oyucoT lE .30
Tak ada yang bisa Tommy
lakukan selain marah kepada Karyo. Menurutnya, tuduhan itu tak berdasar dan
berpotensi menyakiti hati seseorang. Karyo saja yang jelas-jelas banci tidak
dituduh banci oleh Tommy, seharusnya Karyo pun tidak mengatakan hal seperti
itu.
“Aku tersinggung, Yo kamu
bilang begitu,” kata Tommy, memberanikan diri. Dia merapikan lagi ranselnya.
“Ya I’m sorry. Bukan maksud aku nuduh kamu banci. I just think you is banci from the first sight. Mungkin aku salah,”
balas Karyo, tampak menyesal.
Tommy ingin sekali luluh
pada permintaan maaf yang tulus itu. Namun dia harus menjalankan misi kedua,
yaitu meng-unfriend Karyo dari
hidupnya. Sebagai cowok, dia harus macho. Salah satunya memutus silaturahmi
kalau memang temanmu itu kurang ajar. Menyebut dirinya banci bagi Tommy adalah
kurang ajar. Karyo kan enggak tahu apa-apa soal hidup Tommy atau masa lalunya. Karyo enggak berhak menjudge aku, batin
Tommy.
Meski secara teknis yang
Karyo bilang benar, sih. Tapi kan enggak perlu ada yang tahu.
“Aku pindah. Maaf, ya,”
kata Tommy, sambil berdiri dari kursinya.
Karyo mengangguk. “Ya
udah, I am alright. Berarti aku duduk
sama temanku.”
“Hah?”
“My SMP friends. Namanya Baharudin. Dia masuk kelas IBB juga. Tapi belum
datang. Kami janjian buat duduk bareng di SMA.”
Tommy mengerutkan
alisnya. “Terus kenapa kamu minta duduk sama aku?”
“Ya enggak usah sewot,
kali!” sahut Karyo tersinggung. Beberapa orang menoleh, termasuk Matheus Song.
“Aku, kan cuma just wants to have new
friends. Siapa tahu kita bisa duduk bertiga.”
MANA BISA! jerit
Tommy dalam hati. Satu meja saja kursinya
untuk dua orang. Memangnya kita lagi naik angkot duduk empet-empetan?!
Tommy mendengus kesal dan
berbalik meninggalkan Karyo. Beberapa orang sudah ramai berdatangan ke dalam
kelas dan mengambil setiap meja yang kosong. Mungkin karena tidak saling
mengenal, setiap satu orang akan duduk di satu meja saja. Orang berikutnya yang
muncullah yang terpaksa duduk dengan yang sudah datang duluan.
Nah, masalahnya, meja
yang kosong sekarang tinggal meja di belakang si Matheus Song. Sisanya terisi
murid cowok atau cewek yang masih canggung dengan kelas baru, sibuk dengan
ponsel masing-masing. Ada sekitar empat meja berisi satu cowok yang sudah duduk
(tidak termasuk Matheus Song). Apa Tommy perlu menghampiri salah satu dari
mereka?
Enggak,
jawab Tommy dalam hati. Mereka duduk terlalu jauh dari si Matheus Song.
Bisa-bisa Tommy kehilangan kesempatan mengagumi cowok berjas SMP swasta itu
dari dekat.
Apa Tommy duduk semeja
dengan Matheus Song saja?
Gila, ya? balas
Tommy dalam hati. Bisa mimisan setiap hari atau tremor pas pegang pulpen saking
deg-degannya duduk sama yang ganteng. Seumur hidup Tommy enggak pernah
berinteraksi dengan orang yang ganteng banget kayak si Matheus Song. Rasanya
enggak pantas, gitu. Apalagi dulu Tommy sering diejek bencong, jadinya mungkin
semua yang ganteng bakal menjauh. Tommy juga enggak merasa cakep-cakep amat
untuk berada dalam radius dua meter di sekitar cowok ganteng. Takutnya virus muka
jelek Tommy menginfeksi para cowok ganteng ini, membuat mereka jadi kehilangan
ketampanan.
Tapi aku pengin duduk dekat si Matheus Song itu! jerit Tommy dalam hati.
Akhirnya, Tommy
memberanikan diri menduduki kursi di meja yang berada tepat di belakang si
Matheus Song. Enggak apa-apa, lah meski jantung agak berdebar sedikit. Yang
penting bisa berlagak macho, siapa tahu bisa berteman baik dengan si Matheus
Song.
Yaolo, tengkuknya aja ganteng, kok bisa, ya? batin Tommy sambil mengagumi bagian belakang tubuh
cowok dari SMP swasta itu. Orangnya juga wangi. Tommy memutuskan untuk
menyemprotkan Pucelle Splash Cologne varian Rose 175 ml sembunyi-sembunyi ke
seragam SMP-nya, merasa insecure
dengan wangi maskulin menggoda dari si Matheus Song.
Selama bermenit-menit,
Tommy menghabiskan waktu memandangi tengkuk cowok di depannya. Tentu saja dia
melakukannya sembunyi-sembunyi, jangan sampai ada yang tahu dia kesengsem sama cowok.
Tommy enggak bisa menangkis fakta bahwa kulit si Matheus Song ini sungguh
sempurna. Kayak jerawat enggak pernah berani lewat di mukanya. Mungkin kalau
kecelakaan mobil juga, enggak akan ada serpihan-serpihan kaca yang berani menyentuh kulit dewa si Matheus Song ini. Kalau
Tommy bisa pacaran dengan si Matheus Song, akan dia kagumi keindahan tubuhnya
setiap hari.
Tiba-tiba, si Matheus
Song menoleh ke belakang. Tommy membelalak kaget, karena dia kepergok sedang
kasmaran dengan tengkuk cowok itu, jadi Tommy buru-buru menempelkan ponsel ke
telinga dan pura-pura menelepon, “Apa? Masuk rumah sakit? Iya. He-eh. Beli dua
meter aja kain kafannya.” Ketika si Matheus Song menoleh lagi ke depan, Tommy
menepuk jidatnya.
What the fuck, Tommy? Memangnya sebelum dia noleh kamu lagi
nelepon, hah?!
Tommy berencana bunuh
diri sore ini. Motivasinya adalah rasa malu.
“Ih, dasar ganjen,” sahut
seseorang, terdengar sayup-sayup dari belakang. Tommy menoleh dan menemukan
Karyo sudah duduk dengan seorang cowok lain.
Bukan. Bukan cowok. Dia
pakai seragam SMP yang di kerahnya ada sematan pin berbentuk hati warna pink.
Di balik kemejanya juga tercetak jelas kalung batu-batuan berwarna neon. Dia
banci. Mungkin itulah Baharudin.
Baharudin memutar bola
mata saat Tommy menoleh ke arahnya. Sementara Karyo hanya meringis dan
melambaikan tangan ke arah Tommy.
“Selamat pagi,
Adek-Adek!” Seorang senior cowok (biasa aja, enggak ganteng) yang menjadi
panitia MOS muncul ke depan kelas dan membuyarkan semua aktivitas masing-masing
kelas IBB. Tommy melihat kanan kiri dan menemukan setiap meja sudah terisi dua
orang. Semuanya. Kecuali dia dan si Matheus Song. “Kayaknya tinggal sedikit
yang belum datang, ya? Saya hitung dulu, boleh?”
Tommy ikut menghitung bersama
sang senior. Ada 38 orang, dari total 40 kursi yang tersedia. Kalau ucapan si
Teteh tadi benar, berarti tinggal dua orang yang belum datang. Dari hasil
perhitungan Tommy, ada 16 murid cowok dan 22 murid cewek. Setiap cowok cewek
ini sudah duduk dengan yang berjenis kelamin sama dengan mereka. Bahkan yang
banci pun duduk sama yang banci, seperti Karyo dan Baharudin.
“Oh, ini sudah datang
lagi peserta MOS-nya,” kata si senior, mempersilakan masuk seorang cewek
berambut keriting yang berada di depan pintu. Cewek itu kurus dan eksotis. Mungkin
kalau jadi model bisa di-hire untuk edgy look. Wajahnya tampak jutek. Belum
kenal sedetik pun, Tommy sudah bertekad untuk tidak temanan dengan cewek macam
dia.
Pertama, cewek macam itu
tuh kalau komen suka enggak disaring. Kedua, cewek macam itu tuh kalau
mengobservasi selalu tokcer. Bisa-bisa dialah orang pertama (selain Karyo dan
Baharudin) yang membuka tabir bahwa Tommy seorang gay. Jauh-jauh deh, batin
Tommy.
“Silakan masuk!” Senior
itu membawa cewek jutek keriting ke depan kelas. Tidak ada lagi kursi kosong di
ruangan itu, selain kursi di samping Tommy, atau di samping si Matheus Song. Cewek
jutek melihat ke antara Tommy dan Matheus Song, kemudian dia mengangkat bahu.
“Aku enggak mau duduk
sama cowok, Kak,” katanya, benar-benar tegas dan berani.
Nah, kan, komentarnya
suka enggak disaring. Siapa juga yang mau
duduk sama kamu? pikir Tommy dalam hati.
“Lho, kenapa?”
“Yang lain gendernya
sama, masa aku dicampur? Kalau aku diapa-apain sama dia gimana?” katanya,
sambil mengedikkan dagu ke arah Tommy.
Sialan lo, Bitch!
maki Tommy dalam hati. Gue sumpahin hidup
elo El Tocuyo, ya. Apa-apa yang seharusnya elo dapat, mendadak enggak bisa elo
dapatin. Rasain!
Si Matheus Song menoleh
ke sekitar dan baru memahami bahwa dia dan Tommy adalah dua cowok yang duduk
sendiri-sendiri di dalam kelas.
“Okay, I’ll sit with him!” kata si Matheus Song sambil tersenyum
lebar ke arah Tommy, lalu membereskan ranselnya.
Tommy membelalakkan mata
diam-diam. Dia membeku oleh fakta bahwa cowok sempurna dengan kulit mulus bagai
malaikat ini akan duduk tepat di sebelahnya sekarang. Tak bisa dipungkiri Tommy
merasakan keringat dingin seketika. Apalagi ketika sosok bongsor itu berdiri
dan pindah ke sebelahnya, menguarkan kehangatan yang memabukkan seolah-olah
Tommy sudah berada di surga.
“Thanks,” kata cewek jutek keriting seraya mengambil kursi di depan
Tommy.
“Sambil nunggu satu orang
lagi datang, saya mau share beberapa
peraturan selama MOS, ya,” kata kakak kelas di depan.
Tommy sudah meninggal.
Dia sudah tidak bisa mendengarkan apa pun yang disampaikan di depan. Apalagi
ketika si Matheus Song mendadak menyikutnya.
“Hey, are you alright?”
Tommy mengangguk-angguk
cepat, dengan canggung. “Yes. I is owl
right.”
Si Matheus Song
menyunggingkan senyum lebar. Ya Tuhan, giginya rapi pula. Enggak bisa lebih perfect dari ini, gitu? Dia ada bisul
atau koreng atau apa gitu, biar enggak sempurna-sempurna amat?
“Turut berduka cita, ya,”
katanya tulus.
“Hah?” Tommy
membelalakkan mata. Kemudian dia teringat secara sembarangan menyebutkan soal
kain kafan saat pura-pura menelepon tadi. “Iya, iya, thanks you very much.”
Si Matheus Song
menyodorkan tangannya, “Namaku Arthur, pindahan dari one of international school in Jakarta. Kamu?”
“Tommy. Hehehe.” Tommy
berusaha tersenyum senormal mungkin, tetapi jatuhnya seperti seringai penjahat
yang ingin membunuh mangsanya. “Enggak pindah dari mana-mana. Orang Bandung.”
“Nice to meet you, Tommy,” kata Arthur sambil menyikut Tommy.
Tommy meninggal lagi
diperlakukan seperti itu.
Tommy berencana untuk tidak bunuh diri sore ini. Dia sudah menemukan motivasi hidupnya.
To be continued ....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar