Kamis, 25 Maret 2021

Nude 06

 ecnaD nredoM .60

 

“Ekskul apa yang kamu ambil?”

“Masih aku pikirin.”

“Aku sih mau masuk modelling dan fashion design.”

“Iya, kamu cocok.”

“Aku tahu.”

“Eh, si Arthur ke mana?”

“Dipanggil anak-anak ekskul olahraga, kayak basket sama futsal. Kayaknya orang-orang udah tahu dia atlet.”

“Sebenarnya dia cocok juga masuk modelling.”

“Elah, dia badan bagus juga karena olahraga, bukan karena mau jadi model.”

Tommy, Keysha, dan Evelyn masih berkutat dengan map formulir pendaftaran ekstrakurikuler mereka. Sebelum makan siang, formulir tersebut sudah harus diserahkan ke OSIS untuk dilakukan pendataan. Sepanjang pagi, semua ekstrakurikuler sudah melakukan demo di depan seluruh murid baru. Yang membutuhkan panggung seperti modern dance dan teater, melakukan demo di lapangan. Yang membutuhkan pendekatan verbal seperti english club, mendatangi setiap kelas sehabis istirahat pertama sambil mempromosikan prestasi mereka dalam berbahasa Inggris. Travelustration yang Tommy lihat pagi tadi memamerkan karya-karya mereka di galeri seni, bersama dengan ekskul KIR, jurnalistik, dan fashion design. Mereka yang memamerkan karya di galeri seni juga melakukan tur ke setiap kelas secara bergantian untuk memberikan brosur dan menceritakan kegiatan mereka selama lima menit.

Setelah semua ekstrakurikuler mendapatkan kesempatan untuk promosi, setiap murid baru diberikan satu map yang berisi setiap formulir pendaftaran ekskul. Ada lebih dari dua puluh lembar. Hanya dua lembar yang boleh diisi, karena itu batas maksimal ekstrakurikuler yang bisa diambil. Fantasi Wattpad Tommy tentang menjadi anak super dengan mengikuti belasan ekskul seperti basket, renang, futsal, teater, science, bla bla bla, bla bla bla, harus kandas. (Tommy semakin enggak paham bagaimana seorang tokoh di Wattpad bisa punya banyak sekali keanggotaan ekskul.) Namun bukan karena maksimum dua ekskul saja yang menghambatnya, melainkan nggak mungkin Tommy ikutan basket atau futsal. Larinya saja seperti perempuan. Nanti dia ketahuan LGBT dengan mudah.

Jadi, lima belas menit sebelum penyerahan formulir itu, Tommy masih belum tahu ingin mendaftar ke ekskul yang mana. Keysha tampaknya sudah membuat semua orang tahu bahwa dia mau ikutan modelling dan fashion design. Orang yang lewat di koridor saja dia hampiri, “Kamu ikut ekskul apa? Kayaknya aku ikut modelling sama fashion design.” Entah Keysha mengenal atau tidak mengenal orang itu.

Tommy melirik Evelyn dan menemukan cewek itu sama-sama bingung mau masuk ekskul mana.

“Kamu udah nentuin ekskulnya?” tanya Tommy.

Evelyn mengangkat bahu. “Gue baru pilih satu. Penginnya sih cuma satu aja.”

“Kita enggak bisa ya satu aja?”

“Elo enggak dengerin pidato kepsek tadi pagi, hah? Kita harus ikut dua ekskul untuk melatih kemampuan berorganisasi kita,” balas Evelyn sambil memutar bola mata.

Tommy tidak mendengarkan pidato apa pun saat upacara pagi tadi. Dia sedang sibuk naksir tiga orang: Arthur yang berbaris di belakangnya, Jerome yang berdiri ganteng di belakang Kepsek, dan Miza yang tampak sibuk bolak-balik ke galeri seni sepanjang dilangsungkannya upacara.

“Gue juga malas, sih,” lanjut Evelyn. “Emang cuma satu doang yang gue niat pengin dalamin.”

“Yang mana yang mau kamu dalamin?”

Evelyn mengangkat satu formulir yang sudah diisi lengkap. Itu formulir travelustration.

“Gue suka traveling. Dan gue suka doodling. Jadi, ini satu-satunya hal paling penting di dunia ini.”

“Kamu bisa ikutan modelling, Eve!” sahut Keysha langsung menyerobot. “Nanti kita bisa pergi ekskul bareng.”

No!” jawab Evelyn dengan tegas.

Tommy teringat bahwa dia mengiakan tawaran kakak kelas cewek tadi untuk gabung dengan travelustration. Tentu saja Tommy tidak tertarik dengan ekskul tersebut. Pertama, Tommy enggak hobi menggambar. Kedua, Tommy enggak hobi jalan-jalan. Dua hal tersebut bukan dunianya Tommy. Kecuali ada ekskul beauty pageant di sini, sisanya bukanlah dunia Tommy.

Namun janji tetaplah janji. Salah satu yang sering diajarkan ayahnya Tommy adalah menepati janji. Jadi, dengan terpaksa, Tommy mengisi juga formulir travelustration, meski nantinya berencana mangkir sepanjang tiga tahun berada di sekolah ini.

Meski sudah menentukan satu ekstrakurikuler, bukan berarti sisa satu pilihannya menjadi lebih mudah. Tommy seriusan ingin bergabung dengan modelling, tetapi dia ragu keanggotaannya akan diterima. Ekskul modelling melakukan demo di lapangan dan ke kelas-kelas. Mereka menggelar karpet merah panjang dari satu ujung lapangan ke ujung lapangan lain. Hasil-hasil desain ekskul fashion design mereka pamerkan dengan bangga dan anggun di atas catwalk. Ada beberapa murid cowok yang menjadi model. Ada juga yang tinggi badan mereka di bawah Tommy. Namun tetap saja, Tommy tidak merasa pantas bergabung dengan ekskul itu.

Kepercayaan diri bukanlah sesuatu yang alami dimiliki Tommy. Cemoohan yang didapatnya sejak kecil membuatnya selalu merasa insecure atas diri sendiri. Tommy seolah-olah punya fobia terlihat banci di depan orang-orang. Dia sengaja membeli kaus dan celana kebesaran, hanya supaya dianggap maskulin. Kalau dia ikutan modelling, dia harus siap dengan berbagai jenis baju dikenakan, pun berjalan sok-sok macho nan ganteng di depan orang-orang. Bagaimana kalau dia jadi terkenal karena ikutan modelling, lalu reputasinya terancam karena sebagian besar orang dari masa lalunya mulai mengenalnya sebagai ‘bencong’ dari RW 1?

Tommy nggak bisa mengambil risiko itu.

Hingga tiga menit sebelum pukul 12 siang, Tommy hanya memandang formulir modelling di depan wajahnya, tanpa sedikit pun bergerak untuk menulis namanya.

“Kenapa cuma dilihatin aja?” tanya Keysha. “Kamu mau gabung modelling juga kayak aku?”

Merasa ‘gabung modelling’ merendahkan egonya sebagai laki-laki, cepat-cepat Tommy menggeleng. “Nggak, kok. Nggak!” tegasnya, lalu menyelipkan formulir modelling ke tumpukan paling bawah.

“Kenapa enggak? Kamu lumayan kok ikutan modelling,” kata Keysha.

“Elo kurang tinggi,” komentar Evelyn, yang sama sekali tidak membantu.

“Aku ....” Tommy menarikan tangannya, berusaha menjelaskan sesuatu. “Aku mau ke toilet dulu.”

Lalu Tommy pun kabur dari mejanya.

Tommy berlari ke luar kelas menuju toilet yang berada di ujung koridor. Dia tidak benar-benar ingin pipis, tetapi Tommy pipis juga sebagai formalitas. Hatinya dirundung dilema. Ke ekskul manakah Tommy harus mendaftarkan diri? English club akan selalu menjadi pilihan cadangannya, kalau-kalau waktu pendaftaran sudah habis. Namun Karyo juga ikutan english club. Tommy malas berinteraksi dengan banci lain. Takutnya dia jadi kelepasan.

Ketika Tommy mencuci tangannya, orang yang Tommy pikirkan masuk ke toilet. Karyo dan Baharudin menghambur ke dalam. Mereka berjalan bertiga bersama Yana, dari kelas IIS. Meski MOS baru memasuki hari kedua, Tommy sudah hafal geng banci tersebut. Karyo, Baharudin, dan Yana berasal dari SMP yang sama. Mereka juga sama-sama percaya diri total berlenggak-lenggok seperti banci, atau menggunakan bahasa gaul seperti, “Reeeuuusss ... tinta lah, em!” Sudah dua hari ini Tommy berusaha menjauhkan diri dari mereka.

“Heeeyyy ...!” sapa Karyo, “kamu di sini, ya?”

Enggak,” jawab Tommy.

Kemudian Karyo terbahak. “Kamu udah done pilih ekskulnya?”

“Gabung modern dance aja yuk, Sist!” ajak Yana. “Siapa tahu girls powers bisa menguasai SMA ini kayak zaman dulu.”

“Aku bukan girls. Sorry, ya,” jawab Tommy ketus.

Baharudin memutar bola mata. “Alemong ... sok cantik.”

Karyo menyikut Baharudin. “Kita-kita mau ikut modern dance nih, Tom. Who knows you very like it. Biasanya, in SMA Four Four, modern dance is invitation to even-even. You know lah, performance-performance.”

Tommy menggeleng. “Dance buat perempuan.” Padahal, Tommy suka dance. Sama seperti semua gay di dunia, kalau ada kesempatan tampil di panggung dan menari-nari dengan lagu Beyonce, sebenarnya mau. Namun Tommy kembali mengingatkan diri pada misi pertamanya masuk ke SMA ini.

“Enggak lah, Sist,” balas Yana. “Cowok juga boleh ikutan dance.”

Tommy tetap menggeleng.

“Ya udah sih, kalau detseu enggak mau, jengong dipaksa. Kayak enggak ada bencong lain aja di dunia ini,” sahut Baharudin bete.

“Aku bukan bencong, ya,” tegas Tommy.

“Wooowww!” Seseorang mendadak masuk ke dalam toilet. “Bencong-bencong Bandung lagi ngumpul di sini. Anjing! Ngapain siah mararanéh di sini? Nyébong?”

Karyo, Baharudin, dan Yana melonjak kaget dan buru-buru merapatkan diri. Yang masuk barusan adalah Revan, cowok ganteng dari kelas IIS, yang berasal dari SMP yang sama dengan ketiga banci ini. Tommy memahami bahwa Revan tukang nge-bully. Meski Tommy tidak pernah menjadi targetnya, tetapi Revan sesekali terlihat melabrak trio banci di sela-sela istirahat MOS.

“K-kita mau pipis,” kata Yana ketakutan. Yang sebenarnya enggak perlu, karena pertanyaan Revan jelas-jelas retorik.

GBRAK! Revan memukul pintu toilet. “Emang aing peduli, hah?!” sentak Revan. “Emang mararanéh punya kontol, hah?!”

“P-punya, kok ...,” kata Yana lagi, masih ketakutan.

“Anjing siah, bencong pisan manéh,” kata Revan, mendekati ketiganya. Yana dan Karyo menunduk ketakutan. Baharudin yang biasanya tampak strong, juga terlihat lemah di depan Revan. Baharudin hanya bisa menatap kosong ke dinding di belakang Revan, tak mampu berkutik. “Kalian tuh homo, kan? Sok, sedot kontol si Yana.”

“Enggak boleh kayak gitu, Revan,” kata Karyo memberanikan diri. Karyo menggenggam tangan Baharudin dengan kuat. Sedikit-sedikit dia menggeser tubuhnya agar lebih jauh dari Revan yang mendekat.

Revan terbahak. “Kan kalian homo! Berarti kalian senang sedot kontol atuh! Bener teu? Ya sok atuh, sedot kontol si Yana.”

Karyo dan Yana mencoba menggelengkan kepala. Baharudin hanya diam dengan rahang mengeras. Tommy ingin sekali keluar dari situasi itu, tetapi Revan ada tepat di depan pintu. Meski Revan jelas-jelas tidak sedang menargetnya, entah mengapa Tommy sama ketakutannya dengan trio banci di seberangnya.

“Heh, manéh! Bener teu, homo seneng sedot kontol?” tanya Revan ke Tommy.

Buru-buru Tommy mengangguk. Anggukannya dibumbui rasa terintimidasi.

Tah, bener!” sahut Revan menunjuk Tommy. “Buru, lah! Porosotkeun si Yana. Sedot kontolna!”

Enggak mau ....” Karyo mulai menangis. Bahunya berguncang. Yana semakin ketakutan. Saking ketakutannya, Yana mengompol.

“Anjing, belum disedot udah basah duluan!” sembur Revan sambil tertawa menunjuk selangkangan Yana.

Pada saat bersamaan, bel istirahat siang berbunyi. Kriiing! Kriiing! Ini pun menjadi pertanda map formulir pendaftaran ekstrakurikuler harus segera dikumpulkan.

“Ah, lama! Keburu masuk, kan?!” umpat Revan kecewa. Cuih! Revan meludahi trio banci itu. Ludahnya mengenai sepatu Yana. “Homo-homo pembawa bencana kayak kalian téh kenapa masih dibiarin hidup, sih?! Heran!” Cuih! Meludah lagi ke arah trio banci, tapi kali ini tidak mengenai siapa-siapa.

“Heh, kamu! Kamu homo lain?” Revan menunjuk Tommy.

Buru-buru Tommy menggeleng.

“Bagus!” Revan mengacungkan jempolnya. “Ludahin mereka! Supaya mereka membusuk di neraka!”

Tommy malah menelan ludah. Meludahi orang? batin Tommy. Seumur hidup Tommy tak pernah melakukannya. Namun demi selamat dari rundungan Revan sekaligus mengumumkan pada semua orang di ruangan itu bahwa dia bukanlah homoseksual (padahal iya), Tommy pun mengumpulkan ludah dari pangkal lidahnya. Dengan sangat kurang ajar Tommy meludah ke arah trio banci itu. Ludahnya mendarat di leher Karyo.

Tommy tahu, yang dilakukannya keterlaluan. Namun dia harus menyelamatkan dirinya sendiri.


To be continued ....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Nude 33

  ssendrawkwA emitefiL .33     Pada suatu pagi lima tahun lalu, Miza bangun lebih pagi dari biasanya meski semalaman tak bisa tidur. D...