evelyn, dan Arthur. Bahu Baharudin entah bagaimana caranya menabrak bahu Tommy yang sedang berjalan santai di koridor. “Ada masalah apa ya dia?”

“Nggak usah kepo urusan orang,” kata Evelyn.

“Mungkin ada saudaranya yang meninggal,” kata Arthur, sambil mengangkat bahu. “Kayak Tommy kemarin.”

“Oh. Eh. Iya.”

Sesi terakhir MOS hari kedua adalah penyusunan struktur organisasi dan pemilihan perwakilan OSIS dari masing-masing kelas. Tidak ada yang memimpin diskusi selain ketua kelas yang baru saja ditunjuk. Jadi, secara teknis, Karyo bebas menangis sesuka hati. Beberapa murid di kelas IBB menoleh dan ingin tahu mengapa Karyo menangis, tetapi Karyo selalu menggelengkan kepala setiap pertanyaan itu terlontar. Pada akhirnya, tak ada yang mampu membantu Karyo.

“Oh, mamaku udah jemput!” sahut Keysha riang. “Aku duluan, ya.”

“Gue juga udah dijemput kakak gue,” tambah Evelyn, mengedikkan kepala ke seorang cowok berjaket kulit yang menunggu di dekat tiang listrik. “See you tomorrow.

Tinggal Arthur dan Tommy yang berjalan pelan ke arah gerbang. Beberapa cewek masih diam-diam melirik ke arah Arthur untuk mengagumi keindahan cowok itu dari dekat. Namun Arthur tampak biasa-biasa saja, seolah-olah dia enggak ngeh bahwa setiap cewek yang menyusulnya saat ini pasti sedang berfantasi manja-manjaan dengan Arthur penuh cinta.

Are you okay?” tanya Arthur, ketika mereka nyaris tiba di gerbang sekolah.

Tommy mengangguk. “I’m okay. Kenapa emangnya?”

You seem like you were zoning out on our last session,” katanya. “You seem like you’re hiding something.

Tommy menyikut Arthur seperti cowok-cowok macho. “Ah, enggak kok, Bro. Lagi capek aja.”

Are you sure?” Arthur tampak sangat tulus.

Mendapati Arthur memerhatikannya sepanjang sesi terakhir saja membuat Tommy berbunga-bunga. Dia tahu, Arthur melakukannya karena heran. Bukan karena Arthur punya perasaan berlebih atau bagaimana. Fakta bahwa Arthur menyukai olahraga dan hari ini terdaftar di tiga ekskul olahraga saja menjadi bukti valid Arthur seorang straight, bukan homoseksual seperti Tommy.

Ayam peri syur,” jawab Tommy, salah tingkah.

“Ah, my car is here,” kata Arthur, mengedikkan kepala ke arah sebuah sedan merah yang baru saja tiba. “See you tomorrow, Tommy.

See you!

Tommy pun ditinggalkan sendiri di gerbang sekolah. Beberapa siswa masih menghambur keluar dari gerbang. Dijemput keluarganya, pacarnya, ojeknya, atau berjalan menuju jalan raya terdekat untuk menunggu angkot maupun bus Damri. Tommy bisa saja memesan ojeknya di gerbang sekolah, tetapi dia memutuskan untuk berjalan kaki ke jalan raya dan menaiki angkot saja hari ini. Ada banyak hal yang ingin dia renungkan. Mulai dari kejamnya Tommy meludahi Karyo, hingga perhatiannya Arthur yang membuat Tommy mabuk kepayang.

Omong-omong, Tommy akhirnya mendaftar ke literatur, meski dia tahu banget dia tak punya kemampuan menulis apa pun. Modalnya rajin membaca Wattpadlah yang memantapkannya mendaftar ke sana. Tak mungkin Tommy bergabung ke english club, nanti dia bertemu Karyo setiap pertemuan. Dan mendaftar ke modelling pun tampak terlalu muluk-muluk. Tommy tahu diri, kok.

Sayangnya, sore itu, karena Tommy terlalu sibuk merenungkan banyak hal dalam kepalanya, dia terperosok ke dalam sebuah selokan di dekat pertigaan menuju jalan raya. Ada sebuah papan kayu yang Tommy kira sanggup menahan bobot tubuhnya. Namun kayu tersebut langsung patah dan menjerumuskan Tommy ke dalam selokan.

Aaargh ...!

Tommy menjerit kaget dengan suara melengking. Dia mendapati bokongnya jatuh ke dalam air selokan yang kotor, bau, dan hitam. Sepatu dan celananya langsung basah, pun wajahnya terciprat air comberan tersebut.

Tommy langsung menangis. Dia terduduk selama beberapa saat meratapi karma yang langsung menyerangnya gara-gara siang ini meludahi orang tak bersalah.

“Kamu enggak apa-apa?” Seseorang melongokkan kepala dari permukaan jalan seraya mengulurkan tangan ke dalam.

Tommy berhenti menangis. Dia mendongak dan ragu menerima uluran tangan itu.

“Enggak apa-apa, pegang aja. Kalau kotor kan bisa dicuci.”

Karena backlight, wajah sosok itu belum kelihatan. Hanya pendar-pendar cahaya matahari muncul dari belakang kepalanya, membuatnya seperti malaikat. Suaranya pun terdengar begitu maskulin. Ada nada dewasa yang menguar ketika sosok itu berkata-kata. Dalam sekejap Tommy menyimpulkan sosok itu adalah malaikat.

Tommy pun meraih uluran tangan itu dan keluar dari selokan dengan air comberan mengucur deras ke atas aspal. Beberapa murid baru yang sedang berjalan lewat langsung terbahak melihat kondisi Tommy. Tidak ada yang merundungnya, seperti Revan merundung trio banci. Mereka melirik, cekikikan, lalu berlalu. Baru setelahnya Tommy menyadari yang menolongnya adalah seorang guru di SMA barunya.

“Hape kamu ikut basah juga?” tanyanya perhatian.

Guru itu berdiri di barisan para guru pada upacara pembukaan kemarin. Sesekali Tommy melihatnya bolak-balik ruang guru membawa kertas dan map. Karena pengenalan guru baru dilakukan besok, Tommy belum tahu siapa namanya. Hanya satu guru Tommy kenali, itu pun karena dia wali kelasnya. Jujur saja Tommy naksir-naksir kepo, tapi enggak ngegebet-gebet banget. Ada beberapa guru yang lebih ganteng dan macho dari dia, tetapi yang ini juga lumayan.

Badannya bulky, dengan lengan-lengan besar, pun perut agak buncit. Wajahnya manis dengan rambut dipotong pendek. Bekas jambangnya menunjukkan dia sudah cukup dewasa untuk berumah tangga. Karena selalu mengenakan kemeja, beliau tampak kebapakan. Tapi kalau Tommy ditanya apa dia mau bercinta dengan guru ini, “Mau banget Shaaayyy ...!”

Sayangnya saat ini bukan momen yang tepat untuk naksir si guru. Tommy sedang merasa kacau, sedih, dan malu karena masuk comberan. Untung yang menolongnya seorang guru.

“Hapeku gapapa,” gumam Tommy pelan sambil mengecek apakah ponselnya masih menyala atau sudah almarhum. Cover ponsel Tommy tentu saja basah terkena air comberan, tetapi tampaknya belum masuk ke perangkat di dalamnya, sehingga masih bisa dibersihkan.

“Rumah kamu dekat dari sini?” tanyanya.

Tommy menggeleng. “Rumahku di Setrasari.”

Guru itu membelalak kecil. “Jauh, ya. Bukannya itu udah keluar zonasi?”

Tommy mengangguk. “Iya.” Tanpa memberi alasan mengapa dia memilih sekolah di luar zonasi.

“Kirain rumah kamu dekat, makanya tadi Bapak lihat kamu jalan kaki. Tahunya kamu kecebur ke sini. Ayo, ke rumah Bapak dulu untuk bersih-bersih,” kata si guru, mendului jalannya.

“Apa?”

“Rumah Bapak dekat.” Guru itu mengedikkan kepala ke ujung jalan. “Dari belokan sana, gang ketiga masuk sampai ujung, nyampe di rumah Bapak. Mending kamu mandi dulu di sana. Pinjam baju Bapak aja dulu. Besok bisa dikembalikan.”

Sepuluh menit kemudian Tommy sudah mengetahui nama guru itu Anto, mengajar antropologi. Pak Anto juga tinggal di sebuah kontrakan kecil di ujung gang sempit yang ramai. Tidak ada kendaraan, meski sekadar sepeda motor. Katanya, setiap pagi Pak Anto berjalan kaki ke sekolah.

Di sepanjang gang menuju rumahnya, setiap tetangga menyapanya.

Euleuh-euleuh, kunaon Pak muridna?

“Kena musibah, Pak Haji.”

Membuktikan bahwa (1) Pak Anto ini orang yang ramah dan disukai semua tetangga, juga (2) para tetangga ini keponya bukan main. Tommy hanya bisa berjalan menunduk membuntuti Pak Anto dari belakang. Bau air comberan benar-benar menyengat hidungnya, beberapa bagiannya sudah mengering dan menempel ke kulit Tommy. Jadi Tommy sedang tak punya mood untuk membalas sapaan setiap tetangga yang menyapa Pak Anto.

Rumah guru antropologi itu tipe RSSSS (Rumah Sangat Sederhana Sekali Shay). Jenis-jenis rumah kontrakan yang didesain sama. Hanya terdiri dari ruang tamu besar, lorong kecil ke dapur, kamar tidur, kamar mandi, dan dapur di belakang.

Enggak usah malu-malu. Masuk aja,” kata Pak Anto, setelah membuka pintu.

Tommy agak ragu. “Tapi saya kotor, Pak.”

“Lah, tujuannya kamu ke sini buat bersih-bersih, kan? Sini masuk.”

Saking sempitnya, lemari baju Pak Anto diletakkan di ruang tengah. Beliau membukanya dan menemukan sedikit sekali pakaian terlipat rapi di dalamnya. Kemudian Pak Anto menghela napas.

“Astagfirullah ..., saya lupa, semua baju lagi di-laundry,” gumamnya, seraya mengeluarkan sehelai handuk. Beliau juga mengeluarkan sebuah kemeja warna biru muda, dan celana kargo besar berwarna cokelat. “Semua baju saya lagi di-laundry ternyata. Adanya ini aja. Gapapa, ya?”

Tommy mengangguk.

“Kamu mandi dulu aja. Nanti pakai baju ini di kamar saya. Saya siapkan teh buat kamu.”

Meski rumahnya sangat mungil, kediaman itu benar-benar bersih dan rapi. Tommy merasa nyaman berada di dalamnya. Setiap dinding disikat bersih, keramik tak bernoda, botol-botol sampo dan sabun diatur berdasarkan ketinggian. Mungkin Pak Anto jenis-jenis yang punya OCD, karena piring-piring pun ditumpuk sesuai warna dan ukuran.

Ketika Tommy keluar dari kamar mandi beberapa menit kemudian, dia masuk ke dalam kamar yang juga sama rapinya. Kamar itu sangat sempit. Mungkin karena tempat tidurnya terlalu besar, jadinya seperti susah bergerak. Ada meja kerja dan lemari buku yang menempel ke dinding. Mungkin ini alasannya lemari baju ada di ruang tengah. Di sudut lain, ada dua lemari kecil yang terdiri dari laci-laci berwarna-warni. Di dindingnya, ada poster landmark dunia seperti Menara Eiffel dan Jembatan Golden Gate dibingkai kayu. Wangi ruangan itu seperti lavender. Tommy benar-benar betah.

Kemeja Pak Anto sudah terlipat rapi di atas tempat tidur (yang selimutnya terlipat rapi juga, entah pukul berapa guru menawan ini punya waktu untuk membereskan tempat tidur pagi-pagi). Tidak ada celana dalam tersedia. Jadi Tommy sedang ragu, apakah dia perlu menanyakan soal celana dalam atau dia bablas freeballing saja sampai ke Setrasari.

Pada waktu bersamaan, Pak Anto melongokkan kepala melalui tirai yang menjadi pintu antara kamar tidur dan lorong ke dapur.

“Maaf,” katanya ramah, “kalau kamu enggak keberatan pake celana dalam saya, ada di laci sana. Boleh dipilih. Tapi kayaknya enggak ada yang kecil.”

“Sa-saya enggak usah pake aja gapapa.”

“Oh, ya udah.”

Pak Anto menghilang lagi ke ruang tengah, merapikan tirai yang menutupi kamar. Mendengar informasi soal celana dalam, entah mengapa Tommy malah tertarik berjalan ke arah sana. Dia tahu, dia telah menolak tawaran itu. Namun Pak Anto sendiri yang mempersilakannya memakai jika Tommy berkenan. Jadi dengan tangan gemetar dan jantung berdegup kencang, Tommy membuka laci itu. Dia menemukan tumpukan celana dalam putih ukuran besar yang tentunya dipakai Pak Anto setiap hari.

Oke. Bukannya Tommy punya fetish aneh-aneh pada celana dalam. Namun celana ini milik seorang guru menawan yang jelas-jelas sudah tampak dewasa. Sejak kecil Tommy terobsesi pada laki-laki dewasa. Kematangan emosional seorang laki-laki membuat Tommy merasa bisa berlindung dengan aman. Kedewasaan membuat rengkuhan seksual terasa semakin kokoh dan mendebarkan.

Jadi, dengan hati-hati (padahal jelas-jelas Tommy diizinkan meminjam satu potong celana dalam) Tommy mengeluarkan celana dalam teratas dan membauinya. Wangi Softene SoKlin, bukan wangi selangkangan. Namun tak mengapa. Celana dalam ini pasti seminggu sekali membungkus selangkangannya Pak Anto.

Ah, sialan, pikir Tommy dalam hati. Kenapa aku jadi terobsesi sama guru sendiri?!

Tommy menarik napas panjang, mencoba mengembalikan pikiran ngeresnya ke jalan yang lurus. Ketahuan LGBT oleh teman-teman sebaya sudah sangat parah. Ketahuan sama guru di sekolah, bisa lebih parah lagi!

Jadi Tommy buru-buru mengenakan kemeja dan celana dari Pak Anto (sangat-sangat kebesaran). Dan dengan kurang ajar mencuri satu celana dalam, menyelipkannya ke dalam saku celana, bukan memakainya.

Ketika Tommy keluar kamar, Pak Anto sudah selesai melipat seragam SMP Tommy yang kotor ke dalam kantung plastik. Sepatu dan kaus kaki Tommy pun sudah dimasukkan ke dalam tas belanja supermarket warna hijau. Beliau bahkan mengelap ransel Tommy menggunakan tisu, sehingga hitamnya comberan nggak begitu terlihat di permukaan luarnya.

“Minum teh dulu,” katanya ramah. Pak Anto sedang duduk di sofa kecil, hanya mengenakan kaus dalam putih ala bapak-bapak. Kemeja yang tadi dikenakannya dia gantung di dekat lemari. “Saya enggak ada baju lagi, jadi baju itu harus dipake lagi besok.”

Karena ketiak dan belahan dadanya terlihat, pun putingnya yang tercetak jelas di kaus dalam putih itu, otomatis Tommy sange. Sambil menelan ludah, Tommy susah payah berkata, “Sa-saya pulang dulu.”

“Enggak mau makan dulu?”

Tommy menggeleng mantap. Berusaha mengalihkan perhatiannya dari tubuh Pak Anto yang menggoda.

“Kamu yakin?”

Tommy mengangguk mantap. Tak berani melihat paparan kulit bahu, dada, dan lengan itu. Kulitnya berwarna terang dan mulus. Seolah-olah tak pernah dijemur di bawah matahari.

“Kamu tahu jalan pulang?”

Tommy mengangguk lagi. Dia dipinjamkan sepasang sandal untuk pulang. Sepanjang gang menuju jalan raya, Tommy gelisah. Bukan karena dia baru saja mengambil celana dalam dan menyakuinya, ketika seharusnya mengenakannya. Melainkan karena kelaminnya mengeras sepanjang perjalanan.

Sesampainya di rumah, Tommy masuk ke kamar sambil langsung mengunci pintu. Dia memerosotkan celana kargo kebesaran itu hingga kelaminnya yang keras mengacung ke udara. Tommy masturbasi sore itu. Masturbasi yang sangat-sangat nikmat, karena dia membayangkan Pak Anto yang dewasa, sambil menghidu celana dalam gurunya itu kuat-kuat.

To be continued ....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Nude 33

  ssendrawkwA emitefiL .33     Pada suatu pagi lima tahun lalu, Miza bangun lebih pagi dari biasanya meski semalaman tak bisa tidur. D...