Kamis, 25 Maret 2021

Nude 03

 

oyucoT lE .30


Tak ada yang bisa Tommy lakukan selain marah kepada Karyo. Menurutnya, tuduhan itu tak berdasar dan berpotensi menyakiti hati seseorang. Karyo saja yang jelas-jelas banci tidak dituduh banci oleh Tommy, seharusnya Karyo pun tidak mengatakan hal seperti itu.

“Aku tersinggung, Yo kamu bilang begitu,” kata Tommy, memberanikan diri. Dia merapikan lagi ranselnya.

“Ya I’m sorry. Bukan maksud aku nuduh kamu banci. I just think you is banci from the first sight. Mungkin aku salah,” balas Karyo, tampak menyesal.

Tommy ingin sekali luluh pada permintaan maaf yang tulus itu. Namun dia harus menjalankan misi kedua, yaitu meng-unfriend Karyo dari hidupnya. Sebagai cowok, dia harus macho. Salah satunya memutus silaturahmi kalau memang temanmu itu kurang ajar. Menyebut dirinya banci bagi Tommy adalah kurang ajar. Karyo kan enggak tahu apa-apa soal hidup Tommy atau masa lalunya. Karyo enggak berhak menjudge aku, batin Tommy.

Meski secara teknis yang Karyo bilang benar, sih. Tapi kan enggak perlu ada yang tahu.

“Aku pindah. Maaf, ya,” kata Tommy, sambil berdiri dari kursinya.

Karyo mengangguk. “Ya udah, I am alright. Berarti aku duduk sama temanku.”

“Hah?”

My SMP friends. Namanya Baharudin. Dia masuk kelas IBB juga. Tapi belum datang. Kami janjian buat duduk bareng di SMA.”

Tommy mengerutkan alisnya. “Terus kenapa kamu minta duduk sama aku?”

“Ya enggak usah sewot, kali!” sahut Karyo tersinggung. Beberapa orang menoleh, termasuk Matheus Song. “Aku, kan cuma just wants to have new friends. Siapa tahu kita bisa duduk bertiga.”

MANA BISA! jerit Tommy dalam hati. Satu meja saja kursinya untuk dua orang. Memangnya kita lagi naik angkot duduk empet-empetan?!

Tommy mendengus kesal dan berbalik meninggalkan Karyo. Beberapa orang sudah ramai berdatangan ke dalam kelas dan mengambil setiap meja yang kosong. Mungkin karena tidak saling mengenal, setiap satu orang akan duduk di satu meja saja. Orang berikutnya yang muncullah yang terpaksa duduk dengan yang sudah datang duluan.

Nah, masalahnya, meja yang kosong sekarang tinggal meja di belakang si Matheus Song. Sisanya terisi murid cowok atau cewek yang masih canggung dengan kelas baru, sibuk dengan ponsel masing-masing. Ada sekitar empat meja berisi satu cowok yang sudah duduk (tidak termasuk Matheus Song). Apa Tommy perlu menghampiri salah satu dari mereka?

Enggak, jawab Tommy dalam hati. Mereka duduk terlalu jauh dari si Matheus Song. Bisa-bisa Tommy kehilangan kesempatan mengagumi cowok berjas SMP swasta itu dari dekat.

Apa Tommy duduk semeja dengan Matheus Song saja?

Gila, ya? balas Tommy dalam hati. Bisa mimisan setiap hari atau tremor pas pegang pulpen saking deg-degannya duduk sama yang ganteng. Seumur hidup Tommy enggak pernah berinteraksi dengan orang yang ganteng banget kayak si Matheus Song. Rasanya enggak pantas, gitu. Apalagi dulu Tommy sering diejek bencong, jadinya mungkin semua yang ganteng bakal menjauh. Tommy juga enggak merasa cakep-cakep amat untuk berada dalam radius dua meter di sekitar cowok ganteng. Takutnya virus muka jelek Tommy menginfeksi para cowok ganteng ini, membuat mereka jadi kehilangan ketampanan.

Tapi aku pengin duduk dekat si Matheus Song itu! jerit Tommy dalam hati.

Akhirnya, Tommy memberanikan diri menduduki kursi di meja yang berada tepat di belakang si Matheus Song. Enggak apa-apa, lah meski jantung agak berdebar sedikit. Yang penting bisa berlagak macho, siapa tahu bisa berteman baik dengan si Matheus Song.

Yaolo, tengkuknya aja ganteng, kok bisa, ya? batin Tommy sambil mengagumi bagian belakang tubuh cowok dari SMP swasta itu. Orangnya juga wangi. Tommy memutuskan untuk menyemprotkan Pucelle Splash Cologne varian Rose 175 ml sembunyi-sembunyi ke seragam SMP-nya, merasa insecure dengan wangi maskulin menggoda dari si Matheus Song.

Selama bermenit-menit, Tommy menghabiskan waktu memandangi tengkuk cowok di depannya. Tentu saja dia melakukannya sembunyi-sembunyi, jangan sampai ada yang tahu dia kesengsem sama cowok. Tommy enggak bisa menangkis fakta bahwa kulit si Matheus Song ini sungguh sempurna. Kayak jerawat enggak pernah berani lewat di mukanya. Mungkin kalau kecelakaan mobil juga, enggak akan ada serpihan-serpihan kaca yang berani menyentuh kulit dewa si Matheus Song ini. Kalau Tommy bisa pacaran dengan si Matheus Song, akan dia kagumi keindahan tubuhnya setiap hari.

Tiba-tiba, si Matheus Song menoleh ke belakang. Tommy membelalak kaget, karena dia kepergok sedang kasmaran dengan tengkuk cowok itu, jadi Tommy buru-buru menempelkan ponsel ke telinga dan pura-pura menelepon, “Apa? Masuk rumah sakit? Iya. He-eh. Beli dua meter aja kain kafannya.” Ketika si Matheus Song menoleh lagi ke depan, Tommy menepuk jidatnya.

What the fuck, Tommy? Memangnya sebelum dia noleh kamu lagi nelepon, hah?!

Tommy berencana bunuh diri sore ini. Motivasinya adalah rasa malu.

“Ih, dasar ganjen,” sahut seseorang, terdengar sayup-sayup dari belakang. Tommy menoleh dan menemukan Karyo sudah duduk dengan seorang cowok lain.

Bukan. Bukan cowok. Dia pakai seragam SMP yang di kerahnya ada sematan pin berbentuk hati warna pink. Di balik kemejanya juga tercetak jelas kalung batu-batuan berwarna neon. Dia banci. Mungkin itulah Baharudin.

Baharudin memutar bola mata saat Tommy menoleh ke arahnya. Sementara Karyo hanya meringis dan melambaikan tangan ke arah Tommy.

“Selamat pagi, Adek-Adek!” Seorang senior cowok (biasa aja, enggak ganteng) yang menjadi panitia MOS muncul ke depan kelas dan membuyarkan semua aktivitas masing-masing kelas IBB. Tommy melihat kanan kiri dan menemukan setiap meja sudah terisi dua orang. Semuanya. Kecuali dia dan si Matheus Song. “Kayaknya tinggal sedikit yang belum datang, ya? Saya hitung dulu, boleh?”

Tommy ikut menghitung bersama sang senior. Ada 38 orang, dari total 40 kursi yang tersedia. Kalau ucapan si Teteh tadi benar, berarti tinggal dua orang yang belum datang. Dari hasil perhitungan Tommy, ada 16 murid cowok dan 22 murid cewek. Setiap cowok cewek ini sudah duduk dengan yang berjenis kelamin sama dengan mereka. Bahkan yang banci pun duduk sama yang banci, seperti Karyo dan Baharudin.

“Oh, ini sudah datang lagi peserta MOS-nya,” kata si senior, mempersilakan masuk seorang cewek berambut keriting yang berada di depan pintu. Cewek itu kurus dan eksotis. Mungkin kalau jadi model bisa di-hire untuk edgy look. Wajahnya tampak jutek. Belum kenal sedetik pun, Tommy sudah bertekad untuk tidak temanan dengan cewek macam dia.

Pertama, cewek macam itu tuh kalau komen suka enggak disaring. Kedua, cewek macam itu tuh kalau mengobservasi selalu tokcer. Bisa-bisa dialah orang pertama (selain Karyo dan Baharudin) yang membuka tabir bahwa Tommy seorang gay. Jauh-jauh deh, batin Tommy.

“Silakan masuk!” Senior itu membawa cewek jutek keriting ke depan kelas. Tidak ada lagi kursi kosong di ruangan itu, selain kursi di samping Tommy, atau di samping si Matheus Song. Cewek jutek melihat ke antara Tommy dan Matheus Song, kemudian dia mengangkat bahu.

“Aku enggak mau duduk sama cowok, Kak,” katanya, benar-benar tegas dan berani.

Nah, kan, komentarnya suka enggak disaring. Siapa juga yang mau duduk sama kamu? pikir Tommy dalam hati.

“Lho, kenapa?”

“Yang lain gendernya sama, masa aku dicampur? Kalau aku diapa-apain sama dia gimana?” katanya, sambil mengedikkan dagu ke arah Tommy.

Sialan lo, Bitch! maki Tommy dalam hati. Gue sumpahin hidup elo El Tocuyo, ya. Apa-apa yang seharusnya elo dapat, mendadak enggak bisa elo dapatin. Rasain!

Si Matheus Song menoleh ke sekitar dan baru memahami bahwa dia dan Tommy adalah dua cowok yang duduk sendiri-sendiri di dalam kelas.

Okay, I’ll sit with him!” kata si Matheus Song sambil tersenyum lebar ke arah Tommy, lalu membereskan ranselnya.

Tommy membelalakkan mata diam-diam. Dia membeku oleh fakta bahwa cowok sempurna dengan kulit mulus bagai malaikat ini akan duduk tepat di sebelahnya sekarang. Tak bisa dipungkiri Tommy merasakan keringat dingin seketika. Apalagi ketika sosok bongsor itu berdiri dan pindah ke sebelahnya, menguarkan kehangatan yang memabukkan seolah-olah Tommy sudah berada di surga.

Thanks,” kata cewek jutek keriting seraya mengambil kursi di depan Tommy.

“Sambil nunggu satu orang lagi datang, saya mau share beberapa peraturan selama MOS, ya,” kata kakak kelas di depan.

Tommy sudah meninggal. Dia sudah tidak bisa mendengarkan apa pun yang disampaikan di depan. Apalagi ketika si Matheus Song mendadak menyikutnya.

Hey, are you alright?

Tommy mengangguk-angguk cepat, dengan canggung. “Yes. I is owl right.

Si Matheus Song menyunggingkan senyum lebar. Ya Tuhan, giginya rapi pula. Enggak bisa lebih perfect dari ini, gitu? Dia ada bisul atau koreng atau apa gitu, biar enggak sempurna-sempurna amat?

“Turut berduka cita, ya,” katanya tulus.

“Hah?” Tommy membelalakkan mata. Kemudian dia teringat secara sembarangan menyebutkan soal kain kafan saat pura-pura menelepon tadi. “Iya, iya, thanks you very much.”

Si Matheus Song menyodorkan tangannya, “Namaku Arthur, pindahan dari one of international school in Jakarta. Kamu?”

“Tommy. Hehehe.” Tommy berusaha tersenyum senormal mungkin, tetapi jatuhnya seperti seringai penjahat yang ingin membunuh mangsanya. “Enggak pindah dari mana-mana. Orang Bandung.”

Nice to meet you, Tommy,” kata Arthur sambil menyikut Tommy.

Tommy meninggal lagi diperlakukan seperti itu.

Tommy berencana untuk tidak bunuh diri sore ini. Dia sudah menemukan motivasi hidupnya.


To be continued ....


<<< Part 02  |  Nude  |  Part 04 >>>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Nude 33

  ssendrawkwA emitefiL .33     Pada suatu pagi lima tahun lalu, Miza bangun lebih pagi dari biasanya meski semalaman tak bisa tidur. D...