ruyS ireP mayA .70
Tommy merasa sangat
bersalah kepada Karyo. Namun sebagian dari diri Tommy justru bersyukur
melakukannya, karena dengan begitu trio banci itu akan menjauhi Tommy. Kalau
mereka menjauh, maka semakin jauhlah orang-orang dari mendapati Tommy juga
LGBT. Ketika kembali ke kelas, Tommy melihat Karyo menangis di mejanya,
ditenangkan oleh Baharudin yang dengan setia mengelus-elus punggung Karyo.
Tommy enggak berani melihat pemandangan itu lebih jauh.
Jadi Tommy pura-pura sibuk dengan ponselnya, meskipun isakan Karyo terdengar
jelas di telinganya.
Untuk membuatnya semakin
parah, hingga pulang sekolah, Tommy tidak menghampiri Karyo untuk meminta maaf.
“Kamu lihat si Karyo itu
nangis terus sepanjang sesi terakhir?” tanya Keysha, membuka topik dalam
perjalanan mereka menuju gerbang sekolah. Koridor sangat ramai oleh murid baru
yang sedang bergegas pulang. Karyo dan Baharudin berjalan sangat cepat mendahului
Tommy, Keysha, Evelyn, dan Arthur. Bahu Baharudin entah bagaimana caranya
menabrak bahu Tommy yang sedang berjalan santai di koridor. “Ada masalah apa ya
dia?”
“Nggak usah kepo urusan
orang,” kata Evelyn.
“Mungkin ada saudaranya
yang meninggal,” kata Arthur, sambil mengangkat bahu. “Kayak Tommy kemarin.”
“Oh. Eh. Iya.”
Sesi terakhir MOS hari
kedua adalah penyusunan struktur organisasi dan pemilihan perwakilan OSIS dari
masing-masing kelas. Tidak ada yang memimpin diskusi selain ketua kelas yang
baru saja ditunjuk. Jadi, secara teknis, Karyo bebas menangis sesuka hati.
Beberapa murid di kelas IBB menoleh dan ingin tahu mengapa Karyo menangis,
tetapi Karyo selalu menggelengkan kepala setiap pertanyaan itu terlontar. Pada
akhirnya, tak ada yang mampu membantu Karyo.
“Oh, mamaku udah jemput!”
sahut Keysha riang. “Aku duluan, ya.”
“Gue juga udah dijemput
kakak gue,” tambah Evelyn, mengedikkan kepala ke seorang cowok berjaket kulit
yang menunggu di dekat tiang listrik. “See
you tomorrow.”
Tinggal Arthur dan Tommy
yang berjalan pelan ke arah gerbang. Beberapa cewek masih diam-diam melirik ke
arah Arthur untuk mengagumi keindahan cowok itu dari dekat. Namun Arthur tampak
biasa-biasa saja, seolah-olah dia enggak ngeh bahwa setiap cewek yang
menyusulnya saat ini pasti sedang berfantasi manja-manjaan dengan Arthur penuh
cinta.
“Are you okay?” tanya Arthur, ketika mereka nyaris tiba di gerbang
sekolah.
Tommy mengangguk. “I’m okay. Kenapa emangnya?”
“You seem like you were zoning out on our last session,” katanya. “You seem like you’re hiding something.”
Tommy menyikut Arthur
seperti cowok-cowok macho. “Ah, enggak kok, Bro. Lagi capek aja.”
“Are you sure?” Arthur tampak sangat tulus.
Mendapati Arthur
memerhatikannya sepanjang sesi terakhir saja membuat Tommy berbunga-bunga. Dia
tahu, Arthur melakukannya karena heran. Bukan karena Arthur punya perasaan
berlebih atau bagaimana. Fakta bahwa Arthur menyukai olahraga dan hari ini
terdaftar di tiga ekskul olahraga saja menjadi bukti valid Arthur seorang straight, bukan homoseksual seperti
Tommy.
“Ayam peri syur,” jawab Tommy, salah tingkah.
“Ah, my car is here,” kata Arthur, mengedikkan kepala ke arah sebuah
sedan merah yang baru saja tiba. “See you
tomorrow, Tommy.”
“See you!”
Tommy pun ditinggalkan
sendiri di gerbang sekolah. Beberapa siswa masih menghambur keluar dari
gerbang. Dijemput keluarganya, pacarnya, ojeknya, atau berjalan menuju jalan
raya terdekat untuk menunggu angkot maupun bus Damri. Tommy bisa saja memesan
ojeknya di gerbang sekolah, tetapi dia memutuskan untuk berjalan kaki ke jalan
raya dan menaiki angkot saja hari ini. Ada banyak hal yang ingin dia renungkan.
Mulai dari kejamnya Tommy meludahi Karyo, hingga perhatiannya Arthur yang
membuat Tommy mabuk kepayang.
Omong-omong, Tommy
akhirnya mendaftar ke literatur, meski dia tahu banget dia tak punya kemampuan
menulis apa pun. Modalnya rajin membaca Wattpadlah yang memantapkannya
mendaftar ke sana. Tak mungkin Tommy bergabung ke english club, nanti dia bertemu Karyo setiap pertemuan. Dan
mendaftar ke modelling pun tampak
terlalu muluk-muluk. Tommy tahu diri, kok.
Sayangnya, sore itu,
karena Tommy terlalu sibuk merenungkan banyak hal dalam kepalanya, dia
terperosok ke dalam sebuah selokan di dekat pertigaan menuju jalan raya. Ada
sebuah papan kayu yang Tommy kira sanggup menahan bobot tubuhnya. Namun kayu
tersebut langsung patah dan menjerumuskan Tommy ke dalam selokan.
“Aaargh ...!”
Tommy menjerit kaget
dengan suara melengking. Dia mendapati bokongnya jatuh ke dalam air selokan
yang kotor, bau, dan hitam. Sepatu dan celananya langsung basah, pun wajahnya
terciprat air comberan tersebut.
Tommy langsung menangis.
Dia terduduk selama beberapa saat meratapi karma yang langsung menyerangnya
gara-gara siang ini meludahi orang tak bersalah.
“Kamu enggak apa-apa?”
Seseorang melongokkan kepala dari permukaan jalan seraya mengulurkan tangan ke
dalam.
Tommy berhenti menangis.
Dia mendongak dan ragu menerima uluran tangan itu.
“Enggak apa-apa, pegang
aja. Kalau kotor kan bisa dicuci.”
Karena backlight, wajah sosok itu belum
kelihatan. Hanya pendar-pendar cahaya matahari muncul dari belakang kepalanya,
membuatnya seperti malaikat. Suaranya pun terdengar begitu maskulin. Ada nada dewasa
yang menguar ketika sosok itu berkata-kata. Dalam sekejap Tommy menyimpulkan
sosok itu adalah malaikat.
Tommy pun meraih uluran
tangan itu dan keluar dari selokan dengan air comberan mengucur deras ke atas
aspal. Beberapa murid baru yang sedang berjalan lewat langsung terbahak melihat
kondisi Tommy. Tidak ada yang merundungnya, seperti Revan merundung trio banci.
Mereka melirik, cekikikan, lalu berlalu. Baru setelahnya Tommy menyadari yang
menolongnya adalah seorang guru di SMA barunya.
“Hape kamu ikut basah
juga?” tanyanya perhatian.
Guru itu berdiri di
barisan para guru pada upacara pembukaan kemarin. Sesekali Tommy melihatnya
bolak-balik ruang guru membawa kertas dan map. Karena pengenalan guru baru
dilakukan besok, Tommy belum tahu siapa namanya. Hanya satu guru Tommy kenali,
itu pun karena dia wali kelasnya. Jujur saja Tommy naksir-naksir kepo, tapi enggak ngegebet-gebet banget.
Ada beberapa guru yang lebih ganteng dan macho dari dia, tetapi yang ini juga
lumayan.
Badannya bulky, dengan lengan-lengan besar, pun
perut agak buncit. Wajahnya manis dengan rambut dipotong pendek. Bekas
jambangnya menunjukkan dia sudah cukup dewasa untuk berumah tangga. Karena
selalu mengenakan kemeja, beliau tampak kebapakan. Tapi kalau Tommy ditanya apa
dia mau bercinta dengan guru ini, “Mau banget Shaaayyy ...!”
Sayangnya saat ini bukan
momen yang tepat untuk naksir si guru. Tommy sedang merasa kacau, sedih, dan
malu karena masuk comberan. Untung yang menolongnya seorang guru.
“Hapeku gapapa,” gumam
Tommy pelan sambil mengecek apakah ponselnya masih menyala atau sudah almarhum.
Cover ponsel Tommy tentu saja basah terkena air comberan, tetapi tampaknya
belum masuk ke perangkat di dalamnya, sehingga masih bisa dibersihkan.
“Rumah kamu dekat dari
sini?” tanyanya.
Tommy menggeleng.
“Rumahku di Setrasari.”
Guru itu membelalak
kecil. “Jauh, ya. Bukannya itu udah keluar zonasi?”
Tommy mengangguk. “Iya.”
Tanpa memberi alasan mengapa dia memilih sekolah di luar zonasi.
“Kirain rumah kamu dekat,
makanya tadi Bapak lihat kamu jalan kaki. Tahunya kamu kecebur ke sini. Ayo, ke
rumah Bapak dulu untuk bersih-bersih,” kata si guru, mendului jalannya.
“Apa?”
“Rumah Bapak dekat.” Guru
itu mengedikkan kepala ke ujung jalan. “Dari belokan sana, gang ketiga masuk
sampai ujung, nyampe di rumah Bapak. Mending kamu mandi dulu di sana. Pinjam
baju Bapak aja dulu. Besok bisa dikembalikan.”
Sepuluh menit kemudian
Tommy sudah mengetahui nama guru itu Anto, mengajar antropologi. Pak Anto juga
tinggal di sebuah kontrakan kecil di ujung gang sempit yang ramai. Tidak ada
kendaraan, meski sekadar sepeda motor. Katanya, setiap pagi Pak Anto berjalan
kaki ke sekolah.
Di sepanjang gang menuju
rumahnya, setiap tetangga menyapanya.
“Euleuh-euleuh, kunaon Pak muridna?”
“Kena musibah, Pak Haji.”
Membuktikan bahwa (1) Pak
Anto ini orang yang ramah dan disukai semua tetangga, juga (2) para tetangga
ini keponya bukan main. Tommy hanya bisa berjalan menunduk membuntuti Pak Anto
dari belakang. Bau air comberan benar-benar menyengat hidungnya, beberapa
bagiannya sudah mengering dan menempel ke kulit Tommy. Jadi Tommy sedang tak
punya mood untuk membalas sapaan
setiap tetangga yang menyapa Pak Anto.
Rumah guru antropologi
itu tipe RSSSS (Rumah Sangat Sederhana Sekali Shay). Jenis-jenis rumah
kontrakan yang didesain sama. Hanya terdiri dari ruang tamu besar, lorong kecil
ke dapur, kamar tidur, kamar mandi, dan dapur di belakang.
“Enggak usah malu-malu. Masuk aja,” kata Pak Anto, setelah
membuka pintu.
Tommy agak ragu. “Tapi
saya kotor, Pak.”
“Lah, tujuannya kamu ke
sini buat bersih-bersih, kan? Sini masuk.”
Saking sempitnya, lemari
baju Pak Anto diletakkan di ruang tengah. Beliau membukanya dan menemukan
sedikit sekali pakaian terlipat rapi di dalamnya. Kemudian Pak Anto menghela
napas.
“Astagfirullah ..., saya
lupa, semua baju lagi di-laundry,”
gumamnya, seraya mengeluarkan sehelai handuk. Beliau juga mengeluarkan sebuah
kemeja warna biru muda, dan celana kargo besar berwarna cokelat. “Semua baju
saya lagi di-laundry ternyata. Adanya
ini aja. Gapapa, ya?”
Tommy mengangguk.
“Kamu mandi dulu aja.
Nanti pakai baju ini di kamar saya. Saya siapkan teh buat kamu.”
Meski rumahnya sangat
mungil, kediaman itu benar-benar bersih dan rapi. Tommy merasa nyaman berada di
dalamnya. Setiap dinding disikat bersih, keramik tak bernoda, botol-botol sampo
dan sabun diatur berdasarkan ketinggian. Mungkin Pak Anto jenis-jenis yang
punya OCD, karena piring-piring pun ditumpuk sesuai warna dan ukuran.
Ketika Tommy keluar dari
kamar mandi beberapa menit kemudian, dia masuk ke dalam kamar yang juga sama
rapinya. Kamar itu sangat sempit. Mungkin karena tempat tidurnya terlalu besar,
jadinya seperti susah bergerak. Ada meja kerja dan lemari buku yang menempel ke
dinding. Mungkin ini alasannya lemari baju ada di ruang tengah. Di sudut lain,
ada dua lemari kecil yang terdiri dari laci-laci berwarna-warni. Di dindingnya,
ada poster landmark dunia seperti
Menara Eiffel dan Jembatan Golden Gate dibingkai kayu. Wangi ruangan itu
seperti lavender. Tommy benar-benar betah.
Kemeja Pak Anto sudah
terlipat rapi di atas tempat tidur (yang selimutnya terlipat rapi juga, entah
pukul berapa guru menawan ini punya waktu untuk membereskan tempat tidur
pagi-pagi). Tidak ada celana dalam tersedia. Jadi Tommy sedang ragu, apakah dia
perlu menanyakan soal celana dalam atau dia bablas freeballing saja sampai ke Setrasari.
Pada waktu bersamaan, Pak
Anto melongokkan kepala melalui tirai yang menjadi pintu antara kamar tidur dan
lorong ke dapur.
“Maaf,” katanya ramah,
“kalau kamu enggak keberatan pake celana dalam saya, ada di laci sana. Boleh
dipilih. Tapi kayaknya enggak ada yang kecil.”
“Sa-saya enggak usah pake
aja gapapa.”
“Oh, ya udah.”
Pak Anto menghilang lagi
ke ruang tengah, merapikan tirai yang menutupi kamar. Mendengar informasi soal
celana dalam, entah mengapa Tommy malah tertarik berjalan ke arah sana. Dia
tahu, dia telah menolak tawaran itu. Namun Pak Anto sendiri yang
mempersilakannya memakai jika Tommy berkenan. Jadi dengan tangan gemetar dan
jantung berdegup kencang, Tommy membuka laci itu. Dia menemukan tumpukan celana
dalam putih ukuran besar yang tentunya dipakai Pak Anto setiap hari.
Oke. Bukannya Tommy punya
fetish aneh-aneh pada celana dalam.
Namun celana ini milik seorang guru menawan yang jelas-jelas sudah tampak
dewasa. Sejak kecil Tommy terobsesi pada laki-laki dewasa. Kematangan emosional
seorang laki-laki membuat Tommy merasa bisa berlindung dengan aman. Kedewasaan
membuat rengkuhan seksual terasa semakin kokoh dan mendebarkan.
Jadi, dengan hati-hati
(padahal jelas-jelas Tommy diizinkan meminjam satu potong celana dalam) Tommy
mengeluarkan celana dalam teratas dan membauinya. Wangi Softene SoKlin, bukan
wangi selangkangan. Namun tak mengapa. Celana dalam ini pasti seminggu sekali
membungkus selangkangannya Pak Anto.
Ah, sialan,
pikir Tommy dalam hati. Kenapa aku jadi
terobsesi sama guru sendiri?!
Tommy menarik napas
panjang, mencoba mengembalikan pikiran ngeresnya ke jalan yang lurus. Ketahuan
LGBT oleh teman-teman sebaya sudah sangat parah. Ketahuan sama guru di sekolah,
bisa lebih parah lagi!
Jadi Tommy buru-buru
mengenakan kemeja dan celana dari Pak Anto (sangat-sangat kebesaran). Dan
dengan kurang ajar mencuri satu celana dalam, menyelipkannya ke dalam saku
celana, bukan memakainya.
Ketika Tommy keluar
kamar, Pak Anto sudah selesai melipat seragam SMP Tommy yang kotor ke dalam
kantung plastik. Sepatu dan kaus kaki Tommy pun sudah dimasukkan ke dalam tas
belanja supermarket warna hijau. Beliau bahkan mengelap ransel Tommy
menggunakan tisu, sehingga hitamnya comberan nggak begitu terlihat di permukaan
luarnya.
“Minum teh dulu,” katanya
ramah. Pak Anto sedang duduk di sofa kecil, hanya mengenakan kaus dalam putih
ala bapak-bapak. Kemeja yang tadi dikenakannya dia gantung di dekat lemari.
“Saya enggak ada baju lagi, jadi baju itu harus dipake
lagi besok.”
Karena ketiak dan belahan
dadanya terlihat, pun putingnya yang tercetak jelas di kaus dalam putih itu,
otomatis Tommy sange. Sambil menelan
ludah, Tommy susah payah berkata, “Sa-saya pulang dulu.”
“Enggak mau makan dulu?”
Tommy menggeleng mantap.
Berusaha mengalihkan perhatiannya dari tubuh Pak Anto yang menggoda.
“Kamu yakin?”
Tommy mengangguk mantap.
Tak berani melihat paparan kulit bahu, dada, dan lengan itu. Kulitnya berwarna
terang dan mulus. Seolah-olah tak pernah dijemur di bawah matahari.
“Kamu tahu jalan pulang?”
Tommy mengangguk lagi.
Dia dipinjamkan sepasang sandal untuk pulang. Sepanjang gang menuju jalan raya,
Tommy gelisah. Bukan karena dia baru saja mengambil celana dalam dan
menyakuinya, ketika seharusnya mengenakannya. Melainkan karena kelaminnya
mengeras sepanjang perjalanan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar