Kamis, 25 Maret 2021

Nude 05


reruaM oiraM .50

 

Hari pertama MOS berlangsung sangat-sangat normal, kecuali fakta bahwa Tommy satu meja bersama seorang selebgram. Semua fantasi Wattpad-nya tidak terealisasi, tetapi rasa-rasanya tak mengapa, karena sepulang MOS Tommy punya nomor telepon Arthur dan kalau Tommy me-Whatsapp sesuatu (yah, masih sebatas urusan MOS, sih), cowok ganteng itu akan membalasnya. Tiba-tiba saja Tommy merasa dirinya artis tersohor, meski follower IG-nya hanya 126 orang saja.

Misi ketiga Tommy adalah bisa masuk story akun IG-nya Arthur dan dilihat oleh 34.000 orang.

Karena hari pertama diisi oleh penjelasan akademik, peraturan sekolah, dan informasi soal OSIS, hari kedua akan diselenggarakan pagelaran ekstrakurikuler sehari penuh. Semua klub yang ada di sekolah akan melakukan demo, baik itu di lapangan, maupun satu per satu ke kelas, untuk mempromosikan masing-masing klubnya. SMA ini terkenal dengan modern dance, english club, teater, paduan suara, dan modelling. Tommy inginnya mengikuti modelling, kalau memang segala jenis orang diperbolehkan mendaftar.

Sayangnya, tinggi Tommy sekadar 170 cm, berat badan 62 kg. Sejenis kurus-kurus proporsional, tapi karena tingginya 170 cm, mungkin enggak bakal ada agensi modelling yang mau. Kalau ikutan klub modelling kan, meski pasti dilepeh pas pagelaran, yang penting bisa catwalk. Ekstrakurikuler ini satu-satunya jalan berlenggak-lenggok manja, tanpa perlu ketahuan LGBT.

Sekali lagi, karena rumah Tommy jauh, dia tiba di sekolah sangat-sangat awal. Ketika Tommy memasuki gerbang, sekumpulan panitia OSIS bahkan masih melakukan briefing di tengah lapangan. Tommy memutuskan untuk menyimpan tasnya di kelas (tidak ada siapa-siapa di dalam), kemudian bergegas ke kantin mencari sepotong roti. Sengaja Tommy melalui jalan memutar agar dia lebih mengenal kompleks sekolah ini.

Ada satu koridor yang belum Tommy lewati sejak kemarin. Untuk pergi ke kantin, tidak perlu lewat sini karena kejauhan. Namun koridor ini tetap terhubung dengan kantin. Di sepanjang koridor ada lebih dari dua puluh ruangan kecil sebesar kamar tidur yang merupakan markas setiap ekstrakurikuler. Belasan dari markas tersebut pintunya terbuka dan menampilkan kakak kelas yang sedang menyiapkan penampilan mereka hari ini. Di depan ruang modern dance, sekumpulan cewek dan banci sedang berdandan untuk penampilan mereka. Anak-anak teater sedang berlatih salah satu adegan kabaret yang tampaknya harus diubah karena suatu hal. Ekskul basket isinya cowok-cowok cakep telanjang dada yang sedang melakukan pemanasan sebelum demo. Pas lewat markas basket ini, Tommy mendadak berjalan seperti Putri Solo—supaya dia bisa memandangi cowok-cowok itu lebih lama.

Di paling ujung koridor, ada satu ekskul yang Tommy tak menyangka bakalan ada di sebuah SMA. Adanya ekskul modelling saja rada-rada enggak lazim, tapi yang ini kayaknya lebih enggak lazim lagi. Di plang atas pintu ada sebuah doodling yang bagus sekali, bertuliskan Travelustration. Sekitar tiga orang di dalam ruangan sedang sibuk menyiapkan beberapa easel dan karya seni lukis maupun foto. Tommy berhenti sebentar untuk mengintip. Seorang cewek menengadah dan memergoki Tommy berdiri di depan pintu. Cewek itu membelalak. Pun, Tommy. Jadi dengan canggung, Tommy buru-buru kabur ke kantin dan membeli roti.

Beberapa kakak kelas dari ruang Travelustration itu bolak-balik membawa easel dan karya seni ke sebuah aula, yang dari jauh tampak sudah disulap menjadi galeri seni. Seorang cowok berkacamata tanpa sengaja membawa easel yang tidak tertutup kain, sehingga Tommy bisa melihat sebuah foto yang ditempel sangat cantik di kanvasnya. Tommy membaca dengan cepat apa yang tertera di kertas keterangan kecil bagian bawah.

Tulisannya: Sumba.

Dan foto itu cantik sekali. Bukit-bukit hijau padang rumput tanpa pohon. Hanya biru langit dan hijau rumput yang mengisi foto, tampak panoramik dengan seorang cowok berdiri memunggungi kamera di tengah-tengah. Foto itu mengingatkan Tommy pada Zozibini Tunzi, Miss Universe terbaru yang melakukan syuting produk minuman kecantikan di Sumba.

Sepanjang membeli roti di kantin (untungnya sudah ada warung yang buka), Tommy kepikiran dengan reaksi senior cewek tadi. Mengapa dia membelalak melihat Tommy? Memangnya Tommy hantu? Atau Tommy menginjak sesuatu yang terlarang di depan ruangan? Tommy memutuskan untuk mengambil jalan normal kembali ke kelas, tidak perlu melewati koridor ekskul barusan.

Lagi pula, Tommy sudah mantap ingin bergabung dengan modelling. Misal enggak lolos, Tommy akan bergabung dengan english club. Catwalk sudah menjadi impian masa kecil Tommy. Dia penggemar beauty pageant. Maka dari itu akan banyak sekali referensi kontes kecantikan yang dia gunakan untuk mengekspresikan diri. Alasan lain Tommy ingin gabung modelling, supaya dia bisa menjadi pelatih beauty queen suatu hari nanti di Amerika Tengah. (Mengingat untuk ikutan Miss Universe sudah agak mustahil, tak peduli sebesar apa pun impact yang dilakukan Angela Ponce di Miss Universe 2018.)

Ketika Tommy berjalan kembali ke kelas, di persimpangan yang memisahkan antara koridor kelas dan koridor ruang-ruang ekstrakurikuler, Tommy melihat lagi cewek itu.

“Itu dia!” katanya, menunjuk Tommy, sambil berbicara ke seorang cowok.

Cowok yang ditunjuk enggak menggunakan seragam SMA layaknya si cewek. Namun si cowok juga sama membelalaknya dengan si cewek. “Eh, iya dong, mirip!” kata si cowok.

“Bener, kan? Nyaris sama banget!”

Mereka menghampiri Tommy, menghadang murid baru itu hingga tak bisa berkutik. Si cowok yang mengenakan kemeja flanel mengamati Tommy atas dan bawah.

“Nama kamu siapa?” desaknya.

“To ... Tommy, Kak,” jawab Tommy ketakutan.

Mereka berdua mengamati lagi Tommy dengan saksama. Lalu yang cewek bergumam lagi, “Aku ingat banget mukanya begini, meski aku belum pernah ketemu. Habisnya kita sering banget lihat fotonya.”

I know. Memang mirip banget, sih,” balas si cowok.

Mirip siapa, ya? batin Tommy.

“Kamu punya kakak?” tanya si cowok.

Tommy mengangguk.

“Kakak cowok?” tanyanya lagi.

Tommy menggeleng. Tommy punya dua kakak. Dua-duanya cewek.

“Kamu punya saudara atau sepupu yang mirip kamu?”

Tommy menyipitkan mata untuk mengingat-ingat. Sejauh ini, tak ada satu pun orang dari keluarga besarnya yang Tommy rasa mirip dengan dirinya. Jadi, Tommy menggeleng lagi.

“Coba panggil dia,” kata si cowok.

Yang cewek menoleh ke belakang. “Itu dia. Baru datang.”

Yang mereka maksud dia adalah seorang cowok yang tampak lebih tua untuk disebut anak SMA. Bukan tua-tua banget, tapi cowok itu seperti anak kuliahan. Dandanannya pun begitu. Dia tidak mengenakan seragam SMA, atau seragam ekstrakurikuler seperti modern dance di sana. Sosoknya tinggi, kulitnya mulus seperti kulit Arthur, Tommy mengira dia orang ganteng Thailand yang sedang kesasar di Bandung.

Si dia itu juga tampak kaget melihat Tommy ditahan oleh dua temannya. Mungkin bukan soal ditahannya yang bikin dia kaget, melainkan fisik Tommy yang pagi ini sudah membuat setidaknya dua orang heboh.

“Ya ampun, mirip banget!” Seseorang mendadak berhenti dari berjalan hanya untuk mengamati Tommy lebih dekat.

Cowok yang tadi membawa foto Sumba pun berbelok untuk melihat Tommy lebih dekat. “Eh serius, dong. Mirip. Tapi ini versi lebih muda.”

Nah, sekarang ada lima orang yang heboh dengan fisik Tommy.

Si dia yang baru datang itu menghampiri mereka semua. Dia berjalan perlahan, agak ragu untuk mendekat, agak tak percaya pada apa yang sedang dilihatnya. Ada bekas cukuran jambang yang bikin wajah manisnya tampak maskulin. Rambutnya yang agak gondrong berkibar tertiup angin, senada dengan kibaran kemejanya yang tidak dikancingkan.

Ketika si dia tiba di depan Tommy, cowok berkemeja flanel langsung merangkulnya dan mengamati Tommy bersamaan. “Gile, mirip, ya?”

Si dia tidak memberikan respons apa-apa kecuali menatap Tommy dari atas hingga ke bawah. Dari dekat, si dia bahkan tampak lebih ganteng lagi. Bagi Tommy, si dia ini persis Mario Maurer dikasih jambang dan dibikin lebih maskulin. Namun Tommy tak berani menengadah lebih lama untuk menikmati pesonanya. Karena dikelilingi oleh kakak kelas seperti ini—atau bahkan alumni, karena dua di antara mereka tidak mengenakan seragam SMA, membuat Tommy merasa terintimidasi. Seolah-olah Tommy melakukan kesalahan besar dan sekarang sedang disidang.

Jadi, dengan bodohnya Tommy malah bergumam, “Maaf, Kak.”

“Kenapa elo minta maaf?” tanya si dia. Yang bahkan suaranya pun terdengar ganteng.

Tommy menggeleng. Dia tidak tahu mengapa dia meminta maaf. “Sa ... saya cuma beli roti aja. Tadi datang kepagian, Kak.”

Si dia tidak menjawab. Si dia masih mengamati Tommy dan memastikan sosok murid baru di depannya ini nyata.

“Kamu mau gabung di Travelustration, Dek?” tanya si cewek, menepuk bahu Tommy.

Karena ketakutan, Tommy pun mengangguk.

“Owh ... mau ya?” si cewek terkejut sendiri.

“Udah, kalian balik lagi ke pos masing-masing,” kata si dia membubarkan. “Display harus siap sebelum istirahat pertama. Biarin adek ini balik lagi ke kelasnya buat MOS hari kedua.”

“Tapi mirip, kan?” si cowok keukeuh butuh respons.

Si dia mengangguk. “Iya, mirip. Tapi kan bukan dia.”

“Ya emang bukan, sih. Masa iya si Stevan ilang terus reinkarnasi lagi jadi brondong umur lima belasan kayak begini. Enak di dia dong, balik lagi ke SMA.”

“Ck. Udah jangan bahas lagi,” kata si dia, membubarkan semua yang ada di situ, kecuali Tommy.

Ketika semua orang pergi, meninggalkan Tommy dan si dia berdua, Tommy melihat sebuah uluran tangan kokoh datang dari sosok cowok cakep itu. Tangannya agak berurat, seolah-olah sudah melakukan banyak sekali pekerjaan berat. Ada beberapa luka gores, pun ada bekas cat akrilik yang belum terbasuh sempurna. Mungkin dia baru saja panjat tebing, sekaligus melukis di atas kanvas.

“Nama kamu siapa?” tanyanya.

Tommy membalas uluran tangan itu dengan gugup. Tangan itu hangat. Besar. Dan Tommy mulai membayangkan yang bukan-bukan. “Nama saya Tommy, Kak.”

“Kelas MIA? IIS?”

Tommy menelan ludah. “IBB.”

Si dia mengangkat kedua alisnya. “Oh, okay.” Kemudian dia mengenalkan diri. “Gue Miza.” Uluran tangan itu pun terlepas. Tommy mengamati Miza memasukkan tangannya ke saku celana. Sosok itu masih diam di sana. Seperti belum selesai dengan Tommy.

Sorry buat yang barusan,” kata Miza. “Kebetulan elo mirip sama salah satu sobat gue di masa lalu, yang hilang entah ke mana sampai hari ini enggak ada kabarnya. Tapi mereka semua tahu orangnya yang mana, karena gue sering share fotonya. Jadi, ya ... mereka heboh pas lihat elo muncul di sini.”

“Gapapa, Kak,” jawab Tommy malu-malu.

Miza menepuk bahu Tommy dengan akrab. Aroma kayu hutan menguar sejuk dari tubuhnya. Tommy menghidunya dengan nikmat. “Ya udah, silakan kembali ke kelas. See you at demo!”

“Iya, Kak.”


To be continued ....


<<< Part 04  |  Nude  |  Part 06 >>>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Nude 33

  ssendrawkwA emitefiL .33     Pada suatu pagi lima tahun lalu, Miza bangun lebih pagi dari biasanya meski semalaman tak bisa tidur. D...