zerréituG andairA .10
Misinya satu, tidak
terdeteksi sebagai bagian dari komunitas LGBT. Maka dari itu, hari pertama
Tommy menginjakkan kaki di SMA barunya, dia berjalan agak-agak ngangkang
seolah-olah sebuah bola tenis terselip di antara kedua pahanya. Tommy juga
memantapkan hati untuk berkata, “Bro!” pada setiap calon teman cowoknya (atau
semua cowok yang mengobrol dengannya), dan mencoba tidak mengakhiri kalimat
dengan kata, “Shaaay ...!”
Sekolah ini Tommy
idam-idamkan sejak SMP. Bukan SMA favorit macam 3 atau 5 yang semua muridnya cerdas
bukan main. Enggak. Tommy enggak butuh dikelilingi orang-orang cerdas. Tommy butuh
dikelilingi orang-orang keren supaya masa SMA-nya berkesan dan amazing. Jadi meski SMA ini hanya
beberapa ratus meter dari Tegalega, nyaris nyerempet kabupaten, yang penting
reputasinya nggak diragukan lagi.
Beberapa siswanya menjadi
Gadis Sampul, artis FTV, atlet Sea Games, penulis buku terkenal, dikirim
pertukaran pelajar, lolos Akademi Dangdut di TV, bahkan ada yang menjadi model
di fashion week Eropa. Sesekali Tommy
lewat di depan sekolah ini pas bubaran, untuk memastikan cowok-cowoknya
ganteng, cewek-ceweknya cantik. Dan, ya ... seperti dugaan Tommy, lebih dari
60% cowoknya ganteng, pun ceweknya cantik.
Jadi Tommy pun nggak akan
muncul ke sekolah dengan penampilan sembarangan. Dia harus tampil ganteng,
supaya bisa berbaur dengan cowok ganteng lainnya. Sudah cukup dia dikatai
bencong dari SD hingga SMP. Masuk SMA, sengaja Tommy keluar dari zonasi,
memilih SMA yang sangat jauh dari rumahnya, demi menghindari semua teman SMP
yang mungkin masuk SMA yang sama.
Oke. Ini hari pertama.
Hari bersejarah bagi Tommy karena dia bisa menjadi individu baru, punya teman totally baru, pun menikmati tiga tahun
masa SMA di tempat yang kece badai. Tommy enggak bisa bangun kesiangan para hari pertama MOS seperti
semua novel remaja Wattpad yang pernah dibacanya. Rumah dia jauh, Shaaay ... dia harus datang tepat waktu,
atau—eh, ralat. Rumah dia jauh, Brooo
... dia harus datang tepat waktu atau hari pertama kena hukuman.
Eh, tunggu. Yang enggak boleh bilang Shay
kan Tommy.
Pagi-pagi sekali Tommy
sudah bersiap diri dengan seragam SMP-nya, menaiki ojek online, menyusuri daerah Setrasari menuju daerah Mohammad Toha di
bawah dinginnya pagi Kota Bandung. Dia enggak bisa pakai pelembap bibir, karena
nanti bibirnya jadi berkilau dan orang-orang bisa mengamatinya dengan jelas.
Kalau orang tahu dia pakai pelembap bibir, dia pasti langsung dicap gay. Jadi Tommy membasahi bibirnya
dengan lidah sepanjang perjalanan. Yang malah membuat bibirnya kering
sesampainya di gerbang sekolah barunya.
Ketika tiba di sekolah,
beberapa kakak kelas yang menjadi panitia MOS sudah tampak berjejer di gerbang
untuk memberikan petunjuk masuk. Tommy membayangkan, seenggaknya, para senior
cowok akan seganteng semua personil BTS. Dan itu minimal, lho. Yang berarti,
sisanya harus lebih ganteng dari itu. Namun ketika Tommy turun dari ojeknya dan
menghampiri gerbang, tak ada satu pun senior cowok di sana yang at least mendekati wajah-wajah personil
BTS.
Yang berdiri di dekat
gerbang itu mirip preman dekat rumahnya. Yang di bawah pohon itu mirip ikhwan
di DKM masjid dekat rumahnya. Yang lagi jalan ke arah gerbang mirip penyanyi
dangdut. Yang nemenin si penyanyi dangdut kayak random people you might meet in an angkot. Mengecewakan, batin Tommy. Ke
mana para model-model ganteng yang malang melintang di pemilihan wajah Aneka
Yes itu?
“Pagi, Dek! Kamu kelas
apa?” sapa salah satu senior sambil menghampiri Tommy. Cewek pula, bukan cowok.
“Ke-kelas IBB.”
“Oh, kelas IBB. Sini ikut
Teteh.”
Ah, sial,
batin Tommy. Sebenarnya yang mukanya kayak ikhwan DKM itu lumayan juga. Andai
dia yang nyamperin Tommy pagi ini dan mengantarkannya ke kelas, pagi MOS
pertama ini terasa lebih menyenangkan. (Meski Tommy enggak begitu suka janggut
cowok itu yang tipis-tipis seperti akar gigi.)
“Kelas IBB tahun ini cuma
ada satu. Tapi isinya banyak, kok. Sampe 40 orang,” kata si Teteh tanpa
ditanya. “Mun jaman Teteh mah, ada tiga kelas. Jadi pas naik kelas
dua téh, bisa ngacak gitu teman
sekelasnya.”
“Oh.”
“Mun Teteh mah kelas MIA. Enggak ngerti atuh da
mun belajar bahasa téh. Lieur,”
katanya.
Aku betulan enggak nanya, Teh, gumam Tommy dalam hati.
“Kamu téh kakinya enggak apa-apa?” tanya si
Teteh. “Kenapa jalannya kayak entog?”
“Oh. Enggak apa-apa.”
Tommy merasa malu. Mungkin jalannya yang dia kira macho malah membuatnya
kelihatan seperti punya masalah tungkai. Tommy bersumpah sudah berlatih
sepanjang libur musim panas agar langkahnya macho. Kedua pahanya TIDAK BOLEH
bersentuhan saat berjalan. Tidak boleh silang kaki juga seperti Ariadna Gutiérrez, Miss Colombia 2016. (Namun sepanjang libur kemarin,
Tommy lebih sering berjalan seperti Ariadna di tempat-tempat sepi, dibandingkan
jalan dengan macho.)
Mungkin jangan membayangkan ada bola tenis di antara paha, pikir Tommy. Yang normal-normal saja. Jalan
dengan lurus, tegap, tidak bersilangan, kiri, kanan, kiri, kanan, kiri, kanan, eit
eit eit ... tidak bersilangan, kiri, kanan, kiri, kanan—
“Kamu téh kalau jalan memang pas tangan kanan
di depan, kaki kanan kamu juga di depan?” tanya si Teteh lagi.
Gblk kamu Tommy,
batin Tommy.
Persoalan jalan ini,
harus segera dibetulkan. Kalau Frederika Alexis Cull aja bisa latihan catwalk sampai menter, Tommy seharusnya
bisa catwalk sampai macho. Ini
tentang dedikasi dan determinasi. Ingat misimu, Tommy, jangan ketahuan banci.
Kelas IBB terletak di
lantai dua gedung sekolah. Seluruh koridor masih sepi dari aktivitas belajar
mengajar, karena minggu MOS ini memang didedikasikan untuk murid baru saja.
Tommy sudah memperoleh informasi itu saat daftar ulang. Dia enggak berharap
banyak untuk ketemu kakak kelas ganteng di koridor, bertabrakan, buku-buku
berjatuhan, “Eh, maaf, sini aku bantu ambil!” lalu pandangan mereka bertemu,
dan mereka jatuh cinta. Dia hanya berharap cowok-cowok di kelasnya ganteng. Dan
untuk kakak kelas yang tabrakan dengannya, minimal seganteng Manu Rios, biar
seperti fantasinya di novel-novel remaja Wattpad.
Nanti kalau sudah saling
mencintai, Tommy dan Manu Rios akan pacaran backstreet
tanpa satu pun yang tahu. Lalu Tommy akan merasa cemburu karena Manu Rios
dikejar-kejar banyak cewek ganjen, sehingga waktunya tersita dari Tommy.
Hubungan mereka pun jadi hambar karena Manu Rios sibuk membalas komentar di IG
dari cewek-cewek fans-nya itu,
sementara Tommy kan komentar pun enggak boleh, bisa-bisa mereka ketahuan
pacaran. Kemudian Tommy akan ngambek, “Kamu pilih aku atau cewek-cewek ganjen
itu, hah?” Kemudian—
“Dek, dek?” Si Teteh
memanggil, membuyarkan lamunan Tommy. “Mau ke mana? Itu toilet cewek. Kelas IBB
belok sini.”
“Oh, sorry, sorry.”
Kelas IBB tampak seperti
kelas pada umumnya. Tommy sempat membayangkan akan ada peralatan canggih dengan
headphone besar, lalu tombol-tombol
rumit seperti di pesawat terbang, lalu mereka terkoneksi dengan CIA dan
semacamnya. (Namanya juga “kelas bahasa”, segala jenis komunikasi seharusnya
dikenalkan sejak SMA.) Namun kelas ini hanya terdiri dari meja-meja dan
kursi-kursi kayu, yang Tommy yakin di kolong mejanya dipenuhi permen karet.
“Ini kelasnya. Tunggu di
sini ya sampai MOS dimulai jam tujuh nanti.”
“Iya, Teh. Makasih banyak
udah nganterin.”
“Sama-sama.”
Beberapa orang sudah
duduk manis di ruang kelas. Kebanyakan dari mereka sudah mengobrol akrab. Pasti
mereka satu SMP sebelumnya. Gara-gara sistem zonasi yang diterapkan saat
memilih SMA, jadinya banyak yang satu sekolah, atau bahkan sekelas lagi. Sejauh
ini yang sudah datang hanyalah anak cewek. Ada tujuh orang. Dan satu anak
cowok. Anak cowok dengan seragam SMP pendek di mana-mana itu menghampiri Tommy
yang baru masuk.
“Hai!” sapanya, terlalu
akrab.
“Hai!” balas Tommy,
dengan suara se-bass mungkin biar
dikira macho.
“Duduk sama aku, yuk!”
Tommy bingung. Dia jelas
ingin menolak tawarannya. Maksudnya, enggak bisakah dia memilih teman sebangku
nanti saja saat sudah menentukan siapa yang paling ganteng di kelasnya? Cowok
yang di hadapannya ini biasa saja. Bukan tipenya. Namun Tommy orangnya enggak
enakan. Jadi dengan tolol Tommy menjawab, “Yuk!”
“Nama aku Karyo,”
katanya, mengulurkan tangan.
“Aku Tommy.”
“Yuk. Duduknya di sebelah
sana!” Karyo berjalan duluan menuju meja mereka berdua. Dari belakang Tommy menemukan
sesuatu yang mengerikan soal teman barunya itu ....
Karyo berjalan dengan langkah
kaki bersilang, persis Ariadna Gutierrez.
Fuck, dia banci! jerit Tommy dalam hati. Noooooo
...!
To be continued ....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar