gnoS suehtaM .20
Misi kedua di SMA barunya
adalahnya meng-unfriend Karyo.
Ini jelas tidak sejalan
dengan misi pertama. Level frustrasi Tommy terlahir sebagai gay sudah mencapai puncaknya pada
jenjang 9 SMP beberapa bulan lalu. Tommy lelah dilihat sebagai orang cacat
karena kadang-kadang bertingkah seperti perempuan. Bukan mau dia bertingkah
seperti perempuan. Memang sudah dari sananya Tommy suka menjerit dengan oktaf
tinggi saat kecoa lewat atau menempelkan lengan atasnya ke tubuh saat berlari.
Tidak ada yang mengajari, dan tidak sengaja Tommy pilih untuk lakukan. Natural
saja. Seperti kucing mendarat di empat kakinya setiap jatuh dari lantai berapa pun, kucing tuh kan bisa saja
memilih mendarat di kepalanya, tapi enggak.
Tommy tidak menghabiskan
libur panjangnya selama Juni hingga Agustus dengan liburan ke berbagai tempat.
Selain memang bukan orang kaya, Tommy punya agenda melatih kepribadian menjadi
macho. Bukan hanya Puteri Indonesia saja yang training ke Philippines untuk melatih kepribadiannya sebelum Miss
Universe. Tommy pun harus melatih kemachoannya sebelum masuk SMA.
“I like so much English Language since a children,” kata Karyo,
membuka topik pembicaraan. Jemarinya menari-nari saat berbicara. Seolah-olah
dia sedang merapikan kabel earphone
imajiner yang kusut. “I like so much
watch TV and watch music on English Language. So I enter bahasa class so I can
clever English Language. In future, I will job in America or Inggris. So I enter bahasa class.”
Tommy tidak pernah merasa
bahasa Inggrisnya keren atau benar. Namun yang barusan dia dengar kayaknya
masuk kategori ... ajaib. Tommy mengagumi rasa percaya diri Karyo. Tidak semua
orang Indonesia berani bicara bahasa Inggris karena takut ada yang
mengoreksinya.
“Yes, yes,” balas Tommy semampunya.
“For you, how? Why you enter bahasa class?”
Aduh, pake bahasa Inggris pula, batin Tommy. Dia tidak sesiap itu untuk menjawab pertanyaan
apa pun pakai bahasa asing. Memilih masuk kelas IBB saja karena dia mau belajar
bahasa Inggris, bukan karena dia “like so
much English Language since a children”. Namun sebagai laki-laki macho, Tommy
harus berani. Salah satunya adalah berani menjawab pertanyaan menggunakan
bahasa yang dia nyaman gunakan.
Jadi sebelum menjawab,
Tommy bertanya, “Boleh saya jawab dalam bahasa Indonesia?” Yang terdengar
sangat anggun seperti Puteri Indonesia menjawab pertanyaan pada malam final.
(Misi pertama sudah
terkoyak oleh kegagalan.)
“Yes, you can answer in Indonesia Language,” jawab Karyo
mengangguk-angguk.
Tommy tak bisa mengatakan
dia ingin belajar bahasa Inggris dan Spanyol karena berencana menjadi beauty pageant coach di negara-negara
Amerika Tengah dan Selatan. Namun sejujurnya, itulah alasan awalnya. Sayangnya,
pekerjaan semacam itu melawan kodrat Tommy sebagai laki-laki. Jadi, Tommy
menjawab, “Aku enggak suka IPA dan IPS.”
“Oh, me too!” sahut Karyo gembira. “I don’t like matematika, or
fisika, or sejarah class. I like so much English Language.”
Sekumpulan anak-anak
berseragam SMP mulai menghambur masuk ke dalam kelas IBB. Beberapa senior
mengantar mereka ke dalam, lalu mengarahkan untuk menunggu. Tommy mulai melihat
beberapa murid cowok masuk dan menduduki meja di seberang ruangan. Tampaknya
mereka sudah saling kenal.
“Where is you are house?” tanya Karyo lagi.
“Oh, my house?” tanyaku. “Di Setrasari.”
Karyo membelalak
terkejut. “Ouch, so far away, yah. You must can naik Gojek, is it true?”
Grab,
batin Tommy. Namun dia hanya mengangguk-angguk saja.
Muka Karyo tampak sayu.
Tipe-tipe guratan pribumi yang lemah lembut, rahang lebar, alis melengkung,
dari kampung-kampung, dan mengira dirinya kembang desa. Karyo tampak seperti
sasaran empuk tukang bully. Makanya
Tommy tidak tega mengoreksi banyak hal dari Karyo, takut menyakiti hatinya.
“Why you enter SMA Four Four tapi your house is far far?” tanya Karyo lagi.
Maksud Karyo adalah SMAN
44 Bandung, yang lokasinya di Bandung Selatan, SMA yang dimasuki Tommy hari
ini. Tommy lagi-lagi enggak bisa menjawab jujur bahwa dia memilih SMAN 44
karena cowok-cowoknya ganteng. Namun dengan sistem zonasi yang menyebalkan
kemarin, pendaftarannya ke sini memang jadi pertanyaan besar semua orang.
“Ka ... katanya sekolah ini
bagus,” jawab Tommy, tak begitu yakin.
Karyo mengangguk mantul. “Memang!” Mata Karyo tampak bersinar-sinar. “You know what, here in SMA Four Four, the
boys is handsome-handsome, and the girls is beautiful-beautiful. So much
student job as model and artis FTV in
SMA Four Four. Connection to job as artis is much here.”
Pada saat bersamaan,
masuklah seorang cowok mengenakan seragam SMP yang bukan pada umumnya. Kalau
kebanyakan mengenakan seragam putih-biru, cowok itu mengenakan kemeja putih dan
celana panjang kotak-kotak warna merah. Di atas kemejanya ada jas warna merah
senada, dengan emblem SMP terjahit di dada kiri. Dia pasti dari SMP Swasta mahal, batin Tommy.
Namun bukan itu yang
membuat Tommy mengalihkan pandangan ke arahnya. Cowok itu nyatanya cowok ganteng
pertama yang Tommy temui sejak masuk sekolah ini. Rambutnya sih hitam, tetapi
ada darah-darah Latin dan Asia bercampur, menciptakan kulit putih mulus, hidung
mancung, alis tebal, wajah baby face,
mirip Matheus Song, Mister Supranational Brazil. Ketika dia tersenyum ke
beberapa cewek yang langsung menoleh ke arahnya, seisi kelas hatinya meleleh.
Si Matheus Song ini duduk
sendirian paling depan (kebetulan memang tidak ada yang berani mengisi meja
paling depan). Dia menyampirkan ranselnya ke punggung kursi, duduk dengan
manis, lalu mengeluarkan ponsel sambil menunggu acara dimulai. Tommy mengamati
semua cewek di kelas langsung membelalak girang sambil bisik-bisik dengan teman
ceweknya. Tidak ada yang menyangka cowok seganteng dia bisa masuk kelas IBB.
Harusnya sih masuk
MIA, biar makin kelihatan cool, tapi bagus deh masuk kelas IBB, batin Tommy. Jadi seenggaknya di
kelas ini ada yang enak untuk dinikmati.
“See, that is example in handsome boy people,” bisik Karyo.
Tommy menoleh dan
menemukan Karyo sedang tersihir oleh pesona Matheus Song di depan. Wajahnya
ditangkup kedua tangannya dengan tatapan berbinar yang tampaknya tak akan
berkedip sampai gerhana matahari berikutnya muncul. Tommy terkejut karena Karyo
tidak merasa risih mengekspresikan rasa sukanya kepada cowok pada perjumpaan
pertamanya dengan orang asing.
“Kamu ke sini karena
cowoknya ganteng?” tuduh Tommy, seolah-olah statement
tersebut merendahkan.
Karyo mengangguk. “Iyes,
lah,” jawabnya. Kali ini mulai lupa kegemarannya pada bahasa Inggris, “Mana
banyak banci sekolah di sini, yang berarti seharusnya, sekolah ini LGBT friendly. Seantero Bandung tahu kok SMA
Four Four ini safe place untuk
berekspresi. Kamu tahu enggak selebgram Indonesia, banci yang sering pake makeup kayak Jeffree Star, yang sering review-review brand makeup ternama, Odette? Lulusan sekolah ini, lho. Aku masuk
sini karena Odette lulusan sini juga.”
“Banci?”
“Iya, banci, kayak kita.”
Tommy membelalak kaget
mendengar kesimpulan Karyo tersebut. Karyo menoleh dan terheran-heran melihat
reaksi Tommy.
“Aku bukan banci,” timpal
Tommy tak terima. Tommy mengangkat dagunya.
“Masa sih?” Karyo menatap
Tommy atas bawah. “Kamu banci banget, Shay. And
it’s okay, jangan sedih, aku juga sama. Kamu pikir kenapa aku nyamperin
kamu buat ngajak duduk bareng? Bukan karena kamu cowok kedua yang masuk kelas
ini setelah aku. Melainkan cara kamu ngibasin rambut di pintu masuk barusan
udah banci total, makanya aku samperin. Eh-eh, menurut kamu, kita bisa pindah
ke sana, enggak? Biar bisa lebih deket sama anak SMP swasta ganteng itu?”
Tommy ingin menjerit marah. Belum satu jam dia berada di sekolah ini, dia sudah ketahuan banci.
To be continued ....
Karyo is definitely a mad genius poet. That line of, “Why you enter SMA Four Four tapi your house is far far?”, is out of this world.
BalasHapus