reruaM oiraM .50
Hari pertama MOS
berlangsung sangat-sangat normal, kecuali fakta bahwa Tommy satu meja bersama
seorang selebgram. Semua fantasi Wattpad-nya tidak terealisasi, tetapi
rasa-rasanya tak mengapa, karena sepulang MOS Tommy punya nomor telepon Arthur
dan kalau Tommy me-Whatsapp sesuatu (yah, masih sebatas urusan MOS, sih), cowok
ganteng itu akan membalasnya. Tiba-tiba saja Tommy merasa dirinya artis
tersohor, meski follower IG-nya hanya
126 orang saja.
Misi ketiga Tommy adalah
bisa masuk story akun IG-nya Arthur
dan dilihat oleh 34.000 orang.
Karena hari pertama diisi
oleh penjelasan akademik, peraturan sekolah, dan informasi soal OSIS, hari
kedua akan diselenggarakan pagelaran ekstrakurikuler sehari penuh. Semua klub
yang ada di sekolah akan melakukan demo, baik itu di lapangan, maupun satu per
satu ke kelas, untuk mempromosikan masing-masing klubnya. SMA ini terkenal
dengan modern dance, english club, teater, paduan suara, dan
modelling. Tommy inginnya mengikuti modelling,
kalau memang segala jenis orang diperbolehkan mendaftar.
Sayangnya,
tinggi Tommy sekadar 170 cm,
berat badan 62 kg. Sejenis kurus-kurus proporsional, tapi karena tingginya 170
cm, mungkin enggak bakal ada agensi modelling
yang mau. Kalau ikutan klub modelling
kan, meski pasti dilepeh pas
pagelaran, yang penting bisa catwalk.
Ekstrakurikuler ini satu-satunya jalan berlenggak-lenggok manja, tanpa perlu
ketahuan LGBT.
Sekali lagi, karena rumah
Tommy jauh, dia tiba di sekolah sangat-sangat awal. Ketika Tommy memasuki
gerbang, sekumpulan panitia OSIS bahkan masih melakukan briefing di tengah lapangan. Tommy memutuskan untuk menyimpan
tasnya di kelas (tidak ada siapa-siapa di dalam), kemudian bergegas ke kantin
mencari sepotong roti. Sengaja Tommy melalui jalan memutar agar dia lebih
mengenal kompleks sekolah ini.
Ada satu koridor yang
belum Tommy lewati sejak kemarin. Untuk pergi ke kantin, tidak perlu lewat sini
karena kejauhan. Namun koridor ini tetap terhubung dengan kantin. Di sepanjang
koridor ada lebih dari dua puluh ruangan kecil sebesar kamar tidur yang
merupakan markas setiap ekstrakurikuler. Belasan dari markas tersebut pintunya
terbuka dan menampilkan kakak kelas yang sedang menyiapkan penampilan mereka
hari ini. Di depan ruang modern dance,
sekumpulan cewek dan banci sedang berdandan untuk penampilan mereka. Anak-anak
teater sedang berlatih salah satu adegan kabaret yang tampaknya harus diubah
karena suatu hal. Ekskul basket isinya cowok-cowok cakep telanjang dada yang
sedang melakukan pemanasan sebelum demo. Pas lewat markas basket ini, Tommy
mendadak berjalan seperti Putri Solo—supaya dia bisa memandangi cowok-cowok itu
lebih lama.
Di paling ujung koridor,
ada satu ekskul yang Tommy tak menyangka bakalan ada di sebuah SMA. Adanya
ekskul modelling saja rada-rada
enggak lazim, tapi yang ini kayaknya lebih enggak lazim lagi. Di plang atas
pintu ada sebuah doodling yang bagus
sekali, bertuliskan Travelustration. Sekitar tiga orang di dalam ruangan sedang
sibuk menyiapkan beberapa easel dan
karya seni lukis maupun foto. Tommy berhenti sebentar untuk mengintip. Seorang
cewek menengadah dan memergoki Tommy berdiri di depan pintu. Cewek itu
membelalak. Pun, Tommy. Jadi dengan canggung, Tommy buru-buru kabur ke kantin
dan membeli roti.
Beberapa kakak kelas dari
ruang Travelustration itu bolak-balik membawa easel dan karya seni ke sebuah aula, yang dari jauh tampak sudah
disulap menjadi galeri seni. Seorang cowok berkacamata tanpa sengaja membawa easel yang tidak tertutup kain, sehingga
Tommy bisa melihat sebuah foto yang ditempel sangat cantik di kanvasnya. Tommy
membaca dengan cepat apa yang tertera di kertas keterangan kecil bagian bawah.
Tulisannya: Sumba.
Dan foto itu cantik
sekali. Bukit-bukit hijau padang rumput tanpa pohon. Hanya biru langit dan
hijau rumput yang mengisi foto, tampak panoramik dengan
seorang cowok berdiri memunggungi kamera di tengah-tengah. Foto itu
mengingatkan Tommy pada Zozibini Tunzi, Miss Universe terbaru yang melakukan
syuting produk minuman kecantikan di Sumba.
Sepanjang membeli roti di
kantin (untungnya sudah ada warung yang buka), Tommy kepikiran dengan reaksi
senior cewek tadi. Mengapa dia membelalak melihat Tommy? Memangnya Tommy hantu?
Atau Tommy menginjak sesuatu yang terlarang di depan ruangan? Tommy memutuskan untuk
mengambil jalan normal kembali ke kelas, tidak perlu melewati koridor ekskul
barusan.
Lagi pula, Tommy sudah
mantap ingin bergabung dengan modelling.
Misal enggak lolos, Tommy akan bergabung dengan english club. Catwalk
sudah menjadi impian masa kecil Tommy. Dia penggemar beauty pageant. Maka dari itu akan banyak sekali referensi kontes
kecantikan yang dia gunakan untuk mengekspresikan diri. Alasan lain Tommy ingin gabung modelling, supaya dia bisa menjadi pelatih beauty queen suatu hari nanti di Amerika Tengah. (Mengingat untuk
ikutan Miss Universe sudah agak mustahil, tak peduli sebesar apa pun impact
yang dilakukan Angela Ponce di Miss Universe 2018.)
Ketika Tommy berjalan
kembali ke kelas, di persimpangan yang memisahkan antara koridor kelas dan
koridor ruang-ruang ekstrakurikuler, Tommy melihat lagi cewek itu.
“Itu dia!” katanya,
menunjuk Tommy, sambil berbicara ke seorang cowok.
Cowok yang ditunjuk
enggak menggunakan seragam SMA layaknya si cewek. Namun si cowok juga sama
membelalaknya dengan si cewek. “Eh, iya dong, mirip!” kata si cowok.
“Bener, kan? Nyaris sama
banget!”
Mereka menghampiri Tommy,
menghadang murid baru itu hingga tak bisa berkutik. Si cowok yang mengenakan
kemeja flanel mengamati Tommy atas dan bawah.
“Nama kamu siapa?”
desaknya.
“To ... Tommy, Kak,”
jawab Tommy ketakutan.
Mereka berdua mengamati
lagi Tommy dengan saksama. Lalu yang cewek bergumam lagi, “Aku ingat
banget mukanya begini, meski aku belum pernah ketemu. Habisnya kita sering
banget lihat fotonya.”
“I know. Memang mirip banget, sih,” balas si cowok.
Mirip siapa, ya?
batin Tommy.
“Kamu punya kakak?” tanya
si cowok.
Tommy mengangguk.
“Kakak cowok?” tanyanya
lagi.
Tommy menggeleng. Tommy
punya dua kakak. Dua-duanya cewek.
“Kamu punya saudara atau
sepupu yang mirip kamu?”
Tommy menyipitkan mata
untuk mengingat-ingat. Sejauh ini, tak ada satu pun orang dari keluarga
besarnya yang Tommy rasa mirip dengan dirinya. Jadi, Tommy menggeleng lagi.
“Coba panggil dia,” kata
si cowok.
Yang cewek menoleh ke
belakang. “Itu dia. Baru datang.”
Yang mereka maksud dia
adalah seorang cowok yang tampak lebih tua untuk disebut anak SMA. Bukan
tua-tua banget, tapi cowok itu seperti anak kuliahan. Dandanannya pun begitu.
Dia tidak mengenakan seragam SMA, atau seragam ekstrakurikuler seperti modern dance di sana. Sosoknya tinggi,
kulitnya mulus seperti kulit Arthur, Tommy mengira dia orang ganteng Thailand
yang sedang kesasar di Bandung.
Si dia itu juga tampak
kaget melihat Tommy ditahan oleh dua temannya. Mungkin bukan soal ditahannya
yang bikin dia kaget, melainkan fisik Tommy yang pagi ini sudah membuat
setidaknya dua orang heboh.
“Ya ampun, mirip banget!”
Seseorang mendadak berhenti dari berjalan hanya untuk mengamati Tommy lebih
dekat.
Cowok yang tadi membawa
foto Sumba pun berbelok untuk melihat Tommy lebih dekat. “Eh serius, dong.
Mirip. Tapi ini versi lebih muda.”
Nah, sekarang ada lima
orang yang heboh dengan fisik Tommy.
Si dia yang baru datang
itu menghampiri mereka semua. Dia berjalan perlahan, agak ragu untuk mendekat,
agak tak percaya pada apa yang sedang dilihatnya. Ada bekas cukuran jambang
yang bikin wajah manisnya tampak maskulin. Rambutnya yang agak gondrong
berkibar tertiup angin, senada dengan kibaran kemejanya yang tidak
dikancingkan.
Ketika si dia tiba di
depan Tommy, cowok berkemeja flanel langsung merangkulnya dan mengamati Tommy
bersamaan. “Gile, mirip, ya?”
Si dia tidak memberikan
respons apa-apa kecuali menatap Tommy dari atas hingga ke bawah. Dari dekat, si
dia bahkan tampak lebih ganteng lagi. Bagi Tommy, si dia ini persis Mario
Maurer dikasih jambang dan dibikin lebih maskulin. Namun Tommy tak berani
menengadah lebih lama untuk menikmati pesonanya. Karena dikelilingi oleh kakak
kelas seperti ini—atau bahkan alumni, karena dua di antara mereka tidak
mengenakan seragam SMA, membuat Tommy merasa terintimidasi. Seolah-olah Tommy
melakukan kesalahan besar dan sekarang sedang disidang.
Jadi, dengan bodohnya
Tommy malah bergumam, “Maaf, Kak.”
“Kenapa elo minta maaf?”
tanya si dia. Yang bahkan suaranya pun terdengar ganteng.
Tommy menggeleng. Dia
tidak tahu mengapa dia meminta maaf. “Sa ... saya cuma beli roti aja. Tadi
datang kepagian, Kak.”
Si dia tidak menjawab. Si
dia masih mengamati Tommy dan memastikan sosok murid baru di depannya ini
nyata.
“Kamu mau gabung di
Travelustration, Dek?” tanya si cewek, menepuk bahu Tommy.
Karena ketakutan, Tommy
pun mengangguk.
“Owh ... mau ya?” si
cewek terkejut sendiri.
“Udah, kalian balik lagi
ke pos masing-masing,” kata si dia membubarkan. “Display harus siap sebelum
istirahat pertama. Biarin adek ini balik lagi ke kelasnya buat MOS hari kedua.”
“Tapi mirip, kan?” si
cowok keukeuh butuh respons.
Si dia mengangguk. “Iya,
mirip. Tapi kan bukan dia.”
“Ya emang bukan, sih.
Masa iya si Stevan ilang terus reinkarnasi lagi jadi brondong umur lima belasan
kayak begini. Enak di dia dong, balik lagi ke SMA.”
“Ck. Udah jangan bahas
lagi,” kata si dia, membubarkan semua yang ada di situ, kecuali Tommy.
Ketika semua orang pergi,
meninggalkan Tommy dan si dia berdua, Tommy melihat sebuah uluran tangan kokoh datang
dari sosok cowok cakep itu. Tangannya agak berurat, seolah-olah sudah melakukan
banyak sekali pekerjaan berat. Ada beberapa luka gores, pun ada bekas cat
akrilik yang belum terbasuh sempurna. Mungkin dia baru saja panjat tebing,
sekaligus melukis di atas kanvas.
“Nama kamu siapa?”
tanyanya.
Tommy membalas uluran
tangan itu dengan gugup. Tangan itu hangat. Besar. Dan Tommy mulai membayangkan
yang bukan-bukan. “Nama saya Tommy, Kak.”
“Kelas MIA? IIS?”
Tommy menelan ludah. “IBB.”
Si dia mengangkat kedua
alisnya. “Oh, okay.” Kemudian dia
mengenalkan diri. “Gue Miza.” Uluran tangan itu pun terlepas. Tommy mengamati
Miza memasukkan tangannya ke saku celana. Sosok itu masih diam di sana. Seperti
belum selesai dengan Tommy.
“Sorry buat yang barusan,” kata Miza. “Kebetulan elo mirip sama
salah satu sobat gue di masa lalu, yang hilang entah ke mana sampai hari ini
enggak ada kabarnya. Tapi mereka semua tahu orangnya yang mana, karena gue
sering share fotonya. Jadi, ya ...
mereka heboh pas lihat elo muncul di sini.”
“Gapapa, Kak,” jawab
Tommy malu-malu.
Miza menepuk bahu Tommy
dengan akrab. Aroma kayu hutan menguar sejuk dari tubuhnya. Tommy menghidunya
dengan nikmat. “Ya udah, silakan kembali ke kelas. See you at demo!”
“Iya, Kak.”
To be continued ....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar