ylluB gniyrC .62
P
P
P
Udah
tandingnya?
Udah beb
Aku baru
beres mandi
Y
Kmu dmana?
Aq masih
di PVJ
Shopping
sama mami
Mau aku
jmput entar?
Ga usah
Aku bawa
mobil
Main k
rumahku?
Ngewe?
Y
Jerome meletakkan ponsel ke dalam
tas dan mengenakan kaus polonya ke tubuh. Dia langsung mengikat tali sepatu
seraya membalas salam pamit dari Alex yang sudah beranjak pulang. Tinggal dirinya dan tiga orang
pemain di ruang ganti itu, semua bersiap untuk pulang.
“Tokcer si Tommy téh,
Jer,” ungkap Syahri sambil mengenakan celana jins. “Langsung segeran badan.”
“Serius, Bro? Wadaw ... tahu
gitu gue minta pijat juga,” sahut Teuku menimpali.
“Bayar, ya!” balas Jerome,
terdengar bercanda, tetapi di dalam hatinya dia serius.
“Elo managernya dia?” tanya Teuku
sambil tertawa.
“Iyalah! Makanya dia bisa mijitin
si Kyle tadi gara-gara siapa?”
Jerome tak suka melihat Tommy
memijat untuk orang lain—entah mengapa. Dia tahu dia tak punya kuasa penuh atas
Tommy, karena meski Jerome rajin membayar Tommy untuk memijat dirinya, tak
pernah ada kontrak tertulis bahwa Tommy private
masseur-nya. Klaim private masseur
yang diutarakan Jerome tadi keluar secara spontan, saking Jerome tak punya ide
harus mengatakan apa agar Tommy tidak seenaknya memijat orang lain.
Jerome kira dia akan merasa biasa
saja ketika Tommy memijat untuk orang lain. Jadi ketika Bara bilang, “Kayaknya
gue lihat tukang pijat elo
itu, Jer!” Jerome berpikir Tommy adalah ide bagus untuk menyelamatkan situasi.
Ronde pertama pertandingan, okelah Tommy masih memijat Kyle. Namun ketika
pijatan itu tak pernah berhenti melewati jeda setelah ronde pertama, nyambung
ke ronde kedua, lalu masuk ke jeda setelahnya, Jerome mulai merasa tidak
nyaman.
Jerome merasa tak suka melihat
Tommy menghabiskan energi di jemarinya untuk orang lain.
Karena itulah Jerome tak fokus
selama pertandingan—bukan karena rapat OSIS.
Jerome tak tahu perasaan apa yang
dia miliki saat melihat Tommy lanjut memijat Bara maupun Syahri di ruang ganti.
Yang jelas Jerome tak akan mengakui itu sebagai rasa cemburu, karena enggak mungkin juga itu rasa
cemburu. Jerome bisa memiliki Tommy kapan pun. Tinggal dia keluarkan uang, maka
Tommy akan datang ke rumahnya untuk memijat. Kalau perlu, Jerome bisa memiliki
Tommy di rumahnya, sama seperti keluarga Jerome memiliki beberapa pembantu di
bidang-bidang spesifik. Pak Yanto sebagai sopir, Bi Ela sebagai tukang sapu,
Teh Nunuk sebagai pencuci baju, mungkin dalam waktu dekat Tommy sebagai masseur keluarga.
Kenapa enggak, betul?
Yang pasti, hatinya baru bisa lega
setelah mencegat Tommy barusan untuk mengklaim bahwa dia miliknya. Jerome
merasa lebih puas melewati mandi karena sudah mengatakan hal tersebut.
Ketika Jerome sudah siap pulang,
Sheena membalas lagi pesan obrolan mereka di chat.
Wait, kmu udh bisa keras emangnya?
Aku udah puasa 3 hari beb
Sekeras baja
3 hari lalu letoy lho
Sebel tau!
Iya maaf
Kyaknya aku lg banyak pikiran
Salah satunya tanding basket
Tapi kan tanding basket udh selesai
Yuk ena ena
Y
Hari Rabu lalu, saat Jerome
mendapati kemaluannya ereksi dalam sesi pijat bersama Tommy, dia buru-buru
memanggil Sheena untuk datang dan bercinta. Sensasi geli nikmat yang dilakukan
Tommy itu sungguh-sungguh membuat kemaluan Jerome tak keruan. Anehnya, saat
Sheena datang dan mencoba menungganginya, kemaluan itu lama-lama melemas. Dua
puluh menit Jerome berusaha ereksi, kelaminnya tak sekeras seharusnya. Padahal
Sheena sudah melakukan berbagai cara untuk memikat Jerome, mulai dari memainkan
payudara, menggoyang panggulnya, mendesah sekeras mungkin, atau menggoyang-goyang
telunjuknya di klitoris hingga kelaminnya basah (biasanya itu pemandangan
paling menakjubkan bagi Jerome) tetapi sang pejantan tak sekali pun berhasil
mengeraskan kemaluannya.
Ujung-ujungnya Jerome masturbasi
sendiri sambil memandangi Sheena membaca majalah fashion seraya telanjang.
Setelahnya mereka berantem, baikan besoknya, dan Jerome berjanji untuk puasa
onani beberapa hari agar pertemuan berikutnya menggebu-gebu.
Pertandingan basket sudah usai.
Pikiran Jerome lebih kosong sekarang. Dia sedang menggebu-gebu ingin menggenjot
tubuh Sheena, merasuki lubang surganya dengan kemaluannya yang gagah perkasa.
Dalam perjalanannya menuju Pajero
Sport yang parkir menunggunya, Jerome mendengar sayup-sayup seseorang menangis
di kejauhan. Dia tentunya tak peduli, langkah kakinya harus berbelok ke
parkiran, tak boleh belok ke arah lain yang berlawanan. Namun baru beberapa
langkah berbelok, Jerome merasa tak tega.
GOR itu sudah lumayan sepi. Sumber
suara yang didengar Jerome bukan dari arah di mana orang-orang akan lewati
kalau berencana pulang. Lagi pula mengecek sebentar tak ada salahnya, kan?
Paling juga anak kecil sedang berantem dengan kawannya lalu menangis. Namun
ketika Jerome berbelok ke bagian belakang GOR, dia menemukan pemandangan yang
tak diduganya.
Tommy sedang menangis, terpojok di
sudut dinding, menyilangkan dada dengan ketakutan. Bahunya berguncang, dadanya
terisak-isak. Di depannya, seorang cowok murid baru di sekolah Jerome sedang
menendang-nendang perut Tommy. Jerome kenal betul cowok itu. Dia mendaftar ke
ekskul basket, anaknya pendiam, tak menyenangkan, dan mungkin tak punya teman.
Itu juga cowok yang sama yang sedang mengintimidasi Tommy saat Jerome mencari
bocah itu untuk mengobati Kyle.
“WOI!” pekik Jerome murka. “LU
NGE-BULLY, HAH?!”
Cowok itu menoleh ketakutan sambil
memelotot. Tampak jelas dia kaget melihat Jerome muncul di tengah aksinya
merundung Tommy. Tangannya bergetar karena kepergok, tetapi dia juga tak punya
pilihan lain untuk kabur.
Ditambah lagi, dari belakang
Jerome, muncul Syahri dan Teuku yang baru keluar dari ruang ganti. “Kenapa,
Jer? Ada apa ini?!”
Cowok bully itu, meski tampak menakutkan bagi Tommy, rupanya tak berani
menghadapi Jerome dan kawan-kawannya. “Enggak, Kak,” balas cowok cemas
“Gue lihat lu nendang-nendang si
Tommy, Bangsat!” semprot Jerome sambil menghambur menghampiri cowok bully itu, mata Jerome memelotot, jarak
antar hidung mereka hanya lima senti saja. “Lu mau jadi bully, hah?! Lu mau jadi sok-sok berkuasa di sekolah, hah?!”
“Ngapain si Revan?” tanya Teuku
ikut menghampiri dan mengintervensi. Teuku menarik Jerome yang terlalu dekat
dan murka, memberikan jarak aman agar tak ada yang main hakim sendiri. “Lo yang
dari kelas IIS, kan? Yang outbond di
Dago? Gue ingat elo. Apa yang lo lakuin sampe Jerome ngamuk sama lo sekarang?”
Revan menunduk dan menggelengkan
kepalanya. Bahkan, bahu Revan agak berguncang karena ketakutan.
“Ini bangsat nendang-nendang si
Tommy!” sahut Jerome dengan suara lantang. “Lo mau jadi preman, hah?!”
“Sssh ... udah, Jer!” Teuku
menahan tubuh Jerome yang mulai maju, dibantu Syahri yang ikut memegang bahu
Jerome agar tidak kelepasan menghajar Revan di depannya.
“Kalian mau ngebelain preman kayak
dia?!” Jerome menepis tangan Teuku.
“Bukan ngebelain!” sergah Teuku
ikutan emosi. “Tapi lo juga jangan bertindak macam preman persis kayak dia.”
Teuku menunjuk kening Revan, bahkan mendorong kepala Revan hingga Revan
termundur beberapa senti.
“Lo apain Tommy barusan, hah?”
tanya Teuku, sebenarnya terdengar marah, tetapi dia lebih dapat mengendalikan
emosi dibandingkan Jerome. Teuku menoleh untuk melihat kondisi Tommy. Di atas
kepala Tommy masih ada beberapa boba hitam yang biasanya ada dalam minuman khas
Taiwan. Di wajah Tommy juga ada lelehan teh susu yang mulai mengering, yang
alirannya jatuh ke kaus yang dikenakan Tommy. Di bagian perut Tommy, memang
tercetak pola sepatu berlumpur secara acak. Sudah beberapa kali perut itu
dihantam kaki Revan.
Tommy masih menangis tanpa suara. Menutup
wajahnya dengan malu.
“Lo apain dia?!” tanya Teuku
sekali lagi.
“Bisu kali!” sahut Syahri.
Revan yang menunduk ketakutan,
hanya bisa menggeleng.
“JAWAB!” sentak Jerome dengan
napas memburu. “Lo bisa nendang anak orang, tapi lo nggak bisa jawab pertanyaan?!
Preman apa bencong, lo?!”
“Ma-maaf ...,” gumam Revan lirih.
“Maaf?!” Teuku geleng-geleng
kepala. “Elo
nendang anak orang terus elo
minta maaf? Gimana caranya elo
lolos masuk SMA 44, sih? Jalur preman, hah?!”
Revan menggelengkan kepala lagi.
Dan bergumam lagi, “Maaf ....”
“Tindakan elo ini nggak bisa diterima sama
institusi mana pun, termasuk sekolah elo, tahu?!” ungkap Teuku lebih tegas.
“Gue bukan OSIS, tapi elo
baru aja bikin ulah di depan ketua OSIS elo sendiri. Kalau Ketua OSIS elo ini lapor ke sekolah, elo bisa dikeluarin, Bro! Dipenjara
juga bisa!”
Revan meledak dalam tangis sambil
kemudian berlutut. Bahunya berguncang keras. “Ja-jangan, Kak. Please .... Ampun, jangan laporin saya,
Kak.”
“Elah, cengeng juga lu!” semprot
Syahri sambil menepuk jidat.
“Please, Kak .... Jangan dilaporin. Maaf.” Revan bahkan mencoba
bersujud ke kaki Teuku, tetapi kakak kelasnya itu mengangkat lututnya agar
Revan menjauh dari kakinya.
“Gue bukan sultan, elo enggak perlu sujud.” Teuku
mendengus dan mendeklarasikan kata-kata terakhirnya. “Sebagai senior elo di basket, mulai detik ini,
ekskul basket enggak
nerima elo jadi
anggota lagi. Paham?!”
Revan mengangguk paham.
“Dan kalau kami ngelihat elo nge-bully orang lain lagi, baik si Tommy atau siapa pun, gue enggak bakal nolongin elo!” tegas
Teuku dengan penekanan pada anak kalimat terakhir. “Gue bakal pastiin seluruh
sekolah nge-bully elo sampai mampus!”
Tommy lalu dibawa Jerome ke
mobilnya, berpisah dengan Teuku dan Syahri yang masing-masing membawa sepeda
motor. Revan ditinggalkan menangis di sudut sepi GOR baru itu. Jerome
sebenarnya agak tak paham mengapa dia bisa semurka itu melihat Tommy disiksa
Revan. Apa karena Jerome membenci bullying,
atau Jerome membenci seseorang menyentuh Tommy? Jerome ingin sekali dengan
bangga menjawab pilihan pertama. Namun pilihan kedua barusan juga menghantui
benak Jerome sedari tadi.
Mungkin itu alasannya Jerome
mengangkut Tommy ke mobilnya. Bocah itu sudah berhenti menangis dan membuang
semua boba yang tadi menempel di rambutnya. Namun ketika Jerome menyuruhnya
naik ke Pajero Sport perunggu itu, Tommy menggeleng.
“Tapi bajuku kotor, Kak.”
“Lah terus?” Jerome mengerutkan
alisnya tak paham. “Elo mau naik angkot penampilan kayak begini?!”
“Memang aku mau dibawa ke mana?”
Jerome tak punya jawaban lagi
selain, “Ya mijitin gue, lah!” sahutnya defensif. Bahkan Jerome menambahkan,
“Si Syahri aja elo
pijitin gratis hari ini. Terus gue kagak, hah?!”
“Ma-maaf,” balas Tommy.
“Elo harus pijitin gue sore ini. Dan
gue enggak akan
bayar elo.”
Jerome tak paham mengapa dia harus
menekan Tommy seperti itu. Namun Jerome merasa harus melakukan segala cara agar
Tommy ikut bersamanya. Dipijat bukanlah agenda utamanya sore ini. Dia sedang
menunggu Sheena mengabarinya kapan bisa datang ke rumah. Sambil menunggu, kan
oke juga kalau bisa dipijat Tommy seperti kemarin. Tommy berhasil membangkitkan
kemaluannya hingga ereksi sekeras baja. Siapa tahu Tommy bisa melakukannya lagi
kali ini.
Ajaibnya, Tommy mengangguk setuju.
Jadi di dalam Pajero Sport itu
kini ada Tommy yang terduduk manis di dekat jendela, mengamati dunia luar dalam
kepalanya sendiri. Sementara Jerome di sampingnya mulai mengevaluasi apakah
dirinya selama ini justru bully bagi
Tommy? Bully dalam arti lain. Bully dengan menguasai Tommy seolah-olah
bocah itu adalah propertinya.
Karena selama ini Jerome selalu
membayar Tommy atas jasanya, Jerome menyimpulkan bahwa relasinya bersama Tommy
murni bisnis semata.
Sesampainya di kamar, Jerome
langsung melucuti bajunya sambil menunggu Tommy menyiapkan semua peralatan spa.
Jerome mengumumkan, “Gue pengin pijat yang kemarin. Full body.”
“Iya, Kak.”
Jerome menelanjangi dirinya
seperti tempo hari, berbaring telungkup di atas kain yang sudah dihamparkan
Tommy di atas tempat tidur. Tangannya langsung aktif menggulir Instagram sambil
merasakan pantatnya ditutupi sehelai kain dingin. Kemudian handuk-handuk hangat
itu mulai menyentuh telapak kaki Jerome. Dan Jerome merasa sangat nyaman
setelahnya.
Selama satu jam berikutnya Jerome
dimanjakan oleh pijatan yang menenangkan melalui aroma berbeda dari essential oil. Aroma kali ini menggugah
hasrat seksual. Karena meski tangan Tommy belum menyentuh pantatnya sedikit
pun, Jerome mulai ereksi.
Mengerasnya kemaluan Jerome terjadi
saat Tommy masih memijat bagian paha. Ereksi itu bertahan hingga Tommy
menangani punggung Jerome, lalu lanjut ke masing-masing lengan Jerome. Jujur
saja, Jerome merasa canggung. Mengapa bisa kemaluannya ereksi sepanjang pijat
sementara tiga hari lalu lemah menghadapi Sheena yang seksi?
Jerome mulai merasa malu karena
senjatanya takluk oleh jari-jemari
seorang bocah yang tak sanggup melawan bully
dari murid seangkatannya. Jerome menoleh sekejap, mencuri pandang pada Tommy
yang sedang memijat tangan kirinya. Bocah itu jelas laki-laki, tidak ada unsur
feminin pada fisiknya. Dia bahkan bertelanjang dada karena bajunya kotor, jadi
visualnya cowok banget. Memang agak lemah lembut seperti perempuan. Disuruh apa
pun nurut layaknya seorang istri.
Gue
nggak tertarik sama bocah lembek ini kan? batin Jerome mempertanyakan dirinya
sendiri. Jerome rasa tidak. Mungkin memang bocah ini punya kekuatan super untuk
membangkitkan gairah seksual seseorang melalui pijatan. Jerome pernah melihat
entah di mana tentang pijat vitalitas. Mulai dari pijat memperbesar penis,
hingga pijat penambah gairah seksual suami istri. Sebagai remaja cowok yang
sudah mengenal pergaulan bebas sejak dini, Jerome mengedukasi dirinya secara
otodidak dalam urusan seks. Dia merasa yakin pijatan semacam itu memungkinkan.
Jadi, sebelum suasana berubah
canggung karena Tommy mendapati kemaluan Jerome ereksi di bawah sana, Jerome
mulai membuka obrolan. “Elo
enggak risih
kan sama cowok bugil?”
Agak lama Tommy merespons, tetapi
Jerome dapat mendengarnya berkata, “Enggak, Kak.”
“Pas lagi mijat begini, misal ada
yang ngaceng gitu, pernah enggak?”
“Pernah,” jawab Tommy tanpa banyak
berpikir. “Awal-awal saya belajar sama Bapak soal pijat vitalitas, semua tamu ngaceng, Kak.”
“Gitu, ya?” jawab Jerome. “Jadi
... enggak
apa-apa, kan kalau gue ... ngaceng juga? Normal, kan?”
Ada jeda sejenak sebelum Tommy
menjawab lagi. “Normal, Kak. Kalau enggak ngaceng,
berarti Kakak impoten. Hehe.”
Jerome tidak tertawa pada jokes itu. Dan Tommy pun merasa malu
mengeluarkan jokes semacam itu.
Jerome membuka ponselnya dan melihat apakah Sheena sudah OTW ke rumahnya atau
belum. Namun balasan itu tak pernah muncul. Jadi Jerome mengecek story Instagram Sheena, bahkan dari
awal. Di situ, ada satu story Sheena mengantar ibu dan ayahnya ke bandara.
Kedua orangtua Sheena akan liburan ke Bali selama beberapa hari. Sheena tampak
melambai-lambai gembira ke arah kedua orangtuanya memasuki terminal
keberangkatan. Hanya saja, saat melihat kapan story itu diunggah, tulisannya: 9 jam lalu. Sheena mengaku belanja
bersama ibunya di PVJ adalah tiga jam lalu.
Beb?
Eh, beb. Sorry baru balas.
Aku masih sama mami nih belanja di PVJ. Kayaknya malam ini cancel dulu, ya. Maaf banget. Aku datang besok deh. Muach.
To be continued ....