Kamis, 25 Maret 2021

Nude 01

 
zerréituG andairA .10


Misinya satu, tidak terdeteksi sebagai bagian dari komunitas LGBT. Maka dari itu, hari pertama Tommy menginjakkan kaki di SMA barunya, dia berjalan agak-agak ngangkang seolah-olah sebuah bola tenis terselip di antara kedua pahanya. Tommy juga memantapkan hati untuk berkata, “Bro!” pada setiap calon teman cowoknya (atau semua cowok yang mengobrol dengannya), dan mencoba tidak mengakhiri kalimat dengan kata, “Shaaay ...!”

Sekolah ini Tommy idam-idamkan sejak SMP. Bukan SMA favorit macam 3 atau 5 yang semua muridnya cerdas bukan main. Enggak. Tommy enggak butuh dikelilingi orang-orang cerdas. Tommy butuh dikelilingi orang-orang keren supaya masa SMA-nya berkesan dan amazing. Jadi meski SMA ini hanya beberapa ratus meter dari Tegalega, nyaris nyerempet kabupaten, yang penting reputasinya nggak diragukan lagi.

Beberapa siswanya menjadi Gadis Sampul, artis FTV, atlet Sea Games, penulis buku terkenal, dikirim pertukaran pelajar, lolos Akademi Dangdut di TV, bahkan ada yang menjadi model di fashion week Eropa. Sesekali Tommy lewat di depan sekolah ini pas bubaran, untuk memastikan cowok-cowoknya ganteng, cewek-ceweknya cantik. Dan, ya ... seperti dugaan Tommy, lebih dari 60% cowoknya ganteng, pun ceweknya cantik.

Jadi Tommy pun nggak akan muncul ke sekolah dengan penampilan sembarangan. Dia harus tampil ganteng, supaya bisa berbaur dengan cowok ganteng lainnya. Sudah cukup dia dikatai bencong dari SD hingga SMP. Masuk SMA, sengaja Tommy keluar dari zonasi, memilih SMA yang sangat jauh dari rumahnya, demi menghindari semua teman SMP yang mungkin masuk SMA yang sama.

Oke. Ini hari pertama. Hari bersejarah bagi Tommy karena dia bisa menjadi individu baru, punya teman totally baru, pun menikmati tiga tahun masa SMA di tempat yang kece badai. Tommy enggak bisa bangun kesiangan para hari pertama MOS seperti semua novel remaja Wattpad yang pernah dibacanya. Rumah dia jauh, Shaaay ... dia harus datang tepat waktu, atau—eh, ralat. Rumah dia jauh, Brooo ... dia harus datang tepat waktu atau hari pertama kena hukuman.

Eh, tunggu. Yang enggak boleh bilang Shay kan Tommy.

Pagi-pagi sekali Tommy sudah bersiap diri dengan seragam SMP-nya, menaiki ojek online, menyusuri daerah Setrasari menuju daerah Mohammad Toha di bawah dinginnya pagi Kota Bandung. Dia enggak bisa pakai pelembap bibir, karena nanti bibirnya jadi berkilau dan orang-orang bisa mengamatinya dengan jelas. Kalau orang tahu dia pakai pelembap bibir, dia pasti langsung dicap gay. Jadi Tommy membasahi bibirnya dengan lidah sepanjang perjalanan. Yang malah membuat bibirnya kering sesampainya di gerbang sekolah barunya.

Ketika tiba di sekolah, beberapa kakak kelas yang menjadi panitia MOS sudah tampak berjejer di gerbang untuk memberikan petunjuk masuk. Tommy membayangkan, seenggaknya, para senior cowok akan seganteng semua personil BTS. Dan itu minimal, lho. Yang berarti, sisanya harus lebih ganteng dari itu. Namun ketika Tommy turun dari ojeknya dan menghampiri gerbang, tak ada satu pun senior cowok di sana yang at least mendekati wajah-wajah personil BTS.

Yang berdiri di dekat gerbang itu mirip preman dekat rumahnya. Yang di bawah pohon itu mirip ikhwan di DKM masjid dekat rumahnya. Yang lagi jalan ke arah gerbang mirip penyanyi dangdut. Yang nemenin si penyanyi dangdut kayak random people you might meet in an angkot. Mengecewakan, batin Tommy. Ke mana para model-model ganteng yang malang melintang di pemilihan wajah Aneka Yes itu?

“Pagi, Dek! Kamu kelas apa?” sapa salah satu senior sambil menghampiri Tommy. Cewek pula, bukan cowok.

“Ke-kelas IBB.”

“Oh, kelas IBB. Sini ikut Teteh.”

Ah, sial, batin Tommy. Sebenarnya yang mukanya kayak ikhwan DKM itu lumayan juga. Andai dia yang nyamperin Tommy pagi ini dan mengantarkannya ke kelas, pagi MOS pertama ini terasa lebih menyenangkan. (Meski Tommy enggak begitu suka janggut cowok itu yang tipis-tipis seperti akar gigi.)

“Kelas IBB tahun ini cuma ada satu. Tapi isinya banyak, kok. Sampe 40 orang,” kata si Teteh tanpa ditanya. “Mun jaman Teteh mah, ada tiga kelas. Jadi pas naik kelas dua téh, bisa ngacak gitu teman sekelasnya.”

“Oh.”

Mun Teteh mah kelas MIA. Enggak ngerti atuh da mun belajar bahasa téh. Lieur,” katanya.

Aku betulan enggak nanya, Teh, gumam Tommy dalam hati.

“Kamu téh kakinya enggak apa-apa?” tanya si Teteh. “Kenapa jalannya kayak entog?”

“Oh. Enggak apa-apa.” Tommy merasa malu. Mungkin jalannya yang dia kira macho malah membuatnya kelihatan seperti punya masalah tungkai. Tommy bersumpah sudah berlatih sepanjang libur musim panas agar langkahnya macho. Kedua pahanya TIDAK BOLEH bersentuhan saat berjalan. Tidak boleh silang kaki juga seperti Ariadna Gutiérrez, Miss Colombia 2016. (Namun sepanjang libur kemarin, Tommy lebih sering berjalan seperti Ariadna di tempat-tempat sepi, dibandingkan jalan dengan macho.)

Mungkin jangan membayangkan ada bola tenis di antara paha, pikir Tommy. Yang normal-normal saja. Jalan dengan lurus, tegap, tidak bersilangan, kiri, kanan, kiri, kanan, kiri, kanan, eit eit eit ... tidak bersilangan, kiri, kanan, kiri, kanan—

“Kamu téh kalau jalan memang pas tangan kanan di depan, kaki kanan kamu juga di depan?” tanya si Teteh lagi.

Gblk kamu Tommy, batin Tommy.

Persoalan jalan ini, harus segera dibetulkan. Kalau Frederika Alexis Cull aja bisa latihan catwalk sampai menter, Tommy seharusnya bisa catwalk sampai macho. Ini tentang dedikasi dan determinasi. Ingat misimu, Tommy, jangan ketahuan banci.

Kelas IBB terletak di lantai dua gedung sekolah. Seluruh koridor masih sepi dari aktivitas belajar mengajar, karena minggu MOS ini memang didedikasikan untuk murid baru saja. Tommy sudah memperoleh informasi itu saat daftar ulang. Dia enggak berharap banyak untuk ketemu kakak kelas ganteng di koridor, bertabrakan, buku-buku berjatuhan, “Eh, maaf, sini aku bantu ambil!” lalu pandangan mereka bertemu, dan mereka jatuh cinta. Dia hanya berharap cowok-cowok di kelasnya ganteng. Dan untuk kakak kelas yang tabrakan dengannya, minimal seganteng Manu Rios, biar seperti fantasinya di novel-novel remaja Wattpad.

Nanti kalau sudah saling mencintai, Tommy dan Manu Rios akan pacaran backstreet tanpa satu pun yang tahu. Lalu Tommy akan merasa cemburu karena Manu Rios dikejar-kejar banyak cewek ganjen, sehingga waktunya tersita dari Tommy. Hubungan mereka pun jadi hambar karena Manu Rios sibuk membalas komentar di IG dari cewek-cewek fans-nya itu, sementara Tommy kan komentar pun enggak boleh, bisa-bisa mereka ketahuan pacaran. Kemudian Tommy akan ngambek, “Kamu pilih aku atau cewek-cewek ganjen itu, hah?” Kemudian—

“Dek, dek?” Si Teteh memanggil, membuyarkan lamunan Tommy. “Mau ke mana? Itu toilet cewek. Kelas IBB belok sini.”

“Oh, sorry, sorry.”

Kelas IBB tampak seperti kelas pada umumnya. Tommy sempat membayangkan akan ada peralatan canggih dengan headphone besar, lalu tombol-tombol rumit seperti di pesawat terbang, lalu mereka terkoneksi dengan CIA dan semacamnya. (Namanya juga “kelas bahasa”, segala jenis komunikasi seharusnya dikenalkan sejak SMA.) Namun kelas ini hanya terdiri dari meja-meja dan kursi-kursi kayu, yang Tommy yakin di kolong mejanya dipenuhi permen karet.

“Ini kelasnya. Tunggu di sini ya sampai MOS dimulai jam tujuh nanti.”

“Iya, Teh. Makasih banyak udah nganterin.”

“Sama-sama.”

Beberapa orang sudah duduk manis di ruang kelas. Kebanyakan dari mereka sudah mengobrol akrab. Pasti mereka satu SMP sebelumnya. Gara-gara sistem zonasi yang diterapkan saat memilih SMA, jadinya banyak yang satu sekolah, atau bahkan sekelas lagi. Sejauh ini yang sudah datang hanyalah anak cewek. Ada tujuh orang. Dan satu anak cowok. Anak cowok dengan seragam SMP pendek di mana-mana itu menghampiri Tommy yang baru masuk.

“Hai!” sapanya, terlalu akrab.

“Hai!” balas Tommy, dengan suara se-bass mungkin biar dikira macho.

“Duduk sama aku, yuk!”

Tommy bingung. Dia jelas ingin menolak tawarannya. Maksudnya, enggak bisakah dia memilih teman sebangku nanti saja saat sudah menentukan siapa yang paling ganteng di kelasnya? Cowok yang di hadapannya ini biasa saja. Bukan tipenya. Namun Tommy orangnya enggak enakan. Jadi dengan tolol Tommy menjawab, “Yuk!”

“Nama aku Karyo,” katanya, mengulurkan tangan.

“Aku Tommy.”

“Yuk. Duduknya di sebelah sana!” Karyo berjalan duluan menuju meja mereka berdua. Dari belakang Tommy menemukan sesuatu yang mengerikan soal teman barunya itu ....

Karyo berjalan dengan langkah kaki bersilang, persis Ariadna Gutierrez.

Fuck, dia banci! jerit Tommy dalam hati. Noooooo ...!


To be continued ....


Nude  |  Part 02 >>>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Nude 33

  ssendrawkwA emitefiL .33     Pada suatu pagi lima tahun lalu, Miza bangun lebih pagi dari biasanya meski semalaman tak bisa tidur. D...