ecnaD nredoM .60
“Ekskul apa yang kamu
ambil?”
“Masih aku pikirin.”
“Aku sih mau masuk modelling dan fashion design.”
“Iya, kamu cocok.”
“Aku tahu.”
“Eh, si Arthur ke mana?”
“Dipanggil anak-anak
ekskul olahraga, kayak basket sama futsal. Kayaknya orang-orang udah tahu dia
atlet.”
“Sebenarnya dia cocok
juga masuk modelling.”
“Elah, dia badan bagus
juga karena olahraga, bukan karena mau jadi model.”
Tommy, Keysha, dan Evelyn
masih berkutat dengan map formulir pendaftaran ekstrakurikuler mereka. Sebelum
makan siang, formulir tersebut sudah harus diserahkan ke OSIS untuk dilakukan
pendataan. Sepanjang pagi, semua ekstrakurikuler sudah melakukan demo di depan seluruh
murid baru. Yang membutuhkan panggung seperti modern dance dan teater, melakukan demo di lapangan. Yang
membutuhkan pendekatan verbal seperti english
club, mendatangi setiap kelas sehabis istirahat pertama sambil
mempromosikan prestasi mereka dalam berbahasa Inggris. Travelustration yang
Tommy lihat pagi tadi memamerkan karya-karya mereka di galeri seni, bersama
dengan ekskul KIR, jurnalistik, dan fashion
design. Mereka yang memamerkan karya di galeri seni juga melakukan tur ke
setiap kelas secara bergantian untuk memberikan brosur dan menceritakan
kegiatan mereka selama lima menit.
Setelah semua
ekstrakurikuler mendapatkan kesempatan untuk promosi, setiap murid baru
diberikan satu map yang berisi setiap formulir pendaftaran ekskul. Ada lebih dari
dua puluh lembar. Hanya dua lembar yang boleh diisi, karena itu batas maksimal
ekstrakurikuler yang bisa diambil. Fantasi Wattpad Tommy tentang menjadi anak
super dengan mengikuti belasan ekskul seperti basket, renang, futsal, teater, science, bla bla bla, bla bla bla, harus
kandas. (Tommy semakin enggak paham bagaimana seorang tokoh di Wattpad bisa
punya banyak sekali keanggotaan ekskul.) Namun bukan karena maksimum dua ekskul
saja yang menghambatnya, melainkan nggak mungkin Tommy ikutan basket atau futsal.
Larinya saja seperti perempuan. Nanti dia ketahuan LGBT dengan mudah.
Jadi, lima belas menit
sebelum penyerahan formulir itu, Tommy masih belum tahu ingin mendaftar ke
ekskul yang mana. Keysha tampaknya sudah membuat semua orang tahu bahwa dia mau
ikutan modelling dan fashion design. Orang yang lewat di
koridor saja dia hampiri, “Kamu ikut ekskul apa? Kayaknya aku ikut modelling sama fashion design.” Entah Keysha mengenal atau tidak mengenal orang
itu.
Tommy melirik Evelyn dan
menemukan cewek itu sama-sama bingung mau masuk ekskul mana.
“Kamu udah nentuin
ekskulnya?” tanya Tommy.
Evelyn mengangkat bahu.
“Gue baru pilih satu. Penginnya sih cuma satu aja.”
“Kita enggak bisa ya satu
aja?”
“Elo enggak dengerin
pidato kepsek tadi pagi, hah? Kita harus ikut dua ekskul untuk melatih
kemampuan berorganisasi kita,” balas Evelyn sambil memutar bola mata.
Tommy tidak mendengarkan
pidato apa pun saat upacara pagi tadi. Dia sedang sibuk naksir tiga orang:
Arthur yang berbaris di belakangnya, Jerome yang berdiri ganteng di belakang
Kepsek, dan Miza yang tampak sibuk bolak-balik ke galeri seni sepanjang
dilangsungkannya upacara.
“Gue juga malas, sih,”
lanjut Evelyn. “Emang cuma satu doang yang gue niat pengin dalamin.”
“Yang mana yang mau kamu
dalamin?”
Evelyn mengangkat satu
formulir yang sudah diisi lengkap. Itu formulir travelustration.
“Gue suka traveling. Dan gue suka doodling. Jadi, ini satu-satunya hal
paling penting di dunia ini.”
“Kamu bisa ikutan modelling, Eve!” sahut Keysha langsung
menyerobot. “Nanti kita bisa pergi ekskul bareng.”
“No!” jawab Evelyn dengan tegas.
Tommy teringat bahwa dia
mengiakan tawaran kakak kelas cewek tadi untuk gabung dengan travelustration.
Tentu saja Tommy tidak tertarik dengan ekskul tersebut. Pertama, Tommy enggak
hobi menggambar. Kedua, Tommy enggak hobi jalan-jalan. Dua hal tersebut bukan
dunianya Tommy. Kecuali ada ekskul beauty
pageant di sini, sisanya bukanlah dunia Tommy.
Namun janji tetaplah
janji. Salah satu yang sering diajarkan ayahnya Tommy adalah menepati janji.
Jadi, dengan terpaksa, Tommy mengisi juga formulir travelustration, meski
nantinya berencana mangkir sepanjang tiga tahun berada di sekolah ini.
Meski sudah menentukan
satu ekstrakurikuler, bukan berarti sisa satu pilihannya menjadi lebih mudah. Tommy seriusan ingin bergabung dengan modelling, tetapi dia ragu keanggotaannya akan diterima. Ekskul modelling melakukan demo di lapangan dan
ke kelas-kelas. Mereka menggelar karpet merah panjang dari satu ujung lapangan
ke ujung lapangan lain. Hasil-hasil desain ekskul fashion design mereka pamerkan dengan bangga dan anggun di atas catwalk. Ada beberapa murid cowok yang
menjadi model. Ada juga yang tinggi badan mereka di bawah Tommy. Namun tetap
saja, Tommy tidak merasa pantas bergabung dengan ekskul itu.
Kepercayaan diri bukanlah
sesuatu yang alami dimiliki Tommy. Cemoohan yang didapatnya sejak kecil
membuatnya selalu merasa insecure
atas diri sendiri. Tommy seolah-olah punya fobia terlihat banci di depan
orang-orang. Dia sengaja membeli kaus dan celana kebesaran, hanya supaya
dianggap maskulin. Kalau dia ikutan modelling,
dia harus siap dengan berbagai jenis baju dikenakan, pun berjalan sok-sok macho
nan ganteng di depan orang-orang. Bagaimana kalau dia jadi terkenal karena
ikutan modelling, lalu reputasinya
terancam karena sebagian besar orang dari masa lalunya mulai mengenalnya
sebagai ‘bencong’ dari RW 1?
Tommy nggak bisa
mengambil risiko itu.
Hingga tiga menit sebelum
pukul 12 siang, Tommy hanya memandang formulir modelling di depan wajahnya, tanpa sedikit pun bergerak untuk
menulis namanya.
“Kenapa cuma dilihatin
aja?” tanya Keysha. “Kamu mau gabung modelling
juga kayak aku?”
Merasa ‘gabung modelling’ merendahkan egonya sebagai
laki-laki, cepat-cepat Tommy menggeleng. “Nggak, kok. Nggak!” tegasnya, lalu
menyelipkan formulir modelling ke
tumpukan paling bawah.
“Kenapa enggak? Kamu
lumayan kok ikutan modelling,” kata
Keysha.
“Elo kurang tinggi,”
komentar Evelyn, yang sama sekali tidak membantu.
“Aku ....” Tommy
menarikan tangannya, berusaha menjelaskan sesuatu. “Aku mau ke toilet dulu.”
Lalu Tommy pun kabur dari
mejanya.
Tommy berlari ke luar
kelas menuju toilet yang berada di ujung koridor. Dia tidak benar-benar ingin
pipis, tetapi Tommy pipis juga sebagai formalitas. Hatinya dirundung dilema. Ke
ekskul manakah Tommy harus mendaftarkan diri? English club akan selalu menjadi pilihan cadangannya, kalau-kalau
waktu pendaftaran sudah habis. Namun Karyo juga ikutan english club. Tommy malas berinteraksi dengan banci lain. Takutnya
dia jadi kelepasan.
Ketika Tommy mencuci
tangannya, orang yang Tommy pikirkan masuk ke toilet. Karyo dan Baharudin menghambur
ke dalam. Mereka berjalan bertiga bersama Yana, dari
kelas IIS. Meski MOS baru memasuki hari kedua, Tommy
sudah hafal geng banci tersebut. Karyo, Baharudin, dan Yana berasal dari SMP
yang sama. Mereka juga sama-sama percaya diri total berlenggak-lenggok seperti
banci, atau menggunakan bahasa gaul seperti, “Reeeuuusss ... tinta lah,
em!” Sudah dua hari ini Tommy
berusaha menjauhkan diri dari mereka.
“Heeeyyy ...!” sapa
Karyo, “kamu di sini, ya?”
“Enggak,” jawab Tommy.
Kemudian Karyo terbahak.
“Kamu udah done pilih ekskulnya?”
“Gabung modern dance aja yuk, Sist!” ajak Yana.
“Siapa tahu girls powers bisa
menguasai SMA ini kayak zaman dulu.”
“Aku bukan girls. Sorry, ya,” jawab Tommy ketus.
Baharudin memutar bola
mata. “Alemong ... sok cantik.”
Karyo menyikut Baharudin.
“Kita-kita mau ikut modern dance nih,
Tom. Who knows you very like it.
Biasanya, in SMA Four Four, modern dance
is invitation to even-even. You know
lah, performance-performance.”
Tommy menggeleng. “Dance buat perempuan.” Padahal, Tommy
suka dance. Sama seperti semua gay di dunia, kalau ada kesempatan
tampil di panggung dan menari-nari dengan lagu Beyonce, sebenarnya mau. Namun
Tommy kembali mengingatkan diri pada misi pertamanya masuk ke SMA ini.
“Enggak lah, Sist,” balas
Yana. “Cowok juga boleh ikutan dance.”
Tommy tetap menggeleng.
“Ya udah sih, kalau detseu enggak mau, jengong
dipaksa. Kayak enggak ada bencong lain aja di dunia ini,” sahut
Baharudin bete.
“Aku bukan bencong, ya,”
tegas Tommy.
“Wooowww!” Seseorang
mendadak masuk ke dalam toilet. “Bencong-bencong Bandung lagi ngumpul di sini.
Anjing! Ngapain siah mararanéh di sini? Nyébong?”
Karyo, Baharudin, dan
Yana melonjak kaget dan buru-buru merapatkan diri. Yang masuk barusan adalah Revan,
cowok ganteng dari kelas IIS,
yang berasal dari SMP yang sama dengan ketiga banci ini. Tommy memahami bahwa Revan
tukang nge-bully. Meski Tommy tidak
pernah menjadi targetnya, tetapi Revan sesekali terlihat melabrak trio banci di
sela-sela istirahat MOS.
“K-kita mau pipis,” kata
Yana ketakutan. Yang sebenarnya enggak perlu, karena pertanyaan Revan
jelas-jelas retorik.
GBRAK! Revan
memukul pintu toilet. “Emang aing
peduli, hah?!” sentak Revan. “Emang mararanéh punya
kontol, hah?!”
“P-punya, kok ...,” kata
Yana lagi, masih ketakutan.
“Anjing siah, bencong pisan manéh,” kata Revan, mendekati ketiganya. Yana dan
Karyo menunduk ketakutan. Baharudin yang biasanya tampak strong, juga terlihat lemah di depan Revan. Baharudin hanya bisa
menatap kosong ke dinding di belakang Revan, tak mampu berkutik. “Kalian tuh
homo, kan? Sok, sedot kontol si
Yana.”
“Enggak boleh kayak gitu,
Revan,” kata Karyo memberanikan diri. Karyo menggenggam tangan Baharudin dengan
kuat. Sedikit-sedikit dia menggeser tubuhnya agar lebih jauh dari Revan yang
mendekat.
Revan terbahak. “Kan
kalian homo! Berarti kalian senang sedot kontol atuh! Bener teu? Ya sok atuh, sedot kontol si Yana.”
Karyo dan Yana mencoba
menggelengkan kepala. Baharudin hanya diam dengan rahang mengeras. Tommy ingin
sekali keluar dari situasi itu, tetapi Revan ada tepat di depan pintu. Meski Revan
jelas-jelas tidak sedang menargetnya, entah mengapa Tommy sama ketakutannya
dengan trio banci di seberangnya.
“Heh, manéh! Bener teu,
homo seneng sedot kontol?” tanya Revan ke Tommy.
Buru-buru Tommy
mengangguk. Anggukannya dibumbui rasa terintimidasi.
“Tah, bener!” sahut Revan menunjuk Tommy. “Buru, lah! Porosotkeun si Yana. Sedot kontolna!”
“Enggak mau ....” Karyo mulai menangis. Bahunya berguncang. Yana
semakin ketakutan. Saking ketakutannya, Yana mengompol.
“Anjing, belum disedot
udah basah duluan!” sembur Revan sambil tertawa menunjuk selangkangan Yana.
Pada saat bersamaan, bel
istirahat siang berbunyi. Kriiing! Kriiing!
Ini pun menjadi pertanda map formulir pendaftaran ekstrakurikuler harus segera
dikumpulkan.
“Ah, lama! Keburu masuk,
kan?!” umpat Revan kecewa. Cuih! Revan
meludahi trio banci itu. Ludahnya mengenai sepatu Yana. “Homo-homo pembawa
bencana kayak kalian téh kenapa masih
dibiarin hidup, sih?! Heran!” Cuih!
Meludah lagi ke arah trio banci, tapi kali ini tidak mengenai siapa-siapa.
“Heh, kamu! Kamu homo
lain?” Revan menunjuk Tommy.
Buru-buru Tommy
menggeleng.
“Bagus!” Revan
mengacungkan jempolnya. “Ludahin mereka! Supaya mereka membusuk di neraka!”
Tommy malah menelan
ludah. Meludahi orang? batin Tommy.
Seumur hidup Tommy tak pernah melakukannya. Namun demi selamat dari rundungan Revan
sekaligus mengumumkan pada semua orang di ruangan itu bahwa dia bukanlah
homoseksual (padahal iya), Tommy pun mengumpulkan ludah dari pangkal lidahnya.
Dengan sangat kurang ajar Tommy meludah ke arah trio banci itu. Ludahnya
mendarat di leher Karyo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar